The Neighbour
Disclaimer : Naruto by Masashi Kishimoto
Warning: AU, typo yang sering banget lolos walau udah diedit, little bit OOC (kayaknya sih)
Kiba ingin melempar kepala orang yang ada disebelahnnya dengan penghapus agar temannya itu tidak mengantuk lagi.
"Kau benar-benar ngantuk sekali, ya?" tanya Kiba sewaktu melihat Shikamaru menguap terus-menerus saat pelajaran.
Pemuda berambut hitam itu menoleh dan menganggukkan kepalanya. Kemudian ia kembali menguap. Ah, betapa membosankannya kehidupan ini. Melakukan rutinitas yang sama setiap hari. Dunia tidak banyak berubah, kecuali penjahat yang semakin banyak saja belakangan ini. Seperti Akatsuki dan Orochimaru. Oh, tetapi Orochimaru baru ditangkap baru-baru ini, si penjahat yang suka melakukan eksperimen kepada manusia dan menculik orang-orang. Ada lagi isu bahwa ada pengkhianatan dari Anbu. Benar-benar membuat ngeri saja para penjahat ini.
"Bolos, yuk?" ajak Kiba, sambil mengerlingkan matanya.
Shikamaru ingin muntah kalau boleh. Meski dia bukan murid disiplin namun bolos itu merupakan kegiatan yang menurutnya tidak seru untuk dilakukan. Dia pernah melakukannya beberapa kali dan lebih sering ketahuan daripada tidaknya. Mengingat hal itu, dia beralih untuk tiduran di UKS daripada bolos. Lebih aman. Toh, ia tidak punya masalah dengan pelajaran. Tidak ikut pun, bisa dipelajari sendiri.
Karena ia memiliki penyakit darah rendah, ia tinggal makan sedikit semangka dan timun dan wajahnya sudah cukup meyakinkan para guru bahwa ia sedang sakit. Setelah itu ketika istirahat dia lebih memilih makanan yang berdaging, lalu mendadak wajahnya tidak sepucat yang tadi. Tetapi, sepertinya Shikamaru sedang malas untuk ke UKS, bisa-bisa ia mendapat julukan 'penyakitan' jika terlalu sering pura-pura sakit. Lagipula, kini ada hal yang lebih menarik untuk diamati. Si gadis bermata lavender dan si pemuda berambut merah itu. Pasangan yang aneh, meski mereka bukan pasangan. Sama-sama pendiam. Matanya mengikuti gerak si gadis yang mencoba berbicara pada pemuda itu. Ia mengeluarkan suara berupa decitan yang kurang terdengar. Gaara, nama pemuda itu, menoleh dan mengerutkan kening lalu kembali memperhatikan papan tulis dengan wajah datarnya. Shikamaru memutar bola matanya. Tidak seru, ia berharap gadis itu mendadak marah lalu memukul Gaara. Dengan begitu ia punya alasan untuk menertawai anak sok keren itu.
"Pffft," Shikamaru berusaha menahan tawanya. Bahkan dalam khayalan saja sudah lucu, apalagi jika itu benar-benar terjadi.
"Shikamaru Nara, apakah ada yang lucu dari cara saya mengajar?" tanya Anko, yang saat itu sedang mengajar sejarah.
Oh, damn.
"Kalau tidak suka dengan pelajaranku, silahkan keluar."
Dengan malas, pemuda itu keluar dari kelas. Toh, ia juga sedang tidak ingin mengikuti pelajaran. Ia tersenyum kecil entah bagaimana matanya bertemu dengan mata Gaara. Lengkungan ke atas yang tadi menghiasi bibirnya menghilang dalam sekejap berganti dengan arah yang sebaliknya saat ia melihat pemuda merah itu menatapnya dan menunjukkan lengkungan tipis dengan raut yang dapat ia perkirakan sebagai raut mengejek.
Dan disinilah ia sekarang. Berbaring menatap awan di atap. Kesempatan tidur dengan suasana tenang seperti ini sungguh langka. Tapi, tentu saja harusnya dengan cara yang sedikit elit.
"Sungguh tenang," kata Shikamaru sebelum terlelap.
"Hei!" bentak sebuah suara dibelakangnya.
Membuat pemuda itu terkesiap.
.
.
Pertama kali mereka bertemu adalah saat bulan Desember. Bulan yang sangat dingin. Dimana orang-orang lebih memilih untuk berlama-lama di bawah meja penghangat dan berharap dapat menunggu sampai musim semi datang. Bulan yang tepat untuk bermalas-malasan, memang. Yah, hanya saja aktivitas tidak akan berhenti hanya karena cuaca dingin. Waktu terus berjalan, kan?
Saat untuk pertama kalinya dalam hidup Hinata ia melihat ada seseorang yang tinggal di sebelahnya dan memakai seragam yang sama dengannya. Sungguh melegakan! Ia sudah mulai agak kesepian karena beberapa orang di apartemen ini telah pindah.
"Sa-salam kenal. Namaku Hinata Hyuuga. Aku tinggal di sebelah kamarmu," kata gadis itu sedikit terbata dengan uap putih yang keluar saat ia berbicara. Ia menyerahkan sesuatu, sebagai hadiah perkenalan maksudnya.
Lelaki dihadapannya menatap Hinata datar. "Aku Gaara."
Gaara mengambil hadiah dari Hinata.
"Kau pasti kedinginan. Jangan lama-lama di luar," kata Gaara datar.
Hinata mengangguk dan melepas alas kakinya.
"Aku tidak menyuruhmu untuk masuk ke kamarku."
"Eh?" tanya Hinata dengan wajah polos.
"Masuk ke kamarmu sendiri," ujar Gaara sambil sedikit mendorong Hinata yang hampir saja masuk ke kamarnya. Hinata mengerjap-ngerjap bingung dan akhirnya menyadari hal bodoh yang baru saja ia lakukan.
"A-ah, ma-maaf," ujar gadis itu sambil menunduk. Gugup.
Gaara hanya menghembuskan napasnya lalu menutup pintu kamarnya. Hinata bengong untuk sesaat. Tetangga yang menyebalkan, sungut Hinata. Ia tidak mau untuk terlibat terlalu sering dengan tetangganya ini.
Sedetik kemudian ia berteriak, "Gaara-kun!"
Gaara membuka pintunya lagi.
"Ano... Anda meninggalkan paket ini di luar," tunjuk Hinata.
"Terima kasih," jawab pemuda itu, lalu menutup pintu kamarnya.
Ah, padahal ia tidak mau terlibat terlalu sering. Nasib jadi orang baik.
.
.
"Bagaimana ujian matematika tadi?" tanya Sakura pada Hinata. Gadis itu tersenyum simpul, sementara teman pink-nya itu merungut kesal.
"Lain kali ajari aku, ya!" sahut Sakura lagi.
Hinata mengangguk. Sakura memeluk sahabatnya. Belum sampai beberapa detik kejadian itu berlangsung sebuah tepukan halus menghampiri kepalanya. Sebuah wajah stoik dan berambut raven muncul membuat Sakura nyengir kesenangan. Keduanya segera pergi setelah berbicara singkat. Sakura sempat ber-dadah ria sebelum pergi.
"Sepertinya Sakura senang sekali. Membuat iri saja," ujar Hinata pelan.
Ia memutar tubuhnya dan kemudian menubruk seseorang dengan keras. Hingga keduanya terjatuh.
"Sakit," ujar Hinata.
"Kau memang tidak pernah bisa melakukan sesuatu tanpa salah ya?"
"Gaara-kun? Ma-maafkan aku."
"Lain kali berhati-hatilah. Mungkin kau bisa kehilangan nyawa jika terus seperti itu."
Hinata menutup mulutnya rapat-rapat sampai Gaara bangkit dan pergi meninggalkannya. Walau ia dan Gaara sudah beberapa bulan menjadi tetangga. Omongan pemuda itu selalu pedas dan menyakitkan. Anehnya ia malah lebih sering berinteraksi dengan pemuda itu.
Namun, ia juga tidak tahu apa-apa tentang tetangganya itu. Karena pemuda itu selalu tertutup. Yang ia tahu, setiap akhir minggu kedua kakaknya selalu datang untuk melihat pemuda itu.
"Kau," panggil Gaara lagi dan membuat Hinata membulatkan matanya karena kaget.
Pasti mau dimarahi lagi, pikir gadis itu sarkastis.
"Lebih baik pulang saja sekarang." kata rambut merah pemuda itu hingga memperlihatkan tato 'Ai' miliknya. Hinata masih saja bengong. Mencoba mencerna maksud dari perkataan pemuda itu.
"Ma-maaf? Apa maksudnya?" tanya Hinata karena masih tidak mengerti juga.
Bukannya menjawab, pemuda itu malah berbalik dan meninggalkannya. Hinata mengerjap-ngerjap kebingungan. Ia menghela napas panjang. Apa mungkin ia salah dengar atau memang dirinya yang sedikit bodoh hingga tidak mengerti apa maksud dari perkataan pemuda itu? Entahlah, mungkin memang ia saja yang tidak mengerti maksud dari perkataan orang itu. Jadi, ia memutuskan untuk tetap mengikuti pelajaran di kelas. Kemudian, bel sekolah pun berbunyi nyaring.
.
Pelajaran siang itu adalah fisika yang diajar oleh guru pengganti, Kabuto. Beberapa siswa tak tampak pada mejanya masing-masing. Seperti biasa, pelajaran seperti itu masih tergolong seram bagi sebagian siswa dan lebih memilih untuk melarikan diri daripada harus duduk bosan mendengarkan hal yang tidak diminati, bahkan rumit untuk dimengerti.
Gaara juga tidak ada di kursinya. Wajar saja, sih. Tetapi ia sedikit merasa khawatir pada tetangganya itu.
"Hinata! Hei, Hinata!" tegur Sakura pada teman sebangkunya yang melamun sedari tadi.
Hinata menoleh pelan. Wajahnya sedikit pucat sehingga membuat Sakura menjadi khawatir.
"Kau sakit?"
Hinata menggeleng.
"Jadi kenapa?"
"Eng... mungkin aku salah lihat tadi," ujar Hinata pelan.
Sakura menatap wajah Hinata dengan horor. "Katakan padaku, Hinata. Apa yang baru saja kau lihat?"
"Eh.. A-ano, mungkin aku memang salah liat," ujar gadis kalem itu berkelit.
"Salah lihat tidak akan membuatmu pucat seperti itu, Hinata," balas Sakura bersikeras.
"Se-sepertinya tadi aku tanpa sengaja melihat Glock yang terselip. Kemungkinan besar itu Glock 19. Karena sedikit berbeda dari yang biasa aku lihat," ujar Hinata sedikit gugup.
Sakura memajukan wajahnya. Dan membuat Hinata harus memundurkan wajahnya.
"Glock?"
"Kalian yang dibelakang! Sedang apa kalian!" bentak guru pengganti itu kesal lalu mendatangi tempat duduk mereka.
"Si-al," desis Sakura disambut dengan wajah Hinata yang tak kalah pucatnya.
.
TBC
A/N :
Hai.. Aya kembali. Pertama-tama mau ngucapin selamat ulang tahun buat my pren Minatsuki Heartnet atau dhinie minatsuki amai. Selamat ulang tahun ya XD semoga tambah baik dan sukses. Oya, kalau bisa kuenya kirim ke sini ya. *bercanda*
Sesuai janji, nih udah kubuatin ceritanya. Tenang aja kok. Fic ini bakal kuapdet secepat kilat. Hahaha.. Karena fic ini akan selesai waktu nanti malam. Yuppe, apdetnya cuma selang beberapa jam kok. Rencananya mau bikin one-shot tapi rasanya kepanjangan. Makanya jadi multi chapter atau bisa dibilang three shot. emm, pokoknya gitu deh, hehe.. Xp Tapi, terlalu pendek ya? Tenang, chapter kedua akan lebih panjang kok.
Oya, maafkan juga kalau ada yang salah dalam penulisan ini. Karena masih belajar dan tentang senjata sebenernya aku suka sama kayak gituan. Habis keren sih. Jadi pengen bikin fic yang ada senjatanya. Jadilah fic ini. Tapi karena cuma membaca dari berbagai sumber takutnya ada yang salah juga tentang senjata dari ini. Makanya mau ngasih warning juga nih, semua yang ada disini hanyalah fiktif belaka. X)
Mohon saran dan kritiknya, karena aku hanyalah manusia biasa yang masih belajar. *ceile sok puitis*
Ceritanya memang masih belum kelihatan jelas. Masih chapter awal sih.
