Hujan deras di luar sana. Titik-titik airnya yang bening bagai embun berlomba menuruni permukaan kaca jendela, berakhir di bingkainya yang berwarna cokelat kayu. Awan yang bergumul kelam merangkul langit, menutupi kebiruan cerah yang biasa dimiliki bentangnya.

Gadis bersurai pirang sepinggang itu menatap hampa ke arah jendela, terpaku menatap jarum-jarum air yang dituntun gravitasi. Iris kuning keemasannya menyiratkan keinginan samar akan kebebasan; layaknya angin yang mengiringi hujan di luar sana. Di pangkuannya terdapat sebuah gitar kuning kecokelatan, seperti warna gitar pada umumnya, dengan sebuah senar yang hilang.

Gadis itu menghembuskan nafas berat, seakan-akan ruhnya ikut keluar bersama karbon dioksida yang berhembus dari saluran pernafasannya.

Jemari tangan kirinya kini memposisikan diri di leher gitar, menekan senar-senar tertentu yang sudah ia hafal di luar kepala. Kemudian jemari tangan kanannya memetik pelan senar-senar tadi, menghasilkan rangkaian nada yang teratur dengan iringan percik hujan yang nyaris memenuhi indera pendengaran. Gadis berpiyama kelabu itu tak peduli, jemarinya menari lincah di leher gitar dan irisnya memandang kedua tangannya yang sibuk bergantian, tepat sebelum ia menyanyikan sebuah lagu.

It's because I'm afraid of being hated

That I'm always acting nice

But inside, i'm not like that

Fake personality is bad

[But I keep on smiling even it's hurt]

Ia memetik senar paling bawah beberapa kali, kemudian memindahkan jemari tangan kirinya menuju senar lain dan memetiknya. Gadis bertinggi badan seratus limapuluh senti itu bahkan tidak menyadari bahwa lampu dari sebuah mobil terpantul di kaca jendela kamarnya.

Dan itu berarti pertanda buruk.

My heart whine in despair

I know that the me now and the me from the past

is still the same, but

I'll be stronger than I used to be

Jemari gadis itu, yang kukunya diwarnai sedemikian rupa dengan warna kuning emas, memainkan nada-nada penutup dari lagu pendek ciptaannya sendiri. Gemerisik hujan masih sama seperti tadi, berisik bagai suara televisi yang buram dan penuh dengan semut-semut hitam putih dua dimensi.

Samar, di balik gemerisik dan desir angin di luar sana, terdengar sebuah langkah kaki tergesa dan geraman seseorang. Namun sosok gadis pemain gitar itu tak menyadarinya. Ia menatap langit-langit kamarnya yang bercat oranye cerah bagai rona langit di kala senja. Berusaha melupakan bahwa di sekitarnya kini adalah benda-benda yang membuatnya putus asa; buku-buku ilmu alam dan ilmu sosial.

BRAAAKK!

Suara pintu didobrak dengan kasar. Sang empu iris kuning keemasan itu menoleh kaget ke asal suara, mengingat bahwa ia sudah mengunci pintu kamarnya tadi. Dan ia mendapati bahwa pintu itu sudah rusak gerendelnya akibat dobrakan kasar dan penuh amarah dari sang pelaku. Sang gadis kian terpaku begitu menyadari siapa sang pendobrak.

Ayahnya, Akita Leon.

Pandangan gadis itu mengabur sedetik setelah tatapannya bertemu dengan tatapan ayahnya. Ayahnya itu terlihat sangat geram ketika melihat sebuah gitar terpangku di paha gadis itu. Gadis berambut sewarna emas itu memucat, tangannya mendingin dan kaku di sisi gitarnya.

"DASAR ANAK DURHAKA!" sang ayah merampas gitar itu dari pangkuan sang gadis. "BUKANKAH AYAH SUDAH BILANG BAHWA KAU HARUS FOKUS PADA MASA DEPANMU, NERU?"

PRAAAAK!

Gitar yang dibeli dengan uang tabungan gadis bernama Neru itu dilempar ke pojok ruangan, entah kerusakan apalagi yang akan diderita benda yang tinggal bersenar lima itu. Sang empu gitar mengernyit menahan rasa takut, menghindari tatapan nanar dari ayahnya.

"AYAH TIDAK AKAN MEMBIARKANMU MENYENTUH MUSIK SEPERTI IBUMU YANG BEJAT ITU!" bentak ayahnya, kini mencengkeram kerah piyama Neru. "ATAU KAU BUKAN BAGIAN DARI KELUARGA AKITA LAGI SEPERTI IBUMU!"

Sang ayah menyentakkan anak gadisnya, melepaskan kerahnya dari cengkeraman dan menyebabkan gadis itu jatuh tersungkur dari tempat tidur. Pria itu kemudian berjalan ke pojok ruangan, menendang gitar malang yang beberapa saat lalu ia lempar tanpa pikir panjang dan melangkah ke arah pintu keluar.

"Aku...," gadis itu menggumamkan sesuatu, seakan mencegah ayahnya pergi, di antara rasa sakit di sikutnya yang mencegah tubuhnya membentur lantai. "Aku mencintai musik..., aku..., aku nggak akan membuang impianku hanya demi ilmu alam yang bahkan belum tentu bisa kupelajari..., aku...," gadis itu bisa merasakan matanya memanas, kemudian air mata mengaburkan pandangannya. Ia lalu mengedipkan kedua mata, dan air matanya membuat jalur kecil di pipinya yang pucat.

Plak!

"KAU BERANI MELAWAN AYAH?" geram pria itu sambil memandang tajam anak bungsunya. "KAU BUKAN BAGIAN DARI KELUARGA INI LAGI! KELUAR KAMU DARI RUMAH INI! KELUAR!"

Dan gadis itu hanya pasrah ketika akhirnya ia berdiri di luar teras, diguyur hujan dan hanya berbekal gitar rusaknya, sedikit pakaian, dan uang tabungannya yang setia berada di kantongnya.


Rain Song

Summary:

Dengan melodi nyanyian kita telah bertemu..., seakan terikat oleh takdir yang melingkar di jemari kita. Dan kini, denan melodi nyanyian pula kita berpisah. Nada yang seharusnya menenangkan kini menekan sudut hati, "Kenapa semuanya harus seperti ini? Apa takdir memang mempermainkanku?"

Disclaimer:

Vocaloid © Yamaha and Crypton corporation

Rain Song © Asakuro Yuuki

Warning:

1. Dont like? Paksain like! #dor# enggak enggak, yang bener: Dont like? Dont read!

2. Author sedang berusaha memulai debut berjudul 'Satu Chapter Minimal 3000 Kata'


CHAPTER 1


"I'm full of lackness..., but..., isn't it your fault after all? I'm..., I'm..."

Sejak pengusiran dari kediaman Akita, gadis bernama Neru itu berjalan tak tentu arah. Ia tak tahu harus ke mana, gitar yang ada di case hitam milikya sudah rusak. Senarnya tinggal tiga dan penuh dengan lecet-lecet akibat benturan dengan meja dan lantai. Ia gemetar kedinginan dalam balutan jaket yang ayahnya lemparkan bersama tas pakaian-pakaian lain di teras rumah beberapa hari yang lalu, yang sempat berendam di dalam kubangan air hujan yang bercampur dengan pasir, yang kemudian ia basuh dengan air hujan yang masih mengguyur deras.

Gadis itu kini berada jauh dari rumahnya yang ada di Tokyo. Berterimakasihlah pada uang saku yang ia tabung selama beberapa bulan, yang bisa digunakan untuk membeli tiket kereta dan makan beberapa hari. Namun tetap saja, uangnya takkan cukup untuk menyewa satu kamar apartemen pun. Ia harus tahan menyelinap tidur di antara gang-gang sempit yang jarang dikunjungi orang, sesekali terbangun karena tidak nyaman dan rasa was-was.

Namun meski begitu, ia tidak ingin pulang.

Ayahnya, Akita Leon, adalah pemilik rumah sakit besar di Tokyo. Dengan keadaan seperti itu, ia merasa memiliki hak untuk membuat kedua anaknya, Nero dan Neru untuk meneruskan usahanya. Nero memang berhasil dan tengah melanjutkan sekolah di Hokkaido, namun Neru yang tidak memiliki kemampuan yang cukup di bidang ilmu alam tak bisa berbuat apa-apa.

Gadis itu lebih tertarik pada musik dan seni, dan bukannya anatomi manusia dan teknologi obat-obatan. Hal itu membuat ayahnya geram akan anak bungsunya. Seringkali Neru mengalami siksaan fisik hanya karena nilai ilmu alamnya tidak sesuai harapan, dan sejak tiga atau empat bulan yang lalu, ayahnya tidak memperbolehkannya menyentuh musik.

Tidak membiarkannya meniti jalan yang sama dengan ibunya.

Ibunya, Lola, adalah seorang pianis dan penyanyi seriosa di kala mudanya. Lola dan Leon menikah melalui pertunangan yang sudah dirancang oleh keluarga kedua belah pihak, menyebabkan tidak adanya perasaan cinta di antara mereka. Ketika Neru duduk di kelas lima SD, Lola ketahuan selingkuh dan kemudian menggugat cerai Leon.

Gadis beriris emas itu menghela nafas.

Neru memeluk tas biru tuanya erat-erat. Di dalamnya adalah beberapa helai pakaian yang sudah agak kotor. Ia tak tahu lagi harus ke mana. Ia tahu ia tak bisa selamanya hidup seperti ini; hidup dalam kesederhanaan yang nyaris mendekati gembel. Ia butuh tempat bernaung, di bawah atap tentunya. Ia...,

Setetes air mata menitik dari manik mata Neru. Dibenamkannya wajahnya ke tasnya, menyembunyikan rona wajah sembabnya dari orang-orang yang lalu lalang.

Tangisnya kini mulai jelas, ia tak mau hidup seperti ini. Tapi bagaimana? Seandainya gitarnya tidak rusak..., ia pasti masih bisa memperbaiki beberapa sisi keuangannya. Menyanyi di stasiun mungkin? Tapi kenyataan tetaplah kenyataan. Ia tidak bisa berandai-andai.

Bahkan untuk kembali menyandang nama Akita lagi saja, ia tidak boleh mengharapkannya.

Diam-diam, ia mengangkat wajahnya dan menelusuri pandangannya ke sekitar. Ia berada di sebuah taman kota yang hijau. Di sekelilingnya adalah semak-semak beri yang buahnya dipetiki beberapa anak perempuan. Juga beberapa bangku kayu yang diduduki pengunjung berbagai usia. Namun ia adalah satu-satunya yang sendirian. Semua anak gadis seumurannya menggandeng pasangan atau sahabat. Namun ia sendirian.

Ia mengusap air matanya. Kemudian berdiri tegak dan berjalan meninggalkan tempat itu, menyeret case gitarnya. Ia tak peduli apa kata orang-orang akan penampilannya yang berantakan.


Ia menemukan sebuah gang di samping toko kue beraroma manis yang menggiurkan.

Neru memasuki gang tersebut, di sana terdapat beberapa peti cokelat entah apa isinya, namun ia bisa menduga bahwa isinya tidak lain adalah bahan-bahan kue yang dipesan oleh toko kue di sampingnya. Namun setidaknya, peti-peti itu akan melindunginya dari pandangan para petugas patroli yang lalu lalang di malam hari, menangkapi para gelandangan.

Ia meletakkan case gitarnya sepelan mungkin dan duduk di sisi peti-peti itu, kemudian membersihkan lantai batu yang dingin itu dengan kedua tangannya, seadanya. Setelah itu, ia menggelar jaketnya untuk alas dan berbaring di atasnya, menatap langit malam.

Bulan separuh terlihat jelas, bagai primadona di angkasa kala itu, menonjol di antara beberapa titik bintang yang terlihat. Di kurun waktu seperti ini, bintang memang jarang terlihat karena kalah terang dari cahaya lampu-lampu perkotaan. Itulah yang pernah dikatakan Nero kepadanya dulu. Pemandangan langit malam memang cukup indah baginya. Namun ketika ia merasakan hawa dingin membelai kulitnya, ia tak bisa bertahan tanpa tidak menggigil.

Ia menekuk lututnya dan berbalik menghadap sebuah dinding toko kue. Memejamkan mata, ia berusaha nyaman dalam keadaan seperti itu. Ia memang tidak bisa selamanya hidup seperti itu, namun ia akan bertahan semampu mungkin.


"Terimakasih untuk kerjanya hari ini, Shion-san!" lelaki berambut ungu panjang itu tersenyum ke arah pemuda berambut merah yang sedang mencuci tangan di wastafel. Yang diajak bicara menoleh dan membalas senyumannya.

"Sama-sama, Gakupo-san, besok saya akan datang lagi," ujarnya sambil mengusapkan serbet untuk mengelap tangannya yang basah. Harum sabun cuci tangan khas tempat itu menguar; aroma apel yang manis.

Sang empu rambut ungu, Gakupo, tertawa pelan dan ramah. "Baiklah," sahutnya. "Tapi sebenarnya aku bingung, kenapa orang kaya sepertimu harus bekerja paruh waktu segala? Kau kan punya mobil, dan kamar apartemen yang bagus pula. Hidupmu dibiayai kakakmu yang ada di Korea. Tapi mengapa mau susah-susah? Kenapa tidak jalani saja kuliah seperti kebanyakan mahasiswa? Tanpa kerja paruh waktu, maksudku."

"Karena aku ingin hidup mandiri, tentu saja." jawab sang empu rambut merah, kita sebut saja, Akaito, menanggapi petanyaan bertubi-tubi dari seniornya. Gakupo tidak menggubris namun malah melirik jam dinding putih yang tertempel di dinding. Kemudian menyadari sesuatu yang terlintas di benaknya.

"Ah, Shion-san..., maafkan aku. Bisakah kau gantikan aku membereskan dapur hari ini? Aku ada janji dengan Luka-chan..., aku akan menggantikanmu Sabtu besok. Aku janji," katanya. Nada bicaranya yang biasanya datar kini bernada memohon. Akaito melirik jam tangannya, yang ia anggap lebih akurat ketimbang jam di manapun, kemudian mengangguk.

"Baiklah, aku masih punya waktu dua jam sebelum waktu paling lambat sampai di apartemen." responnya. Gakupo menampakkan senyum lega, tak lupa ritual mengelus-elus dada.

"Terimakasih, Shion-san! Besok kutambah traktir di cafe Noire kalau kencanku dan Luka-chan berhasil," ujarnya cepat sambil mengedipkan mata. Akaito bergidik ngeri, namun ia ingat kalau seniornya sudah punya wanita incaran, yang setidaknya membebaskan lelaki berambut ungu tersebut dari dugaan gay. Gakupo menyambar mantelnya dan sejurus kemudian menhilang di balik pintu.

Akaito meletakkan serbetnya kembali di gantungan alumunium di dekat wastafel. Menghembuskan nafas berat, ia berjalan menuju meja di tengah-tengah dapur toko kue tempat ia bekerja guna mengumpulkan kembali loyang-loyang kue untuk dicuci. Ia juga mengambil timbangan bahan kue yang sudah berselimut tepung seperti biasanya. Bos mereka, Mikuo, selalu teliti akan kebersihan peralatan dapur tokonya sehingga setiap pagi, semua peralatan harus berada dalam kondisi bersih mengkilap.

Akaito membasuh cucian-cucian itu dengan air yang mengalir dari keran wastafel. Tangannya yang sudah mengenakan sarung tangan khusus menggosok-gosok bagian-bagian loyang yang terdapat sedikit bagian kue yang tertinggal. Tepat saat itulah ia mendengar sebuah nyanyian yang dilantunkan entah siapa.

I'm full of lackness, and I'm so reckless

But isn't it your fault after all?

Am I wishing for something...

[impossible?]

Fake personality is bad

[But I keep on walking on my own way]

Suara itu adalah suara seorang gadis, tentu saja. Suaranya serak dan seadanya, tanpa iringan alat musik apapun. Karena itu ia yakin itu bukanlah suara penyanyi jalanan yang biasanya memainkan gitar. Namun Akaito mengabaikannya dan meneruskan pekerjaannya dengan hati-hati; tiga dari lima loyang sudah tercuci olehnya.

Suara nyanyian itu tiba-tiba berhenti

Akaito mendadak memfokuskan pandangannya ke arah pekerjaannya, kalau-kalau suara itu adalah suara tanpa pemilik yang pembaca tahu apa maksudnya. Tangannya menggosok bagian lengket loyang-loyang itu lebih cepat, parno sendiri karena ia berada di dapur toko malam hari sendirian. Dan ketika ia merasa tenang karena suara itu tak terdengar lagi, nyanyian gadis itu malah berlanjut.

I'm all alone in this world...

I can't stay like this

But I can't go anywhere to return

Desperately ask my heart..

"Where will you take me?"

Namun nyanyian itu terdengar lebih sedih sekarang, membuat pemuda bersurai merah menyala itu yakin kalau nyanyian itu dilantunkan oleh manusia. Ketika ia selesai membasuh timbangan bahan kue, nyanyian tersebut berhenti lagi. Akaito melepas sarung tangannya dan mencuci tangan, menunggu lantunan nada untuk kembali terdengar. Namun nihil, hanya sunyi yang menyambutnya kini. Berbagai pikiran kembali mengabut di pikirannya. Cepat-cepat ia membereskan cuciannya ke rak dan mengambil jaket.

Setelah membaca doa sebelum keluar dan memastikan bahwa nyanyian itu tak terdengar lagi, Akaito keluar dari toko kue lewat pintu samping, tak lupa menguncinya dengan kunci duplikat yang hanya dimiliki oleh para pegawai toko tersebut. Ia mengamati langit sejenak; bulan separuh bersinar terang di atas sana, tertutup oleh tipisnya awan. Dilangkahkannya kedua kakinya menuju ujung gang yang ada di pinggiran jalan, merogoh sakunya.

BRAKKK!

Suara gaduh itu menghentikan langkahnya. Pemuda bermarga Shion itu terpaku sejenak, tidak berani menengok ke belakang. Keringat dingin menetes di dahinya, seakan-akan ia merasakan aura gelap di belakangnya. Namun hanya heninglah yang menyelimuti keadaan, selain suara mesin mobil yang tumpang tindih di malam itu.

Lelaki itu menoleh, tidak mendapati apapun yang mencurigakan. Ia memicingkan mata untuk memastikan sekali lagi. Kali ini irisnya menangkap sebuah benda seperti kotak berwarna hitam, menyembul di balik peti-peti bahan makanan yang dipesan toko kuenya. Biasanya di sana tak ada apa-apa selain debu dan dinginnya udara yang menusuk.

Kini ia memutuskan untuk mendekat. Rasa takutnya tadi kalah oleh rasa penasaran. Dan ketika ia tiba beberapa meter dari peti hitam itu, ia melihat sepasang kaki berkaus kaki putih di sana. Ia kembali melangkah sembari menelan ludah, menerka-nerka apa yang ada di baliknya.

"Seorang gadis?"


TBC


Dor! Ini buat IVFA periode pertama yang temanya 'Sing'! Tapi saya nggak yakin menang. Tapi kalo menang ya alhamdullillah, kalo enggak ya sudah tidak apa-apa :D

oke, ini cerita AkaiXNeru pertama. Habis itu, apakah yang bakal dilakuin Akaito ke Neru? Dibangunin secara kasar kah? diraep kah? #hush

oke, lupakan.

LIRIK LAGU BIKINAN SAYA! *meski ngak mutu, saya akui itu*

the last but not least,

review please!