Yoo, MINNA! ^^
Ogenki desu ka?
Sebelum Anda sekalian ngomel, "Kenapa ini author lagi-lagi publish fict baru sementara fict lamanya terbengkalai?"
Saya mau ngaku dulu, saya adalah author paling labil di jagad FFn, paling sering kena writer's block, en paling antusias kalo ada yg baru, terus moody banget nerusin kerjaan lama. So, it's me.
Sebenarnya, MEBIUS ini remake dari Denting Rindu. Versi alur mundur-nya gitu. Tapi karena saya rombak habis-habisan, ya, beginilah jadinya. ^^
Dan ada kemungkinan saya apdetnya bakal antara 2 minggu sampai sebulan sekali. Tergantung mood en kesibukan saya. Maaf... *bungkuk dalem2*
Disclaimer :
Hiromu Arakawa lah. Siapa lagi?
Summary :
Kehidupan bagaikan lingkaran Mebius. Terkadang, apa yang kau pikir sebuah akhir, adalah sebuah awal yang sama sekali tidak baru.
Warning :
OOC. Sho-ai (atau mungkin malah yaoi?) in the next chapter in their previous life. RoyxEd (dulu). Royxfem!Ed (sekarang). *ohoho, warning ini penuh spoiler, ya?* *digetok sendal*
Di… mana… aku?
Selamat datang di Gerbang, hei, Manusia.
Ah, begitu. Aku sudah mati, ya? Akhirnya.
Ya, tubuhmu sudah mati.
… dan aku?
Jiwa di dalamnya.
Ah, begitu.
…
Boleh aku bertanya sesuatu?
Apa?
Kenanganku semasa hidup. Mungkin tidak indah. Tapi aku tak mau itu punah bersamaan dengan luluhnya tubuhku...
Apa kau pikir kau akan punah, hai, Jiwa Manusia?
Lalu, apa yang akan terjadi padaku?
Kau akan menetap di tubuh baru. Dan mungkin, kau bisa tetap menyimpan kenangan lamamu di tubuh barumu.
Begitukah?
Ya... jadi, pergilah, hai, Jiwa...
...
Pergilah ke tubuh baru kalian. Temukan satu sama lain dan raihlah apa yang tak kalian dapatkan sebelumnya…
MEBIUS
Prologue
Reborn
Bila rindu ini, masih milikmu.
Kuhadirkan sebuah, tanya untukmu.
Harus berapa lama, aku menunggumu.
Aku menunggumu…
( "Menunggumu" – Chrisye )
Garching, Jerman, 15 Desember 1993.
Seorang pria tegap berambut pirang emas sebahu dikuncir kuda di tengkuk, berusia hampir 40 tahun, sedang duduk dengan tegang di sebuah ruang tunggu operasi Recht der Isaar Krakkenhaus (1). Tangannya saling mengait. Bukan berdoa. Hanya gestur untuk menguatkan mentalnya. Bagaimanapun dia atheis. Dia cukup yakin tak ada seorang-ralat-makhluk pun di atas sana yang akan mendengar doanya.
Tapi setidaknya, jika dia boleh berharap, dia hanya ingin meminta agar istrinya diberi cukup kekuatan untuk melewati persalinan ini. Istrinya yang mungil, yang rapuh sekaligus tegar itu sedang berjuang di ruang operasi untuk melahirkan anak mereka. Demi Kebenaran yang dia junjung tinggi, dia mencintai istrinya melebihi apapun juga. Dia memang menginginkan keturunan, bagaimanapun umurnya sudah hampir setengah abad tapi tidak. Tidak jika dia harus kehilangan Trisha.
Oke, cukup. Sudah cukup pikirannya berkelana terlampau jauh.
"Ooeekk."
Pria itu terperanjat. Mata emasnya berkilat karena kaget. Tangisan bayi.
"Ooeekk!"
Eh? Tangisan lain?
0––00––000––00––0
Trisha Hoenheim terbaring lemah di ranjang rumah sakit yang meski nyaman, takkan pernah senyaman ranjangnya sendiri di rumah. Ia mendesah.
8 bulan 10 hari. Bayi kembarnya terlahir prematur. Dan karena tubuhnya pada dasarnya sudah lemah, kelahiran prematur itu sempat tak hanya membahayakan nyawanya, tapi juga nyawa putra-putrinya. Tapi mereka semua selamat. Suster pun bilang bahwa bayi-bayinya adalah bayi paling kuat yang pernah ia temui.
Trisha tersenyum. Sebentar lagi, putra-putri kembarnya yang manis akan dibawa ke sini. Dia sudah tak sabar melihat mereka lagi. Tadi dia hanya sempat melihat mereka sekilas sebelum jatuh tak sadarkan diri dan konon membuat panik suaminya setengah mati. Trisha sedikit terkikik, tak bisa tertawa keras, luka pasca melahirkannya masih terasa amat sakit. Suaminya itu memang manis sekali. Meski umurnya jauh lebih tua daripada Trisha, selisih umur mereka 18 tahun demi Tuhan, dan dia adalah seorang profesor dalam bidang teknik nuklir yang disegani di Jerman karena kejeniusannya, Van Hoenheim adalah suami yang amat penyayang dan kikuk mengekspresikan perasaannya.
Percaya tidak percaya, Van Hoenheim adalah pemuda yang dulu membantu ibu Trisha ke rumah sakit saat akan melahirkan Trisha dulu. Waktu itu mobil keluarga Elric, itu nama keluarga Trisha sebelum sah menjadi istri Hoenheim, terjebak macet. Pemuda yang waktu itu sedang menimba ilmu di Technische Universität München itu kebetulan lewat dan membantu. Singkat cerita, sampailah Talitha Elric di rumah sakit dengan selamat dan Trisha terlahir ke dunia. Tidakkah terasa seperti Trisha terlahir hanya untuk bertemu Hoenheim?
Dan sangat kebetulan bahwa bertahun-tahun kemudian, lagi-lagi pria itu menyelamatkannya, sangat mengherankan bagaimana bisa pria itu sangat ahli bela diri meski penampilannya sangat tidak meyakinkan, saat tanpa sengaja pria itu terlibat dalam usaha penculikan Trisha oleh sekelompok fans fanatiknya. Dan sejak saat itu juga, Trisha jatuh cinta pada pria yang sangat bisa diandalkan di saat darurat tapi sangat kikuk di saat biasa itu. Dia masih ingat, di awal hubungan mereka yang menghebohkan dulu, dialah yang memulai pendekatan lebih dulu. Hoenheim terlalu keras kepala untuk menyadari bahwa rasa sayangnya bukan cuma rasa sayang kakak kepada adiknya. Sungguh, butuh 3 tahun pendekatan yang berat dan runtuhnya Tembok Berlin untuk membuat seorang Van Hoenheim akhirnya sadar bahwa dia mencintai wanita yang 18 tahun lebih muda darinya itu. Setelahnya, perlu 2 tahun lebih untuk membuatnya melamar wanita itu.
KRIETT.
Pintu bangsal tempat Trisha dirawat terbuka. Tampak wajah lelah Van Hoenheim yang sudah seharian menunggu Trisha berjuang. Betapa tidak?
Hari ini dimulai dengan Trisha dan Hoenheim sarapan seperti biasa. Roti bakar dengan telur mata sapi dan secangkir kopi panas pekat untuk Hoenheim, dan menu yang sama, dengan segelas susu sebagai pengganti kopi untuk Trisha. Keduanya menikmati sarapan dalam kehangatan dapur sementara salju turun perlahan di luar. Mendadak, Trisha merasakan kontraksi di perutnya dan... WUUSHSH! Hoenheim panik sesaat sebelum segera mengambil kunci mobilnya dan tas berisi perlengkapan bersalin Trisha. Syukurlah saat itu keluarga Rockbell, tetangga mereka yang notabene keluarga dokter dan mekanik itu sedang ada di tempat. Pinako Rockbell, wanita paruh baya itu sigap membantu menenangkan Trisha dan memapahnya ke mobil. Sementara putranya, yang kebetulan dokter di rumah sakit setempat segera menelepon tempat kerjanya, meminta rekan kerjanya untuk mempersiapkan segalanya.
1 jam kemudian, Hoenheim harus menerima kenyataan bahwa istrinya tidak mungkin melahirkan secara normal mengingat lemahnya kondisi fisiknya dan memberikan izinnya kepada tim dokter untuk melakukan operasi caesar. Setelah perjuangan keras beberapa puluh menit kemudian, barulah pukul 12.13 waktu setempat calon ayah itu mendengar tangisan anak pertamanya. Disusul tangisan anak keduanya 1 menit 2 detik kemudian.
Hoenheim tersenyum melihat Trisha sudah siuman. Trisha tersenyum melihat suaminya datang, lebih-lebih ketika di saat yang bersamaan dua suster masuk seraya menggendong bayi-bayinya.
Trisha tersenyum. Bayi-bayinya. Dia akan bisa menggendong bayi-bayinya. Yang sudah ia perjuangkan selama 8 bulan 10 hari ini.
Dua suster itu menyerahkan bayi-bayi yang sudah dimandikan dan diselimuti dengan kain katun berwarna gading lembut itu pada ayah ibunya. Meskipun kembar, kedua bayi itu tidak benar-benar mirip. Mungkin karena mereka beda indung telur. Setelah menyerahkan bayi-bayi itu pada orang tua mereka, kedua suster itu undur diri. Tidak mau mengganggu momen yang tak mungkin terlupakan bagi kedua orang tua baru itu.
Trisha terkikik geli. Pemandangan seorang professor Van Hoenheim yang kikuk menggendong putri mereka itu sangat menarik.
"Ada yang lucu?" tanya Hoenheim, setelah duduk di kursi di sebelah ranjang Trisha.
"Kau cocok jadi ayah, ya, Vati (2)?"
Hanya dengan itu wajah Hoenheim memerah. Trisha tersenyum. Dan tak lama, Hoenheim juga tersenyum.
"Karenamu aku bisa jadi seorang ayah. Terima kasih, Trisha…"
Trisha tertegun.
"Kau pasti sudah berjuang amat keras dan menanggung sakit yang tak sanggup kubayangkan…"
Oke, ini mulai mengharukan.
"Kau sudah berjuang keras, Trisha," Hoenheim mencondongkan wajahnya kepada Trisha dan mengecup dahinya lembut, "Aku mencintaimu."
Tidak heran jika kemudian air mata menetes dari pelupuk mata wanita itu kan?
"Kau membuatku menangis di depan anak-anak…"
Trisha menangis, sekaligus tertawa. Bahagia. Hoenheim tersenyum, ganti mengecup pelupuk mata istrinya. Dan bayi dalam gendongan Trisha memilih saat yang tepat untuk menggeliat terbangun.
"D-dia bangun?"
"Jangan panik, Liebchen (3)," ujarnya menenangkan suaminya, yang mendadak sifat gampang paniknya kumat, "Wah, wah, kakakmu belum bangun, kau sudah bangun duluan, Alphonse sayang?"
Hoenheim tersenyum. Ya, mereka sudah memutuskan nama untuk anak mereka sejak dua bulan yang lalu. Alphonse jika lelaki, Trisha yang memilihkan nama, dengan nama tengah Elbertinus. Sementara Hoenheim memilih nama Ethel untuk calon putrinya. Dengan nama tengah Angelina.
Alphonse Elbertinus Hoenheim dan Ethel Angelina Hoenheim. Anak-anak mereka.
Selamat datang ke dunia barumu …
0––00––000––00––0
Berlin, 15 Desember 1993.
Madam Christmas, bar di daerah underground kota Berlin itu tidak pernah sepi pengunjung. Namun sekarang ini siang hari, dan bar yang setiap malam dipenuhi personil tentara maupun warga sipil yang ingin melepas penat itu masih tutup.
Bar mungil itu tipikal bar di seluruh penjuru Jerman, lantai dansa di tengah ruangan, meja-meja dengan kursi dan sofa nyaman di tepi ruangan serta meja bar di kanan pintu masuk. Meski mungil, bar itu termasuk bar favorit di Berlin, mungkin karena waitress di sana manis, pelayanannya menyenangkan dan, well, di sini terkumpul informasi yang terkadang tak bisa didapatkan dengan mudah oleh para polisi sekalipun. Semuanya tampak normal, sampai saat melihat dengan lebih teliti, kau bisa menemukan keanehan di meja nomor 4 sana.
Ada seorang anak laki-laki berumur kurang lebih sepuluh tahun dengan rambut pendek sehitam malam sedang tertidur separuh tengkurap di sofa. Buku tebal bertajuk Molecules: Atomic Lifes jatuh terbuka di bawah sofa, persis di bawah tangannya.
"Ya ampun! Madam, Roy tertidur?" seru Lenka, salah seorang waitress bar itu, kaget, sebelum seruan itu berubah jadi pekikan histeris teredam, "Ukh, manis sekali. Boleh kutowel pipinya?"
Sang ibu angkat, sekaligus pemilik bar itu, Christ Mustang yang sedang mengecek persediaan wiski di meja bar spontan melarang, "Jangan. Tampaknya dia kecapekan karena semalaman keasyikan membaca buku."
"Aku tak habis pikir. Roy itu baru sepuluh tahun kan? Kenapa dia tidak bisa membaca buku yang lebih ringan? Apa ini? Mo-mo..."
"Molecules. Katanya, dia menemukan buku itu di rak buku sekolah dan begitu diperbolehkan meminjamnya, dia langsung membacanya tanpa henti," tambah Christ seraya mengangkat satu krat berisi botol bir kosong dengan mudah.
Meski bertubuh gempal dan lebih kuat dari wanita kebanyakan, Christ cukup cantik dengan rambut hitam khas Latinese dan mata coklatnya yang tajam. Ditambah gayanya yang kharismatik dan seenaknya, dia sukses mengembangkan bar mungilnya dengan baik.
Lenka berdecak kagum, "Baru sepuluh tahun sudah lompat kelas sampai SMA, dan sekarang dia membaca buku yang bahkan judulnya tak bisa kulafalkan? Dia benar-benar bukan bocah biasa."
Christ tersenyum tipis, bergumam, "Seperti ayahnya..."
Uuhh… berisik…
Samar-samar, Roy bisa mendengar pembicaraan di sekitarnya. Tapi dia ingin tidur. Dia sangat-sangat-mengantuk. Sejenius apapun dia, dia tetap bocah sepuluh tahun yang butuh tidur 8 jam sehari. Apalagi di hari libur. Setelah membaca habis buku setebal 400 halaman. Tentang teori relativitas pula.
.
.
"Oh, ayolah... ini kan hari libur! Jangan cuma tidur!"
Suara seseorang. Amat familiar. Suara yang ia rindukan. Selalu.
"Kita bisa membaca, mendengarkan musik seperti yang kau suka..."
Suara itu... suara anak laki-laki? Suara remaja.
"Mumpung aku di Central, nih."
Kenapa dia merasa amat familiar? Siapa anak laki-laki itu? Dan Central? Di mana itu?
"Aku perlu tidur, Ed. Aku dipaksa Letnan lembur semalam..."
Eh? Suaranya kenapa berat begitu? Lho, tangannya besar. Dia... dewasa? Dan siapa itu Ed? Kenapa mendengar dirinya menyebut nama itu membuatnya merasa... rindu?
"Bangun, Pak Tua Pemalas!"
.
"Bangun, Roy..."
Dia memanggil namanya. Lembut. Betapa ia merindukan suara itu. Ia sudah menanti terlalu lama untuk mendengar suara itu.
"Aku datang."
.
.
Mata sehitam malam berkedip. Roy mengerjapkan matanya dan mendadak terduduk. Lenka kaget.
"Ups, maaf. Aku membangunkanmu, Roy?"
Mimpi? Itu tadi... mimpi apa? Kenapa ia tak bisa mengingat mimpinya dengan jelas?
"Sudah bangun Roy-boy?" sapa ibu angkatnya.
Roy tak bereaksi. Pikirannya masih berkelana, mengkaji mimpinya. Matanya tidak fokus. Dia bahkan sesaat tak mengenali tempat ia berada sekarang.
Christ mengangkat sebelah alisnya. Lenka menelengkan kepalanya.
"Roy?" Lenka melambaikan tangannya di depan mata Roy.
Roy menoleh, "Kak Lenka?"
"Guten Morgen (4), Roy, nyawamu sudah terkumpul?" canda Lenka, tersenyum.
Roy nyengir, manis, "Sudah."
Mimpi yang aneh, pikir Roy.Lupakan saja, deh. Toh, itu cuma mimpi.
" Aku ketiduran, ya?"
"Pulas," sahut ibu angkatnya seraya beranjak mendatanginya.
Roy nyengir, "Maaf, Bibi."
"Akan segera kubersihkan kamar mandinya," tambahnya lagi, merujuk pada tugas mingguannya.
Christ tersenyum. Roy adalah putra adik laki-lakinya dan istrinya, orang Jepang yang berimigrasi ke Jerman dengan alas an yang bahkan Christ tak tahu. Makanya Roy memiliki wajah oriental dengan mata serta rambut hitam sekelam malam. Dia juga mewarisi kejeniusan ayahnya yang dulunya peneliti di Lembaga Sains Jerman serta sifat penuh tanggung jawab ibunya. Dan malangnya, kedua orangtuanya meninggal dalam kecelakaan mobil 3 tahun silam. Sejak itu pula, ia diangkat anak dan tinggal bersama Christ yang kakak ayahnya itu.
"Makan dulu sana. Baru bersihkan kamar mandi," ujar Christ, mengacak-acak rambut Roy.
Roy tersenyum, mengambil buku tebalnya dan bergegas ke dapur, "Aku makan dulu!"
"Bocah yang ceria, ya..." komentar Lenka.
Christ hanya tersenyum kecil menanggapinya.
0––00––000––00––0
Terpaksa berpisah.
Dulu.
Dua manusia.
Setelah terjebak takdir yang berpilin.
Dua manusia.
Kini.
Bertemu kembali.
.
.
.
Berjanjilah, siapapun yang terlahir lebih dulu, kita akan saling menemukan.
Dan kita akan berakhir bahagia. Selamanya.
Prologue End.
Note :
(1) Recht der Isaar Krakkenhaus : Rumah Sakit Recht der Isaar.
(2) Vati : Ayah.
(3) Liebchen : panggilan sayang, Dear.
(4) Guten Morgen : selamat pagi.
Saya ngaku dulu, saya gak pernah belajar bahasa Jerman, jadi, semua kosa kata bahasa Jerman di atas, setting, everything about German, I learned them from Google. Ahaha... ^^
Kalo ada yg salah, tolong bantu saya ngebenerinnya, ya...
Sankyu...
Review, ya!
Luv,
sherry
