DISCLAIMER : Masashi Kishimoto.

Pairing : NaruSaku always. Rated : T semi M (for language & etc.) Genre : Romance , Family. Warning : OOC. AU. Typos. Boring because mainstream theme. DON'T LIKE? DON'T READ!

Story by Hikari Cherry Blossom24


You're Not My Brother

.

.

.

x X x

Bocah pirang itu duduk di depan jendela sembari melamun, memandangi dedaunan yang berguguran dari pohon. Cuaca yang bagus. Matahari tidak terbit sepenuhnya, hanya menampak sosoknya dengan samar.

Angin berhembus pelan menggeser daun kering yang tertumpuk di bawah pohon, tentunya menggoyangkan dedaunan hijau segar di pohon tersebut. Seseorang muncul dari arah lantai bawah sembari membawa sapu dan sekop, yang berguna untuk menyapu halaman.

Perempuan pemiliki surai memutih itu mulai menyingkirkan serakan daun kering dari halaman. Terlihat dia mengerjakan dengan penuh kesabaran, bahkan tanpa ragu mengambilkan bola milik anak-anak yang menggelundung ke bawah kakinya.

"Terimakasih Nenek Chiyo.."

Perempuan tua itu tersenyum ramah, lalu mengacak surai jabrik milik bocah sopan tersebut. "Kalau main jangan bertengkar, bersikap baiklah kepada suadaramu." Bocah itu menggangguk semangat, mematuhi pesan yang diberikan.

Chiyo melanjutkan kembali pekerjaan, dan bocah tadi berlari sembari memeluk bola. Sekumpulan anak-anak tampak riang menyambut kedatangan sang bocah pembawa bola, kemudian mereka bermain dengan bola tersebut sembari di iringi oleh suara tawa mereka yang cempreng.

Lelaki pirang cilik itu menghela nafas menyaksikan ke asyikan di bawah sana. Bagaimana mereka bisa sebahagia itu? Dirinya yang bernasib sama sama tidak pula bisa tertawa riang seperti mereka. Ia kerap menyendiri, enggan bersosialisasi setelah melewatkan kejadian yang membekas di hati.

Naruto Namikaze, seorang bocah berambut pirang serta berwajah tampan dengan sepasang kumis di kedua pipi tembemnya. Dia anak yang menjadi korban dari perbuatan keji manusia. Kedua orang tuanya telah di lenyapkan di depan mata, pada saat dia bersembunyi di bawah tempat tidur.

Mereka adalah saingan bisnis Minato Namikaze, dan karena tak menerima kekalahan mereka pun berbuat keji dengan cara melenyapkan si pemenang. Naruto menyaksikan secara langsung bagaimana mereka menghabisi kedua orang tuanya. Kejadian yang terlewatkan tepat di depan mata.

Semua telah lenyap. Harta kekayaan, bahkan orang tersayang. Naruto tak lagi memiliki semua itu. Kini ia hidup sebatang kara di sebuah panti asuhan, karena tak satupun dari pihak keluarga yang sudi menampung dirinya.

Malang sekali, bocah berusia 12 tahun itu menjalani kehidupan suram di masa belianya. Menjalani hidup tanpa orang tua bersama orang asing yang menjadi saudara. Sosok periangnya dulu telah tergantikan oleh sikap dingin, pendiam dan enggan tersenyum.

Berkat karakternya yang berbeda serta memiliki pemikiran cerdas, sepasang Suami dan Istri yang mengunjungi panti asuhan tergugah ingin mengadopsinya. Menjadikan dirinya sebagai keluarga di kehidupan baru. Kemarin mereka datang lagi untuk mengurus formulir yang diperlukan, dan hari ini adalah waktunya.

Naruto melirik tas kecil miliknya yang terletak disudut pintu, dan saat mengembalikan tatapan keluar jendela seketika itu pula sebuah mobil sedan memasuki halaman panti. Senyum tipis terlukis di wajah rupawannya.

"Mereka sudah datang.." Tsunade senju yang di ketahui kepala panti di asrama penampungan ini segera beranjak meninggalkan tempat duduk. Wanita pirang pucat itu menyiapkan tas yang berisikan barang-barang milik Naruto, memindahkan tempat agar mudah diketahui.

Naruto melompat dari balkon, hendak menyambut kedatangan keluarga barunya. Inilah saatnya memulai kehidupan baru, lelah sudah terpuruk dalam kesuraman karena kenangan tragis di masa lalu. Kejadian satu tahun lalu ingin Naruto lupakan, ia ingin pasrah kepada takdir.

Tsunade menyentuh dagu lancip bocah itu. "Jadilah anak yang baik sampai kau dewasa nanti.." Ia meminta dengan senyum tulus, yang membuat Naruto turut tersenyum. "Jaga dirimu nak." Naruto mengangguk mantap, meyakinkan Tsunade tanpa menggunakan kata-kata.

Mebuki Haruno langsung memeluk tubuh kecil Naruto setelah tiba di ruangan kepala panti. "Kau sudah siap sayang?" Kemudian bertanya setelah melepas pelukan singkat mereka. Seperti sebelumnya, Naruto menjawab dengan anggukan.

Kizashi menerima document yang diserahkan oleh Tsunade. "Aku percayakan anak ini kepada Anda, tolong jaga dia.." Sementara itu Naruto mengambil tas miliknya, lalu berdiri menanti sambil membalas gandengan Mebuki.

"Mulai saat ini Naruto adalah putraku, dan kami akan merawatnya sebagaimana orang tua pada umumnya.." Tsunade tersenyum lega mendengar ucapan Kizashi. "Mohon kerja samanya." Mereka saling berjabat tangan. "Kami permisi.."

"Silahkan."

Sebelum keluar Naruto sempat berbalik menghentikan langkah mereka. Sembari menatap Tsunade senyum lebar menjadi penghias wajah tampannya. "Terimakasih." Mebuki tertegun. Bocah ini manis dan sopan.

Hanya orang kejam yang pelit air mata dengan keadaan seperti saat ini. Tsunade menyeka setitik liquid disudut mata, agar tak mengeluarkan suara parau maka hanya anggukan yang menjadi sahutan. Naruto tersenyum hingga deretan giginya terpajang, yang membuat wajah bulatnya tampak imut. Tsunade terkekeh.

Disepanjang jalan Naruto tampak melamun sambil memerhatikan perjalanan dari panti dibalik jendela. Terkadang Mebuki mengajaknya ngobrol agar mereka semakin dekat, dan Naruto menyahut setiap pertanyaannya dengan sopan.

Setengah jam dalam perjalanan, sekarang mereka tiba di tempat tujuan. Naruto menghirup udara, mengisi paru-paru setelah sekian lama tak menginjakan kaki di luar. Terdiri sebuah rumah mewah di depan mereka, dan Naruto terbiasa melihat rumah semewah itu. Bahkan dulu rumahnya lebih dari rumah mewah yang ada disana, atau bisa disebut mansion.

"Tadaima.." Mebuki memasuki rumah bersama Naruto, saat berada di dalam ruangan itu tampak kosong. "Hm, kemana Sakura?" Ia bertanya-tanya. Melepaskan tangan mungil Naruto, Mebuki berjalan menuju jendela untuk melihat taman. Tidak ada juga.

Naruto memiringkan kepala, menatap bingung Mebuki yang tampak linglung. Kizashi menyusul mereka dari belakang, dia tidak sendirian namun bersama seorang gadis pingky yang sedang digandeng olehnya.

"Cari Sakura ya..." Kizashi terkekeh.

Mebuki tersenyum. Gadis cilik yang bernama Sakura nyengir lebar, lalu menghampirinya untuk meminta sebuah pelukan. "Ibu darimana?" Sakura melepaskan pelukan mereka, dan bertanya sembari menatap wajah muda sang Ibu.

Wanita itu mengulus puncak kepala Sakura. "Mulai sekarang kau tak sendirian lagi, dia adalah saudaramu sekarang" Sang bocah yang tak mengerti tampak memgerjapkan mata bulat miliknya. Mebuki tertawa geli. "Kenalkan kakakmu.." Ia menarik Naruto, mendekatkannya kepada Sakura agar saling bekenalan.

Naruto cengo, tak kunjung mengenalkan diri ia malah menatap Sakura sambil berulang kali mengerjapkan mata. "Eemm.." Suara khas bocahnya terdengar, membuat raut heran di wajah imut Sakura berganti ekspresi. "Namaku Naruto, salam kenal."

Cengir Sakura kembali tampil, bahkan kali ini lebih lebar. Tubuh Naruto agak terhuyung ketika mendapat pelukan mendadak dari bocah 7 tahun itu. Sangking terkejutnya melihat perilaku Sakura sampai membuat Mebuki menutup mulut— menahan tawa, sementara Kizashi cengo menyaksikannya.

Naruto tertegun. Pelukan ini hangat dan erat, nyaman sekali. Kini ia tersenyum, tanpa raguu membalas pelukan tersebut. Mebuki menangis haru, sempat ada keraguan dalam hati Sakura mungkin menolak keberadaan Naruto diantara mereka. Namun apa yang terjadi?

Tentu sebaliknya. Sakura terlihat dengan senang hati menyambut kedatangan saudara angkatnya. Dia memberi pelukan sebagai persatuan mereka mulai hari ini.

x X x

Seorang gadis berusia 11 tahun dengan berani menantang para lelaki nakal yang mengolok dirinya. Lihatlah, dia berdiri dengan tangan terkepal dan pipi menggembung. Tatapannya begitu tajam, seolah dapat membunuh hanya melalui pandangan mata.

"Khahahaha..."

Melihat Sakura marah membuat mereka bertiga tertawa cempreng. Sakura semakin geram, pada saat hendak menyerang salah satu diantara mereka perbuatannya segera di hentikan.

"Jidat lebar payah, HAHAHAHA..."

Air mata menumpuk di pelupuk karena ejekan tersebut. Kakak kelas macam apa mereka, berani-beraninya menindas adik kelas. Terlebih seorang gadis. Lelaki yang menoyor kening Sakura terbahak karena sangking asyiknya membully.

Ino Yamanaka yang merupakan sahabat Sakura mencoba membela, namun dalam sekali dorongan gadis pirang itu jatuh terduduk. "Kalian berdua sama payahnya, lebih baik mati!" Telunjuk pemuda kelas 6 itu mengacung ke arah mereka. "Enyahlah kalian!"

"PERGI!" Sakura berseru lantang, meneriaki mereka yang suka menindas. Siapa yang bisa menemukan mereka di taman yang sepi ini? Kepada siapa mereka bisa minta pertolongan?

Bocah jabrik maju ke depan, mendekati para gadis cilik itu. Keduanya tampak saling berpelukan. "Dasar cengeng! Ayo lawan aku." Ia menunjuk dada dengan bangga, menantang dua gadis cilik yang menjadi bahan pembullyan. "Majulah kal—"

BAMM!

Satu pukulan keras mengenai wajah dari bocah banyak omong itu, langsung membuatnya terduduk sembari menangis. Dua bocah lainnya melarikan diri dengan tergesa meninggalkan sang teman yang menangis kencang karena kesakitan.

Naruto menyodorkan tangan di depan wajah Sakura. "Ayo pulang."

x X x

Sakura menyandarkan kepala pingkishnya di punggung lebar Naruto. "Bagimana kau bisa tahu aku ada di taman?" Leher kokohnya menjadi tempat berpegang oleh Sakura. Remaja pirang itu tersenyum mendengar pertanyaan tersebut.

"Aku bertanya kepada temanmu yang berambut mangkuk.." Memang tadi saat ingin menjemput Sakura Naruto tidak menemukan keberadaannya, lalu bertemu dengan bocah aneh dan bertanya mengenai Sakura. Dia menunjukan kepergian Sakura, mengatakan bahwa gadis pink itu tadi pergi ke taman belakang sekolah bersama Ino untuk memetik bunga. Mereka sangat menyukai bunga.

Bibir mungil Sakura mengerucut. "Padahal kalau kau tidak datang aku bisa menghajar mereka sendirian.." Naruto terkekeh geli. Percaya diri sekali dia, tak sadar seperti apa sikapnya pada saat di bully. Menangis sambil memeluk teman bukanlah sifat pemberani.

"Sungguh?" Dari nada bicaranya terdengar mengejek. Sakura kesal lalu memukul bahu Naruto. Bukan pukulan keras. "Sekuat apapun dirimu tetap saja kau membutuhkan aku, walaupun kau menolak."

"Tidak kok." Lagi-lagi sifat angkuh itu. Selama 6 tahun hidup bersama dalam satu atap membuat Naruto mengenal betul sifat Sakura. Gadis keras kepala namun baik hati, hanya saja terkadang tampak kejam disaat keegoisan dalam dirinya muncul.

"Up to you.." Naruto mengangkat bahu, bersikap acuh saja.

"Artinya?" Perlu di ketahui, Sakura belum terlalu memahami bahasa orang kulit putih. Sekarang masih dalam tahap pembelajaran di sekolah.

"Terserah padamu."

Jawaban yang tidak memuaskan, dan Sakura ingin jawaban yang lebih dari ini. "Hanya itu?" Naruto mengangguk. "Payah." Sakura mendengus. "Baka Naruto.." Pemuda itu tertawa, membuat Sakura semakin kesal karenanya.

"Ne Sakura, kenapa kau tidak mau memanggilku kakak?" Bukan saat ini, namun dari sejak awal kebersamaan tak sekalipun Naruto pernah mendengar kalimat 'Onii-Chan' tertuai dari bibir ranum Sakura saat menyerukan dirinya. Ia tidak terlalu menginginkan hal tersebut selama Sakura merasa nyaman bersama dirinya, tetapi cuma heran.

Sakura yang berada dalam gendongan Naruto tengah berpikir, di dalam hati menjelaskan alasan dari cara ia bersikap kepada Naruto. "Karena kau bukan kakakku." Hanya kalimat tersebut yang bisa ia lontarkan, itulah kejujuran Sakura.

Naruto tertohok. "Emm.. begitu ya."

"Humm.." Sakura menggangguk sebagai pembenaran.

"Baiklah, aku tidak akan bertanya lagi." Cukup mengherankan. Sakura dengan suka rela menerima keberadaan Naruto dalam keluarga mereka, mustahil jika Sakura membenci dirinya sedangkan yang selama ini ditunjukan kepada Naruto adalah sikap kepedulian. Bukan sikap membenci.

"Apapun anggapanmu kepadaku, kau tetaplah orang yang aku sayang setelah Paman dan Bibi."

Naruto melirik ke samping, melihat puncak kepala merah muda sedang bersandar di bahunya. Ia pun tersenyum.

"Jangan anggap aku sebagai adikmu, Naruto." Sakura mengingatkan, dan ini adalah untuk yang pertama kali dia ucapkan.

"Baiklah." Naruto patuh pada keinginan Sakura, karena dengan cara itu mungkin saja cukup membatu Sakura bahagia. Naruto pikir Sakura tidak ingin memiliki saudara karena pelit berbagi orang tua, tapi Naruto memaklumi keinginan Sakura.

Di tampung dalam keluarga mereka saja Naruto sudah sangat bersyukur.

x X x

Senyum Naruto merekah lebar ketika memasuki dapur langsung mendapati Sakura disana, lengkap dengan Kizashi dan Mebuki bersamanya. Naruto menghampiri mereka, namun Sakura tampak acuh dengan kedatangan dirinya.

Sejujurnya, semakin bertambah usia Sakura sikapnya pun berubah. Dari bocah kini menjadi gadis remaja yang suka mengambek, terutama kepada Naruto. Sesepele apapun masalahnya akan menjadi panjang jika menyangkut Naruto.

Naruto menyentuh puncak kepala Sakura. "Selamat ulang tahun.." Ia mengacak surai gulali tersebut, membuat si empu menggembungkan pipi. "Maaf ya aku tidak bisa menemani pestamu." Naruto sadar dimana letak kesalahan dirinya. Hari ini adalah ulang tahun Sakura yang kedelapan belas, namun karena tugas kantor mengharuskan dirinya menetap selama 24 jam di dalam ruangan kantor. Itulah mengapa saat ini Sakura manyun.

Kizashi terkekeh geli melihat tingkah manja Sakura. "Mengertilah sayang, Naruto bekerja untuk kita semua." Mebuki datang lalu menyajikan semangkuk ramen pedas di meja. Ramen adalah makanan kesukaan Naruto, tak heran sering kali Mebuki menyediakan hidangan khusus.

Tidak setiap hari karena Sakura bisa marah dengan alasan tidak baik untuk kesehatan. Sakura sangat peduli kepada Naruto, terutama masalah kesehatan. Dia bukan dokter, namun seperti dokter ketika berurusan dengan Naruto.

"Sakura.."

Gadis itu tak menyahut, menunjukan bahwa dirinya masih marah kepada Naruto. Lelaki pirang itu tak menyerah sampai disitu. Karena sedang berulang tahun Naruto telah menyiapkan hadiah untuk kejutan. Ia tahu Sakura pasti akan menyukai hadiah darinya.

"Sekali lagi aku ucapkan, selamat ulang tahun." Kemudian Naruto menyerahkan bingkisan merah muda kepada Sakura, dan di terima dengan wajah cemberut. "Jangan ditatap saja, ayo buka.." Naruto jenuh melihat Sakura tak langsung membuka bingkisan tersebut, dia malah menatapnya dengan raut bertanya-tanya.

Mebuki yang penasaran ikut bergabung dalam kebersamaan mereka. "Wah, kelihatannya istimewa." Cibirnya, atau bisa dibilang cemburu. Ia juga ingin mendapat perlakuan manis dari Naruto. Memang pernah bahkan berkali-kali, namun Mebuki ingin diperlakukan seperti itu lagi. Ia merindukan hari indah itu.

Naruto tersenyum geli. "Harus yang istimewa kalau untuk Sakura.." Gadis merah muda itu mendengar perkataan Naruto memilih acuh dan berkutat dengan bingkisan hadiah di tangannya. Setelah sobekan terakhir usailah sudah, dengan segera Sakura membuka tutup kotak yang membuat kedua matanya berkilat saat melihat isi di dalam kotak tersebut.

"Baju cuople!" Sepasang busana dengan rancangan yang elegan, kemeja kotak-kotak berlengan panjang. Tersisa satu milik pasangan pria, dan Sakura menoleh ke arah Naruto. "Kita pakai berdua, okay." Naruto terkejut. Ia pikir Sakura akan memberikan baju itu pada kekasihnya. Apa mungkin sampai saat ini dia masih single? Sepertinya begitu.

"Baiklah."

Jawaban yang memuaskan, Sakura yang kegirangan langsung memeluk tubuh berotot Naruto. "Hanya kau yang bisa mengerti diriku, Naruto." Pelukannya mengerat, tanpa sadar hasrat Naruto bergejolak karena sentuhan tubuh mereka. Tonjolan kembar mendesak dadanya, sehingga kesulitan bernafas normal.

Sudah cukup, semua ada batasnya. "Sakura, panggil Naruto kakak!" Dan ini adalah teguran pertama Mebuki terhadap Sakura mengenai panggilan kepada Naruto. Padahal selama ini Naruto sama sekali tak merasa keberatan, merekalah yang keberatan karena sikap Sakura.

Kizashi menyentuh punggung tangan Mebuki, mengingatkan sang Istri untuk tetap tenang. Sakura sudah dewasa, saatnya dia untuk merubah sikap terutama kepada Naruto. Sudah seharusnya dilakukan.

Sakura kesal lalu melepaskan Naruto. "Tidak mau!" Tak sepenuhnya memisahkan diri, tanpa mereka sadari kedua tangan Sakura melingkari pinggang Naruto. Perbuatan gadis itu terutup oleh wajah polosnya.

"Kenapa?" Sang Ayah bertanya.

Tatapan Sakura menajam, Naruto tertegun karena tatapan tersebut. "Karena Naruto bukan kakakku." Jawaban itu lagi. Setelah beberapa tahun terakhir kali Naruto mendengar jawaban tersebut, kini kembali pernyataan yang sama terlontar, dan ini sudah yang kedua kalinya.

"SAKURA!"

Mebuki menggebrak meja, sontak mengejutkan mereka. Sakura tampak acuh, dan tak kunjung melepaskan pinggang Naruto. Tidak! Selamanya Naruto tak kan menjadi kakak untuk dirinya. Dia tetaplah Naruto, bukan kakak, adik atau pun saudara. Sekali Naruto akan seterusnya menjadi Naruto.

"Pokoknya Naruto bukan kakakku!" Sakura memicing. "Ingat Naruto, jangan anggap aku sebagai adikmu!" Usai memperingat Sakura pun berlalu meninggalkan ruang makan, tak lupa membawa hadiah pemberian Naruto.

Mebuki kembali duduk, lalu memijit pelipis. Apa yang bisa mereka harapkan dari Sakura? Bertambah dewasa sikapnya semakin buruk, anehnya sikap buruk itu dia tujukan kepada Naruto seorang. Buruk karena tak pernah mau menganggap Naruto sebagai kakak. Entah dia menganggap apa, namun Kizashi pikir ada sebuah rahasia yang sengaja Sakura simpan seorang diri.

Naruto mengusap bahu Mebuki. "Tidak apa-apa Bibi.." Karena Sakura enggan menganggap dirinya, Naruto pun tak mempunyai keberanian untuk memanggil Ibu dan Ayah terhadap kedua orang tua angkatnya. Cukup menganggap mereka sebagai saudara saja selama tidak ada yang keberatan, dan selama Sakura tak terganggu dengan keadaan mereka.

"Maaf, Naruto.." Pria muda itu tersenyum. Mebuki semakin sedih, bahkan sampai meneteskan air mata. "Maafkan aku..." Kemudian dirinya menghambur ke dalam pelukan Naruto, mencurahkan kesedihan di dada bidang tersebut.

Sikap Sakura terus berlarut hingga ke tahun selanjutnya. Enggan menganggap kakak kepada Naruto, dan tak sudi pula dianggap adik oleh Naruto. Ingatlah kata Sakura, mereka bukan saudara.

x X x

Bukhh

Tubuhnya terhempas di kasur nan empuk tersebut. Terdengar helaan nafas— jenuh, lelah karena menghadapi kenyataan. Gadis itu mengambil bingkai foto di dekat meja, dan mengamati foto tersebut dengan wajahnya yang terlihat sedih.

"Kau bukan kakakku.." Sakura mengusap wajah Naruto yang terdapat dibalik bingkai indah tersebut. "Bukan juga saudara, tetapi kau adalah orang teristimewa dalam hidupku." Inilah alasan yang membuat Sakura enggan menganggap kakak kepada Naruto.

Mereka selalu bersama, terutama Naruto yang selalu melindungi dirinya bak pahlawan super. Perlakuan Naruto lah yang membuat hati Sakura terbuka ingin memiliki dia. Selama ini Naruto memperlakukan dirinya seperti seorang putri raja, dia juga selalu memenuhi apa saja yang Sakura inginkan.

Bagi Sakura sosok Naruto lebih dari dari sekedar teman, saudara atau apalah itu. Ia menganggap Naruto sebagai seseorang yang spesial. Naruto bukan kakak, tetapi kekasih yang telah lama Sakura anggap. Bahkan sejak mereka kecil.

Naruto adalah kekasih Sakura Haruno, cinta sepanjang masa dalam hidupnya. Naruto miliknya seorang, tak satupun ada yang berhak memiliki Naruto selain dirinya. Inilah Sakura yang sebenarnya, orang yang mencintai Naruto Namikaze dan tetap menyandang nama belakang Namikaze karena Sakura tak menganggap dia saudara.

"Aku ingin kau disini.." Sakura mendekap foto Naruto, memeluknya setiap malam sebagai teman tidur. Sering kali Sakura mencuri kesempatan saat tengah malam memasuki kamar Naruto, yang di dapati hanyalah raga kosong. Maksudnya ketika Sakura menyusul ke kamar Naruto sudah terlelap bersama suara dengkuran.

Menyebalkan memang, namun harus Sakura akui kalau melihat Naruto terlelap ia tak tega menggunggahnya. Lelaki itu kekelahan karena pekerjaan kantor yang diserahkan oleh sang Ayah. Kizashi mempercayakan perusahaan mereka kepada Naruto, cabang Haruno dapat berkembang berkat kecerdasan otak Naruto dalam mengendalikan perusahaan. Dialah yang sudah memperbesar tempat mereka menghasilkan uang.

Belasan tahun Sakura bersabar, tapi apa selamanya ia akan terus bersabar? Tentu saja tidak. Lampu biru yang selama ini Sakura jadikan sebagai sinyal akhirnya mendapat respons. Perlahan Naruto mulai memandangnya tidak lagi dengan pandangan kasih sayang kepada saudara, hanya itu yang Sakura sadari baru-baru ini.

Singkatnya Naruto telah memahami dibalik perlakuan buruk Sakura dalam menganggap dirinya. Terlihat jelas dari cara Sakura bertingkah, yang kerap sekali membuat tubuh Naruto bergejolak. Dan semua itu nyata.

Sementara ini Naruto menjenguk Sakura dari luar kamar, hanya berdiri di depan pintu melihat gadis itu memunggunginya. Dia tidak mengetahui kedatangan dirinya memang. Naruto memandang lekat punggung ramping disana, berpikir mengenai sikap Sakura kepadanya selama ini.

"Semakin dewasa kau semakin berbeda.." Naruto bergumam disana. Sakura bukan lagi gadis remaja labil, sekarang dia sudah dewasa diusianya yang kedua puluh satu tahun. Dia telah menjadi sosok gadis jelita berparas manis, Naruto suka melihat gadis semanis dirinya.

Samar-samar Sakura mendengar suara eksotis, bahkan menyadari keberadaan seseorang, tapi sayang ketika berbalik hanya daun pintu yang terdapat disana. Waktunya kurang tepat, Naruto baru saja pergi tanpa tahu Sakura akan melihat dirinya.

Sakura menghela nafas. "Naruto.." Sungguh, ia ingin sekali Naruto berada disini walau hanya sesaat, atau bahkan 1 detik. Berada disini bukan untuk membantu mengerjakan tugas kuliah tetapi karena keinginan dari hati sendiri.

Tak mudah memang membawa Naruto ke kamar ini, terutama dalam keadaan menggoda. Berpikir kotor membuat Sakura terkekeh, ia juga merona sendiri. Selama ini mereka sering kali bersentuhan secara fisik, Sakura sadar yang ia lakukan sangat mengganggu jiwa Naruto, tetapi ia suka.

"Apa yang bisa kau lakukan..." Gadis itu bergumam, lalu tertawa cekikan. "Ide yang bagus." Dia meregangkan tubuh sebelum memejamkan mata. Seperti yang dipikirkan, sebuah rencana kotor terlintas dalam benaknya untuk membawa Naruto ke kamar ini. Tentunya dengan tubuh seksi Naruto.

x X x

Naruto memutar kran shower. "Hm?" Ia pun berkerut heran ketika yang di tunggu tak segera menghujami tubuh telanjangnya. "Mati?" Mencobanya lagi, namun nihil karena shower tersebut tak benar-benar tak berfungsi. "Aisshh..." Naruto meradang. Entah apa yang salah, tapi gara-gara tidak bisa mandi waktu berharganya pun habis sia-sia.

Pria itu kesal karena mendadak shower tidak bisa digunakan. Setidaknya hanya shower miliknya yang tak berguna, masih ada kamar mandi tamu yang bisa dipakai.

Sungguh? Tentu saja tidak.

Kembali Naruto menelan kebenaran menyesakan pagi ini. Setelah shower di kamar mandi pribadi miliknya, kini giliran shower milik kamar mandi tamu yang tak berfungsi. Apakah gerangan? Listrik menyala, tegangannya juga sempurna. Pagi yang sial.

Naruto keluar dari kamar mandi tamu dengan hati dongkol. "Tidak mungkin aku lakukan.." Sangat memalukan bila dirinya mengetuk pintu kamar Kizashi karena alasan ingin numpang mandi. Itu bukanlah tindakan yang sopan, mengganggu sepasang Suami Istri di pagi hari.

"Kau belum mandi?" Sakura menyapa Naruto yang berkeliaran tanpa busana, hanya mengenakan handuk kimono sebagai pelindung tubuh. "Kenapa kau keluar dari sana?" Ia menatap ke arah letak kamar mandi tamu, dimana munculnya sosok Naruto.

Lelaki pirang itu menatap Sakura dari ujung kaki hingga puncak kepala. Kelihatan segar juga wangi. "Kau sudah mandi?" Dia menganggukan kepala. Naruto tertegun. Mata sipit miliknya berulang kali mengerjap. "E-etto..." Sakura memiringkan kepala.

Naruto menggaruk tengkuk, mengalihkan pandangan agar terhindar kontak secara langsung dengan Sakura. "Kenapa?"

Untuk apa malu, lebih baik berkata jujur selagi ada pertolongan. Naruto menghela nafas. "Shower di kamar mandiku tak berfungsi, kebetulan kau sudah mandi jadi bolehkah ak pin—"

"Kau boleh memakai kamar mandiku sesuka hati.." Kalimat Naruto tersela. Sakura langsung mengizinkannya memakai kamar mandi sebelum kalimatnya sempat tuntas.

"Eemm..." Naruto menggaruk pipi. "Terimakasih." Ucapnya dan bergegas melalui Sakura. Setelah Naruto masuk terlihat sudut bibir Sakura menarik ke atas, melukis seulas senyum geli di wajahnya yang cantik.

"Hihihihi.." Sakura terkekeh. "Baka."

Srshh..

Naruto menghela nafas lega. "Akhirnya..." Air ini hangat sekali, ia sangat menikmati setiap tetes dari air hangat tersebut dengan kepala menengadah. Sembari menyirami tubuh Naruto sedang menggunakan sabun keseluruh badan, lalu shampoo.

Busa dari shampoo meleleh ke wajah pria itu, yang membuat matanya terpejam untuk menghindarkan perih karena terkena busa shampoo. Sialnya, saat sedang berlumuran busa mendadak saja shower tersebut mati.

Naruto kewalahan mengulang kembali menyalakan kran shower. Seketika itu pula ia panik. "Sial!" Dan lagi, ia tak bisa melihat gara-gara busa shampoo mengenai mata. Mencoba meraba setikar bilik untuk menemukan handuk, anehnya Naruto tidak menemukan kimono miliknya tadi. "Dimana!?" Ia berseru panik.

"DIMANA!"

Tiba-tiba Sakura berada di dalam kamar, dia masuk karena mendengar teriakan panik Naruto dari luar. "Naruto, ada apa?" Sakura mengetuk pintu kamar mandi, berpura-pura cemas di tengah aktingnya dalam mengubah nada. Padahal saat ini perempuan itu sedang tertawa sehingga wajahnya memerah.

Tangan Naruto muncul dari dalam. "Sakura, tolong aku. Showernya mati dan sekarang aku tidak bisa melihat apa-apa karena busa-busa ini." Naruto mengucak mata. Bukannya segera bisa melihat, justru matanya sekarang menjadi perih. "Lakukan sesuatu!" Ia panik lagi. Sungguh, ini sangat menyebalkan.

"Kau tunggu disini, akan aku bawakan air.."

Naruto menggerakan tangan naik dan turun. "Cepatlah!"

Sakura mengulum senyum. "Iya iya, baiklah."

Beberapa saat kemudian Sakura kembali sambil membawakan satu ember air bersih, tak begitu lama juga Naruto menunggu. Naruto yang tengah panik tak menyadari situasi, bahkan ketika Sakura masuk ke dalam dan menyiramkan beberapa gayung air.

"Ya Tuhan, naasnya aku di pagi ini.." Ocehan Naruto membuat Sakura tertawa. "Aku terlambat ke kantor." Hal lain mengalihkan perhatian Sakura. Naruto tidak cepat sadar, bahkan dia terlihat menikmati segayung demi gayung air yang disiram oleh Sakura.

Pipi mulus itu memerah. "Haaa, dia bangun."

Wajah Naruto menghadap ke arah Sakura, tapi kedua matanya masih terkatup. "Apanya yang bangun?"

"I-itu..." Sambil malu-malu Sakura menunjuk ke area selangkangan Naruto. Benda itu bangun dengan gagahnya. "Kejantananmu." Naruto tertegun. Kejantanan? Sakura menyosorkan kepala, dia melongok— ingin melihat junior tersebut lebih dekat. Ia berdecak kagum, dan menghiraukan darah segar yang mengucur dari hidung.

Naruto terkejut. "GYAAAAAAHH!"

Teriakan membahan itu menyebabkan beberapa burung meninggalkan dahan pohon, menyisakan kesepian di pohon raksasa tersebut.

"Hihihihi..." Sambil tertawa cekikikan terlihat Sakura baru keluar dari kamar mandi, bahkan sebelum beranjak dia sempat menyentuh adik kecil Naruto, yang langsung membuat Naruto berteriak karena kaget. Besar tapi menggemaskan.

Naruto yang shock tersandar lemah didinding bilik dengan nafas terengah. "Hosh hosh..." Dadanya memompa naik turun. Harusnya merasa segar setelah mandi, tapi yang Naruto rasakan justru sebaliknya. Sekarang ia merasa sangat gerah.

Saat melirik ke bawah selangkangan tampak benda yang tadi Sakura sentuh berdiri tegak seperti tiang bendera. Naruto menelan ludah. Ternyata 'adik kecil' itu menginginkan liang surga milik Sakura. Sialan, sekarang hidungnya mengeluarkan darah mesum.

Naruto frustasi dan mengacak rambut. "Kau tak boleh lakukan itu.." Ia menyentil ujung tumpul milik benda tersebut, lalu berjengit karena perbuatannya sendiri. "Jangan lancang!" Bak orang kurang waras Naruto menghujami kejantanan miliknya dengan telunjuk tangan yang mengacung dan mata memicing.

Apa yang harus Naruto lakukan ketika menghadapi Sakura setelah melalui kejadian konyol ini. Memikirkan itu membuat batinnya tertekan. Ia frustasi. Sialnya ketika sedang sibuk memikirkan cara untuk menghadapi Sakura kejantanan miliknya enggan tidur sebelum melepaskan sesuatu yang tertahan.

"Eehmhh.." Naruto mengalihkan muka, lalu dengan ragu menggenggam benda miliknya menggunakan sebelah tangan. Tak masalah tidak mendapatkan kewanitaan Sakura, selama bisa menggunakan tangan sendiri semua masalah beres dalam sekejap.

"Enghh... sial."

x X x

Wajah Naruto bersemu. Astaga, melihat senyum geli yang Sakura kulum sungguh membuatnya begitu malu. Ia bahkan tak mempunyai keberanian menatap Sakura, terlebih saat ingat onani sambil membayangkan wajah manis perempuan itu. Nista sekali.

"Ayah..."

Kizashi mengganti halaman koran. "Hm?"

Sakura menatap Naruto yang duduk diseberangnya. "Aku berangkat ke kampus bersamaan dengan Naruto, ya?" Mereka satu jalan, hanya sedikit lebih jauh kantor sebelum kampus Sakura.

Lelaki lansia itu melirik Naruto. "Bagimana Naruto, kau tak keberatan?" Yang di tanya mengangguk enteng, membuat senyum Sakura makin berseri. Naruto bahkan tak bisa menolak ketika Sakura ingin berangkat dengan dirinya, kebetulan pula Kizashi cuti sampai minggu depan. Secara otomatis mereka bisa berduaan di mobil.

Sakura beranjak. "Ne, aku siap-siap dulu!" Ia berseru dengan penuh semangat, tak mengetahui keadaan Naruto saat ini.

Dirinya bersandar lemah di kursi, menatap sekitar dengan pandangan berkunang-kunang. "Ya Tuhan, cobaan ini berat sekali.."

TO BE CONTINUE..


Twoshot lagi, karna kalo cuma oneshot bakal jadi kepanjangan, wkwkwkwk...