A/N: fic pertama di fandom ini. Akhirnya! Oh iya, mungkin kalian merasa sifat karakter-karakternya OOC, tapi sebisa mungkin saya tetap berpanduan pada karakter asli mereka walau akan ada momen dimana mereka benar-benar OOC.
Warning: EruHaru, OOC, AU, Alternate Age, Yaoi/Shonen-ai, cerita lompat-lompat, deskripsi panjang, slight crossover-walau ga bakal dibahas panjang lebar...more or less.
DLDR, Don't Like, Don't Read. Peace, bro.
Galau.
Merupakan perasaan yang pasti pernah dirasakan manusia meski barang setitik dan L-Elf—nama asli, Mikhail Karlestein, 26 tahun, menikah—bisa mengatakan dengan percaya diri bila dia paham perasaan itu. Siapa sih yang tidak pernah merasakan 'galau'?
Ah, sebaiknya L-Elf ganti kalimatnya. Siapa sih yang tidak luput dari merasakan 'galau'?
L-Elf bisa dengan yakin mengatakan 'tidak' sebagai jawabannya. Bahkan dirinya yang sangat percaya diri dengan segala perhitungannyapun bisa merasakan galau. Menyerang siapapun dalam golongan apapun, usia apapun, dan dimanapun. Perempuan atau lelaki tanpa kecuali. L-Elf mengonklusikan bila galau sejenis dengan penyakit menular yang menyerang siapapun tanpa pandang bulu, kecuali beberapa orang yang sepertinya kebal saking... Ahem, lemotnya.
Dan terhitung sampai saat ini, dia sudah beberapa kali merasakan hal itu.
.
BitterSweet
Kakumeiki Valvrave / Valvrave the Liberator (c) Ichirō Ōkouchi, Sunrise
Tidak ada keuntungan yang diambil dari fanfic ini. Ini dibuat dengan niat murni untuk bersenang-senang.
Remember, DLDR
.
.
Bitter Side
.
Kali pertama adalah ketika ia pindah mengikuti orang tua yang dipindahkerjakan ke kota lain dan meninggalkan cinta semasa kecilnya, Lieselotte. L-Elf galau sampai berminggu-minggu. Makan terasa tak enak, tidurpun juga tak nyaman. Semua karena tak bisa menjumpai pujaan hati dalam waktu dekat dan takut gadis idaman direbut orang lain. Kalau bukan karena A-Drei, temannya di kota baru, L-Elf mungkin bakal jadi gila karena pikirannya itu.
Padahal kalau saja L-Elf mau tenang sedikit, seharusnya dia ingat Lieselotte punya orang tua yang kelewat protektif dan tidak akan membiarkan sembarang lelaki mendekati anak perempuan satu-satunya.
Tak berarti lantas kemungkinan L-Elf untuk memacari Lieselotte nanti bakal bertambah sih. Semua lelaki rasanya bakal jatuh ke posisi yang sama kalu berhadapannya dengan orang tua macam begitu.
Sayangnya lagi, L-Elf baru tahu hal ini nanti.
L-Elf sudah mulai terbiasa tinggal di kota itu ketika dirinya memasuki sekolah menengah atas. Dan sepanjang seminggu pertama L-Elf bersekolah di sana, dia bertemu berbagai orang... Menarik, berhubung tak ada kata yang tepat. Walau teman paling akrabnya tetap A-Drei, kini L-Elf cukup sering bergaul dengan satu orang lagi.
Kata cukup sering itu sebenarnya memperhalus 'dipaksa dan mau tak mau' sih. Yang satu ini benar-benar kebalikan dari A-Drei ataupun Lieselotte soalnya. Ceria luar biasa, sangat extrovert, dan optimisnya luar biasa, juga merupakan seseorang yang kalau bisa ingin L-Elf hindari. Tapi apa daya, L-Elf sudah jadi korban kesekian dari mata biru cerah berbinar-binar yang bakal jadi senjata ampuh kalau menatapnya dengan memelas.
Namanya Tokishima Haruto. Teman sekelas L-Elf. Sebangku juga malah.
Bibir merah membentuk senyum kekanakan yang naif. Mata biru seperti langit tak berawan yang memandang lurus mata lilac L-Elf. Tangan terulur, menunggu L-Elf untuk menjabatnya.
"Halo, aku Tokishima Haruto. Salam kenal!"
Hari pertama di kelas 1-A SMA sakimori, Mikhail Karlestein—L-Elf bertemu Tokishima Haruto.
Tokishima Haruto itu... Bagaimana mengatakannya ya? Dia sangat berkebalikan dengan L-Elf. Sedikit lebih pendek dari L-Elf, mungkin hanya beberapa senti bedanya, dengan rambut cokelat acak-acakan dan mata biru cerah. Orangnya santai juga lincah tapi masih bisa duduk diam di kelas dengan anteng untuk mengikuti pelajaran. Kebalikan dengan nilai-nilai L-Elf yang tinggi dalam segala bidang, nilainya dalam bidang akademik agak rendah namun menonjol dalam bidang praktek. Tapi tak lantas berarti dia bodoh. Sering Haruto meminjam tugas L-Elf hanya untuk mencari tahu cara mengerjakan atau mencocokkan jawaban soal yang membuatnya bingung.
"L-Elf? Sudah buat tugas matematika? Soal nomor 3 bagaimana caranya?"
"Jawabanmu untuk soal nomor 10 bagian B ujian biologi tadi apa? Jawabanku 9 : 3 : 3 : 1."
Lalu Tokishima Haruto, seperti yang sudah dikatakan L-Elf sebelumnya, sangat niat dalam usahanya mengajaknya bicara. Hanya sekedar salampun tak apa.
"Pagi, L-Elf!"
"..Pagi."
...Tak dijawab sama sekalipun tak apa...
"Hari ini apa rencanamu, L-Elf?"
"..."
"..Ah, ada acara ya? Sayang sekali, padahal aku ingin mengajakmu ke kedai wagashi yang baru dibuka itu. Katanya ada youkan yang enak."
"..."
"..L-Elf?"
"...Aku belum menjawab pertanyaanmu tadi, Tokishima Haruto. Tidak, aku tidak ada rencana hari ini."
...tapi entah bagaimana Haruto pasti bisa membuatnya membalas.
Awalnya, L-Elf merasa terganggu. Tapi apa mau dikata, Haruto tampaknya tak mengenal kata tidak kalau bersama L-Elf. Lebih sering daripada tidak upaya Haruto mengajak L-Elf bicara berakhir dengan berdebat. Kalau sudah begini, biasanya orang-orang di sekitar mereka bakal diam dan mendengarkan.
"Peraturan asrama tidak mengizinkan kita memelihara hewan, Tokishima Haruto. Bawa kucing itu pergi sekarang juga."
"E-eh? Tapi kenapa? Dia masih terluka!"
"Kalau begitu baca kucing itu ke dokter hewan!"
"Tetap saja aku harus mengurusnya, L-Elf!"
Dan akhirnya selalu sama. Kalau bukan karena L-Elf frustasi lebih dulu dengan kepolosan dan pemikiran kelewat idealis Haruto, L-Elf akan memenangkan debat itu—untuk selanjutnya terpaksa dibuat mengalah melihat pandangan memelas Haruto.
"...Asrama ini melarang hewan karena hewan akan menyita perhatian kita yang sebenarnya harus digunakan untuk pelajaran, Tokishima Haruto. Kucing itu tidak bisa ada disini."
Ucapan L-Elf tak menyisakan ruang bagi Haruto untuk membantah. Dengan terpaksa, dia mengangguk.
"...Um. Aku mengerti..," sejurus kemudian dia menatap L-Elf sembari memeluk si kucing yang jadi bahan perdebatan di dada. "Tapi kumohon L-Elf, biarkan dia di kamar kita sampai dia sembuh ya? Hanya sampai dia sembuh. Aku janji akan membawanya pergi setelah itu."
L-Elf tak sadar dia buru-buru mengangguk ketika melihat mata itu. Mata biru lebar yang tampak memelas. Dua pasang (milik Haruto dan si kucing) menatapnya dengan telak. Membuatnya tak kuasa menolak.
"...Baiklah."
"Terima kasih L-Elf!"
Senyum sumringah Haruto membuat L-Elf kemudian bertanya-tanya dalam hati apakah Haruto sudah merencanakan semua ini atau senyumannya saja yang membuat siapapun tak kuasa menolak permintaannya.
Dari merasa terganggu, keduanya juga makin akrab. Faktor mereka satu kamar asrama mungkin juga layak diperhitungkan walau Haruto tak seceriwis ketika jam sekolah karena kegiatan klub yang dia ikuti. L-Elf perlahan mulai bisa menoleransi sikap Haruto, sedikit demi sedikit sampai akhirnya ada tahap dimana yang lain merasa aneh bila tak melihat mereka bersama. Seolah-olah L-Elf dan Haruto kini adalah satu paket. Bahkan A-Drei juga secara jujur mengakui dia merasa ada yang hilang kalau Haruto tak mengikuti pembicaraannya dengan L-Elf.
"..Hei, L-Elf, kok rasanya ada yang aneh ya?"
"Perasaanmu saja," L-Elf menjawab acuh tak acuh, tangan masih bergerak menuliskan jawaban untuk soal nomor dua.
"...Bukan, kok aku merasa kita terlalu cepat mengerjakan tugas kita ini."
L-Elf berhenti sejenak dan menatap tumpukan tugas mereka. Biasanya dalam waktu sejam, mereka baru sampai di soal-soal terakhir tugas pertama yang mereka kerjakan. Tapi mengingat sekarang mereka sudah di soal pertama tugas ketiga mereka, kata-kata A-Drei ada benarnya juga. Terlalu cepat bahkan untuk perhitungan L-Elf sendiri.
"Kata-katamu ada benarnya juga, A-Drei. Sepertinya hari ini kita mengerjakannya tanpa banyak hambatan."
"Hambatan?" bohlam lampu imajiner seolah muncul di kepala A-Drei. "Itu dia. Hambatan. Mana Haruto?"
Mengerjapkan mata, L-Elf menatap A-Drei dengan pandangan sangsi. Apa hubungannya keberadaan Haruto dengan kecepatan bekerja mereka? A-Drei, seolah paham dengan tatapan L-Elf, kemudian menjelaskan tanpa diminta.
"Biasanya mengerjakan tugas kita jadi makan waktu karena pasti ada yang bertanya cara mengerjakan soal A atau B, tapi setelahnya bakal bertanya lagi 'kenapa ini jadi itu' dan mau tidak mau kita harus menjelaskan semua dengan detil," A-Drei kemudian melipat tangannya. "Pantas saja aku juga merasa ada yang hilang hari ini. Rupanya Haruto tidak bersamamu, toh."
"Apa ada masalah dengan aku tidak bersama Tokishima Haruto?"
"Ada."
L-Elf tertegun ketika A-Drei menjawabnya dengan mantap.
"Apa itu?"
"Kalian terlalu sering bersama sampai rasanya aneh melihat kalian terpisah begini."
Pertanyaan yang muncul di kepala L-Elf tapi tak ditanyakannya saat itu juga adalah; 'jadi maksudmu tidak aneh kalau aku menemani Tokishima Haruto yang diseret untuk ikut belanja dengan anak-anak perempuan di kelas?'
Seandainya L-Elf tahu Haruto saat ini benar-benar mengharapkan dirinya berada bersama Haruto yang terpaksa menelan malu sendiri ketika Shouko dan Saki juga anak-anak perempuan lainnya menyeretnya ke toko pakaian dalam wanita.
Galau lagi-lagi hinggap di hati L-Elf ketika dia kemudian menyadari dia mulai tertarik pada Haruto dan alih-alih melupakan Lieselotte pada akhir kelas satu.
L-Elf juga bingung sejak kapan mimpinya yang dihiasi sosok berambut panjang warna pink lembut berganti dengan sosok berambut cokelat pendek acak-acakan. Sejak kapan mata berwarna kemerahan itu berganti dengan mata biru cerah seperti langit? Dan sejak kapan pula senyum kecil Lieselotte berganti dengan senyum sumringah Haruto?
Langkah pertama yang diambil L-Elf adalah denial. Dia bukan homo. Dia cinta Lieselotte. Dia dan Haruto hanya teman.
'Emang ada ya teman lelaki yang saling memberi salam dengan ciuman di pipi?' Q-Vier pernah bertanya sekali, tapi L-Elf terlalu sibuk untuk menolak kenyataan dia bukan homo alih-alih mendengarkan. Terlalu ngeri dengan mengakui adanya kemungkinan dia jadi belok dan menyimpan perasaan pada teman sebangkunya sendiri.
L-Elf belum sembuh dari fase galau yang satu ini sampai ketika dia melihat sendiri Haruto 'ditembak' dan dicium paksa oleh Rukino Saki, idol yang kebetulan bersekolah di sekolah mereka juga. Detik itu juga, pikiran 'dia bukan homo dan Lieselotte menunggu' seolah menguap. Tubuhnya bergerak tanpa sadar, menuju teman sekamarnya yang mematung sambil memegangi bibirnya sendiri dengan wajah merah padam.
Dia masih belum sadar betul ketika dia menarik Haruto dengan paksa, lalu memagut bibir itu. Tak sadar kapan dia menggigiti pelan bibir bawahnya dan menelusupkan lidahnya sendiri ke rongga mulut Haruto, mengeksplorasi ruang yang belum pernah dia sentuh, dan mencecap rasa manis yang membekas. Dia bahkan tak sadar kapan ia merengkuh tubuh Haruto lebih erat dan menahannya agar tak bergerak.
Hanya ketika Haruto sudah mendorongnya sekuat tenaga, barulah L-Elf sadar. Apa yang selanjutnya L-Elf ingat hanyalah mata safir balas menatap mata lilacnya dengan terkejut dan sentuhan lembut di bibirnya yang masih terasa samar-samar. Kemudian wajah Haruto yang merah padam dan kabur meninggalkan dirinya sebelum salah satu dari mereka sempat berbicara. Sesaat, suasana masih hening.
"L-Elf...," Saki terlihat berang. "Aku tidak menyangka..."
L-Elf sebenarnya juga tidak menyangka, tapi dia sendiri masih kurang paham apa yang barusan terjadi. Jadi alih-alih bicara, dia hanya menatap Saki.
"Ah, ya sudahlah. L-Elf," Saki menudingnya, senyum percaya diri mengembang di wajah. "Kita rival sekarang. Aku tidak akan menyerahkan Haruto padamu!"
Lalu terdengar seruan riuh teman-teman sekolahnya. L-Elf menatap Saki acuk tak acuh sekali sebelum beranjak pergi.
...uh, dia terjerat masalah macam apa lagi sekarang?
Penjelasan dari A-Drei yang melihat semuanya dari lantai dua menyatakan bila L-Elf mendadak mendekati Haruto dan Saki ketika Haruto masih tergagap, lalu mencium pemuda yang bersangkutan. Tepat di bibir. Kelanjutannya seperti yang dilihat L-Elf sendiri. Haruto mendorongnya lalu kabur entah kemana dengan wajah merah padam dan Saki menyatakan mereka sebagai rival. Ucapan selanjutnya mengenai reaksi teman-temannya membuat L-Elf sungguh ingin menjedukkan kepala.
"Mereka pikir kamu dan Rukino bakal jadi rival dalam memperebutkan Tokishima Haruto."
Mati sudah.
Kali kedua dia galau adalah di akhir masa kelas satu sekolah menengahnya.
Penyebabnya; Tokishima Haruto.
Kali ketiga L-Elf galau itu jaraknya lebih jauh dari galau untuk kedua kalinya. Yang ini langsung timeskip ke ketika dia kuliah dan nyaris tamat. Penyebabnya kali ini adalah amplop merah bertuliskan namanya dengan cap resmi dari Führer negara asalnya, Dorssia sana.
Singkatnya, dia mendapat masa wajib militer. 2 tahun.
Jelas bila L-Elf galau. Haruto merupakan faktor kedua selain amplop merah tadi yang jadi penyebab. Fakta kalau dia dan Haruto jadi makin dekat dan tinggal di satu flat yang mereka sewa bersama juga menambah runyam keadaan. Menurut L-Elf, cepat atau lambat dia pasti tahu—karena sejatinya Haruto sangat ahli mengenali sikap L-Elf. Dan mau bilang apa dia ke Haruto nanti? L-Elf sejujurnya tak ingin berurusan dengan wajah memelas Haruto dan pertanyaan 'kenapa kau tidak memberitahuku'.
Drama banget. Bener deh.
Tapi tetap tak menutup kemungkinan Haruto bakal memberinya tatapan memelas yang makin efektif itu.
L-Elf galau tiga hari. Kali ini sampai bela-belain menelpon Lieselotte setelah konsultasi ke A-Drei... Yang tak berjalan lancar.
"Kenapa L-Elf?"
"Apa sebaiknya aku langsung memberi tahu Tokishima Haruto tentang ini?"
A-Drei langsung mendorong L-Elf keluar rumahnya ketika melihat amplop merah itu.
"Iya, dan lebih cepat lebih bagus."
Itu jawabannya sebelum pintu rumah berdebum menutup kembali, meninggalkan L-Elf di luar mengerjapkan mata bingung.
"Mikhail? Halo! Tumben sekali kamu menelponku."
Suara manis Lieselotte terdengar diseberang sana. L-Elf merasa hatinya tenang sejenak.
"Lieselotte, aku mendapat perintah wajib militer dan untuk kembali ke Dorssia selama 2 tahun."
"Eh? Kamu juga..? Kriemhild juga loh.."
L-Elf mengangkat sebelah alisnya elegan. Kriemhild? Seniornya yang beberapa tahun lebih tua yang ditugaskan menjaga Lieselotte?
"Begitukah?"
"Mm-hm. Lalu ada apa? Aku yakin kamu tidak akan sampai menelpon kalau hanya untuk memberitahuku, Mikhail."
"Tentang itu, sebanarnya—"
L-Elf menjelaskan situasinya sekarang dengan Haruto sedetail-detailnya.
Termasuk bagian ciuman itu tentunya. Meski alasannya sedikit ngarang berhubung L-Elf sendiri masih tak paham kenapa dia waktu itu bertindak impulsif dengan mencium Haruto. Itu ciuman pertamanya pula. Tapi bukan masalah sih. Toh bibir Haruto kurang lebih mirip dengan bayangannya akan bibir Lieselotte.
...Tunggu. Itu kedengarannya salah sekali.
Lieselotte mendengarkan ceritanya dengan penuh antusias. Sesekali bertanya untuk memperjelas. L-Elf sedikit bingung dengan reaksinya yang menarik napas tertahan ketika dia menceritakan tentangnya dan Haruto yang berciuman juga ketika Lieselotte semakin bersemangat bertanya apa yang mereka lakukan ketika ia menyebutkan dirinya dan Haruto tinggal satu atap. Tapi sementara ini, L-Elf memilih diam.
"Kurang lebih begitulah ceritanya. Menurutmu bagaimana?"
Hening sejenak sebelum suara Lieselotte terdengar lambat-lambat.
"...Mikhail, sebelumnya aku mau tanya, kenapa kamu tidak bilang kalau kamu pacaran dengan Haruto?"
Nada suara Lieselotte terdengar seakan-akan dia kecewa L-Elf baru memberitahunya sekarang, tapi L-Elf merasa seperti disambar geledek.
Hah? Sejak kapan—bukan, kok bisa?
"Habis kalian satu asrama, terus sekarang tinggal satu flat sejak tamat SMA. Sudah begitu kamu pernah mencium Haruto'kan? Masa kalian tidak pacaran?"
Sekarang kalau L-Elf ingat-ingat lagi, memang benar sejak saat Rukino Saki menyatakan mereka sebagai rival memperebutkan Haruto itu Haruto jadi makin lengket padanya sih. Tapi yang lain tidak ada bilang apa-apa tuh.
...Oh tunggu. Tunggu dulu. Apa jangan-jangan maksud dari segala kedipan dan acungan jempol ketika dia bilang dia dan Haruto mau tinggal bersama di hari kelulusan SMA itu adalah ini?
"Halo? Mikhail? Mikhail?"
Ucapan Lieselotte di seberang sana tidak lagi didengarkan. L-Elf keburu membatu di tempat.
..Hampir selama 6 tahun semuanya salah mengira dia dan Haruto pacaran? Atau jangan-jangan Haruto juga—?
Otak analitis L-Elf tak perlu bekerja jauh-jauh.
Rona merah di wajah ketika menatapnya. Salam yang entah sejak kapan berubah dari kecupan singkat main-main di pipi menjadi sentuhan malu-malu yang lembut di bibir. Interaksi mereka yang mendadak ditambahi dengan jemari saling bertaut di bawah meja ketika jam pelajaran ataupun pelukan singkat. Tatapan mata dan caranya memanggil 'L-Elf' yang penuh dengan kelembutan yang menggelitik telinga. Hilangnya sosok Lieselotte dalam mimpi dan jantungnya yang kerap kali berdegup lebih kencang ketika melihat senyum cerah Haruto ataupun wajahnya yang sedang tidur, juga rasa tak nyaman di perut ketika melihat kulit kecoklatannya yang memerah sehabis mandi.
Kini L-Elf paham benar maksud dua perasaan terakhir yang dia rasakan beberapa tahun belakangan ini.
Oh.
Oooooohh.
Mein Gott.
Detik itu juga rasa galau L-Elf hilang.
...Hanya untuk digantikan dengan rasa panik, kesal—dan senang yang entah bagaimana bisa muncul—yang campur aduk jadi satu dan keinginan mendesak untuk menjedukkan kepalanya berkali-kali ke tembok. Ada satu konklusi yang kini dicapai L-Elf.
Tokishima Haruto, kemungkinan besar menjadi penyebab stress menumpuk yang dialaminya.
Itu adalah tiga momen yang paling membuatnya galau dan dilema semasa hidup. Tapi untungnya tiga kali dia galau, tiga kali pula hal itu membantunya membuat keputusan yang kelak sama sekali tak dia sesali, kalau senyum sumringah Haruto dan logam tipis yang melingkar di jari manisnya masuk perhitungan.
Tapi sekali ini, sekali ini lagi-lagi L-Elf dibuat galau.
Sungguh déjà vu ketika mata biru itu memandangnya dengan pandangan memohon. Tapi L-Elf juga yakin kali ini dia tak bisa kalah dengan mudah seperti dulu. Ada dua sebab, satu, karena kali ini Haruto menyerangnya sendiri. Dua, karena L-Elf mulai memiliki kekebalan terhadap pandangan memelas itu. Yang ketiga adalah...
"...Ayolah , Mikhail. Biarkan Slaine-kun tinggal bersama kita ya?"
...kau pikir membiarkan kucing berkeliaran dirumah itu sama mudahnya dengan mengizinkan seorang remaja tanggung—lelaki pula—home stay di tempat tinggal mereka?
.
.
.
Bitter Side; End
I'd love to hear your comments or critiques about my work.
