Bruk!
Seorang wanita jatuh tersungkur setelah seorang pria menamparnya dengan keras. Di sekukur tubuhnya terlihat banyak memar seperti bekas orang yang telah menghajarnya dengan membabi buta. Wanita itu terlihat sangat lemah, tangan-tangannya terlihat sangat kurus, penampilannya juga terlihat sangat buruk dengan rambut berantakan dan ikat rambut yang kendur, di wajahnya terlihat banyak luka memar dengan tambahan bekas tamparan di pipinya.
"dasar tidak berguna! Kenapa membuat kopi saja kau tidak bisa!"
Pria tadi menumpahkan kopi panasnya ke kepala wanita itu, membuat teriakan sakit yang keras keluar dari mulut wanita itu. Pria tadi menggeram, ia terlihat sangat kesal, ditambah dengan jeritan wanita tadi membuatnya makin pusing. Ia membanting cangkirnya hingga cangkir itu pecah disamping wanita itu dan serpihannya mengenai wajah wanita itu. Jeritan kesakitan kembali keluar dari mulut wanita itu, dan dengan segera pria itu menjambak rambut wanita itu hingga wajahnya menghadap padanya.
"jika kau tidak berguna, maka matilah saja!" ucapnya sambil mendorong kasar kepala wanita itu dan kemudian pergi.
Wanita itu terdiam di posisinya. Ia menangis perlahan menikmati hidupnya yang kelam ini. Pria yang dulu ia cintai sekarang malah menghajarnya dengan membabi buta. Pria yang dulu ia anggap baik sekarang malah memperlakukannya seperti sampah atau binatang yang hina dan sebaiknya mati. Memikirkan itu semua membuatnya benar-benar lelah, ia lelah pada hidupnya, nasibnya, dan dunia ini.
Sementara itu dari bawah meja makan yang tertutupi oleh kain yang lebar, sebuah tangan seukuran tangan anak kecil perlahan keluar. Tangan itu terus bergerak keluar hingga terlihatlah seorang anak kecil dengan wajah imut disertai jejak air mata di wajahnya, ia menatap sedih pada kepala wanita di depannya itu. Perlahan anak kecil itu merangkak keluar dari meja makan kemudian duduk di depan kepala wanita itu.
"hiks... eomma..." isakannya keluar bersamaan dengan tangan kecil yang mengusap kepala wanita yang ia sebut ibu itu.
Perlahan kepala wanita itu bergerak hingga wajahnya menatap anak kecil itu. Senyum lemah terlihat di wajah penuh memar itu, mata wanita itu memerah akibat terus saja menangis, dan ada kantung mata yang terlihat jelas menandakan betapa seringnya wanita itu tidak tidur hanya untuk menunggu suaminya yang pulang larut setelah berjudi dan mabuk. Rasanya ia ingin menjerit keras untuk mengeluarkan rasa kesalnya, tapi melihat anaknya ada disisinya membuat ia lupa atas rasa sakit di tubuh maupun hatinya.
"Woo...Woozi..." ucap wanita itu masih dengan senyum lemahnya. Anak kecil yang dipanggil Woozi itu kembali mengeluarkan air matanya ketika merasakan tangan lembut sang ibu nengusap pipinya.
"Eomma... hiks... eomma gwenchana...? hiks" ucap Woozi dengan susah payah ditengah-tengah isakannya. Ia selalu menangis setiap kali melihat ibunya babak belur karena dihajar ayahnya. Ia menyayangkan dirinya sendiri yang selalu saja menurut tiap kali ibunya menyuruh ia bersembunyi saat ayahnya datang. Ia ingin membantu ibunya, tapi ia tidak bisa berbuat banyak.
"kau melihat semuanya...? Bukankah eomma menyuruhmu untuk tinggal di kamar?" ucap wanita itu pelan. Woozi hanya terdiam dan masih terisak mendengar pertanyaan ibunya.
*. Skip
- Mencicit... mencicit... mencicit... membuat suara itu -
Woozi berjalan masuk kedalam kamar mandi dengan menyeret ember berisi air. Ia baru berhasil membawa ibunya ke kamar mandi, ia membersihkan ibunya dan mengobati semua lukanya. Itulah kebiasan Woozi kecil setiap kali ayahnya selesai menghajar ibunya. Ibunya tak banyak bicara sejak ayahnya senang pulang larut, berjudi, mabuk-mabukan, bahkan sampai selingkuh. Woozi berfikir mungkin sebaiknya ibu dan ayahnya berpisah, tapi ia selalu ingat bahwa ibunya tak pernah ingin meninggalkan ia sendirian.
Slash!
Woozi menuang air hangat dari embernya kedalam bak mandi ibunya. Ia lalu berdiri di kursi kecil kemudian menyabuni tubuh ibunya yang penuh luka memar. Ibunya sendiri hanya meringis dan sesekali mencicit kecil merasakan perih pada tubuhnya. Woozi hanya bisa meminta maaf dan sesekali berhenti bergerak untuk melihat wajah ibunya.
Woozi terdiam sesaat begitu melihat luka goresan yang panjang di punggung ibunya. Ibunya selalu mengalah pada ayahnya. Ia bahkan tidak pernah mengobati lukanya sendiri, mungkin ibunya akan terkena infeksi yang serius jika Woozi tidak mengobati luka-lukanya.
Selesai mengurus ibunya, Woozi membersihkan rumahnya, menyapu semua barang yang dipecahkan ayahnya, kemudian memasakan bubur untuk ibunya, meski bubur itu tidak pernah dimakan oleh ibunya. Woozi melakukan itu untuk meringankan ibunya, tapi kelihatannya percuma saja. Akhir-akhir ini ibunya bahkan tidak mau bergerak dan selalu saja melamun di tempat tidurnya. Woozi takut, bagaimana jika ibunya meninggalkan ia di rumah ini sendirian? Woozi kembali menangis di kamarnya.
Esoknya, Woozi dengan wajah lesu menatap pantulan dirinya di cermin. Ia sedang merapihkan seragam sekolahnya, taman kanak-kanak Carat. Rasanya malas untuk pergi sekolah hari ini, ia ingin di rumah dan mengurus ibunya, tapi tidak diizinkan. Dengan langkah gontai, Woozi mengambil tas kecil birunya kemudian berjalan keluar kamarnya. Ia terkejut begitu melihat ayahnya ada di ruang makan sedang membaca koran. Dimulutnya ada sebatang rokok yang menyala.
Seketika jantung Woozi berdegup kencang. Ia takut pada ayahnya, ia takut jika ayahnya melukainya seperti pria itu melukai ibunya. Woozi baru saja akan melangkahkan kakinya untuk pergi dari sana sebelum ayahnya itu memanggilnya, membuat ia harus menatap sang ayah yang juga menatapnya tajam.
"sudah siap berangkat?"
*. Skip
"kau tidak perlu takut, hyung akan menjagamu disini Hoshi" ucap seorang pria dengan rambut yang diikat pada seorang anak kecil. Pria itu sedang menenangkan seorang anak kecil yang terlihat ketakutan sambil memeluk kaki ibunya.
Anak yang dipanggil Hoshi itu tetap memeluk kaki ibunya dan menyembunyikan wajahnya, membuat sang ibu harus berkali-kali meminta maaf karena ulah anaknya. "Maaf ya, anakku memang seperti ini, dia sangat penakut"
"ah tidak apa-apa ahjumma, wajar jika Hoshi takut untuk meninggalkan ibunya, ini kan kali pertama ia pergi ke sekolah barunya" ucap pria tadi.
"Junghan? Ada apa ini?" seorang pria tampan menghampiri ketiga orang itu, ia menatap pria yang dikuncir tadi dengan bingung. Sementara pria yang bernama Junghan itu menatapnya cemas.
"ah... Seungcheol... ini, Hoshi tidak ingin masuk, ia takut pada teman-temannya dan tetap memeluk kaki ibunya..." ucap Junghan. Mendengar itu, Seungcheol tersenyum kemudian berjongkok untuk mensejajarkan tubuhnya pada anak bernama Hoshi itu.
"nama mu Hoshi kan?"
Hoshi mengerjapkan matanya kemudian mengangguk perlahan. Seungcheol tersenyum kemudian mengeluarkan sebuah coklat dari sakunya.
"kau suka coklat? Ini untukmu" ucap Seungcheol sambil menyodorkan coklat itu pada Hoshi, membuat anak itu mendongak menatap ibunya untuk meminta persetujuan. Ibunya hanya mengangguk dan dengan perlahan Hoshi menjauhkan tubuhnya dari kaki ibunya kemudian mengambil coklat itu. Seungcheol tersenyum lebar, ia mengusak rambut Hoshi kemudian menyebutnya anak baik. Junghan yang melihatnya diam-diam tersenyum menatap Seungcheol.
"kau bisa mendapatkan coklat dariku jika kau mau masuk sekolah"
"benalkah?"
"heum, tentu saja, tapi kau janji padaku untuk masuk sekolah ya?"
"eum! Pinky Plomise..."
"kkk ne, pinky promise. Nah Junghan, kau bisa bawa dia ke kelas sekarang" ucap Seungcheol sambil berdiri dan menggenggam tangan Hoshi. Junghan yang mendengarnya segera tersadar kemudian menggendong Hoshi.
Setelah Junghan dan Hoshi pergi, ibu Hoshi pamit pulang dan berkata ia akan menjemput Hoshi nanti. Seungcheol hanya menjawab sekenanya kemudian tersenyum saat wanita tadi meningglkan dirinya. Setelah mobil wanita tadi pergi, mata Seungcheol melihat seorang anak kecil yang menggenggam tangan seorang pria perokok. Anak kecil itu terlihat sedih, terbukti saat melihat anak itu berjalan sambil menunduk.
"wah selamat pagi Woozi" ucap Seungcheol saat anak bernama Woozi dan pria yang mengantarnya ada di depannya.
"selamat pagi hyungie..." jawab Woozi dengan senyum cerahnya, membuat Seungcheol terdiam melihat perubahan sikap Woozi.
"aku titip dia disini, dan nanti, aku akan menjemput nya" ucap pria perokok tadi dengan dingin. Ia juga menatap Seungcheol dengan dingin.
Seungcheol sendiri hanya tersenyum dan menggandeng tangan Woozi untul membawa bocah itu masuk.
"apa hari ini Woozi diantar appa?"
"ne, hali ini appa belangkat telat"
"baguslah, hyung jadi tidak khawatir melihat Woozi selalu berangkat sendirian"
"hyungie tidak pellu takut, Woozi kan pembelani"
"ahaha, ya tapi Woozi kan masih kecil. Oh, apa ini sepatu baru?"
"ani ani, Woozi yang membelsihkannya"
"wah, Woozi sangat rajin ya? Apa Woozi sering membantu eomma?"
Mendengar kata 'eomma' membuat Woozi terdiam seketika. Bayangan tentang bagaimana wanita itu di siksa dengan membabi buta kembali menghampirinya. Tanpa sadar Woozi meremas tali tasnya dan menatap sedih pada ujung sepatunya. Seungcheol yang melihatnya hanya bisa menatap anak itu bingung.
"Woozi? Apa kau baik-baik saja?" ucap Seungcheol.
Woozi yang mendengarnya langsung menatap Seungcheol kemudian mengangguk pelan. Seungcheol tersenyum kemudian mengusap kepala Woozi lembut.
"jika ada yang ingin kau katakan, katakan saja pada hyung ne?"
Woozi hanya terdiam menatap senyum Seungcheol. Ia ingin bilang, tapi ia takut jika ibunya akan semakin tersiksa. Lama terdiam, Seungcheol kembali menggandeng Woozi masuk ke kelasnya.
Saat pulang sekolah, Woozi terdiam di depan jendela kelasnya. Hari ini hujan deras dan semua anak terlihat bingung menemukan cara pulang. Sebagian sudah pulang menggunakan jas hujan atau payung, sebagian lagi di jemput oleh orang tua mereka. Woozi terdiam menatap tetesan-tetesan air atau bahkan kubangan air. Diantara banyaknya payung dan orang tua, Woozi tidak dapat menemukan orang tuanya. Ia menengok ke belakang dan menatap jam bunga matahari di kelasnya, sudah sangat sore, dan ayahnya belum menjemputnya. Woozi kembali menatap keluar jendelanya. Satu per satu anak-anak pulang bersama ibu atau ayahnya. Woozi merindukan itu, kedua orang tuanya. Disaat Woozi sedang melamun, Seungcheol masuk kedalam kelas bersama Junghan dan menghampiri Woozi.
"Woozi, apa kau tidak punya nomor rumahmu? Nomor ayahmu tidak bisa dihubungi" ucap Junghan sambil memegang pinggang Woozi. Woozi hanya menatap Junghan kemudian menggeleng pelan.
"eomma tidak akan menjemput Woozi"
"kenapa? Apa ada sesuatu?"
"eum... eomma sedang... s-sakit..." ucap Woozi dengan suara yang mencicit di kata akhirnya.
Junghan dan Seungcheol saling tatap. Ini bukan kali pertamanya Woozi bermasalah saat ingin pulang. Tapi melihat Woozi hanya menatap sedih anak-anak yang lain, membuat Seungcheol tidak bisa tinggal diam.
"baiklah, aku akan mengantarmu pulang. Kajja Woozi" ucap Seungcheol sambil mengambil payung. Dengan senyum cerah ia menggenggam tangan Woozi. Setelah izin pada Junghan, Seungcheol mengantar Woozi pulang.
*. Skip
- Ibuku ada disini... hanya lehernya yang akan berputar -
Cklek!
"kajja masuk hyungie" ucap Woozi sambil membuka pintu dan menarik tangan Seungcheol untuk masuk kedalamnya.
Woozi melepas sepatunya dan segera berlari kecil menuju tempat penyimpanan sepatu. Ia meletakan tasnya di kursi meja makan. Sementara Seungcheol hanya terdiam di ruang tamu, ia menatap seisi rumah itu, kecil tapi terlihat luas dan bersih, ia berfikir bahwa ibunya Woozi adalah orang yang sangat bersih.
"hyungie ayo duduk" ucap Woozi yang tiba-tiba sudah di hadapan Seungcheol. Bocah kecil itu mendongak dan tersenyum menatap Seungcheol, salah satu tangannya menunjuk cangkir teh yang ada di atas meja putih itu. Seungcheol tersenyum menatapnya kemudian menuruti Woozi yang menyuruhnya duduk.
"ayo diminum, Woozi yang membuatnya untuk hyung" ucap Woozi dengan senyum cerahnya. Melihat itu, Seungcheol segera meminum teh nya.
"hm, ini enak Woozi"
"kkk benalkah?"
"ne, Woozi pintar"
"hehehe ne..."
cklek
Seketika kedua orang itu berhenti bercengkrama ketika melihat seorang wanita kurus keluar dari salah satu kamar. Seungcheol sedikit terkejut melihat kondisi fisik wanita itu. Tubuhnya sangat kurus dan banyak luka memar di sekitar tubuhnya. Meskipun wanita itu menggunakan sweater berlengan panjang, Seungcheol masih bisa melihatnya di area tubuh lain. Lebih terkejut lagi, saat Woozi berlari kecil ke arah wanita itu sambil berteriak 'eomma'.
'o-orang ini... ibunya?' T-tapi fisiknya...' ucap Seungcheol dalam hati. Ia terus memperhatikan wanita itu dan Woozi yang terus menceritakan tentang dirinya dan harinya di sekolah tadi, dan wanita itu hanya tersenyum atau berkata 'benarkah?' dengan suara yang lemah.
"apa kau yang mengantar Woozi pulang?" ucap wanita itu saat ia sudah sampai di hadapan Seungcheol. Mendengar itu, pria itu langsung berdiri dan bingung harus berkata apa.
"a-ah ne ayahnya tadi tidak menjemputnya, jadi aku memutuskan untuk mengantarnya pulang" ucap Seungcheol dengan senyum kakunya.
Wanita itu tersenyum, ia membungkuk perlahan menimbulkan suara tulang yang samar-samar, wanita itupun berkata "terima kasih anak muda, kau sangat baik"
Melihat itu Seungcheol langsung panik, terlebih lagi saat ia mendengar suara tulang tadi. "ti-tidak apa-apa ahjumma, d-dan sama-sama"
"sebagai tanda terima kasihku, apa kau ingin makan malam di rumah kami?"
"e-eh bukan bermaksud menolak, tapi aku sudah janji pada kekasihku untuk makan malam bersama"
"ho, kau sudah punya kekasih? Kalau begitu semoga kalian berdua hidup bahagia bersama dan selamanya..."
"t-terima kasih ahjumma, kalau begitu aku pulang dulu. Woozi, jangan lupa masuk ya besok?"
"eum! Telima kasih sudah mengantar Woozi pulang hyung"
"n-ne, kalau begitu selamat malam" ucap Seungcheol sambil membungkuk dan kemudian meninggalkan rumah itu dengan cepat.
TBC
