Saat realitas dan khayalan bercampur,
Melebur, menyatu dengan sempurna,
Pikiran menjadi kacau dan tidak terkendali,
Namun, yakinlah,
Dengan berpegang teguh pada keyakinan diri,
Kau akan menemukan jalanmu untuk pulang,
Kembali pada kenyataan yang sesungguhnya.
Kendalikanlah pikiranmu,
Jangan biarkan pikiran mengendalikanmu.
Karena dari awalnya pikiranmulah yang menciptakan semua kebimbangan,
dan kemantapan tersebut.
Tergantung bagaimana dirimu sendiri.
Seperti biasa, aku bangun pagi-pagi. Bekerku yang menjerit nyaring sesegera mungkin kubungkam. Kulirik jarum-jarum yang berputar, berdetak pelan di balik dinding kaca mungilnya. Masih pagi sekali. Terlalu pagi malah. Karena sudah terlanjur terjaga dari tidurku, aku bangkit dari tempat tidur. Berjalan keluar kamar. Menuju kamar mandi. Begitu sampai, yang pertama kulihat di sana adalah wastafel. Dan cerminnya—yang menampakkan seorang laki-laki bermata hijau, dengan sorot pandangan tajam. Pantulan wajahku sendiri. Aku menatap cermin itu lama, memperhatikan sosok yang tergambar di kaca tersebut dengan heran.
Rasanya aku pernah mengalami kejadian yang serupa seperti ini. Sedang mengaca. Tapi, kapan? Aku tidak pernah punya cukup waktu untuk mengaca. Mungkin hanya semacam Déjà Vu.
Kuabaikan perasaan-perasaan aneh yang bermunculan di benakku, dan aku mulai menjalani aktifitas seperti biasanya. Mandi, menyikat gigi, sarapan, dan berangkat. Tentu saja ke sekolah. Mulai hari ini, aku bersekolah di sekolah internasional yang ada di Jepang. Sebenarnya, aku sudah tiba beberapa hari yang lalu di Jepang. Namun, aku baru saja bersekolah di sini. Negeri ini nyaman, asri, dan menyenangkan. Aku lumayan betah di negeri ini. Sampai aku tua pun rasanya aku tidak keberatan tinggal di sini. Perjalanan ke sekolah kutempuh dengan berjalan kaki. Kebetulan, sekolahku dekat dengan rumahku. Pohon-pohon sakura di sekeliling sekolah memekarkan bunga-bunganya. Sampai rantingnya pada keberatan menyangga berat bebungaannya. Murid-murid bersliweran di halaman sekolah. Warna rambut, kulit, dan mata mereka bermacam-macam. Dari ras-ras yang berlainan. Tentu saja, ini 'kan, sekolah internasional. Meskipun letaknya di Jepang, murid-muridnya pasti juga orang-orang asing yang tinggal di sini—seperti halnya diriku. Dengan mantap, kulangkahkan kakiku. Memijak hamparan rumput di gerbang sekolah. Memasuki hidup yang benar-benar baru. Memulai cerita yang baru.
"Kau sudah lama tinggal di Jepang, Arthur-san?" tanya seorang guru dengan kacamata tebal kepadaku. Aku menggeleng. "Ngggg…tidak, Sir. Saya baru saja tiba di Tokyo enam hari yang lalu." "Oh? Begitu, rupanya. Sudah cukup mengerti kebiasaan-kebiasaan sini? Memang, agak aneh tentunya, bagimu. Namun, kau harus cepat terbiasa." "Hmmm—lumayan, Sir. Hanya saja, saya agak kesulitan menggunakan sumpit untuk makan," jawabku, jengah. "Oh? Hahahaha! Yah, lupakan saja. Kau bisa pakai sendok dan garpu, kok. Sekarang, 'kan, Jepang sudah modern." Aku tersenyum. Karena sekolah ini merupakan sekolah internasional, bahasa pengantar yang digunakan di sini adalah bahasa Inggris, pastinya. Tata cara dan peraturannya juga menggunakan peraturan-peraturan ala sekolah-sekolah barat. Jadi, aku tidak merasa terlalu asing di sini. Hanya saja, saat beberapa siswi-siswi lokal lewat di depanku—saat mereka mengobrol dengan bahasa setempat—aku sempat merasa sedikit ganjil. Saat kami berjalan menyusuri koridor, kuperhatikan beberapa isi kelas. Ada yang bermain-main seperti anak kecil. Ada yang tertidur, malah. Hampir semua muridnya tidak memiliki penampilan yang seragam. Meskipun mereka mengenakan pakaian seragam yang sudah ditentukan, namun perawakan dan ras mereka berbeda-beda satu sama lain. "Nah, Arthur-san, kita sudah tiba." Aku mendongak, menatap lurus papan kecil yang tergantung di kusen pintu. Kelas 2-4. Itulah kelasku yang akan menjadi tempat bernaungku sekarang. "Karena wali kelasmu berhalangan hadir, biar saya saja yang akan mengenalkanmu ke teman-teman sekelasmu," kata guru berkacamata tersebut. Begitu pintu dibuka, murid-murid yang asyik mengobrol terdiam. Berlarian ke tempat duduk masing-masing. Tiba-tiba, seorang murid paling depan, di pojok kiri kelas, menyerukan komando pada teman-teman sekelasnya untuk berdiri dan memberi ucapan selamat pagi pada guru. Setelah semua murid mengucapkan selamat pagi, mereka kembali duduk seperti biasa. "Selamat pagi, anak-anak," kata guru tersebut, "Hari ini wali kelas kalian berhalangan hadir karena sakit." Sorakan dan teriakan riang meledak, memenuhi kelas. "Sebagai gantinya, hari ini kalian mendapat seorang teman baru," lanjutnya. Keramaian perlahan lenyap—digantikan bisik-bisik kecil, memenuhi udara. "Ayo, perkenalkan dirimu," katanya, mempersilakanku maju ke depan kelas. Aku mengangguk pelan, kemudian maju. "Namaku Arthur Kirkland. Aku baru pindah dari Inggris. Mohon bantuan kalian semua." Beberapa siswi-siswi cekikikan pelan sambil berbisik-bisik. "Dia lumayan cakep juga, ya." "Ah—kau ini. Kau, 'kan sukanya yang alisnya tebal? Hihihihi…" Beberapa murid juga berbisik-bisik dengan nada serupa. "Anak itu menarik,ya." "Kayaknya." "Bisa dijadiin mainan, nggak, kira-kira?" "Nggak mungkin." "Hmmm…anaknya kelihatan baik, kok."
"Nah," gumam si guru berkacamata—membuyarkan lamunanku, "Sebaiknya Arthur-san duduk di mana, ya…" "Di sini saja, Sir." Kepalaku menoleh ke asal suara tersebut. Seorang siswa—yang tadi memberikan komando ke seluruh kelas—mengangkat tangannya. "Di sini masih kosong, kok." Guru tersebut mengangguk, mempersilakanku duduk. "Baiklah, Arthur-san. Kau bisa duduk di sana saja, ya." Aku berjalan, menghampiri tempat duduk baruku. Saat aku menempati tempat dudukku, teman sebangkuku tersenyum kecil ke arahku—membuatku salah tingkah. Kuperhatikan perawakannya, mungil, pendek. Rambutnya hitam, kulitnya kuning, matanya cokelat gelap. Ciri orang Asia. "Senang berkenalan denganmu. Aku Kiku Honda, tujuh belas tahun," katanya, memperkenalkan diri. "Kau bisa memanggilku Kiku saja. Mohon bantuannya." Aku tersenyum kembali padanya. "Kau bisa memanggilku Arthur, aku delapan belas tahun. Mohon juga bantuannya," jawabku ramah. "Baiklah, anak-anak. Karena tugas saya sudah selesai, saya harus kembali ke kantor dulu. Meskipun tidak ada guru, kalian tolong jangan ribut, ya," kata guru berkacamata, meninggalkan ruangan kelas. Seberlalunya guru tersebut, kelas mendadak ribut kembali. "Honda-saaaaaaan…" panggil seorang siswi dengan manja. "Honda-san, tolong bantuin Eli buat tugas bahasa Jepang, yaa? 'Kan, Honda-san pintar bahasa Jepang…" bujuknya, merayu. Kiku menghela nafas, menggeleng. "Lagi, Elizabetha-san? Kau tidak membuat tugasmu lagi?" "Hehehe…aku lupa. Tolong, dong—Honda-san…kumohon…" Kiku menggeleng lagi. "Tidak bisa, Elizabetha-san. Seharusnya kau mengerjakannya di rumah—dan mengerjakannya sendiri," tolaknya, tegas. Elizabetha mengerutkan bibirnya, dan menggerutu pelan. "Dasar, Honda-san pelit!" Ia mengayunkan rambutnya yang cokelat panjang, berjalan pergi. "Heeeii—murid baru!" Aku menoleh. Seorang siswa dengan rambut perak menyala menghampiri tempat dudukku. "Aku Gilbert Weilschmidt. Salam kenal, ya," ujarnya, sok-sok akrab. Aku tersenyum—walaupun terlihat seperti sedang meringis karena sakit perut. "Oh, iya—Kiku-chan," katanya, sambil menodongi Kiku dengan buku tulisnya, "Tolong bantuin aku buat PR bahasa Jepang, dong. Plis…" Lagi-lagi, Kiku menggeleng. "Tidak bisa, Gilbert-san. Kau juga seharusnya mengerjakannya di rumah." Ia juga terlihat kesal seperti Elizabetha, namun pantang menyerah. "Ayolah, Kiku-chan—siapa lagi di kelas ini yang bisa diandalkan selain kamu?" "Tidak bisa." "Ayolaaah—" "Tidak bisa. Maaf, Gilbert-san." Gilbert ikut menyerah. "Cih—ya, sudahlah. Lain kali, aku minta bantuanmu, ya, murid baru! Jangan pelit-pelit seperti kakek yang ada di sebelahmu." "Errr—namaku Arthur Kirkland." "Oh, iya. Maaf, aku lupa." Seberlalunya Gilbert, Kiku menghela nafas panjang di sebelahku. "Kenapa?" tanyaku. Ia menatapku kosong. "Kau tidak mengerti, sih. Mereka selalu saja seperti itu," jawabnya, pelan. "Maksudmu—minta dibuatkan tugas?" Kiku mengangguk. "Tidak cuma itu," lanjutnya, "Mereka juga memintaku mengerjakan matematika, fisika, kimia, sastra, dan sejarah." Aku meringis. "Tapi, tidak apa-apa, 'kan?" kataku, mencoba menengahi. "Apanya yang tidak apa-apa?" "Tidak apa-apa, 'kan, kalau kau membantu mereka sedikit saja?" Kiku merengut, mengambil buku dari tasnya. "Kalau mereka dibantu sedikit saja, mereka langsung ngelunjak. Belum apa-apa, sudah minta ini-itu. Yang capek itu aku, tahu," omelnya pelan. "Yah, sudahlah. Toh mereka juga menyerah, kok." "Omong-omong, Kiku?" "Ya?" "Kau fasih sekali berbahasa Inggris?" "Ya, aku sudah diajarkan kakekku dari aku masih kecil sekali." "Ooh. Bisa ajari aku bahasa Jepang, tidak?" "Hmmm…boleh. Tapi, agak sulit, lho. Sebaiknya, kau harus serius dan tekun." "NAAAH, LHOOOO—!" Kami menoleh. Ada Gilbert dan teman-temannya. "Kiku curaaang! Dia mau mengajari teman sebangkunya bahasa Jepang, sementara ia menelantarkan sahabat-sahabat seperjuangannya mati di medan perang!" goda Gilbert. Wajah Kiku merona. "E—enak saja! Arthur-san, 'kan, baru saja pindah ke sini! Kalian, 'kan, sudah lama sekali tinggal di sini! Jangan bicara yang nggak-nggak, deh!" tangkisnya kesal. "Aaaaah—cinta baru bersemi di antara murid pindahan baru dengan ketua klub Kendo kebanggaan sekolah!" kata seorang temannya, ikut menimpali—membuat Kiku merona hebat. "Enak saja!" balas Kiku, sambil memonyongkan bibirnya. "Errr—klub Kendo? Apa itu?" tanyaku heran. Aku masih agak asing dengan istilah-istilah yang digunakan di negara ini. "Kau tahu ekstrakurikuler, 'kan? Klub Kendo adalah salah satu ekstrakurikuler olahraga sekolah ini. Olahraga Jepang tradisional, yang menggunakan pedang bambu. Nah, klub olahraga tersebut—di sekolah ini, dikepalai oleh orang yang ada di sebelahmu itu," ujar Gilbert menjelaskan, sambil menunjuk ke arah Kiku. Aku melongo. "…hee…ternyata kau lumayan populer juga, ya…" gumamku, membuat wajah Kiku merah padam. "Oh, iya, Arthur-san. Kebetulan, nanti ada kegiatan klub Kendo. Mau lihat? Hitung-hitung, mungkin kau mau bergabung," katanya, penuh semangat. Aku mengangguk, mengiyakan. "NAAAAAH, LHOOOO—!" Kiku menggeram. "Sudah, Gilbert! Kau dan kolonimu sebaiknya menyingkir saja!" "Hiii—takuuut! Kabur, yuk!"
Ternyata hidup di sini menyenangkan juga.
"Kau kuat sekali," pujiku, saat Kiku mengeringkan rambutnya yang basah oleh keringat dengan handuk. "Ini semua berkat latihan, Arthur-san," katanya, merendah. Para anggota klub lainnya sudah pulang. Kini, tinggal kami berdua saja yang ada di dalam gimnasium sekolah. Kiku merapikan helm, baju pelindung, dan pedang-pedang bambu yang berantakan di dalamnya.
Sendirian.
"Sini, aku bantu," kataku, menawarkan diri untuk membantunya. Ia terkekeh. "Terima kasih," katanya. "Kau seharusnya ikut saja bergabung di sini, Arthur-san. Pasti akan menyenangkan." "Ah, tidak—tidak. Aku tidak pandai main pedang. Lagipula, aku tidak pintar berolah-raga." Kiku menampakkan senyumnya lagi. Senyumnya yang langka, yang semenjak tadi kuperhatikan, tidak pernah diperlihatkannya kepada orang lain. "Kalau mencoba, kau pasti bisa, kok, Arthur-san." Aku menutup lemari tempat menyimpan helm dan pelindung. "Hei, Kiku?" Ia menoleh. "Iya, ada apa?" "Apa kau selalu sendirian seperti ini?" Ekspresi wajahnya berubah, saat aku selesai mengucapkan kalimat-kalimat terakhirku. "Kau selalu membereskan semuanya sendirian seperti ini? Maksudku—anggota klub yang lain—" "Mereka tidak pernah membantuku." "Eh?" Ia memungut handuk yang tergeletak di lantai. Kemudian, mengarahkan pandangannya padaku. Tatapan yang kosong. "Benar. Aku memang selalu sendirian seperti ini. Mereka tidak pernah mau membantuku. Mereka malah melemparkan semua tanggung jawab kepadaku." Aku menatapnya, sedih. "…seperti pagi tadi?" tanyaku. Ia mengangguk pelan. "Tidak apa-apa, kok, Arthur-san. Aku sudah terbiasa." Kuambil sebotol air mineral, kuberikan padanya. "Ini." "Makasih." Ia langsung menenggaknya. "Sudah malam. Pulang, yuk," ajakku. "Nanti saja, Arthur-san. Aku masih harus mengepel lantai dojo," katanya, sambil menyeka keringat yang berlelehan di lehernya. "Hah? Lagi? Sendirian lagi?" Ia mengangguk pelan. "Sudahlah. Jangan khawatirkan aku. Pulanglah duluan. Aku baik-baik saja, kok." "Hei—kau ini—benar-benar—" Aku kehabisan kata-kata untuk diucapkan. Kusambar tongkat pel yang ada di pojok ruangan. "A—Arthur-san?" "Aku bantu, deh." "Hah?" "Aku bantu membereskan ini. Tenang saja." "Ta—tapi—" "Sudahlah, jangan cerewet. Kau kecapekan begitu—sekarang mau mengepel lagi? Istirahat saja dulu!" tukasku. Ia tidak melawan. Hanya duduk dan menontonku kesulitan mengepel lantai kayu yang licin dari jauh—sambil sesekali cekikikan. Selesainya, kami berdua langsung pulang. "Rumahmu jauh, ya?" tanyaku, berbasa-basi. "Tidak juga, Arthur-san. Hanya saja, agak memutar sedikit dari sini. Jalan kaki saja sampai kok." "Hmmm….begitu ya…ah, sudah sampai." Tanpa terasa, kami sudah tiba di depan rumahku. "Ini rumahmu, Arthur-san?" tanyanya. Aku mengangguk. "Kau tinggal sendirian?" tanyanya lagi. "Iya. Kau tinggal dengan keluargamu?" tanyaku. Ia menggeleng. "Tidak," katanya, "Aku dari dulu juga tinggal sendiri." Aku menatapnya, linglung.
Kau—di sekolah, kau selalu sendiri.
Di klub, kau selalu sendiri.
Di rumahmu sendiri juga, kau selalu sendiri?
Bagaimana kau bisa begitu kuat menghadapi kesendirian seperti ini?
"A—Arthur-san? Ada apa?" tanyanya khawatir, setelah menyadari perubahan air mukaku. "Tidak apa-apa. Daripada itu—Kiku, kau tidak merasa—sedikit kesepian, barangkali?" Ia melongo, bola matanya membesar. "…eh…?" "Itu—anu—aku cuma—agak prihatin dengan keadaanmu—di sekolah, di rumah…" "Jangan khawatirkan aku, Arthur-san. Aku baik-baik saja. Aku sudah terbiasa, kok. Sudah kubilang tadi, 'kan?" Matanya yang bulat besar menatapku. Membuat organ-organ dalamku serasa berhenti berputar, bergerak, dan berdenyut. "Kalau begitu," kataku, setelah cukup lama terdiam, "Kau main saja ke sini kapan-kapan. Sekalian, kau bisa mengajariku bahasa Jepang. Pasti akan menyenangkan, bukan?" Ia tertawa kecil. "Kau benar. Mungkin aku bisa berkunjung ke sini akhir minggu nanti." "Nah, Kiku, hati-hati di jalan." "Kau juga, Arthur-san. Selamat malam. Ah—iya—Arthur-san!" Aku menolehkan kepalaku kepadanya. "Ng? Ada apa?" "I—itu—"gagapnya, sembari wajahnya memerah. "Terima kasih banyak sekali untuk hari ini," katanya, sambil membungkukkan badannya. "Sama-sama. Habisnya, aku tidak tahan melihatmu kecapekan tapi sibuk terus begitu." Ia terkikik. "Selamat malam, Arthur-san." "Iya, selamat malam. Hati-hati, ya."
Setelah melambaikan tangan kepadanya, aku menutup pintu. Menguncinya. Begitu kakiku memijak lantai rumah, tubuhku terasa lemas. Rasanya tulang-tulang di seluruh tubuhku mau copot semua. Aku keheranan bukan main. Bagaimana ia bisa melakukan hal-hal yang melelahkan seperti ini setiap hari? Apalagi, menghadapi hal-hal yang tidak mengenakkan seperti seharian ini. Sudah biasa, katanya. Kukepalkan tanganku. Tidak. Tidak. Hal seperti ini tidak boleh terjadi. Tidak akan kubiarkan. Ia tidak akan kubiarkan memikul semua bebannya seperti ini sendirian. Aku tahu, aku akan mencampuri kehidupannya terlalu banyak. Tapi, mau bagaimana lagi?
Aku jatuh cinta padanya.
Pada awalnya, aku mendekatinya karena penasaran. Perlahan, rasa tersebut berkembang menjadi rasa simpati dan akhirnya—cinta. Rasa itulah yang menggerakkanku untuk lebih masuk lagi ke dalam hidupnya. Lebih dan lebih lagi. Karena ia sudah masuk ke dalam hidupku dengan begitu dalam. Aku juga ingin memasuki kehidupannya lebih dalam lagi.
Sayangnya, tanpa kusadari, tindakan tersebut malah makin menyeretku ke dalam kegelapan tidak berdasar. Berpusar dalam lingkaran kebingungan.
Tindakan-tindakanku yang seperti itulah yang akan menyeret kami berdua menuju tebing kesengsaraan, di mana tragedi, air mata, dan kepedihan menunggu.
