Sugantea presents;

.

.

Cant Resist You

.

Min Yoongi

Park Jimin

.

.

I always think that i don't like you. I always say to myself that i can't loving you.

But i actually know that my heart, my feeling, can't lie the truth.

That i always thinking about you, care over you, missing you.

That i love you.

.

.

Orang bilang mengendarai sepeda itu asik. Seru. Menyenangkan, mengingatkan kita pada masa kanak-kanak ketika berkeliling kompleks atau balapan di tanah lapang. Mereka bilang naik sepeda itu sehat, menguatkan otot kaki, lebih ramah lingkungan. Dapat mengurangi timbunan polusi udara yang sudah tak terbendung lagi jumlahnya.

Tapi bagi seorang Yoongi, bersepeda itu membuatnya repot. Buang-buang tenaga, ia benci tubuhnya jadi lepek karena keringat. Badannya akan bau dan kausnya harus ia cuci. Rambutnya juga jadi cepat bau, dan pokoknya melelahkan, Yoongi benci segala sesuatu yang merepotkan dirinya. Lagipula siapa yang butuh sepeda kalau masih bisa jalan kaki dan naik kendaraan umun –syukur bisa menebeng teman, kan. Jadi buat apa dia susah-susah naik sepeda?

Salahkan Park Jimin atas ide bodohnya yang entah kenapa membuat Yoongi gemas. Bocah itu terus saja memaksanya bisa naik sepeda dengan iming-iming ingin bersepeda bersama suatu hari nanti. Dan pemuda itu pula yang ngotot ingin mengajari Yoongi mengendarai kendaraan tak bermotor itu. Dan disinilah mereka, menghabiskan sore dengan Jimin yang nampak seperti ayah mengajari anaknya naik sepeda.

Bruk!

Kalau tidak salah kalkulasi, ini sudah ke sepuluh kalinya Yoongi terjatuh mengenaskan. Jimin buru-buru menghampiri sunbaenim-nya itu dan membantunya bangkit. Ia menepuk-nepuk kaus dan celana Yoongi yang sudah makin dekil kena tanah sejak tadi. Ia membetulkan sepedanya dan menata rambut Yoongi yang sudah kumal dan berdebu. "tidak mau lagi."

"segitu saja menyerah. Malu tuh sama anak kecil," Jimin menjawab dengan kerlingan mata jahil mengarah ke seorang bocah sekitar lima tahun yang sedang bersepeda kencang sambil tertawa girang. Parahnya, bocah itu sudah menggunakan sepeda roda dua. Roda dua, man! Lihat bahkan Yoongi masih selalu terjatuh tak peduli berapa kali ia mencoba.

Yoongi mendelik, "aku bukan bocah. Lagipula aku memang tidak ingin bersepeda"

"tapi aku ingin,"

"itu kan maumu, yasudah sana sepedaan sendiri."

Jimin tersenyum pelan menatap Yoongi yang sepertinya tidak sadar sedang menggembungkan pipinya saking kesalnya. Ah, Yoonginya memang manis sekali. "ya, tapi sepertinya hyung masih selalu menuruti kemauanku. Tak peduli sesering apapun kau jatuh dan terluka, hyung masih datang kemari dan berlatih denganku. Bukannya itu berarti hyung juga menginginkannya?"

Yoongi menoleh dengan tatapan terkejut dan blank. Dipikir-pikir benar juga. Kenapa pula ia masih datang kemari kalau memang sejak awal ia tidak ingin naik sepeda; terlebih bersama Park Jimin. Ia jadi bingung sendiri, otaknya mengatakan kalau ia tidak mau datang. Ia tidak suka naik sepeda. Ia tidak ingin kesana menemui Park Jimin. Tapi tubuhnya seolah bergerak sendiri dan berakhir di taman ini dan menemui Jimin, menghabiskan sore yang berangin lembut dengan terjatuh dan pulang penuh luka. Ia tidak mengerti kenapa tubuhnya selalu bereaksi lain dari apa yang ia rencanakan. Rasanya aneh, betapa Yoongi tidak sadar kalau ternyata berada didekat Jimin rasanya sangat nyaman. Eh?

"baik! Aku mau pulang saja, huh!"

Tidak tahan melihat wajah Jimin yang seakan mengejeknya dengan senyuman lebar itu, Yoongi memilih beranjak pulang. Kenapa juga jantungnya harus berdetak cepat sekali seperti mau mati? Ia harus pergi sebelum mati disini. Baru beberapa langkah, Jimin memanggilnya hingga Yoongi harus berhenti sebentar dan menoleh.

Jimin berteriak, "aku suka warna merah!"

"apasih bocah ini." Tidak mengerti, Yoongi hanya menyipitkan matanya dan mencebik sebal kemudian pergi lagi sambil berlari. Ia benar-benar harus pergi karena entah kenapa perutnya geli melihat senyuman Jimin. Seolah ada sesuatu dalam perutnya yang berputar dan melilitnya. Demi Tuhan, Yoongi belum mau mati!

Jimin tersenyum, "aku suka warna merah di pipimu itu, Yoongi hyung."

.

Terkutuklah Doktor Cheon yang tidak pernah lelah mengomel dan memberi tugas ini itu. Disini, di malam yang sesunyi ini, Yoongi sendiri. Tengah meratapi nasib dan menggerutu tentang tugas individu dimana ia dibebani tugas paper lima puluh halaman tentang apa Yoongi juga sudah tidak mau ingat lagi. Terkadang ia menyesal telah masuk jurusan keperawatan tapi mau bagaimana lagi?

Baginya, perpustakaan merupakan satu dari sekian surga dunia. Ia pribadi penyuka ketenangan dan perpustakaan sepi semacam inilah yang membuat Yoongi setidaknya mendesah lega akibat hembusan menyejukkan dari air conditioner. Dan musik jazz yang diputar dengan volume rendah membuatnya duduk dan tenggelam dalam kehangatan dan kelembutan dengan aroma buku yang klasik dan seperti kayu. Ia seolah dibawa ke hutan asri seorang diri yang indah, Yoongi sangat senang.

Masalahnya Yoongi benar-benar harus segera menyelesaikan tugas keparat ini atau ia akan mendapat nilai E untuk mata kuliah di Doktor kurang ajar itu. Hanya saja sumpah demi Tuhan, Yoongi baru dapat asupan makan sekitar tadi pagi itu pun hanya roti panggang dengan keju dan ini sudah hampir jam sepuluh! Wow pantas saja ia kurus kering begini, tidak tambah tinggi pula.

"fuck! Done! Eat that shit, you rascal! I'll spit this shits to you, Doctor freakin Cheon!"

Sekiranya itulah yang Yoongi ucapkan berkali-kali ketika tugasnya sudah selesai. Ia tidak peduli beberapa pasang mata yang bertanya padanya seolah Yoongi ini orang gila yang teriak-teriak sendiri. Baginya itu hanya angin lalu, lagipula Yoongi tipikal pria cuek jadi tidak masalah.

Yang jadi masalah adalah ini sudah sangat larut dan ia tidak tahu lagi mau pulang dengan cara apa. Meski hanya duduk ia sudah lelah karena tidak ada asupan energi sejak pagi. Dan ia yakin betul kalau bus sudah berhenti beroperasi sejak tadi. Yoongi mengacak rambutnya kasar, mendengus keras, dan merintih dalam hati.

Good. Bahkan ponselnya kehabisan baterai. Wow, apakah ini hari kesialan baginya?

Apalah daya, Yoongi hanya bisa jalan kaki. Sekalian beli makan saja, deh. Perutnya juga sudah meraung-raung minta diberi makan. Yah, untungnya mata sipit Yoongi menangkap kedai sushi di arah barat sana sekitar lima puluh meter dari tempatnya berdiri. "sushi satu set,"

"oke." Seorang pelayan yang merupakan gadis muda atau malah mungkin seumuran Yoongi tersenyum lebar dan menyiapkan satu set sushi box pesanan Yoongi. Entah Yoongi sudah terlalu mengantuk atau bagaimana, kenapa juga ia melihat sesuatu seperti... pipi gadis itu merona?

Oh. Sadarlah, Yoongi. Memang seganteng apa dirimu, hah.

Yoongi tersentak begitu sang gadis menepuk pipinya pelan. Bodohnya ia malah melamun disaat begini. Heol, jangan sampai ia dikira melakukan zina mata terhadap pelayan ini. Duh, nanti ia disangka mesum lagi, jangan sampai. Jangan sampai. "berapa?"

Gadis itu menunduk, yang anehnya mirip gerakan malu-malu –kalau menurut Yoongi. "anu –eum, tidak usah saja. Untuk o –oppa, gratis."

"eh? Tapi kan –"

"tidak apa, oppa~! Sungguhan, untuk oppa saja. Hehehe –ah, cepat makan saja. Pasti oppa sudah lapar, kan. Jja, makan saja. Aku traktir," baik hati sekali gadis itu. Kenal saja tidak sudah diberikan pelayanan plus (karena ada embel-embel gratis tadi). Setidaknya Yoongi dapat menemukan sedikit keberuntungan diantara kesialan-kesialannya sejak pagi sampai ia berakhir selarut ini.

Tapi bukan Yoongi namanya kalau langsung menerima, "kau –tidak memasukkan racun atau sianida kedalam sini, kan?"

Gadis itu tertawa, "yah. Kuanggap itu caramu berterima kasih."

Yoongi menukikkan alisnya heran. Ditanya apa jawabnya apa, gadis yang aneh. Aneh tapi baik hati. Yah, lagipula dia sedang lapar jadi makan saja, lah. Mati pun setidaknya dalam keadaan kenyang dan tugasnya sudah selesai. "terima kasih. Lain kali akan kubayar."

Ia pun pamit pulang. Rencananya ia akan makan di halte sembari duduk, syukur-syukur masih ada bus yang lewat. Ia tidak begitu suka makan dalam keadaan berdiri dan masalahnya kedai ini tidak ada kursi jadi mau tak mau Yoongi harus beranjak pergi. Lagipula ia sudah tidak bisa menahan hasratnya ingin bercinta dengan kasur dan bantal di kamarnya. Plus selimut dan lampu redup –ah, membayangkannya saja membuat Yoongi mendesah lega dan merengek ingin segera pulang.

"bayar saja dengan kencan, oppa!"

Demi Tuhan, untung Yoongi sedang tidak makan atau minum. Salah-salah ia bisa tersedak, mungkin. Gila apa gadis ini sudah main tembak begitu saja. Wanita jaman sekarang agresif juga, rupanya. Ingatkan Yoongi untuk jangan pernah kembali ke kedai gila itu. Buru-buru Yoongi tertawa hambar dan berlari pulang. Tidak tahan juga kalau digoda begitu. Rasanya sungguh asing dan geli. Tidak nyaman.

"kenapa rasanya berbeda?"

Yoongi membuka mulutnya lebar dan memasukkan sepotong sushi ke mulutnya. Ia mengunyah lamat-lamat dan menatap jalanan yang sepi dan gelap. Pandangannya agak kosong dan otaknya juga sedikit kosong. Seolah ia tidak bisa memikirkan apa-apa lagi untuk saat ini.

Namun entah kenapa wajah Jimin jadi nampak tak kasat mata? Kenapa bayang-bayang bocah itu justru muncul di benak Yoongi? Entah bagaimana bisa visual Jimin terlintas tanpa diminta, memberikan secercah kehangatan secara tidak sadar. Bahkan Yoongi tidak tahu kalau wajahnya sudah memerah, entah karena dingin atau... karena memikirkan Park Jimin? "kenapa kalau bocah itu yang menggodaku, aku senang sekali?"

Tanpa sadar Yoongi malah tenggelam dengan memorinya tentang Jimin. Bagaimana pria itu tertawa, tersenyum, betapa pria itu nampak lucu saat bergumam. Caranya bicara dan menceritakan sesuatu sangat lucu sampai rasanya Yoongi geli ingin tertawa. Tingkahnya memang kurang ajar tapi seringkali menggemaskan –mengingat Jimin juga tergolong bocah.

Jimin sangat cerah dan hangat, Yoongi mengakuinya. Entah Jimin keturunan penyihir atau peri atau dewa atau apalah, namun rasanya seakan semua orang disekitarnya akan bahagia hanya dengan bertemu tatap dengan Jimin. Dan Yoongi merasakannya, benar-benar membuatnya terperangkap akan jeratan mata cokelat gelap memikat itu. Yoongi seolah ditarik masuk kedalam pesona Jimin yang maskulin dan mengikatnya dengan aura dewasa yang pria itu coba keluarkan. Hanya dengan ditatap, Yoongi mampu limbung dalam sekejap. Bahkan meski Jimin mengedipkan matanya, Yoongi masih terjerat dengan tatapan mata yang tajam menusuk milik bocah itu. Rasanya Yoongi jadi mudah sesak nafas belakangan ini. Entah bagaimana caranya Jimin mampu merenggut kemampuan napasnya yang dulu ia banggakan.

"kenapa jadi memikirkan dia, sih?!" Yoongi melotot dan menggelengkan kepalanya kuat. Menyadarkan diri atas pikirannya yang sudah melenceng jauh dan gila. Buat apa juga dia memikirkan bocah hiperaktif dan tidak kenal lelah macam Park Jimin? Memikirkannya saja membuat Yoongi lelah sendiri.

"memikirkan siapa?"

Yoongi menghela napas, "memikirkan bocah kurang ajar,"

"hm? Kurang ajar bagaimana?"

"seenaknya saja dia masuk pikiranku. Pikirnya aku tidak punya hal yang lebih penting untuk dipikirkan, apa?! Menyebalkan sekali! Sebal! Dia selalu –ah, pokoknya sebal!"

"begitukah? Memangnya siapa bocah kurang ajar itu?"

"dia itu si menyebalkan masokis Park Ji –" Yoongi terdiam sejenak. Ia baru sadar kalau ia tengah berbincang dengan seseorang. Seorang pria yang duduk disampingnya, menanggapi ucapannya dan suaranya –suara yang barusan Yoongi dengar, ia kenal sekali. Be –benarkah?

"Park Jimin?"

.

Hujan mengguyur jalanan cukup deras dan lama. Yoongi semakin merutuk hari yang sudah dia tandai sebagai hari tersialnya. Ia sungguhan ingin pulang dan kenapa juga harus terjebak disini?! Bersama Jimin pula. Mengingat ucapannya beberapa menit lalu, ia malu sendiri. Ia hampir saja mengatakan kalau ia selalu memikirkan si bocah Park Jimin. Dan parahnya si objek malah disini, menyebalkan sekali!

"aku tidak tahu kalau kau suka kepikiran diriku,"

"diam saja kau."

Yoongi tidak tahu lagi bagaimana harus bereaksi. Ia malu setengah mati dan gugup, ia tidak berani beradu tatap dengan Jimin. Ia takut salah tingkah sampai Jimin salah persepsi. Tidak, ia tidak mau membuat Jimin berpikir kalau ia menyukainya. Hell, no. Yoongi tidak menyukai Jimin.

"kau berniat menunggu hujan reda, hyung? Sepertinya tidak akan berhenti dalam satu dua jam."

Yoongi mendelik, "sok tahu kau. Memang kalu dewa langit atau semacamnya, apa?"

Jimin mengendikkan bahu, "yah. Kalaupun memang berhenti dalam satu atau dua jam, tetap saja –kau pulang sangat larut. Mengingatkan kembali, ini hampir jam sebelas malam –oh, ternyata baru saja jam sebelas!"

Merasa tertarik, Yoongi mendekatkan pandangannya ke rolex yang melingkar indah di lengan kekar Jimin. Ia melihat jelas kalau memang sekarang sudah pukul sebelas. Ia berpikir, kalau memang pasti hujan macam ini akan lama reda. Ponselnya mati dan pasti tante sedang kelabakan bingung kenapa ia tidak pulang-pulang sampai selarut ini. Duh, ia jadi dilema sendiri. Ia masih lapar, haus, dan mengantuk sekali. Ia ingin segera rebahan di kasur empuknya dan bergelung dalam selimut beraroma teh hijau kesayangannya. "mau pulang bersamaku?"

"apa?"

"kurasa pendengaran hyung masih bagus,"

"memangnya kau kesini naik apa?" Yoongi celingukan kesana kemari. Mencari kendaraan yang mungkin Jimin gunakan untuk kemari. "aku tidak melihat mobil atau motor disini, kau pasti juga jalan kaki."

Jimin nyengir, "memang. Kau tahu diriku sekali, sih –adaw! Sakit, hyung~"

Usai memberi bogeman sayang di muka Jimin, Yoongi mendengus sebal. Bisa-bisanya dia tertipu oleh bocah kurang ajar ini. Dalam hatinya yang terdalam ia sungguhan berharap kalau Jimin datang dengan kendaraan pribadi dan mengantarnya pulang segera. Tapi dengan sangat konyol (dan di waktu yang sangat tidak tepat) ia malah bercanda –sungguhan tidak lucu!

"tapi aku sudah pesan taksi."

"e –eh? Apa?"

Jimin tersenyum pelan dan manis sekali. Matanya teduh dan hangat, sampai masuk kedalam jiwa Yoongi dan menyalurkan kenyamanan pada Yoongi. Ia serasa dipeluk erat olehnya dan tubuhnya seketika menghangat. Rasanya Yoongi tengah dielus kepalanya dan digumamkan nyanyian lembut pengantar tidur yang nyaman dan penuh kasih sayang. Matanya seketika panas begitu pula wajahnya. Napasnya agak tersengal begitu Jimin berkedip pelan dan menambah lebar senyumnya, rasanya –ugh, membuat Yoongi betulan sakit dada! Nyeri sekali jantungnya yang berdebar tidak karuan begini. "akan datang sepuluh menit lagi, sabar ya, hyung."

Ternyata Jimin memesan taksi lewat aplikasi online? Cerdas sekali, Yoongi tidak kepikiran sampai kesana. Yang ia lakukan malah menunggu hujan reda seperti orang bodoh. Entah kenapa ia ingin berterima kasih pada bocah ini, perutnya sudah geli sedari tadi bahkan sejak Jimin duduk disampingnya dan mengajaknya bicara. Yoongi benar-benar tidak tahu kenapa ia mudah sekali sensitif ketika itu berhubungan dengan Jimin. Rasanya ia lebih ekspresif; mudah marah, merajuk, merengek, sedih, atau tertawa –yah, meski jarang juga ia tertawa dengan Jimin.

Tapi dalam lubuk hatinya, ia selalu tertawa. Tertawa oleh Jimin, karena Jimin, dan untuk Jimin.

"hm? Kenapa melihatku seperti itu?" Jimin menatap heran pada Yoongi yang ternyata tengah memandanginya lekat-lekat.

"sejak kapan kau disini?"

Jimin terkejut sedikit, memangnya sejelas itu ya? Sebenarnya Jimin memang sudah sejak lama berada di sekitar Yoongi, kira-kira lima belas meter dibelakang Yoongi. Sejak pukul tujuh ia melihat Yoongi mendekam di perpustakaan, ia mengurungkan niat untuk pulang dan malah menemani Yoongi –meski Yoongi tidak tahu. Ia pikir skenarionya yang "baru saja kebetulan datang" akan berjalan mulus, rupanya ketahuan juga ya? "hyung bicara apa, sih."

Mendengar jawaban nyeleneh dari Jimin, Yoongi hanya bisa mendengus. "terserahmu, lupakan saja."

Selanjutnya mereka terdiam.

"hyung,"

Yoongi hanya menggumam, terlalu lelah untuk banyak bicara. Jadinya ia menunggu Jimin melanjutkan ucapannya sendiri. "daritadi memikirkan apa? Kulihat hyung melamun terus,"

Ditanya begitu jadi bingung. Malu juga. Masa iya Yoongi harus bilang kalau tadi ia memikirkan Park Jimin? Mau ditaruh dimana mukanya yang ganteng ini? Tapi ia sedikit penasaran, apa ekspresi wajahnya sejelas itu, sampai-sampai Jimin ingin tahu apa yang ia pikirkan. Tapi ia benaran tidak mau –atau sebut saja gengsi –untuk mengakui ia barusan memikirkan pemuda itu. "bukan apa-apa. Tidak penting juga,"

"jadi bagimu aku tidak penting, begitu?"

Mendengarnya Yoongi terkejut dan menoleh. Apa pula maksud Jimin barusan? Memangnya Jimin ini semacam cenayang atau pembaca pikiran, apa? Kenapa bocah ini tahu kalau dirinya lah yang ada dipikiran Yoongi, ini benar-benar aneh dan mengerikan. "anggap saja aku bisa membaca pikiran atau apalah, terserah."

Tuh kan. Sumpah demi Tuhan Yoongi jadi merinding. Ini bocah sungguhan atau sedang bercanda, sih.

"tapi aku tidak sedang bercanda, hyung."

"u –oke, kau malah membuatku takut! Kau nampak sungguhan bisa membaca pikiranku! Kau ini apa-apaan, sih Park Jimin?!" seketika Yoongi takut sampai tak sadar tubuhnya gemetar, matanya berair bahkan mungkin siap menangis. Suaranya merintih tapi memekik siap merengek dan tenggorokannya kering mencekik. Suara rendah yang dikeluarkan Jimin membangunkan bulu kuduk di sekujur tubuh Yoongi meremang. Serta tatapannya yang tajam itu –Yoongi tengah menggigil sekarang.

Jimin merubah tatapannya, "ma –maaf, hyung. Aku tidak bermaksud menyakitimu atau menakutimu, sumpah. Maafkan aku, hyung." Karena gerakan Yoongi yang sangat terbaca kalau ia tengah takut itu menyadarkan Jimin dari mode dewasanya. Terkadang ia sulit mengontrol diri, Jimin merutuki dirinya sendiri –bodoh, bodoh, bodoh.

Bisa-bisanya kau membuat makhluk mungil rapuh macam Yoongi ketakutan. Dasar bodoh.

Jimin meraih jemari mungil Yoongi dan mengelusnya pelan, memberi tatapan hangat dan teduh, dan tersenyum tipis. Dapat ia lihat Yoongi agak sedikit tenang, bola matanya sudah tidak bergerak gila dan napasnya lebih teratur. Ah, dilihat begini Yoongi jadi seratus kali lebih menggemaskan. "maaf,"

Yoongi hanya mampu mengangguk, seluruh tubuhnya sudah lemas. Ia lelah, mengantuk, dan sangat lapar. Ia hanya butuh pulang dan tidur sesegera mungkin. Semoga taksi yang dipesan Jimin akan tiba dalam waktu dekat, malam semakin dingin dan cipratan air hujan hanya memperburuk keadaan saja. Ia ingin pulang, secepatnya. "aku saja yang paranoid, aku lelah dan ingin cepat tidur."

Jimin mengangguk pelan, "sembari menunggu taksi aku mau bicara."

"silahkan,"

"aku menyukaimu."

Lagi. Yoongi sungguhan bisa gila kalau Jimin terus-terusan mengatakannya. Ia jengah dan tidak peduli. Sebenarnya harus sampai mana Yoongi memberitahu Jimin untuk berhenti menyukainya? Sudah jelas kalau ia tidak bisa membalas perasaan Jimin dan kenapa Jimin begitu tolol untuk mendegar dan mengerti bahwa Yoongi tidak bisa. Bukan sekali dua kali Yoongi menolak dengan tegas dan melarang Jimin berada disekitarnya tapi si bodoh itu bukannya menurut malah menjadi. Yoongi tidak tahu harus sekeras apa ia menyakinkan Jimin kalau ia tidak bisa.

Jangankan meyakinkan Jimin, bahkan untuk meyakini dirinya sendiri saja ia tidak mampu. Entah sejak kapan Yoongi selalu memikirkan bocah tolol yang keras kepala itu. Entah bagaimana ia merasa nyaman atas dengungan cempreng yang selalu terdengar disekitarnya. Entah mengapa ia selalu rindu pada bocah ini.

Dan kenapa jantungnya berdegup kencang sekali.

Dulu, seorang Yoongi tidak akan tersentuh atau sekadar merona pada pernyataan cinta dari seorang Jimin. Ia akan memasang wajah datar dan melenggang pergi kemudian secara tegas menolak pemuda itu. Tapi sekarang, entah kenapa wajahnya panas. Matanya panas. Tubuhnya panas. Tangan yang tengah digenggam itu panas. Jantungnya berdegup gila dan seketika napasnya sesak. Kerongkongannya perih dan gatal, kepalanya pening, dan perutnya geli sampai ke ubun-ubun. Ia tidak bisa mengira kenapa tubuhnya bereaksi seperti ini. Kenapa ia bisa gemetar karena ungkapan konyol dari Jimin, kenapa ia hampir limbung hanya karena ditatap dengan senyum yang memesona seperti itu. Astaga, Yoongi bisa mati karena –sial, ini pertama kalinya tubuhnya seperti ini! Apa ini yang disebut sekarat maut?

"kau pernah bilang padaku untuk menyerah. 'Lupakan saja aku, semuanya –senyumku, wajahku, judesku, gaya bicaraku, caraku berjalan, makan, mengomel, mengumpat, dan tertidur'. Tapi apa kau tau, dengan kau bicara begitu aku justru semakin ingin mengetahui dirimu. Caramu berjalan, makan, mengomel, mengumpat, tertidur –semakin hari aku malah semakin memerhatikanmu. Entah kenapa. Aku juga tidak mengerti akan diriku yang seperti masokis ini, kurasa aku memang gila karena semakin kau melarangku aku justru semakin penasaran denganmu –"

" –kau begitu sulit didekati, terlebih sikapmu yang judes dan introvert, aku semakin jauh denganmu. Kau tidak memiliki begitu banyak teman. Aku tidak bisa meminta informasi terkait dirimu, hal apa yang kau suka, yang kau benci, apa hobimu, band favoritmu, cita-citamu, semuanya."

Jimin tersenyum lagi, "kau begitu hebat untuk menutup diri. Kau ahlinya menyembunyikan apa yang kau rasakan. Kau mampu berakting seolah kau manusia terkuat dan cuek, tidak peduli, tak acuh. Tapi entah bagaimana caranya aku tahu, kau, sangat peduli pada sekitarmu. Kau mungkin nampak dingin dan tidak peduli tapi kau diam-diam sangat lembut dan penuh kasih sayang, kau rela berkorban untuk orang yang kau sayangi dan tidak pernah secuilpun merasa terbebani –"

"Jimin,"

" –aku tahu kau pernah memberikan tugasmu atas nama Kim Taehyung yang kebetulan lupa membawa tugasnya. Juga yang menggantikan hutang Kim Taehyung selama bersembunyi, bekerja hampir lima belas jam untuk menghidupi Taehyung, setelah aku tahu –rasanya, aku iri. Aku cemburu."

Jimin menunduk sedikit, "betapa besar arti Taehyung sunbae bagimu. Melihat betapa kau sangat menyayanginya, aku iri. Aku berpikir apakah aku harus bersamamu selama bertahun-tahun dulu agar kau menerimaku? Atau kau memang hanya akan menerima Taehyung saja? Bukan sekali dua kali aku kedapatan kau menatap Taehyung sunbae sebagaimana aku menatapmu."

Mereka berdua saling bertatapan. " –tatapan penuh cinta."

"aku selalu berpikir kenapa aku begitu bodoh untuk menyukaimu. Kenapa aku begitu gila dan tolol untuk menyukaimu. Kau jahat, judes, cuek, dingin, dan menyebalkan padaku. Kau tidak menganggapku ada dan hanya mengomel padaku. Kenapa juga aku harus terus menyukaimu, kenapa aku tidak bisa sedetik saja berpikir untuk berpaling –"

" –tapi nyatanya aku sungguhan tidak bisa." Jimin menggeleng lemah dan suaranya ikut melemah, tahu-tahu Yoongi sudah menangis tanpa suara. Ia hanya mematung dan mendengar Jimin bicara. "aku tidak bisa memikirkan oranglain sebagaimana aku memikirkanmu. Tidak bisa menyukai oranglain sebagaimana aku menyukaimu. Tubuhku serasa tercipta untuk menyukaimu saja, hatiku bagai terkunci untuk meneriakkan namamu saja, otakku rasanya mau meledak karena kau selalu memenuhi pikiranku dengan apapun!"

"aku bisa gila tapi pada akhirnya aku selalu memilihmu sebagai orang yang kusukai, tidak bisa orang lain, Yoongi hyung. Tidak bisa. Aku lemah jika itu tentangmu, aku juga bisa jadi kuat jika itu tentangmu. Aku tidak tahu kenapa –kenapa rasanya sait sekali saat kau menyuruhku menyukai Jungkook saja. Aku –kurasa aku hampir gila dan berteriak disana tapi aku hanya diam. Sejujurnya aku meraung, merintih, mengaum dalam hati, mengerang betapa kau sangat kejam padaku. Kau sangat jahat, Yoongi hyung."

"Ji –Jimin, aku – "

Tahu-tahu tangan Jimin memegang pundak mungil Yoongi, "kenapa –kenapa kau begini padaku, apa benar tidak ada sedikitpun namaku di benakmu? Bahkan untuk sedetik dalam dua puluh empat jam hidupmu? Benarkah aku tidak secuilpun terlintas dalam anganmu bahkan untuk sekali saja? Apa aku sebegitu konyol dan tidak berartinya bagimu? Begitukah?"

"a –aku –"

"Yoongi hyung, tidak bisakah –sekali saja,"

Mereka terdiam, Yoongi hanya sesenggukan karena menangis dan Jimin malah berhenti bicara. Ia jadi ikutan pening dan hatinya sakit sekali mendengar Jimin bicara panjang lebar begitu. Ia baru menyadari betapa ia sangat kejam pada Jimin yang sudah baik hati dan tulus menyukainya. Bahkan jika itu di drama sekalipun, seharusnya Yoongi paling tidak bersikap baik pada Jimin dan nyatanya –penolakan dan sikap tak acuh yang jadi bayaran Jimin.

Ia sungguhan tidak sadar kalau Jimin bisa serapuh itu karena dirinya. Benarkah? Karena Yoongi, Jimin jadi serapuh ini? Ia selalu melihat Jimin yang menari-nari atau jingkrak sana-sini mengelilingi kampus hanya untuk menyapanya, mengiriminya pesan hangat setiap pagi dan malam, membawakannya minum saat main basket, mengantarnya pulang, menemaninya belajar hingga larut, menyemangatinya, bersikap baik padanya, membuatnya tertawa –dan apa ini, Yoongi hanya bisa membalasnya dengan air tuba yang ia minumkan ke Jimin.

"sekali saja, kau ikuti kata hatimu. Bukan logikamu."

Mendengarnya sontak membuat Yoongi terkesiap. Ia tak pernah berhenti terheran-heran mengapa Jimin seolah mampu membaca pikirannya. Seolah Jimin sangat mengerti dirinya, tahu apa yang mengganjal di benaknya, paham apa yang tengah ia gundahkan. Ia akui selama ini ia mengedepankan logikanya dibanding kata hati. Yoongi selalu menolak akan kerisauan hatinya, ia tidak menerima rintihan kata hatinya yang berucap kalau ia menyukai Jimin. Yoongi terus menggeleng ketika pikirannya tanpa sadar membisikkan, ia tertarik dengan Jimin. Yoongi tidak pernah luput untuk marah ketika angan membawa dirinya ke ruang hampa yang hanya ada Jimin disana. Seolah alam bawah sadarnya berusaha mengatakan,

Bahwa ia mencintai Jimin.

Tapi entah bagaimana kali ini Jimin menyihirnya sehingga Yoongi terdiam hingga otaknya kosong. Pikirannya berkabut dan tubuhnya semakin panas. Ia terlampau kaget untuk sadar bahwa mereka sudah berciuman, entah sejak kapan.

Entah mengapa kali ini Yoongi tidak dapat memberi reaksi sebagaimana biasanya. Jika ia bisa selalu memukul kepala Jimin jika seenaknya merangkul, kali ini tangannya justru gemetar hebat. Ketika dulu Yoongi biasa memaki Jimin kalau bocah itu berani memberi wink genit padanya, kini mulutnya terdiam. Kalau dulu Yoongi suka menendang tulang kering Jimin saat bocah itu melakukan skinship, sekarang kakinya jadi lemas, tak berdaya. Yoongi sendiri heran mengapa dia jadi lemah begini, jika dulu ia sangat kuat untuk sekadar membuat Jimin gegar otak.

Cara Jimin menekan bibir Yoongi yang mungil itu menggiring Yoongi ke hamparan bunga yang luas. Ia dibuat terkagum dengan pesona keindahannya. Dalam hati ia mengerang betapa cantiknya aura yang Jimin beri hanya melalui tekanan dalam ciuman mereka. Cara Jimin memagut bibir Yoongi dengan perlahan membuat Yoongi gila. Ia seolah didekap erat diantara padang bunga yang harum dan penuh silir angin sejuk. Pelukan yang ia dapatkan sungguh hangat dan nyaman, hingga tanpa sadar Yoongi menutup matanya dan terbuai.

Kenapa... Ada apa denganku?

Dan tidak berhenti sampai disitu, sapuan lembut di pelipisnya membuat Yoongi melemas. Tubuhnya serasa diajak melayang oleh Jimin dan menari di atas awan. Rasanya menyenangkan sekaligus hangat. Ada sebuah perasaan yang entah apa tapi Yoongi merasa sungguh geli. Perutnya seolah tergelitik sampai ke ubun-ubun. Tapi Yoongi bukan ingin tertawa, melainkan menangis. Rasanya sungguh bahagia, haru, dan aneh. Jantungnya sudah berdetak kencang sekali dan kepalanya agak pusing.

Yoongi tidak pernah mengira berciuman mampu membawanya ke alam yang sungguh indah.

Seolah ditarik ke alam nyata, imajinasinya seketika menghilang dan tergantikan oleh angin malam dan rintik hujan yang masih deras. Nampak Jimin yang wajahnya sudah kusut dan tak mampu ia baca ekspresinya. Yoongi baru saja ingin mengatakan sesuatu namun lidahnya kelu, napasnya juga habis usai berciuman tadi. Dari raut wajah Jimin yang serius, tiba-tiba Yoongi merasa aneh. Ada sesuatu yang janggal dan seketika perasaannya tidak enak. Tiba-tiba ia merasa khawatir, takut, dan panik. Sebenarnya, apa yang dipikirkannya?

"lupakanlah, bahwa aku mencintaimu."

.

.

.

Jika bicara tentang manusia paling baik hati didunia, maka Yoongi akan mengatakan dengan lantang, Jimin lah orang yang pantas mendapat predikat itu. Seorang Park Jimin lebih dari sekadar baik hati, dia lembut dan penuh kasih sayang. Terlepas dari sikapnya yang kurang ajar dan genit, Jimin layak mendapat nilai minimun sembilan dari sepuluh.

Pernah suatu ketika, entah terlalu lelah atau terlalu fokus dengan musik yang mengalun dari earphonenya, Yoongi berjalan dengan oleng sampai hampir masuk lubang galian di jalan yang sedang direnovasi. Dan entah darimana Jimin muncul, yang jelas tubuh Yoongi sudah ditarik dan malah Jimin yang jatuh ke lubang itu. Yoongi sudah marah-marah sambil menangis tapi Jimin hanya diam dan tersenyum bak orang gila,

Tidak masalah, selama kau baik-baik saja.

Bah! Dasar orang gila, tubuh Jimin sudah kotor dan lecet sana-sini. Bahkan sikunya sudah berdarah dan bocah itu malah seenaknya bicara seperti pahlawan. Itu membuat Yoongi mengamuk dan berakhir dirinya mengobati luka Jimin. Yoongi tidak habis pikir bagaimana bocah seperti Jimin bisa bertindak seperti orang bodoh. Bagaimana ia dengan sukarela menjadikan dirinya tumbal untuk terjatuh dalam lubang yang sejatinya itu jebakan untuk Yoongi? Apa tidak cukup hanya menariknya menjauh, kenapa ia sampai repot-repot terjatuh kedalam sana? Salahkan Jimin yang memang ceroboh dari lahir.

Namun sebuah pemikiran ganjil selalu singgah di benaknya, mengapa Jimin seperti malaikat? Ia seakan selalu ada dimana Yoongi membutuhkannya, entah secara sadar atau tidak. Yang jelas tahu-tahu Jimin sudah ada di sekitarnya untuk membuat hidupnya cerah. Ketika Yoongi kelaparan, seketika Jimin datang dan menyuapinya sandwich tuna. Ketika Yoongi terjebak hujan karena lupa bawa payung, disana Jimin memberikan payungnya –dan Jimin berlari pulang menembus hujan sendirian.

Jimin selalu memerhatikan dirinya, kesehatannya baik fisik maupun mental. Tidak jarang Jimin datang menemui Yoongi dan bersenandung merdu mengantar Yoongi tidur. Dan tanpa sadar Yoongi selalu terbuai dengan alunan lembut dan manis dari mulut Jimin. Lullaby yang Jimin hantarkan sangat manis dan menenangkan, membuat Yoongi terpana dan melupakan masalahnya kemudian jatuh tertidur. Entah bagaimana Jimin selalu mampu memadamkan api dalam pikirannya, selalu dapat membuatnya lupa, mampu membawanya kedalam ketenangan, bisa dengan mudahnya menenangkan dirinya yang bak badak mengamuk.

Dan sensasi seperti ini yang tidak bisa ia dapatkan dari Taehyung.

"dasar pabo, Jimin pabo! Bagaimana mungkin bisa aku melupakannya –dasar pabo!"

Bagaimana bisa Yoongi melupakan seorang Jimin yang sudah amat tulus mencintainya tanpa syarat dan tanpa pamrih itu. Tidak ada yang mampu menyaingi kasih sayang seperti yang Jimin berikan, tidak akan ada orang lain yang bisa melakukan apa yang Jimin lakukan untuk orang yang ia sayang, tidak bisa sembarang orang rela berkorban seperti apa yang Jimin lakukan selama ini untuk Yoongi.

Yoongi mendengus, "kau menciumku begitu bagaimana bisa aku melupakannya!"

Sialnya, meski sudah meraung ingin segera pulang dan tidur nyatanya begitu sampai rumah Yoongi malah tidak bisa tidur dan terus kepikiran ciuman mereka. Rasanya sungguh manis dan geli, Yoongi benar-benar tidak menyangka ia bisa menikmati hal intim gila seperti itu! Meski malu, ia akui ia senang sekali Jimin menciumnya seperti itu –lembut, perlahan, penuh irama, dan memabukkan.

Jika Jimin menyuruhnya untuk melupakannya, bohong jika Yoongi mengiyakan dan melakukannya. Yang ada ia ingin bertemu dengan Jimin. Sejak hari itu, ia tidak melihat Jimin dimana pun. Ketika mereka sampai dirumah Yoongi, senyum Jimin kala itu adalah hal terakhir yang bisa Yoongi ingat. Setelah itu, tidak ada Jimin. Tidak lagi melihat senyum nakalnya. Tidak lagi mendengar suara cemprengnya. Tidak lagi merasa gaduh karena tingkah konyol Jimin. Ia menyentuh dadanya yang rasanya aneh,

Entah kenapa, rasanya hampa sekali.

"bro, wajahmu carut marut sekali. Kangen Jimin, pasti."

Yoongi mendelik, "berhenti bersuara seperti om-om di telingaku, Taehyung." Tapi benar juga sih, dipikir-pikir memang ia sedang rindu sekali dengan Jimin. Wajar kan, jika biasanya ia diganggu sampai gila dan sekarang pengganggu itu hilang... rasanya sepi dan janggal. Ada sesuatu yang hilang dan hampa, kosong, tidak berarti.

"sudah, deh. Ngaku saja kau, memangnya Jimin pergi kemana sih? Biasanya juga kalian seperti induk ayam dan anaknya –selalu bersama kemanapun." Taehyung mengemut lollipopnya perlahan dan menatap langit. Kini mereka sedang mencari udara segar, mumpung sedang istirahat makan siang. Tapi baik Taehyung maupun Yoongi tidak ada yang berniat makan sama sekali, jadi mereka berakhir di tempat favorit mereka –kolam ikan.

Yoongi menggigit bibirnya pelan, "menurutmu... apa salah kalau aku –aku merindukan dia?"

Hening sesaat, Yoongi tidak berani menatap Taehyung yang mungkin sedang memasang wajah gelinya. Sahabatnya ini kan memang suka mengerjainya, barangkali ia tertawa karena ucapan konyol Yoongi kan malu juga, ah.. harusnya memang Yoongi tidak usah bertanya saja! Memalukan!

Tapi ketika sebuah elusan lembut di kepala Yoongi singgah, ia berani menoleh dan justru ia mendapati Taehyung tersenyum lembut padanya. Entah apa maksud pandangannya tapi Yoongi yakin itu tatapan yang mengatakan bahwa ia bahagia –tunggu, bahagia kenapa?

"jujur padaku, Yoongi. Apa yang kau rasakan saat ini?"

Butuh tiga detik untuk Yoongi kemudian menjawab, "rasanya hampa. Ada sebuah ruang kosong yang gelap didalam pikiranku. Ruangan itu terkunci dan aku tidak bisa membukanya, hatiku sakit, dan tubuhku lemas semua. Aku seharian badmood dan tidak nafsu makan. Tidak fokus dan tidak bisa berpikir dengan jernih. Kepalaku pusing dan rasanya seperti mau meledak –"

" –kupikir karena aku kurang tidur. Tapi nyatanya aku tidak bisa tidur! Ada begitu banyak hal yang memenuhi pikiranku sampai rasanya aku bisa gila dan –"

"dan itu adalah...?"

Jimin. Yang memenuhi pikiranku adalah Park Jimin.

Lidahnya kelu untuk menjawab pertanyaan Taehyung barusan. Entah mengapa tenggorokannya tercekat, ia tidak mampu berkata lagi dan otaknya seketika kosong. Meskipun tiba-tiba saja ada perdebatan lagi didalam dirinya. Kenapa tanpa sadar aku memikirkan Park Jimin? Lagi dan lagi?

Tangan Taehyung turun ke bahu mungil Yoongi, "ada suatu waktu kau harus mengikuti apa yang hatimu katakan. Masa dimana perasaanmu lah yang menjadi cahaya dalam kegelapan yang dapat membimbingmu menjemput sebuah jawaban yang selama ini kau cari, Yoongi-ah."

Yoongi mendengarkan namun ia masih belum begitu paham apa yang Taehyung maksudkan. Sebenarnya seberapa jago sih, Taehyung dalam literatur bahasa? Caranya menyusun sebuah kata membuatnya pusing saja! "aku tahu kau ini orang yang bagaimana, love. Tapi kau harus meruntuhkan egomu dan singkirkan logika bodohmu bahwa kau tidak sedikit pun tertarik padanya."

"a –apa maksudmu?"

"dari apa yang kau katakan, itu sudah jelas sekali, Yoongi-ku sayang."

Kadang Taehyung suka gemas kalau Yoongi jadi orang yang kebingungan seperti ini. Wajah blank dan kedipan matanya yang polos itu sungguh imut dan membuat Taehyung berdebar-debar saking menggemaskan sahabatnya ini. Eh, astaga –ingat Jungkook, man.

Taehyung menambahkan, "kau hanya perlu mengalah pada dirimu sendiri. Musuh terbesarmu adalah kau dan pemikiran rumitmu itu. Ini adalah hal sederhana tapi kau memang senang membuat segala sesuatu jadi ruwet. Begini, maksudku adalah, kau harus mendengarkan apa yang perasaanmu katakan tentang Jimin dan coba dalami itu, renungkan bagaimana kau menganggap seorang Jimin dalam hidupmu –"

" –ingat momen yang telah kalian ciptakan bersama, kenangan yang membuatmu bahagia dan sedih, asalkan itu ada Jimin disana, ingat dan resapi itu. Meski keras kepala, aku yakin kau akan luluh. Coba ubah cara pandangmu terhadapnya dan tanya lagi pada dirimu sendiri."

Apakah.. aku menyukai Jimin?

.

.

Baiklah, kali ini ia akan mendengarkan nasihat dari sahabat konyolnya itu. Fine, Yoongi akan mengalah pada dirinya sendiri dan berusaha mendengar apa yang hatinya katakan. Oke, mulai sekarang ia akan menerima apapun yang perasaannya ucap.

Entah mengapa terdengar seperti Yoongi mulai menerima kenyataan kalau ia menyukai Jimin, ya?

"aish, masa bodoh lah... aku lapar." Sibuk merenung membuat Yoongi kelaparan dan berjalan menuju cafetaria terdekat. Ia baru saja dari apartemen Taehyung, Namjoon menyuruhnya datang untuk menawarinya sebuah project lagu yang akan pria tampan itu selenggarakan tiga bulan mendatang. Melihat peluang, Yoongi setuju dan langsung bekerja.

Sayangnya baik Namjoon atau Taehyung tidak ada yang bisa diandalkan dalam memasak dan Yoongi sudah kelaparan, jadilah dia memilih untuk makan diluar atau ia mungkin sudah pingsan kehabisan tenaga. Membuat lagu tidaklah semudah yang dibayangkan, menguras tenaga dan pikiran.

Yoongi senang sekali datang ke cafe The Min's. Suasanya yang cozy dan seperti rumah sendiri itu nilai tersendiri baginya, kadang ia suka menghayal kalau mungkin saja pemiliknya ini keluarganya –mengingat nama cafe ini sama dengan marganya, kali saja ia bisa makan minum disini gratis, kan.

Ia tengah mengunyah pasta carbonara ketika matanya bertemu sesuatu yang tidak diduga. Sesuatu yang mampu membuat Yoongi lupa dan berdebar-debar. Nafasnya seketika terenggut dan dadanya sesak, matanya memanas dan penuh airmata ketika ia sadar ia akhirnya melihat hal berharga dalam hidupnya.

Park Jimin, kau disini, Park Jimin?

Tanpa sadar ia berdiri dengan semangat dan melambai, "Park Jimin, Park Ji –"

"oppa, teganya kau meninggalkanku."

Tu –tunggu, kenapa gadis mungil itu berjalan mendekati Jimin? Bahkan Jimin menoleh padanya dan terkikik geli sampai mengusak rambut gadis itu?! Astaga, sebenarnya siapa gadis itu? Dan apaan pula gadis itu tadi memanggil Jimin –oppa? Oppa dalam arti apa, ini?

Oh Tuhan, jangan buat Yoongi kembali bingung. Entah kenapa dada Yoongi semakin sesak –bukan karena bahagia tetapi lebih karena sakit dan tidak suka melihat Jimin bergandengan tangan dengan orang lain, khususnya jika itu bersama wanita. Lidahnya seketika kelu dan tubuhnya kaku serta canggung, ia kembali duduk dan termenung. Memikirkan siapa kiranya gadis yang bersama Jimin tadi,

Tanpa sadar Yoongi menggigiti kukunya, "tidak mungkin... tidak mungkin gadis itu..."

Gadis itu... bukan pacar Jimin, kan?

.

Katakan Yoongi gila, bodoh, keparat, penguntit, tidak punya kerjaan, atau apalah. Ia sendiri juga tidak tahu kenapa ia sampai rela mengikuti kemana Jimin dan gadis manis itu pergi. Sejak tadi Yoongi sudah menahan amarah, rasanya kesal sekali melihat Jimin bersikap sangat manis dan gentleman pada wanita itu. Melihat Jimin sangat lembut sekaligus tampan membuat Yoongi mengerang sendiri –kenapa harus pada gadis itu? Memangnya siapa dia?

Sejauh yang Yoongi tahu, Jimin adalah seorang gay. Buktinya ia menyukai Yoongi dan –oke, mereka sudah berciuman dan oh, jangan lupa kalau Jimin yang mencium Yoongi duluan. Jadi sudah jelas kalau Jimin adalah seorang gay –dan mana mungkin ia tertarik pada perempuan. Tapi dilihat dari sudut pandang manapun, nampak seperti mereka adalah sepasang kekasih. For God's sake! Yoongi tidak tahan lagi, buat apa juga ia disini seperti orang bodoh? Lebih baik ia pergi –

"oppa, kita duduk-duduk dulu sebentar?"

oke, sepuluh menit lagi. Sepuluh menit lagi dan Yoongi akan benar-benar pulang.

Yoongi merapatkan masker hitamnya dan menurunkan topi baseball hitamnya. Memang terlihat seperti penguntit mencurigakan sih, tapi masa bodoh lah. Ia sudah mati penasaran dengan Jimin dan gadis itu. Ia mengamati dua orang diseberangnya, yang malah membuat Yoongi semakin sebal saja. Ingin sekali ia menghampiri Jimin dan memukul wajah idiot itu sampai mampus. Apa-apaan itu tangannya malah mengelus kepala gadis itu? Sial, kenapa suasananya jadi rumit begini sih.

"tumben kau manja sama oppa,"

Cih. Oppa katanya? Sial, mengapa juga Yoongi harus merona –sebenarnya, ia tengah membayangkan kalau gadis itu adalah dirinya. Membayangkan Jimin menyebut dirinya sendiri oppa pada Yoongi membuatnya gila. Astaga, ini bahkan bukan waktu yang tepat, "tumben juga oppa baik padaku, lol. Omong-omong, benar nih, tidak apa oppa pulang larut –ini hampir jam sepuluh, loh."

Oh, gadis itu punya tata krama juga rupanya.

Jimin tertawa dan mencubit pipi gadis itu, "aku ini laki-laki, tahu. Justru aku yang harusnya bertanya gitu padamu. Kau yakin tidak apa?" nampak sang gadis terkikik pelan. Wajahnya merona sedikit hingga menjadikannya semakin manis saja. Sial, entah kenapa jantung Yoongi berdetak keras sekali. Sejenak ia berpikir, apakah ini yang dinamakan cemburu?

"asalkan aku bisa mengingatnya, tidak masalah."

"kita sudah mengambil foto dan mencatatnya, kau tidak akan lupa."

Sejenak wajah gadis itu tersenyum palsu, "semoga saja. Walau akhirnya pasti aku akan lupa, oppa."

Dapat Yoongi lihat sisi tangan Jimin yang berjauhan dari sang gadis mengepal kuat dan sedikit gemetar. Wajahnya juga mengeras dan tubuhnya menegang meski tidak begitu kentara. Tatapannya agak sedih dan ia bungkam, entah kenapa rasanya ada yang aneh dari percakapan mereka. "aku punya hadiah untukmu."

"serius?! Aku juga menyiapkan satu untukmu, oppa!"

"benarkah?"

Jimin nampak bingung dan sedikit terkejut sementara gadis itu tersenyum lebar sampai matanya tenggelam menjadi satu garis –manis sekali. Yoongi melongok, apa kiranya hadiah yang akan Jimin dapatkan? Ia tidak melihat gadis itu membawa tas atau kotak hadiah, mungkin bukan sebuah benda yang begitu besar? Tapi entah kenapa ia jadi penasaran.

Chup.

Baik Jimin maupun Yoongi sama-sama terperanjat. Tidak ada satupun dari mereka yang mengira kalau gadis itu akan mencium Jimin. Dan nampaknya Yoongi yang paling terkejut, karena ia masih mematung meski sang gadis sudah menjauhkan bibirnya dari pipi tirus milik Jimin –yah, gadis itu mencium pipi Jimin.

"terima kasih atas segalanya."

Bergerak, bodoh. Kenapa kau diam saja, Jimin? Hei, Jimin pabo!

Yoongi tidak mengerti kenapa Jimin malah terdiam seperti orang idiot dan menatap gadis itu dengan nanar. Ia tidak tahu kenapa Jimin seperti orang yang paling terkejut disini, reaksi Jimin hanya diam dan tubuhnya kaku. Yoongi sudah lama menunggu bagaimana Jimin bereaksi tapi nyatanya bocah itu tetap diam, meski sang gadis sudah tersenyum lebar sekali. "kuharap, semoga saja, kau selalu ada dalam ingatanku."

Dan ia sungguh menyesali keputusannya untuk menetap disini karena rasa penasarannya. Otaknya kosong dan matanya berkabut begitu melihat reaksi yang Jimin berikan sungguh tidak seperti yang Yoongi bayangkan. Yoongi rasa ia mungkin bisa mati sekarang karena napasnya sesak sekali dan tubuhnya sudah lemas lunglai.

Ketika Jimin mencium bibir gadis itu, Yoongi merasa dunianya sudah berakhir.

Ia tidak peduli lagi jika harus mati konyol dijalan karena tertabrak atau apa. Yang jelas ia tidak mau melihat adegan kurang ajar itu lebih lanjut. Ia tidak kuasa untuk sekadar berkedip dan menarik napas lebih lama jika berada disana. Rasanya perih dan menyakitkan, sungguh pedih dan ironi.

"Jimin sialan, kau –kau, ugh, bedebah kau –"

Yoongi berlari kesetanan tanpa arah jelas. Kemana saja, asal ia bisa pergi menjauh dari dua insan yang di mabuk asmara sialan itu. Ia terus berlari meski orang-orang sudah menyumpahinya karena sudah menabrak sana-sini. Persetan. Ia tidak peduli dan tidak mau tahu, ia hanya bisa lari, lari, dan lari. Semakin jelas ingatannya tentang bagaimana Jimin mencium gadis itu, membuatnya semakin kuat berlari. Ia sudah lupa jika sandalnya sudah tertinggal entah dimana. Ia sudah tidak sadar jika telah berlari dengan telanjang kaki.

Jika nanti kakinya harus terluka atau tergores, Yoongi tidak peduli. Entah kenapa sesuatu didalam dadanya lebih terasa perih dibanding telapak kakinya yang entah sudah separah apa lukanya. Ia berlari semakin kencang mengalahkan angin malam, berusaha menembus waktu yang rasanya terlalu mencekik lehernya sampai Yoongi sesak napas. Airmatanya sudah mengalir deras seperti musim hujan, tidak mau berhenti dan malah semakin deras. Ia tidak mengerti mengapa ia tidak bisa mengontrol dirinya untuk berhenti berlari dan menangis. Ia hanya merasa harus melakukannya –dan hanya ini yang bisa ia lakukan.

Topi dan maskernya sudah tertanggal sejak tadi, kini rambutnya tertiup angin dan acak-acakan. Wajahnya sudah kusut dan matanya merah membengkak. Napasnya jadi pendek-pendek dan matanya berkunang. Tubuhnya keringat dingin dan ia terjatuh,

"brengsek kau, beraninya –ugh,"

Yoongi mengusak airmatanya kasar dan bangkit kemudian berlari lagi menembus malam yang semakin gelap. Ingatannya ketika dirinya dan Jimin berciuman beberapa hari lalu membuatnya pening dan semakin kuat berlari. Airmatanya mengucur deras ketika ia ingat rasanya ketika mereka berciuman kala itu. Ia tersandung dan oleng ketika sekelebat memori tentang bagaimana ia terbuai oleh ciuman Jimin. Tanpa sadar Yoongi meraung ketika ia ingat bagaimana lembutnya Jimin menekan bibirnya dan mengusap lembut pelipisnya kala itu. Yoongi berhenti ketika ia ingat bagaimana Jimin menatapnya lekat usai berciuman.

Dengan napas yang tersisa, ia berteriak kencang pada langit ketika ia mengingat senyum terakhir yang Jimin berikan malam itu.

.

.

"aku tidak tahu kau pandai memasak, Jungkookie."

Jungkook menyuap sesendok besar bibimbap ke dalam mulutnya dan menukikkan alisnya heran. Yah, memang benar sih, rasa masakannya lumayan. "bibimbap sih, semua orang juga bisa, Taetae hyung."

Taehyung menegakkan badannya, "kalau aku yang buat rasanya kayak nasi sayur basi."

Sebuah tawa mengalun, "yah… kalau kau sih pengecualian, hyung. tergantung amal dan perbuatan, sih."

"maksudmu aku penuh dosa, begitu?! Kemari sini kau!" taehyung meletakkan sendoknya dan berlari mengejar Jungkook yang sudah kabur kesetanan sambil terbahak. Menyenangkan sekali rasanya memiliki quality time dengan Taehyung, Jungkook mesti bersyukur ketika Namjoon seonsaengnim menelponnya dan tiba-tiba menyuruhnya menginap karena ia harus ke Apgujeong untuk urusan pekerjaan. Jadilah mereka menghabiskan waktu berdua dan karena lapar, Jungkook memutuskan untuk memasak daripada pesan –kelamaan, katanya.

"oke, aku sudah capek –"Jungkook sudah lelah berkeliaran dan memilih menyerah, namun Taehyung malah tetap pada kecepatan mengejarnya hingga tanpa sengaja menubruk Jungkook yang berdiri membelakangi sandaran tangan sofa putih milik Taehyung. Mereka berdua tersandung dengan posisi awkward dan... sedikit – erotis, barangkali?

Tubuh Taehyung yang kurus tapi kekar itu menindih Jungkook yang wajahnya sudah memerah dan berdebar-debar itu. Dilihat dari dekat, Taehyung luar biasa tampan dan perfectly perfect. Mereka memang sering melakukan skinship tapi Jungkook tetap saja mudah merona dan gugup kalau wajah Taehyung sudah dekat sekali seperti ini! "hey, Kookie. Kau tahu –aku masih lapar."

Kurang ajar! Kalimat itu terdengar ambigu sekali jika Taehyung yang mengatakannya. Terlebih apa-apaan dia malah menjilat bibirnya sendiri dengan sok seksi dan menatapnya birahi –tunggu, birahi? Demi Tuhan, kegiatan intim mereka sejauh ini hanya ciuman saja dan itu pun tidak sering-sering mereka lakukan, Taehyung bilang ia takut lepas kendali. Mengingatnya membuat Jungkook merinding, kalau mau tahu. Dan sekarang –astaga, sejak kapan Taehyung sudah menggigit telinganya?

"h –hyung, a –aku –"

Ding!

Sontak akal sehat Jungkook kembali dan dengan segera ia mendorong Taehyung sampai ia tersungkur dengan tidak elite-nya. Maunya sih Jungkook tertawa tapi ia masih gugup dan jantungnya masih berdebar tidak karuan. "ah, sial. Siapa sih bertamu malam-malam begini,"

Taehyung melirik Jungkook yang wajahnya masih merah, "mengganggu makan malamku saja."

Dengan tidak manusiawi Jungkook mendelik dan melempar bantal ke muka Taehyung yang nampak sangat menyebalkan itu. Ah, memalukan sekali. "MESUM!"

.

DING DONG DING DONG DING DONG!

Sempat Jungkook pikir seseorang diluar adalah orang gila. Orang waras macam mana yang akan bertamu jam sebelas malam dan menekan bel seperti orang kesetanan begitu? Mendengarnya membuat pusing. Kenapa juga harus dia yang membukakan pintu? Karena ia tidak tahan melihat senyum nakal Taehyung, dasar om-om cabul. Mungkin ia harus diberi sedikit pelajaran.

DOK DOK DOK !

"sumpah demi Tuhan! Siapa sih, tidak sabaran sekali –eh? Yoongi hyung?"

Dan Jungkook tidak bisa lagi mengucap sumpah serapah karena selain orang dihadapannya ini adalah orang yang harus di blacklist untuk di rutuki (mana berani ia memarahi Yoongi), dia menemukan penampilan Yoongi sudah kusut, tidak karuan, berantakan, dan penuh airmata serta luka –astaga, bahkan ia telanjang kaki!

.

Tidak ada yang berniat membuka percakapan. Suasana di ruang tengah begitu sunyi dan canggung. Hanya terdengar suara air yang mengucur saat Jungkook memeras handuk dari baskom air hangat. Ia memandang lekat dua orang dihadapannya –Taehyung dan Yoongi. Yoongi nampak diam dan wajahnya tidak berekspresi. Memang biasanya wajahnya datar tapi kali ini ada sesuatu yang membuat tatapan matanya ikut kosong. Dan sekali lihat pun Jungkook tahu kalau Yoongi sedang terpuruk tapi karena apa, Jungkook tidak tahu.

Sejujurnya Jungkook ngeri melihat Taehyung yang sedang mengobati luka di kaki Yoongi. Taehyung sesekali melirik Yoongi tajam dan kembali fokus mengobati –tapi tatapannya seperti marah. Seakan ia murka dan siap mengamuk kapan saja. Napasnya sudah pendek-pendek dan dahinya berkerut tanda kesal. Yang Jungkook heran, sejak tadi Taehyung bahkan tidak bertanya ada apa dengan Yoongi. Kalau Jungkook sih tidak mungkin berani, tapi Taehyung?

Sebenarnya ada apa, Jungkook terus membatin. Ia menatap Yoongi kasihan dan mulai mengelap wajah pemuda pucat itu yang sudah kotor. Ada beberapa luka kecil disana dan matanya bengkak, mungkin karena menangis. Hidungnya masih memerah dan yang paling Jungkook takuti sejak awal ada tatapannya yang mematikan dan penuh kesedihan. Seumur-umur ia belum pernah melihat tatapan yang seperti itu. Jungkook membasahi rambut Yoongi dan menatanya hingga rapi. Kemudian ia membersihkan lengan kurus Yoongi yang bak porselen itu. Ia menatap takut-takut pada Yoongi, kalau-kalau ia tidak suka disentuh. Tapi rupanya ia tetap diam. Yoongi tetap bungkam dan tidak berkedip, entah melihat ke arah mana, yang jelas tatapannya kosong. Tak mau berlama-lama, Jungkook mengelap lengan itu perlahan. Sekali lagi ia melihat luka dimana-mana, ada memar juga disana. Ia meringis ngeri, ada berapa banyak luka yang Yoongi miliki di tubuh putih mulus indahnya ini? Apa dia habis bertengkar atau terjadi sesuatu? Yoongi dirampok? Kecelakaan? Berkelahi? Kabur dari penculikan? Pelecehan?

"Jungkook-ah,"

Sontak Jungkook terperanjat ketika tiba-tiba suara berat Taehyung memecah lamunannya. Ia menatap Taehyung dengan pandangan bertanya, "buatkan dia teh hangat."

Sekali ucap, Jungkook tahu, ini cara halus Taehyung mengusirnya pergi. Ia ingin bicara empat mata dengan Yoongi. Yah, memang Jungkook tidak punya hak untuk ikut campur juga, sih. Tapi ia juga penasaran apa gerangan yang mengirim Yoongi kemari dengan luka dan tangis? Tapi bukan Jungkook namanya kalau berani menentang Taehyung yang sedang marah, jadi ia mengangguk dan pergi ke dapur.

Taehyung memandangi Jungkook yang sudah beranjak dan memberi plester di punggung kaki Yoongi yang luka. Ia menjauhkan kotak first aidnya dan menatap Yoongi garang. Entah kenapa sejak ia tahu Yoongi datang padanya dengan tampilan menyedihkan seperti ini, Taehyung jadi marah dan kesal sekali. Ia yakin bahwa ia tidak salah, kalau ini karena si bantet Jimin itu.

"jadi, katakan padaku. Apa yang dia lakukan padamu?"

Yoongi menatap mata Taehyung dalam diam. "tidak mungkin dia yang melukaimu seperti ini, jadi katakan padaku apa yang dia lakukan hingga kau melukai dirimu sendiri sampai separah ini?"

"kadang aku benci saat kau bertingkah sok tahu."

"jangan berbelit-belit dan beritahu aku!" persetan jika tetangga apartemennya mengumpati suaranya berteriak barusan. Ia sudah marah sejak tadi dan ia masih bisa menahannya tapi melihat reaksi Yoongi yang begini bodoh membuatnya geram bukan main. Kenapa Yoongi tetap saja keras kepala dan berego tinggi begini, kenapa pemuda itu tetap saja berusaha nampak kuat jika sejatinya ia sangat lemah karena sudah terjatuh begitu dalam dan tertimpa tangga. Taehyung tahu, Jimin cukup memiliki hati untuk tidak membuat luka di tubuh Yoongi. Dan Taehyung tahu, Yoongi akan melukai dirinya sendiri jika sudah merasa gila.

Yoongi menurunkan kakinya yang tadi dipangku Taehyung. "bilang pada Jungkook aku tidak suka teh. Terima kasih untuk pertolongan pertamanya."

"keparat kecil kau!" Taehyung kembali berteriak dan menarik kasar Yoongi yang hampir pergi dari apartemennya dan memaksanya duduk kembali. Tubuh Yoongi yang sejatinya sedang ringkih itu terhempas kasar di sofa. Taehyung menatapnya nyalang dan nafas yang menggebu. Kenapa –kenapa Yoongi sangat mengesalkan saat ini!

Yoongi masih dalam tatapan dinginnya, "aku mau pulang."

"tidak sebelum kau mengatakan kenapa kau bisa berakhir begini!" Taehyung sudah lepas kendali dan emosinya sudah menguar. Seperti disekeliling Taehyung ada kobaran api yang siap merayapi Yoongi dan membakar tubuh kecilnya sampai hangus. Taehyung marah karena Yoongi selalu diam saat terluka, saat Yoongi hanya menyimpan lukanya sendirian tanpa berniat menceritakannya, saat Yoongi memilih melukai dirinya sendiri daripada berbagi, saat Yoongi lebih suka membuat Taehyung merasa bersalah karena tak mampu melindungi Yoongi hingga ia akhirnya terjatuh semakin dalam dan lukanya semakin besar tanpa ia sadari.

"Jimin, dia –apa yang dia lakukan padamu, Yoongi?"

"berhenti membuatku gila karena rasa bersalah tak bisa melindungimu, bodoh! Kenapa sulit sekali bagimu untuk menceritakan sesuatu padaku?! Berhenti melukai dirimu seperti ini dan bagi lukamu denganku, kukira kau tahu itu!"

Yoongi meneteskan airmatanya sedikit dan menunduk, "Taehyung-ah... kau tidak perlu ikut campur."

"tentu aku perlu!" taehyung mengguncang bahu mungil Yoongi hingga pemuda itu sedikit oleng dan akhirnya bertemu tatap dengan Taehyung yang sudah hampir menangis. Entah kenapa sesuatu dalam dada Yoongi terasa sesak dan sakit. Jantungnya serasa dirobek paksa dan itu membuat kepalanya berdenyut nyeri. "kau sahabatku, kau tidak lupa, kan. Yoongi-ah, kau menggangap aku ini apa? Apotek? Bar? Atau apa? Patung? Orang asing?"

"bukan begitu, Tae –"

"lalu katakan kenapa kau datang padaku setelah kau terluka?! Berhenti membuatku merasa tidak berguna sebagai sahabat! Kau menyebalkan, keparat kecil kau!" Taehyung memukul kepala Yoongi pelan dan sesenggukan lalu mereka bertatapan selama beberapa detik kemudian Taehyung memeluk tubuh rapuh Yoongi. Berusaha mengucap maaf melalui dekapan hangat yang ia salurkan.

Yoongi menyamankan kepalanya, "aku –aku yakin sekali, aku tidak memiliki perasaan padanya."

"apa?!"

Taehyung mendorong Yoongi kasar dan menatapnya garang. Dasar keras kepala, mau sampai kapan Yoongi main kucing-kucingan seperti ini? Taehyung sudah gemas karena sahabatnya tak kunjung mengakui perasaannya. "dia bersama seorang perempuan dan –"

"katakan."

Yoongi menatap Taehyung bingung, "katakan padaku bagaimana perasaanmu setelah melihatnya bersama orang lain. Kumohon kali ini, sekali saja, kau jujur padaku."

Sejenak hal mengerikan tentang bagaimana ia melihat Jimin dan gadis itu bergandengan tangan mesra, tertawa, makan bersama, berfoto, sampai berciuman mampir di pikirannya. Dan ini sungguh mengganggu Yoongi, karena ia tidak suka dadanya terasa nyeri dan kepalanya berdenyut seperti ini. Ia benci kalau ia ingin menangis karena hal sepele. Ia benci mengakui kalau ia tidak suka melihat Jimin bersama orang lain.

"kau menyukainya, Yoongi-ah."

Taehyung mengusap airmata di pipi Yoongi, "terserah mau sampai kapan kau menyangkal. Tapi yang jelas aku sudah memberitahumu, kau memiliki perasaan untuk Jimin. Terserah bagaimana kau mengartikan perasaan campur adukmu padanya. Tapi kau bisa mendengarku dengan jelas bilang bahwa kau menyukainya. Terserah jika kau terus mengabaikan pikiranmu tentangnya. Tapi kau tahu betul aku selalu mengatakan bahwa kau mencintainya."

Yoongi meremas rambutnya karena kepalanya berdenyut nyeri. Ia memejamkan mata saking sakitnya. Kepalanya seperti tertusuk ribuan jarum. Pandangannya berkunang dan kabut. Nafasnya semakin sesak dan ia ingin berteriak tapi tak mampu, tenggorokannya sangat kering.

"dia tidak mencintaiku."

"sudah kubilang berhenti –"

"dia mencium gadis itu! Kau tidak tahu bagaimana rasanya! Aku merasa dipermainkan! Kau sungguh tidak akan bisa mengerti, Kim Taehyung! Berhenti menceramahiku –kau tidak tahu." Cukup sudah, Yoongi tidak tahan dimarah-marahi. Ia tengah kesal setengah mati dan Taehyung seenaknya membuatnya lemah. Ucapan pemuda itu enteng sekali, bah! Dia tidak tahu betapa Yoongi sudah jauh terluka parah.

"a –apa? Tidak mungkin, Jimin itu mencintaimu! Kau salah paham!"

"kubilang kau tidak akan mengerti! Aku melihat dengan jelas dia mencium gadis itu, keparat bangsat! Mereka jalan bersama dengan mesra dan mereka berciuman! Kau dengar suaraku ini?! Mereka berciuman! Berciuman!"

Yoongi meremas rambutnya lagi karena kepalanya semakin berdenyut hebat. Semakin dipikirkan semakin membuatnya sakit. Ia sudah tidak tahan, tubuhnya penuh luka dan ia lelah sekali. Matanya terasa berat dan ia pusing tidak karuan. Taehyung dan omong-kosongnya hanya menambahkan pusing saja. "dan begini yang kau bilang bahwa kau tidak memiliki perasaan apapun padanya?"

Yoongi diam saja karena kepalanya makin berdenyut saat Taehyung bicara. "benar kau tidak menyukainya barang sedikit saja?"

"setelah apa yang terjadi padamu, apa kau sungguh merasa baik-baik saja?"

"jika memang kau tidak memiliki perasaan padanya, benarkah jika kau baik-baik saja setelah melihatnya menghilang setelah menciummu kemudian muncul dan mencium orang lain?"

Sudah cukup sampai disitu, Kim Taehyung.

"kalau begitu lihat aku, sekarang."

Yoongi melepas genggaman tangan dikepalanya dan menoleh pada Taehyung dengan pandangan bertanya. Kenapa Taehyung yang nampak marah jika seharusnya Yoongi yang marah disini. Bisa ia lihat Taehyung menatapnya nyalang dan menantang. "jika kau benar tidak memiliki perasaan pada Jimin,"

" –dan jika kau masih berpikir kalau kau menyukaiku,"

Seketika suasanya disekitar Yoongi jadi sedikit mencekam hingga ia sedikit tercekat dan menahan napas. Entah kenapa Taehyung selalu mampu membuatnya tidak berkutik seperti ini. Sebenarnya sampai kapan ia akan bicara? Yoongi sudah benar-benar pening.

"kemari dan cium aku."

"a- apa?"

.

.

.

.

TBC

.

Hello! Sugantea is back~^^ it has been a long time since unpredictable wheel has done. Ceritanya udah lama selesai dan gak kambek kambek bikin tangan gatel sendiri... hahahaha padahal udah janjiin sequel yoonmin.

And~~ wow! I expected 6 requests for yoonmin sequel but fortunately it's up to more than ten?! Im so happy and feel this is incredible! Thanks for loving my story and my writing style! I respect my readers so much. By just reading or leaving comments, i feel so honored. Thanks a lot.

Nah, sesuai yang sudah di janjikan... saya menghadiahkan sequel yoonmin yang sudah kalian tunggu! But sorry, i'll make it chaptered because there are so much things that i want to describe especially because Yoongi still thinks that he doesn't in love with Jimin. But i'll take sure that this will be on 2 chapters only. It's kinda twoshoot but... hahaha kenapa part1 nya panjang bener begini ya, LOL.

So, how is it? Leave a comment dan critic on review column! Semoga bisa menyegarkan pikiran kalian dengan kegalauan Yoongi dan Jimin. inshaAllah happy ending, doakan saja~ hahaha!

Happy reading!