Dunia telah berubah. Semua negara telah musnah, mereka yang bertahan akhirnya bersatu untuk menciptakan satu sistem baru untuk tetap mempertahankan peradaban. Kemajuan ilmu pengetahuan telah menciptakan generasi baru yang tangguh dan nyaris abadi, Infinity, begitu mereka menyebutnya. Akan tetapi di saat bersamaan para 'calon' Infinity yang gagal akan terlahir sebagai individu yang lemah dan tidak dapat bertahan lama.

Angka kematian melonjak begitu pesat. Lab penelitian tempat para Infinity diciptakan pun ditutup bersamaan dengan ditegakkannya larang untuk semua jenis penelitian yang menyangkut pengembangan penciptaan para Infinity.

Para ilmuan dan dokter yang terlibat dalam kasus itu menghilang begitu saja tanpa jejak dan tidak ada satu pun yang berani untuk mencari tahu kebenarannya. Semua orang seakan menutup mata dan pura-pura tidak melihat.

Kehidupan para Infinity yang berhasil bertahan bagaikan sebuah neraka. Mereka diculik dan diburu untuk dijadikan pengantin bagi para kaum aristokrat yang menginginkan keabadian untuk keturunannya kelak. Padahal belum ada fakta atau pun teori untuk membuktikan hal itu.

Tersebar pula desas-desus tentang para Infinity yang diburu untuk dijadikan bahan penelitian oleh suatu kelompok yang menentang pemerintahan dan menyebut diri mereka sebagai Zoetrope. Apapun mereka, yang pasti tidak lebih buruk untuk kesalamatan para Infinity. Karena sangatlah mudah bagi para pengumpul menemukan para Infinity.

Mereka memiliki karakteristik yang cukup unik. Para Infinity memiliki wajah cantik jelita yang tak akan pernah pudar termakan usia, berlaku untuk wanita maupun pria. Selain itu, mereka memiliki mata biru sejernih mata air yang tidak dimiliki individu lainnya. Juga kulit semulus porselen dan helai rambut berwarna cerah selembut sutra. Bisa dibilang sebagai mahkluk yang hampir mendekati kata sempurna.

Disclaimer:

Saint Seiya ©Kurumada Masami

Saint Seiya The Lost Canvas ©Shiori Teshigori

Utopia For Our Dystopia Stories ©AkaKuro815

Alternative Universe

Defteros x Asmita / Aspros x Asmita

Warning :

Maybe OOC, Typo's

xoxoxo

Tidak ada yang lebih buruk lagi bagi Asmita setelah ia terpisah dari adiknya, Shaka. Setelah ribuan kali ia dan adiknya itu berhasil kabur dari pengejaran para pengumpul akhirnya hanya sampai disini lah perjuangannya.

Kejadiannya begitu cepat sehingga ia tidak menyadari apa saja yang sudah terjadi. Semuanya berawal ketika ia dan Shaka berpencar untuk mengumpulkan makanan maupun barang berharga di sebuah pemukiman kecil yang tertinggal untuk perbekalan. Asmita tidak tahu bahwa setiap rumah maupun mini market di sana sudah dipasangi banyak kamera pelacak untuk mendeteksi orang-orang seperti dirinya dan adiknya.

Saat ia tersadar ia sudah terlambat. Adiknya tidak ada dimana-mana meski ia sudah berteriak memanggil-manggil namanya sambil berlari mengelilingi pemukiman kecil yang bagaikan kota mati itu. Tak lama kemudian beberapa pria berpakaian serba hitam dengan penutup kepala sudah mengepungnya sambil menodongkan senjata. Asmita tidak dapat berbuat banyak, ia tidak memiliki senjata apa pun untuk bisa melawan, ditambah perasaan kalut memikirkan nasib adiknya. Ia telah kalah.

Xoxoxo

Asmita dikurung di sebuah gudang tua yang gelap dengan para Infinity lainnya. Ia hanya bisa duduk di sisi pojok ruangan, bermeditasi, berdo'a untuk keselamatan adiknya, mengabaikan isak tangis para gadis di dalam sana.

Derit nyaring engsel saat pintu besi dibuka begitu memekakkan telinga. Asmita menyudahi meditasinya, mata birunya yang sejernih mata air menangkap beberapa sosok hitam masuk ke dalam. Menodongkan senjata kepada seluruh orang yang ada di gudang itu sambil memberi perintah kepada mereka untuk berdiri dan secara teratur keluar dari gudang.

Saat itu gerimis ketika ia dan tahanan lainnya dipindahkan ke sebuah truk berwarna silver yang akan membawa mereka pada akhir nasib yang tentunya tidak akan ada yang berakhir baik.

.

Panas dari tubuh sekitar tiga puluh orang menguapi seluruh ruangan yang memang tanpa jendela, membuatnya menjadi begitu sesak dan pengap meski diluar sedang hujan deras. Asmita duduk di dekat dinding mobil sehinga ia bisa bersandar sambil memeluk kedua kakinya yang dilipat.

Setelah setengah hari perjalanan yang begitu hening dan terasa menyesakkan akhirnya roda truk itu berhenti berputar. Seorang serdadu membuka pintu box yang mengurung para Infinity dan memaksa mereka semua untuk turun.

Dalam pandangan berkabut karena setengah mengantuk Asmita turun dari truk. Rumput basah menggelitik kakinya yang telanjang ketika pertama kali menjejakkan kaki. Gedung berwarna kelabu menjulang di hadapannya bersatu padu dengan langit kelabu yang semakin gelap memunculkan warna muram dimana-mana.

Suasana hening menyelimuti sebelum suara derit pintu kayu mahoni ganda yang kini sudah terbuka lebar-lebar. Seorang pria berambut panjang gelap keluar dari bangunan besar tersebut. Wajahnya tampan tetapi menunjukkan ketegasan bahwa ialah yang berkuasa. Kulitnya yang begitu putih anomali membuat pria yang berumur sekitar pertengahan tiga puluhan itu terlihat bak mayat hidup.

"Bawa mereka ke dalam. Pisahkan antara laki-laki dan perempuan."

Jubah hitam pria itu berkibar ketika ia berbalik masuk ke dalam bangunan besar itu. Suaranya yang terdengar begitu dingin masih terngiang di telinga Asmita. Setelah itu ia dan para Infinity lainnya digiring masuk oleh para penjaga.

.

Asmita bersyukur bahwa ia sudah melewati proses penyortiran gender yang terbilang tidak menyenangkan. Hanya ada satu cara agar tidak keliru saat memisahkan antara perempuan dan laki-laki Infinity—dengan cara menelanjangi mereka. Menanggalkan seluruh kain yang menutupi tiap lekuk indah tubuh mereka. Terkutuklah orang-orang yang dengan sangat berani melakukan hal menjijikan seperti itu.

Setelah proses pemisahan selesai, antara laki-laki dan perempuan dibawa ke tempat yang berbeda. Masing-masing dari mereka dibuat berpasang-pasangan dan diberikan sebuah kamar. Asmita berpasangan dengan seorang Infinity berambut senada langit dengan tahi lalat di bawah mata kirinya yang ia ketahui bernama Albafica setelah melakukan perkenalan singkat.

Kesan pertama Asmita pada room mate barunya itu, dia memiliki kecantikan yang luar biasa namun mematikan. Wajahnya tenang namun ketus diwaktu yang bersamaan. Jika diumpakan mungkin bunga mawar yang paling cocok untuknya.

Meski Albafica terbilang kurang ramah dan tidak ingin disentuh barang sedikit pun, Asmita cukup nyaman bisa satu ruangan dengannya. Albafica tipikal orang yang sama sepertinya, yang menyukai ketenangan. Hanya sesekali saja mereka didapati mengobrol dan itu pun hanya obrolan-obrolan singkat.

Dan diluar dugaan, Albafica dengan senang hati membagi kisahnya sebelum berakhir di tempat ini bersama Asmita. Tidak sepertinya yang berkelana bersama adiknya untuk lari dari pengejaran para pengumpul, Albafica justru disembunyikan oleh ayahnya yang dulu termasuk salah seorang ilmuan yang selamat dari insiden 'pembasmian' barang bukti penelitian para Infinity.

Namun pada akhirnya nasib baik juga tidak berpihak kepadanya. Ayahnya meninggal karena tertembak ketika berusaha menyelamatkannya. Asmita merasa simpati pada Albafica tentang kematian ayahnya itu. Asmita sedikit mengerti karena ia memiliki masalahnya sendiri karena kehilangan Shaka.

"Rasanya tidak adil. Bukan berarti kita—para Infinity menginginkan kehidupan seperti ini." Ucap Albafica sambil merangkak naik ke atas tempat tidurnya. Memposisikan dirinya senyaman mungkin dalam balutan selimut sebelum jatuh tertidur.

Asmita berbaring terlentang di atas tempat tidurnya, mata biru jernih miliknya yang ia anggap sebagai kutukan menatap langit-langit ruangan yang berwarna putih.

Bukan hanya Albafica yang merasakan hal seperti ketidak adilan. Ia dan seluruh Infinity juga merasakan hal yang sama. Tidak ada satu pun di antara mereka yang ingin terlahir dengan kelebihan yang pada akhirnya menjadi penderitaan bagi diri mereka sendiri.

Asmita merubah posisinya dengan berguling menghadap ke samping. Di sampingnya Albafica sudah hanyut dalam dunia mimpi miliknya sendiri. Perlahan rasa kantuk menggelayuti kelopak matanya dan tanpa sadar ia pun jatuh tertidur.

xoxoxo

Suara ketukan keras membangunkan Asmita pagi-pagi sekali. Dia baru saja bangkit dan menahan berat tubuhnya dengan kedua siku ketika pintu terbuka dan seorang penjaga masuk dengan senjata teracung.

"Bangun dan bersiaplah, Nona-nona." Katanya yang tentu mengandung sebuah ejekan.

Asmita masih belum sadar sepenuhnya dari tidur ketika dirinya dan Albafica digiring melewati beberapa koridor panjang dan suram. Beberapa kali ia hampir saja jatuh tersandung karena para penjaga yang menggiring mereka terus mendorong dari belakang agar ia dan Albafica berjalan lebih cepat.

Ketika mencapai sebuah persimpangan berbentuk T, ia dan Albafica dipisahkan. Asmita ke sebelah kiri sedangkan Albafica ke sebelah kanan. Sebelum mereka benar-benar tidak dapat melihat satu sama lain lagi, keduanya saling memberikan tatapan saling menguatkan. Bahwa apapun yang akan terjadi selanjutnya, mereka akan baik-baik saja.

Para penjaga yang membawanya berhenti tapat di depan sebuah pintu bercat putih dengan aksen ukiran yang diwarnai emas. Asmita di dorong masuk ke dalam ketika pintu tersebut dibuka. Ruangan itu hanya berisikan seperangkat kursi lengkap dengan mejanya, lemari kaca antik dan beberapa benda dekorasi tambahan.

Seorang pria berwajah tegas duduk di salah satu kursinya dengan gaya bak seorang raja. Wajahnya tampan namun terlihat sedingin es. Rambut biru gelapnya yang panjang begitu kontras dengan warna mata dan kulitnya yang seputih porselen. Andai saja ia seorang gadis, mungkin saat ini Asmita sudah terpesona pada sosok tersebut.

Asmita merasakan sebuah dorongan besar pada punggungnya, ia memekik ketika jatuh tersungkur ke lantai.

"Mulai detik ini kau akan ikut bersamanya."

Asmita mengangkat wajahnya, mendapati sosok seorang wanita berambut hitam panjang berjalan mendekat. Gaun koktil hitamnya menjuntai anggun saat ia berjalan.

"Beraninya kau menatapku seperti itu, manusia rendahan!" Pekik wanita itu sambil menjejalkan tumit sepatu berhak miliknya ke wajah jelita Asmita.

Asmita merintih kesakitan, darah segar mengalir dari pelipisnya. Namun wanita itu terlihat sama sekali tidak menyesali perbuatannya. Bahkan ia sempat menggumamkan bahwa betapa menjijikan dan membuatnya muak melihat wajah cantik Asmita.

Pria yang pertama kali Asmita lihat ketika memasuki ruangan menepuk-nepuk telapak tangannya sebanyak dua kali sebelum berdiri dari kursinya. Ia berjalan mendekat menghampiri Asmita.

"Anda tidak perlu sekasar itu padanya, Nona Pandora. Anda lupa bahwa dia sekarang adalah 'milik' saya. Seharusnya anda tidak diizinkan 'merusaknya' barang sedikit pun."

Sungguh, Asmita sangat membenci bagaimana cara pria itu mengucapkan tentang dirinya bagaikan sebuah barang. Kalau saja ia memiliki kekuatan, ia mungkin sudah menerjang dan menghantamkan kepala pria itu ke siku meja yang runcing.

Asmita melirik pada wanita bernama Pandora yang menjadi tersangka penyebab luka di pelipisnya terlihat begitu gugup. Ia seakan kesulitan untuk berucap dan tubuhnya bergetar. Asmita tidak mengerti bagaimana pria itu bisa semenakutkan itu baginya.

"M-mohon maafkan saya, Tuan Aspros. Saya—saya hanya—"

"Cukup, Nona Pandora." Nadanya tidak membentak, namun terdengar begitu mengintimidasi. Bahkan wanita bernama Pandora itu sampai tak mampu lagi melanjutkan kalimatnya. "Bawa dia dan obati lukanya. Kita pergi." Kata Aspros pada para penjaga, matanya biru gelap miliknya melirik Asmita ketika ia berlalu keluar ruangan.

xoxoxo

Aspros membawanya ke sebuah mansion yang begitu besar dan megah bergaya Eropa. Di gerbangnya yang menjulang terdapat simbol sepasang anak kembar yang dalam konstalasi perbintangan merupakan simbol Gemini.

Aspros memarkir mobilnya tepat di depan pintu utama. Asmita sudah membayangkan deretan pelayan yang akan menyambut mereka ketika pintu ganda berwarna cokelat itu terbuka. Namun hal itu tidak terjadi, yang muncul hanya seorang lelaki tua dengan tubuh ringkih di balik balutan tuxedonya. Lelaki tua itu membunguk hormat menyambut tuannya. Sedangkan Aspros segera melenggang masuk diikuti Asmita yang mengekor di belakangnya.

.

Asmita dibawa ke sebuah ruangan yang terbilang cukup megah dengan lampu keristal menggantung di atasnya dan tirai-tirai mahal yang menutupi jendela. Sebuah ranjang berukuran queen size berada tepat di tengan ruangan. Properti pendukung lain seperti lemari, meja kecil, kursi dan sebagainya juga nampak menghiasi ruangan.

Namun yang menarik perhatian Asmita adalah sebuah balkon yang mengarah tepat ke taman yang berada di halaman belakang mansion. Seekor burung camar terbang mendekat dan bertengger di pagar balkon. Kedua kaki kurusnya melompat-lompat menyamping seperti ingin lebih dekat pada Asmita.

Asmita tersenyum, melambaikan jemarinya memberi isyarat agar burung itu mendekat. "Kemarilah burung kecil."

Pintu mahoni ganda yang menjadi jalan masuk ke ruangannya tiba-tiba saja berderak dan terbuka. Sosok Aspros dengan pakaian yang lebih santai masuk begitu saja tanpa permisi. Asmita terkesiap melihat kedatangannya, membuat burung camar tadi terbang pergi.

"Apa mau anda?" Sergah Asmita dengan ketus.

Bohong jika ia tidak penasaran dan curiga dengan motif sebenarnya pria bangsawan bernama Aspros ini karena telah mengambilnya dari tempat penampungan para Infinity. Maksudnya, dari kabar yang ia dengar, pria muda dari kalangan aristokrat seperti Aspros biasanya rela membayar mahal untuk seorang gadis Infinity, bukan seorang pemuda seperti dirinya.

Mengadopsi mereka untuk dijadikan pendamping hidup dan menghasilkan bibit unggul. Apa keuntungan yang Aspros dapat dengan memilih dirinya? Laki-laki ditambah laki-laki sama dengan tidak menghasilkan apa-apa.

Pikiran buruk mulai menggantungi benak Asmita. Bagaimana jika Aspros adalah salah satu dari mereka yang menyebutkan diri sebagai Zoetrope? Apa ia akan dijadikan bahan penelitian? Setiap struktur organ tubuhnya akan dibedah untuk dipelajari?

"Sekali lagi aku bertanya, apa mau anda?!"

Aspros tersenyum,"Mansion ini milik saya. Segala sesuatu yang saya inginkan atau lakukan disini sudah menjadi hak saya. Selama berada di ruang lingkup tempat ini maka saya lah yang memegang kuasanya."

Jelas itu bukanlah jawaban yang tepat yang bisa memuaskan Asmita. Ia bertanya bukan untuk mendengarkan si kaya berceloteh tentang kekuasaannya.

"Motif jahat apa yang anda rencakan? Kenapa orang seperti anda memilih seseorang sepertiku dari antara banyaknya gadis Infinity di luar sana?"

Aspros tak langsung menanggapi. Ia malah sibuk memainkan sebuah patung keramik kecil seorang gadis pembawa kendi yang ia ambil dari meja kecil di samping tempat tidur. Tiba-tiba ia melepaskan patung keramik itu dari tangannya hingga terjatuh ke lantai dan pecah berkeping-keping.

"Sebaiknya jaga sikapmu. Hal yang terjadi pada patung keramik itu, saya bisa lakukan juga padamu."

"Aku tidak takut dengan ancaman anda." Desis Asmita.

"Oh ya ampun. Saya pikir kamu tipe kalem yang tidak akan memberontak." Ucap Aspros dengan nada kelewat santai saat ia berjalan mendekat ke balkon tempat Asmita berada.

Asmita yang merasa terancam secara reflek mundur beberapa langkah ke belakang. Sayangnya ia sedang berada di balkon, ruang lingkupnya terlalu sempit untuk melindungi diri. Pun ia bisa terjatuh kapan saja.

Jarak Aspros semakin dekat, dan ketika Asmita akan mengelak ternyata gerakan Aspros lebih lincah dan cekatan dari apa yang telah ia duga.

Asmita memekik ketika Aspros menarik tangannya dengan kasar lalu mencengkram tubuhnya. Dengan satu kali hentakkan tubuh kurus Asmita terpelanting tepat ke atas ranjang dengan posisi tersungkur.

Tidak berhenti sampai disitu, Aspros buru-buru meraih bahu Asmita sebelum memberinya kesempatan untuk melawan. Ia membalikkan tubuh Asmita hingga terlantang, kemudian satu tangannya digunakan untuk mencengkram kedua tangan Asmita yang diposisikan menyatu terangkat ke atas kepala.

Napas Asmita memburu dengan peluh telah membanjiri dahinya. Tatapan penuh kebencian ia lemparkan pada pria yang kini berada di atas tubuhnya. Namun Aspros malah menyeringai. Tangannya yang bebas meraih luka di pelipis Asmita yang ditutupi oleh perban lalu menekannya keras-keras hingga darah segar kembali merembes keluar, menodai warna putih perban dengan warna merah.

Asmita menjerit kesakitan saat Aspros tidak juga berhenti melakukan hal itu. Matanya seakan dipenuhi oleh kabut dan ia mulai merasa kebas.

"Oh shit!"

Asmita mendengar sebuah suara namun bukan milik Aspros. Disaat bersamaan Aspros menghentikan penyiksaan terhadap dirinya dan menarik tubuhnya menjauh. Meski pandangannya memudar Asmita sempat melihat seorang pria berkulit gelap yang kurang lebih berperawakan sama dengan Aspros tengah berdiri di ambang pintu sebelum akhirnya ia jatuh pingsan.

xoxoxo

Asmita terbangun dengan rasa pening yang belum juga menyingkir dari kepalanya. Seluruh badannya terasa sakit karena perlakuan Aspros saat terakhir kali. Tubuhnya yang mulus kini dinodai bercak-bercak merah keunguan di beberapa bagian tempat. Entah sudah berapa kali ia terbangun dalam keadaan seperti ini setelah beberapa jam pingsan selama kehidupan barunya.

Berakhir di tempat seorang maniak psikopat tidak lebih buruk dibandingkan jika ia jatuh ke tangan para Zoetrope. Para Infinity mungkin tidak akan terbunuh dengan hanya siksaan-siksaan kecil seperti itu saja. Namun sekali lagi, mereka tetap bisa mati, hanya tidak mudah mati.

Dan hanya sedikit orang yang tahu bahwa rasa sakit yang dirasakan para Infinity seperti dilipat gandakan dari rasa sakit yang orang normal rasakan. Tidak heran jika para Infinity akan jatuh pingsan begitu saja hanya karena luka kecil di bagian area vital seperti kepala.

Pemuda berparas cantik itu turun dari ranjangnya dengan membalutkan selimut untuk menutupi tubuh telanjangnya. Selain senang menyiksa Asmita terkadang Aspros juga menggunakannya sebagai pemuas nafsu birahi. Asmita berjalan tertatih mendekati salah satu jendela ketika ia mendengar suara mesim mobil.

Ia mengintip dari balik tirai dan melihat bahwa yang baru saja pergi itu adalah mobil milik Aspros. Setidaknya hari ini hingga beberapa hari ke depan ia bisa bernapas lega. Biasanya jika Aspros pergi meninggalkan mansion dia baru akan kembali paling cepat setelah tiga hari.

Selesai mengamati mobil hitam milik Aspros yang sudah lenyap dari pandangannya Asmita kemudian kembali berjalan tertatih menuju kamar mandi. Ia ingin membersihkan dirinya dari semua apapun yang ditinggalkan Aspros pada tubuhnya meski luka dan memar tidak akan hilang hanya dengan dibilas dengan air.

.

Hanya ketika Aspros tidak ada Asmita barulah berani menjejakkan kakinya keluar dari kamarnya. Sedikit berkeliling mansion untuk merubah suasana. Terkadang ia menghabiskan waktunya di gazebo yang ada di tengah taman halaman belakang mansion.

Biasanya ketika berada di sana Asmita hanya akan berdiam diri dengan duduk bersila sambil memejamkan mata. Ia tidak pernah meninggalkan kebiasaannya untuk bermeditasi karena menurutnya hanya dengan melakukan hal itu lah ia bisa terhubung dengan tuhan yang diyakininya dan untuk senantiasa mengirimkan do'a untuk adiknya yang entah dimana keberadaannya saat ini.

Di waktu yang bersamaan biasanya Defteros—adik kembar Aspros juga berada di sekitar taman tiap kali Asmita bermeditasi di sana. Asmita bukannya tidak menyadari hal itu, Defteros pasti sengaja melakukannya karena kebetulan tidak mungkin terjadi setiap saat. Mungkin Defteros diperintahkan Aspros mengawasinya agar tidak mencoba kabur untuk yang ketiga kalinya.

Toh Asmita tidak merasa keberatan selama adik kembar Aspros itu tidak mengganggu aktivitasnya. Sejauh yang Asmita ingat, ia tidak pernah satu kali pun berbicara dengan Defteros. Berbeda dengan Aspros, Defteros lebih banyak diam dan tidak menunjukkan tanda-tanda kekejaman seperti yang dimiliki saudara kembarnya.

Mungkin itu juga yang menjadi alasan Asmita tidak pernah sekali pun merasa terganggu dengan kehadiran Defteros di sekitarnya. Justru sebaliknya, ia merasa aman jika ada Defteros di sana.

xoxoxo

Seseorang mengguncang tubuh Asmita. Pemuda berparas cantik itu seketika membuka matanya dan menemukan seraut wajah yang sedang menatapnya sangat dekat. Sekelilingnya masih sangat gelap karena saat itu tepat tengah malam.

Asmita hendak berbicara, tetapi sebuah tangan dingin membungkamnya, menyuruhnya diam. Kepanikan melandanya hingga dia mengenali sosok itu. Defteros.

"Ssst, Asmita. Kita tak mau membangunkan Aspros, kan?"

Meskipun Asmita terkejut, rasa waswasnya lenyap dengan segera. Ia mengangguk, berusaha memberi tanda mengerti dengan matanya, hingga akhirnya Defteros melepaskan bekapnya, kemudian mundur.

"Apa yang kau lakukan?" Asmita berbisik menatap Defteros di hadapannya. Dia tidak bisa menahan diri karena penasaran, bertanya-tanya tentang maksud kembaran Aspros itu menyelinap ke kamarnya.

"Turuti saja apa kataku."

Alis Asmita berkerut, meski Defteros berbeda dengan Aspros tapi tidak menjamin Defteros lebih baik dari Aspros. Ia tidak pernah memastikan dugaannya tentang sifat Defteros yag asli. "Apa yang sedang kau rencana—"

"Ssst," Defteros kembali membekap mulut Asmita, matanya menatap lekat manik biru sejernih air milik pemuda berparas cantik itu, mencari kepercayaan pada tatapannya. "Percayalah padaku." Bisiknya. Setelah merasakan kepala Asmita mengangguk Defteros pun melepaskan bekapnya.

"Ayo." Pria berkulit gelap itu berdiri. Dia mengulurkan tangan membantu Asmita ketika hendak turun dari tempat tidur dan membantunya berdiri. Tenaga defteros begitu kuat sehingga seolah mampu mencopot tangan Asmita dari persendiannya.

.

Defteros dan Asmita menyelinap melewati lorong-lorong mansion. Cahaya di sekitar mereka temaram, tetapi bayangan berbagai benda yang menghalangi mereka tampak samar-samar lebih gelap sehingga mereka tidak menabraknya.

Setelah melewati sebuah belokan, Defteros mulai mempercepat langkahnya. Asmita bertanya-tanya mengenai alasan Defteros ingin membantunya melarikan diri dari saudaranya sendiri. Terhanyut dalam pikirannya sendiri, Asmita sampai tidak sadar Defteros menghentikan langkahnya, alhasil ia menabrak Defteros di depannya. "Ada ap—"

"Ssst, diam dan jangan melakukan apapun." Defteros berbisik tanpa mengalihkan tatapannya pada sosok yang berdiri di ujung lorong. Itu Aspros.

Asmita merasakan hatinya mencelus. Ini tak akan berhasil, pikirnya. Asmita yang merapat ke punggung Defteros mengeratkan genggamannya pada jubah yang menutupi dirinya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Berharap jika ia melakukannya, ia akan menghilang berpendar menjadi debu.

Aspros yang pertama kali melangkah maju, suara tiap hentakan kakinya di lantai seakan mengiris-iris jantung Asmita. "Apa yang sedang kamu lakukan tengah malam begini, Little Brother?"

Defteros melangkah maju, Asmita mengekor di belakangnya dengan jarak seminim mungkin. "Harusnya aku yang bertanya seperti itu, Brother. Jarang sekali melihat dirimu belum tidur disaat jam-jam segini."

Asmita memberanikan diri untuk sedikit mengintip dari balik jubahnya. Ia seketika menahan napas ketika Aspros tepat menatap ke arahnya. "Siapa yang ada di belakangmu, Defteros?"

Defteros menghentikan langkahnya, lalu mengubah posisinya berdiri tepat di sebelah Asmita yang bersembunyi di balik jubahnya yang berwarna merah gelap. Asmita merasakan lengan kekar milik Defteros merangkul dirinya dan menariknya hingga merapat pada tubuhnya. "Pasangan one-night-stand'ku malam ini."

"Ho?" Aspros menaikkan sebelah alisnya.

Asmita bisa merasakan jantung Defteros berdetak lebih cepat. Dia semakin penasaran sebarapa menyeramkannya Aspros hingga bisa membuat adik kembarnya sendiri seperti ini. "Kalau sudah tak ada lagi urusan denganku, aku mau lewat."

Defteros kembali bergerak, melewati Aspros yang bergeming di tempat. Sampai saat itu terjadi Defteros belum juga melepaskan Asmita dari sisinya.

"Tunggu." Aspros mencengkram lengan Asmita. Begitu keras hingga Asmita bisa merasakan jemari Aspros akan menghancurkan lengannya.

Defteros yang melihat itu langsung menepis tangan Aspros agar segera melepaskan tangan Asmita. "Apa yang kau lakukan?!"

Aspros menyeringai dan tanpa aba-aba menyingkap jubah merah tua yang melindungi Asmita hingga melambung ke udara dan terjatuh begitu saja ke lantai. Saat itu terjadi dunia seakan berhenti berputar. Baik Defteros maupun Asmita kehilangan kata-kata, keduanya terbelalak dan tak bergerak barang sesenti pun saking terkejutnya.

"Kamu kira kamu dapat menipu saya, Little Brother? Sejak kapan kamu merencanakan semua ini, hm?"

Tiap kata yang meluncur keluar dari bibir Aspros seperti angin dingin yang mendesau dan menusuk telinga. Asmita belum sepenuhnya sadar dari keterkejutannya dan lengannya masih dalam genggaman Aspros. Instingnya kemudian bekerja. Dia tahu inilah saatnya dia untuk melawan. Dua lawan satu, sudah jelas Aspros sudah kalah dalam hal jumlah.

Asmita tanpa ragu-ragu mengayunkan sikutnya ke dada Aspros. Ia tidak tahu apakah itu bekerja atau tidak, tapi setidaknya itu berhasil membuat Aspros melepaskan cengkraman pada lengannya. Dalam waktu yang bersamaan Defteros menyerbu ke depan Aspros, meninju wajahnya hingga Aspros tersungkur membentur tembok, membuatnya kaget, namun dengan cepat Aspros pulih kembali.

Defteros segera menyambar tangan Asmita dan ingin segera belari, tapi Aspros sudah lebih dulu menjambak helai pirang panjang Asmita, membuat pemuda cantik itu mengerang kesakitan.

Asmita tidak pasrah begitu saja, kakinya yang bebas kemudian menendang tulang kering Aspros, cukup berhasil karena kali ini Aspros lah yang mengerang.

Namun tidak selesai sampai disitu. Aspros mencengkram leher Asmita dengan lengannya yang kekar, membuat tubuh kurus Asmita meronta-ronta. Defteros yang bebas menarik bahu Aspros lalu meluncurkan tinju keduanya ke wajah saudara kembarnya itu hingga ia melepaskan Asmita dengan cara menghentakkan tubuh Asmita ke tembok dengan cukup keras.

Aspros mendesis ketika darah mengalir dari sudut bibirnya. Matanya menyalak tajam ketika menatap Defteros dan Asmita. Lalu tangannya merogoh ke dalam saku celananya dan mengeluarkan sebuah senjata api.

Dengan jari siap menarik pelatuknya, Aspros menodongkan pistol tersebut ke arah Defteros dan Asmita. "Kalian tidak akan bisa menang melawan saya."

"Jangan terlalu percaya diri." Defteros melesat maju diiringi suara letusan peluru yang berdesing. Asmita menjerit ketika peluru itu hampir saja mengenai sisi kiri kepala Defteros. Untungnya Defteros memiliki kelincahan tubuh dan dapat menghindar meski peluru itu tetap mengenai daun telinganya yang kini robek dan mengucurkan darah segar.

Aspros terkejut ketika Defteros menendang ujung senjatanya hingga terlepas dan jatuh ke lantai. Alih-alih mengambil pistol itu, Defteros justru melayangkan pukulan tepat di bawah dagu sang Kakak hingga tubuhnya melayang kemudian jatuh tersungkur.

Melihat Aspros yang membutuhkan sedikit waktu untuk pulih kembali, Defteros tidak ingin membuang kesempatan lagi. Setelah menyambar pistol yang tergeletak di lantai ia segera menarik tangan Asmita dan berlari sekuat tenaga tanpa ada keinginan untuk menengok ke belakang.

"Kamu akan menyesali ini, Little Brother!"

.

Defteros meringis ketika Asmita membersihkan luka di telinganya dan membubuhkan alkohol disana. Beruntung mereka menemukan sebuah toserba yang buka selama dua puluh empat jam dan Defteros tidak lupa membawa dompetnya sehingga mereka dapat membeli beberapa kebutuhan dan kotak P3K untuk merawat luka Defteros.

Pemuda Infinity itu tidak henti-hentinya menceramahi Defteros tentang betapa nekat tindakannya untuk menerjang Aspros yang menodongkan senjata yang siap digunakan. Salah sedikit saja Defteros akan mati saat itu juga karena tindakan bodohnya. Dan Asmita mengeluhkan betapa jantungnya nyaris berhenti berdetak ketika peluru itu hampir saja menembus kepala Defteros.

"Yes, Mom. I swear, aku tidak akan mengulanginya lagi—aduh."

Asmita dengan sengaja menekan luka di daun telinga Defteros karena jengkel dipanggil seperti itu. Ia kemudian menyudahi pekerjaannya setelah menempelkan perban yang kini sepenuhnya menutupi telinga kanan Defteros.

"Thanks, darlin'" Ucap Defteros sambil tersenyum pada Asmita. Alih-alih jengkel Asmita malah merasa malu. Dia tidak yakin apakah sekarang wajahnya sudah bersemu, yang jelas ia berusaha mengalihkan pandangannya dari Defteros.

Asmita kemudian merapihkan isi kotak P3K dengan mengembalikan beberapa alat dan obat yang ia gunakan ke dalam kotak. Kegiatannya terhenti ketika tangan Defteros menangkap tangannya yang sedang memegangi botol alkohol. "Astaga, memar-memar di tanganmu parah sekali."

Asmita memutar kedua bola matanya dan segera menarik tangannya dari genggaman Defteros. Ia mengembalikan botol alkohol itu ke dalam kotak P3K lalu memasukkan kotak itu ke dalam ransel yang juga baru dibeli tadi. "Terimakasih kepada saudara kembarmu yang telah membuatnya di setiap inci tubuhku."

Defteros terdiam, dari sorot matanya Asmita bisa melihat adanya penyesalan di sana. "Oh, yaampun. Itu bukan kesalahanmu."

"Memang. Tapi seharusnya aku bisa lebih cepat membawamu keluar sebelum memar-memar itu semakin bertambah banyak."

Setelah semua yang telah dialaminya, untuk kali pertama Asmita menyunggingkan sebuah senyuman. "Tidak, semua yang kau lakukan sudah lebih dari cukup. Terimakasih karena menolongku dan mau membahayakan nyawamu demi diriku. Aku tidak tahu bagaimana cara untukku membalasnya."

"Ssst," Defteros meletakkan jari telunjuknya di bibir tipis Asmita. Mata birunya yang gelap menatap tepat pada manik biru jernih milik Asmita. "Aku tidak menginginkan balasan apapun darimu. Sungguh, aku melakukannya karena memang ingin menolongmu tanpa maksud tersembunyi apapun."

Perasaan Asmita melembut, kehangatan seperti menjalari seluruh tubuhnya dimulai dari jantung. "Dan... yeah, aku juga tidak tahan mendengar suara rintihan dan erangan jelekmu tiap kali Aspros melakukan 'itu'." tambah Defteros diiringi tawa yang menurut Asmita menjengkelkan.

Tentu itu tidak benar. Defteros hanya senang menggoda Asmita dan wajah jengkel Asmita itu benar-benar menarik baginya.

xoxoxo

Asmita bersyukur tidak perlu berjalan kaki dalam perjalanan kali ini. Defteros membawa serta mobil miliknya ketika mereka lari dari mansion. Keduanya memutuskan untuk berkelana sambil mencari Shaka, adik Asmita. Memangnya apa lagi yang bisa mereka lakukan? Asmita adalah Infinity yang selalu menjadi buruan para pengumpul sedangkan Defteros sudah dapat dipastikan kehilangan tempatnya di Mansion Gemini setelah apa yang ia lakukan terhadap Aspros.

"Sungguh tak ada petunjuk mengenai adikmu?" Tanya Defteros yang tengah menyetir. Matanya melirik Asmita di sebelahnya yang sedang sibuk mengamati peta.

Asmita menggeleng, "Satu-satunya jalan untuk menemukan petunjuk kita harus pergi ke pemukiman kecil yang tertinggal di distrik delapan tempat kami berpisah—tempat saat aku tertangkap."

"Bukankah kau bilang di sana dipasangi banyak kamera?"

Helaan napas meluncur begitu saja melewati kerongkongan dan keluar melalui mulut Asmita. Setelah melipat peta di tangannya Asmita menurunkan kaca jendela di sebelahnya sehingga udara bisa menerobos masuk. "Hanya itu satu-satunya petunjukku."

Tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan, Defteros membiarkan tangan kanannya meraih tangan kiri Asmita dan menggenggamnya erat. "Baiklah. Kita kesana."

.

Defteros menepuk-nepuk pipi Asmita beberapa kali sehingga pemuda Infinity itu membuka kelopak matanya. Asmita merasa ling-lung sesaat ketika menyadari bahwa dirinya jatuh tertidur. Ia melirik jam analog pada dashboard mobil menunjukkan pukul sepuluh malam.

"Oh Tuhan. Maafkan aku karena jatuh tertidur,Deft."

"Tidak, justru aku yang seharusnya minta maaf karena sudah mengganggu tidurmu."

"Ada apa?"

Defteros menunjuk ke arah jalan bercabang di depan mereka, "Memang memalukan, tapi aku tidak mahir membaca peta dan aku tidak mengenal daerah di distrik tujuh. Sejauh ini aku bisa terus melajukan mobilku meski kau tidur karena jalannya memang satu arah. Tapi jika bercabang begini aku butuh bantuanmu."

Asmita tertawa kecil, dia dengan mudah menunjuk jalur kiri meski tanpa melihat peta. "Aku penasaran berapa lama kau sudah terkurung di mansionmu itu dengan titel anak rumahan."

Defteros mendengus, "Jangan bangga hanya karena kau tahu banyak jalan dan tempat." Defteros kembali menyalakan mesin mobilnya dan segera melaju mengikuti arahan yang Asmita berikan.

"Setelah ini kau tidak keberatan kan jika kita beristirahat sejenak?" Tanya Defteros yang melirik Asmita melalui ekor matanya.

"Mengapa tidak? Kau juga perlu istirahat."

"Baiklah kalau begitu."

xoxoxo

Asmita dan Defteros tiba di daerah perbatasan antara distrik tujuh dengan distrik delapan ketika pukul enam pagi. Asmita sangat ingat jalan-jalan yang mereka lewati seakan ia baru melewatinya kemarin.

Bentang sampah di pinggir jalan, batangan besi yang mencuat dari tumpukannya, juga mobil-mobil yang terlantar, sama sekali tidak berubah. Akibat kekecauan yang terjadi beberapa waktu lalu telah memporak porandakan distrik delapan dan sebagian besar penduduknya sudah meninggalkan rumah mereka di sana.

Cahaya matahari terbit menyinari pohon pinus yang berjejer di sepanjang jalan dan mengilaukan embun yang berkumpul di atas aspal. Namun jalanan tetap senyap, hanya sebuah truk berwarna silver yang melintas sebagai interaksi pertama selama berjam-jam perjalan mereka.

Melihat truk itu membawa kilas balik yang tidak menyenangkan bagi Asmita. Setelah disekap selama berhari-hari di dalam gudang yang kotor dan apak, dia dan para Infinity lain dipindahkan menggunakan truk persis seperti itu melewati perjalanan yang cukup panjang dan harus merasakan sesak dan hampir kehilangan kesadaran karena tidak adanya fentilasi udara.

Defteros yang menyadari ada perubahan pada raut wajah Asmita menengok ke arah pemuda jelita itu sambil sesekali kembali melirik ke depan jalan. "Ada apa?"

"Ah, tidak," Asmita menyelipkan helai pirangnya ke belakang telinga sebelum melanjutkan ucapannya. "Hanya teringat kenangan tidak menyenangkan."

"Oh?" Defteros kembali memusatkan pandangannya pada jalan di depannya. "Kau bisa membaginya dengan bercerita padakau, kalau kau mau."

Asmita tidak memberikan jawaban, ia hanya tidak terbiasa membagi kisah tentang kehidupannya pada orang selain adiknya. Apalagi pada orang yang baru dikenalnya seperti Defteros, dia belum bisa menaruh kepercayaan pada pria itu meski apa yang telah dilakukannya untuk dirinya.

"Baiklah, kalau kau tidak mau aku juga tak akan memaksa."

Keheningan kembali menjalar, yang menandakan kehidupan hanya suara mesin mobil sport Defteros yang menderu.

.

Asmita keluar dari mobil lalu memandang sekeliling. Ada papan kayu besar yang doyong seakan ditabrak, bertuliskan AREA PEMUKIMAN HAPPY SUNDAY. Sangat kontras dengan pemandangan yang ada di sana, sekarang hari minggu dan yang terlihat adalah kemuraman dimana-mana.

"Jadi, ini tempatnya?" Tanya Defteros yang baru saja menyusul Asmita keluar dari mobil. Asmita menoleh ketika suara pintu mobil berdebum tertutup.

"Ya." Asmita kembali memfokuskan perhatiannya pada bangunan rumah yang sebagian hampir bobrok. Ia melompati sebatang balok kayu dan berjalan ke salah satu rumah. Defteros mengikutinya dari belakang sambil melihat-lihat.

"Kita berpencar."

Defteros menaikkan sebelah alisnya, "Lalu, apa yang harus aku temukan?"

"Apapun yang bisa menjadi petunjuk. Bisa saja Shaka selamat dan meninggalkan sebuah pesan di suatu tempat di tempat ini." sebagai ucapan itu lebih terdengar seperti permohonan.

Merasa sudah mengerti apa yang harus ditemukan mereka pun berpencar. Asmita mendatangi rumah yang terakhir kali ia masuki saat mimpi buruk itu terjadi. Salah satu anak tangganya masih rusak seperti saat itu. Ia kemudian membuka pintunya dan melangkah masuk ke dalam. Banyak jejak berlumpur yang sudah kering di lantainya, beberapa pecahan vas berserakan dan barang-barang di dalamnya tidak berada di tempat semestinya. Tempat itu seakan habis diterjang sekawanan banteng yang kelaparan untuk mencari makan.

Asmita memasuki ruangan yang dulunya digunakan sebagai dapur. Keran di tempat cuci piring menetes-netaskan air dan beberapa tikus terlihat berlarian ketika Asmita masuk. Yang menarik perhatian Asmita adalah kertas memo berwarna-warni yang tertempel di pintu kulkas. Ia melihat memo yang dulu ia lihat masih utuh di tempatnya, bahkan memo tentang pengakuan penjarahan es krim di dalam kulkas yang pasti ditulis seorang kakak untuk adiknya yang malang.

Asmita tersenyum kecil setiap membaca pesan-pesan yang menurutnya lucu. Matanya kemudian menangkap sebuah memo yang rasanya waktu terakhir kali ia lihat tidak ada. Ditulis dengan tinta hitam di atas kertas putih yang lecak.

Siapun yang melihat pesan ini disarankan untuk pergi secepatnya setelah membacanya. Mereka akan datang, menangkapmu.

Asmita tersentak ketika sebuah tangan membekapnya dari belakang. Matanya membelalak dan mengeluarkan suara teriakan yang tertahan. Ia berhenti meronta ketika mengetahui bahwa pelakunya adalah Defteros.

Defteros kemudian melepaskan bekapnya dan melihat Asmita sudah siap menyemburnya dengan sumpah serapah. "Ya, ya, aku minta maaf. Tapi kita harus segera pergi dari sini."

"Kenapa?"

"Aku jelaskan di mobil." Kata Defteros yang kemudian menggandeng tangan Asmita keluar dari rumah tersebut. Asmita hanya menurut ketika Defteros menariknya keluar dan langsung menyuruhnya masuk ke dalam mobil. Setelah memastikan Asmita sudah masuk ke dalam mobil, Defteros segera memutar dan duduk di kursi mengemudi. Ia menyalakan mesin mobil tanpa menjawab Asmita yang terus melayangkan pertanyaan.

Barulah Asmita bungkam setelah mendengar suara tembakan pertama. "Mengerti, kan? Jadi berhentilah mengoceh seperti ibu rumah tangga yang menagih uang belanjanya."

Asmita mengumpat ketika suara tembakan kedua dan seterusnya kembali meledak. Defteros mengemudi semakin gila-gilaan ketika salah satu peluru yang dirasa mengenai bumper belakang mobilnya. Bahkan memekik frustasi ketika salah satu peluru berhasil menembus kaca belakang hingga kaca depan dan membentuk pola seperti jaring laba-laba di sekeliling lubang yang tercipta.

Asmita mencengkram sabuk pengamannya kuat-kuat saat Defteros mengeluarkan kepalanya dari kaca mobil untuk mencaci maki orang-orang yang telah menembaki mereka. "Kalian akan menyesal karena membuat Volcano-ku seperti ini!"

Tepat sebelum menabrak sebuah rambu-rambu jalan Defteros kembali fokus di kursi mengemudi dan dengan mahir menghindarinya lalu menginjak pedal gas hingga kecepatan maksimal. Asmita yang duduk di kuri sebelah terlihat kaku bahkan terlihat hampir tak bernapas.

Pemuda cantik itu kemudian menoleh dan mengernyit menatap Defteros, "Kau menamainya?" Oh bagus, Asmita lebih tertarik soal Defteros yang memberi nama pada mobilnya ketimbang kejadian yang baru saja hampir merenggut nyawa mereka.

"Yeah," Defteros mengedikkan bahu. "Ini kesayanganku."

Mulai detik ini Asmita memutuskan untuk tidak akan menawarkan Defteros untuk mencarikan nama untuk apapun karena kemampuannya memberi nama sangat buruk.

Defteros memelankan laju mobil pada kecepatan normal ketika merasa keadaan sudah aman dan kawanan yang mengejar mereka sudah tidak terlihat lagi.

"Menurutmu siapa mereka? Para pengumpul atau para Zoetrope?"

"Tidak, itu orang-orang suruhan Aspros."

"Bagaimana bisa kau bisa seyakin itu?"

Defteros menghentikan laju mobil dan melepaskan sabuk pengamannya. "Aku kenal sebagian besar pasukan yang berada dibawah naungan Kakakku itu, Asmita." Ucapnya seraya membuka pintu dan keluar.

Asmita tidak mengikuti, hanya memperhatikan Defteros yang berjalan ke arah belakang dan terlihat mulai mengeluh tentang keadaan mobil kesayangannya.

xoxoxo

Hari sudah berubah gelap ketika mereka sampai di sebuah pemukiman yang masih berpenghuni. Sayangnya mereka tidak menemukan petunjuk apapun tentang keberadaan Shaka di tempat tadi.

Defteros memutuskan untuk menyewa sebuah kamar di sebuah penginapan dan asmita hanya manut saja. Namun sayangnya hanya ada satu kamar yang kosong dan itu hanya memiliki satu kasur ukuran single bed.

"Tidak apa, kau saja yang menggunakan kasurnya." Kata Defteros yang sudah mengistirahatkan tubuhnya di sebuah kursi kayu yang ada di ruangan itu. Punggu dan kepalanya ia sandarkan pada penyanggah kursi dengan senyaman mungkin, satu lengannya digunakan untuk menutupi matanya.

Asmita yang tidak tega kemudian turun dari tempat tidur lalu berjalan mendekati Defteros. Ia melihat dada Defteros naik turun secara teratur yang berarti pria itu sudah jatuh tertidur, secepat itu. Asmita mengambil ransel mereka dan mengeluarkan sebuah selimut berwarna biru gelap. Ia kemudian menjejalkannya pada Defteros yang menggeliat kecil saat ia melakukannya.

Pemuda berambut pirang itu mengernyitkan dahi ketika melihat ada yang janggal pada Defteros. Wajahnya dibanjiri keringat dingin dan baru Asmita sadari bahwa tubuh Defteros menggigil. "Ya Tuhan."

.

Suara cicit burung bernyanyi di luar jendela membangunkan Defteros di pagi berikutnya. Saat ia ingin bergerak melemaskan otot-otot di tubuhnya barulah ia menyadari bahwa ia sedang berada dalam dekapan seseorang yang masih terlelap. Ia bisa merasakan dada orang itu naik turun secara teratur tepat di depan wajahnya.

Defteros bergerak dengan hati-hati agar tidak membangunkan sekaligus mengagetkan orang itu dan mengerjap beberapa kali melihat orang itu adalah Asmita. Dia tidak ingat tentang kejadian semalam, bagaimana ia yang awalnya tidur di kursi tiba-tiba saja terbangun di atas ranjang dengan Asmita yang mendekapnya. Pasti mimpi. Defteros mencubit daging di sekitar pinggangnya dan itu sakit.

Asmita bergerak dari posisinya yang kemudian membuka kelopak matanya. Manik biru jernihnya menatap Defteros dan mengerjap-ngerjap sesaat sebelum matanya membulat sempurna seperti kedapatan melihat hantu.

Pemuda Infinity itu beringsut untuk mengecek tiap inci dari wajah dan badan Defteros tanpa mengatakan apapun. Defteros menautkan alisnya sebelum menyambar tangan Asmita yang kini berada di pipinya. "Kau kenapa, Asmita?"

Asmita menghela napas, Defteros bisa melihat ada raut kelegaan di wajahnya. "Semalaman kau demam tinggi, Defteros. Aku sampai harus tidur mendekapmu karena selimut yang kita miliki tidak cukup untuk menghangatkan tubuhmu yang menggigil hebat. Aku tidak punya pilihan lain. Aku minta maaf—"

"Tidak, tidak perlu meminta maaf." Potong Defteros.

"Kupikir kau akan jijik padaku. Maksudku kita berdua—"

Ucapan Asmita kembali terpotong saat ia merasakan bibir Defteros sudah menyambar bibir miliknya. Ia mengerang ketika ciuman Defteros yang mulanya lembut menjadi sebuah ciuman kasar yang begitu menuntut. Asmita menyentuh kulit wajah Defteros yang terasa halus dan hangat saat mencuri napas di sela ciuman panas mereka, sepertinya sisa-sisa demam semalam masih ada.

Tubuh Asmita terasa lunglai dan membuatnya terdorong ke tempat tidur, kepalanya seakan terbenam ke bantal ketika Defteros menindihnya dan kembali menautkan bibir mereka yang sempat terputus. Tangan Asmita terangkat untuk meraih kemaja Defteros- mencari pegangan agar ia tidak jatuh terlalu dalam. Disela napas yang memburu dan pasokan oksigen yang mulai menipis Defteros melepaskan tautan bibir mereka.

Ia masih berada di atas tubuh Asmita dengan tangannya yang bertumpu di atas kasur di kedua sisi kepala Asmita. Baik dia maupun Asmita masih tersengal akibat aktivitas mereka barusan. Wajah Asmita di bawahnya bersemu dengan peluh mengalir seperti sungai-sungai kecil. Matanya yang jernih menatap tepat pada mata Defteros.

"Kau masih berpikir kalau aku jijik padamu?"

Asmita masih berusaha mengatur napasnya dan mencerna apa yang baru saja terjadi sebelum angkat bicara. "Sejak kapan?"

Defteros menarik tubuhnya menjauh dan duduk di pinggir tempat tidur sedangkan Asmita mengubah posisinya menjadi duduk. "Hari pertamamu di mansion. Ketika aku pertama kali melihatmu yang nyaris pingsan. Well... kau memang pingsan sih saat itu."

Asmita mengerjap-ngerjapkan matanya tak percaya. "Kau pikir aku akan sudi melepas semua kenyamananku begitu saja hanya untuk sekedar menolong seorang Infinity tidak berhar—" Defteros mengatupkan bibirnya cepat-cepat ketika Asmita mulai memelototinya, "Maksudku mereka tidak seberharga itu untukku, tidak sepertimu. Aku menyukaimu, Asmita."

Alih-alih tersipu malu layaknya seorang gadis SMU yang kasmaran, Asmita malah turun dari tempat tidur dan menjauhi Defteros. Ia sudah terlanjur jengkel dengan Defteros karena hampir saja menyebutkan bahwa para Infinity itu tidak berharga.

"Hey! Maaf. Aku tidak bermaksud membuatmu marah."

Bukannya mendengarkan Defteros, Asmita malah membuka pintu kamar tempat mereka menginap dan keluar begitu saja tanpa mengucapkan apa-apa. Defetros berteriak frustasi sambil menjambak rambutnya sendiri. Dia baru berhenti ketika mendengar suara tawa seorang pria yang sudah berdiri bersandar pada kosen pintu sambil menggigit sebuah apel di tangannya. Rambutnya biru berantakan dengan kulit putih hampir pucat dan mengenakan syal berwarna merah.

"Baru saja diputuskan pacarmu, ya?" Tanyanya sambil menyengir lebar.

Defteros mendengus, "Bukan urusanmu, orang asing."

"Kardia! Sudah kubilang jangan pergi seenaknya sendiri!"

Ada suara lain yang datang disertai derap langkah kaki yang terdengar mendekat. Defteros mengikuti arah tatapan pria aneh yang tiba-tiba saja muncul itu dan mendapati seorang pria lainnya sudah berdiri bersebelahan dengan pria berambut berantakan itu.

Dari balik kacamatanya, pemuda berambut hijau toska itu menatap ke arah Defteros setelah memerahi pria yang muncul pertama. "Mohon maaf karena telah mengganggu ketenangan anda. Permisi." katanya sopan seraya menarik paksa syal merah yang dikenakan orang bernama Kardia itu.

"Oi, Degel! Aku tercekik!" Protesnya.

Defteros melongo sebentar untuk memproses apa yang baru saja terjadi. Ia kemudian teringat Asmita yang ngambek dan segera mengejar pujaan hatinya itu setelah sebelumnya menyambar ransel milik mereka lebih dulu.

.

Ransel yang berada di bahu Defteros terjatuh begitu saja ke tanah ketika mendapati sekumpulan orang berseragam hitam bersenjata menyeret Asmita yang meronta untuk dibawa masuk ke dalam sebuah van berwarna putih mirip ambulan. Di lengan kiri seragam orang berpakaian serba hitam itu terdapat logo seperti piala berwarna oranye terang. Defteros menebak bahwa itu adalah lambang milik para Zoetrope.

Defteros segera berlari menerjang orang-orang tersebut. Suara letusan senjata api terdengar dimana-mana. Beruntung tidak ada satu pun dari peluru-peluru itu yang mengenai Defteros. Ia merunduk dan berguling ke tanah, menghindar ketika orang-orang berseragam hitam itu kembali membidiknya.

Jaraknya dengan mobil van itu tinggal beberapa meter lagi ketika salah satu dari mereka menodongkan senjatanya tepat di pelipis Asmita dan mengancam Defteros jika tidak berhenti maka ia akan menarik pelatuknya. Defteros tidak punya pilihan, ia kemudian mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. Dia melihat Asmita terus meronta dan berusaha melepaskan diri sambil terus melayangkan tatapan padanya.

Defteros tidak ingin mengambil resiko yang mengancam nyawa Asmita sementara senjata itu masih menempel pada pelipis pemuda jelita itu. Dia masih bergeming di tempatnya berdiri dengan tangan terangkat, senjata masih diarahkan kepadanya.

Defteros tak dapat berkedip ketika melihat Asmita berhasil melepaskan diri dengan menyikut perut orang yang menyekap sekaligus menodongkan senjata padanya. Lalu ia menendang selengkangan orang tersebut dan berlari ke arah Defteros. Suasana di depan sana menjadi tak terkendali dengan lepasnya Asmita.

Melihat itu Defteros pun tidak bisa lagi tinggal diam. Dia kembali berlari untuk menangkap Asmita. Namun salah seorang serdadu mengarahkan senjatanya pada Asmita. Defteros seakan menjadi tuli di antara suara ledakan peluru yang ditembakkan dan suara teriakan. Otak dan tubuhnya seakan tidak dapat memproses dengan baik apa yang ia inginkan ketika pelatuk senjata yang diarahkan pada Asmita ditarik.

Keheningan menjalari sekujur tubuh Defteros ketika pemuda berambut pirang itu ambruk ke tanah dengan posisi terlungkup bersamaan dengan jatuhnya tetes pertama air matanya. Darah segar merembes keluar dari bagian tubuh Asmita yang tertembak, mewarnai tanah yang cokelat dengan warna merah pekat. Defteros semakin kalap ketika mendapati Asmita tidak bergerak.

Ia berlari tanpa peduli lagi pada suara peluru yang meledak ke arahnya. Ia bahkan tidak peduli lagi akan ada berapa banyak peluru yang bersarang di tubuhnya. Yang ia inginkan sekarang hanya menghapiri Asmita yang masih tak bergerak di tanah.

Sebuah tembakan di kaki kiri berhasil menjatuhkan Defteros ke tanah. Meski begitu Defteros tidak ingin berhenti. Ia merayap di tanah dengan susah payah. Penglihatannya kabur karena darah yang mengalir dari bagian kepalanya yang robek terserempet peluru menghalangi matanya. Ia tidak mengerti mengapa para serdadu itu tetap menembakinya meski dirinya sudah tak mampu melawan lagi.

Bahkan mereka sudah tidak bisa lagi mendapatkan Asmita. Detik-detik sebelum kehilangan kesadarannya, jemari Defteros berhasil meraih tangan Asmita sebelum akhirnya pandangannya menghintam.

END

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Tapi bo'oooooooooooong! /disambit/

Saya nggak setega itu ngasih ending tragis dengan banyak plot yang bolong. Beda lagi kalau plotnya sempurna. /plak

Maaf kalau kepanjangan dan bikin bosen. Soalnya kalau dibikin berchapter takut Discontinue. Ini juga niatnya chapter depan bakal ditamatin.

Btw, menstrim (?) banget ya ceritanya. Maklum lagi chuunibyou sama cerita bertema dystopia. LOL

Haha, saya nggak tahan rasanya kalau nggak masukin hint OTP saya, Kardia x Degel. Pengen bikin lebih panjang tapi takut kebablasan dan jadi Defteros x Kardia. /eh

Waktu ngetik bagian itu juga dalam hati sambil berharap seandainya ada yang bersedia ngebuat penpik Kardia x Degel. Uhukkodeuhuk. /?

Ah, sudahlah. Saya capek.

Thanks buat yang udah baca.

See you next chapter!