Disclaimer: Pandora Hearts © Jun Mochizuki.
.
"Kakak! Coba kakak lihat baju itu, pas untuk kakak!"
"Kakak! Coba kakak pakai sepatu ini!"
"Kakak! Ayo piknik!"
"Kakak! Bantu aku buat pr…"
"Kakak…! Jangan menangis! Jelek tau!"
"Kakak… aku sayang kakak…"
.
Alice menutup buku tebal bersampul merah di tangannya dan memandang kosong ke arah air mancur di depannya. Ia menghela napas panjang. Alice meletakkan buku bersampul merah itu ke meja yang di penuhi tumpukan buku dan majalah lainnya.
Ia rindu. Ia rindu pada adiknya yang polos, manja, dan menyebalkan itu. Ia rindu teriakannya yang memekakkan telinga itu. Ia rindu tangisannya yang menyebalkan. Ia rindu wajah polosnya yang mebuat gemas setiap orang. Ia rindu suara manja dan polos yang memanggilnya 'kakak'.
Ia rindu Lily…
Alice bersender pada senderan kursi kayu yang sedari tadi ia duduki dan menatap langit. Langit… Biru… Mata Lily…
Kriet…
Alice yang sedari tadi melamun tak sadar pintu terbuka. Menampilkan sosok wanita anggun berambut peach. Ia menuju tempat Alice duduk, dan menepuk bahunya pelan.
"Aku kakak yang bodoh ya, Sharon… Lily pasti membenciku…" gumam Alice lirih. Sharon iba melihat sahabatnya yang mulai terpuruk sejak 3 hari yang lalu. Sharon duduk di sebelah Alice, dan mengelus rambut Alice lembut.
"Tidak, Alice… Kalau Lily membencimu, pasti ia tidak akan selalu meminta bantuanmu, kan? Coba lihat, apa pernah ia meminta bantuan Reo atau Alyss? Setiap ada masalah atau apapun itu, Lily hanya mendatangimu. Yah… kecuali ketika kau memarahinya, ia akan mengadu pada Reo." jelas Sharon panjang lebar, Alice langsung menggeleng cepat.
"Tidak. Setiap ia datang padaku, aku pasti selalu memarahinya…" balas Alice. "Aku kakak yang jahat, bodoh… Aku tidak berhasil menjaga amanat ibu… Aku gagal menyembuhkan penyakit, Lily…" Alice membenamkan wajahnya di kedua telapak tangannya, menahan tangis.
Sharon memeluk Alice ketika ia mulai terisak. "Tenanglah… aku tau Lily tidak membencimu… Dan soal penyakit, itu memang takdirnya. Jadi tenanglah Alice. Lily tak akan suka melihatmu menangis seperti orang bodoh begini."
Tak ada lagi suara ceramah Sharon. Yang ada hanya suara gemericik air mancur bercampur isakan Alice.
.
.
.
.
.
"KAKAK!"
Alice nyaris menyemburkan tehnya ketika suara lengkingan Lily memasuki telinganya. Ia mengambil tisu dan segera melap mulutnya.
"Lily! Kalau kau memanggilku setidaknya jangan berteriak bisa tidak? Kau membuat jantungku copot dan nyaris tuli! Bahkan tadi hampir membuat tehku masuk ke hidung!" bentak Alice. Bukannya takut, Lily malah cengengesan.
"Ehehe, maaf kak…" ujar Lily polos. "Kakak, temani aku ke danau, ya! Aku mau-"
"Tidak." jawab Alice singkat sebelum Lily menyelesaikan kalimatnya.
"He?"
"Tidak. Aku tidak mau," kata Alice tegas. "Lagian, kenapa tidak minta pada Reo atau Alyss saja, sih?"
"Nggak mau! Maunya sama kak Alice!" seru Lily. Alice hanya menggelengkan kepalanya berkali-kali.
"Kau ini cerewet sekali, sih? Pokoknya aku tidak mau!"
"Kak Alice! Kumohon!"
"Tidak!"
"Sudahlah, Alice… Temani saja, kenapa?" ujar Alyss yang muncul bersama Reo di tangga. Alice hanya menatap mereka sebal.
"Sialan kalian."
"Temani saja kenapa, sih? Sekalian kau belajar untuk menjadi istrinya Gilbert." sindir Reo.
Kepala Reo bisa saja putus jika Alyss tak menahan Alice yang sudah mengambil pisau dapur dan mengambil ancang-ancang untuk melemparkannya ke kepala kakak tersayangnya itu.
"Jadi, kak Alice, mau menemaniku, gak?" tanya Lily dengan senyum polosnya. Alice pun menunduk untuk melihat adiknya yang sedang tersenyum itu. Ia pun ikut tersenyum semanis mungkin.
"Tidak."
.
.
.
"Nah, begini lebih baik…" ujar Alyss tenang sambil menyesap tehnya. Di sampingnya, Lily dengan santai dan semangatnya menggambar pemandangan danau. Sementara Reo baru saja selesai memakan cheese cake nya dan sekarang mengutak-atik hp.
"Tidak ini tidak baik. Kalau aku tidak ikut, baru lebih baik." omel Alice malas sambil melempar batu terdekat ke arah danau.
"Ayolah, Alice… kita kan jarang menghabiskan waktu bersama… " balas Alyss dengan senyum manisnya.
"Oh, Alyss, terkadang rambut putihmu itu memang membuatmu menjadi nenek-nenek asli," ujar Alice. "Kita baru bersenang-senang 2 minggu yang lalu! Kau bilang itu lama, huh?"
Alyss meletakkan kembali cangkirnya dan menatap Alice, "2 minggu itu berapa hari?"
"14 hari." jawab Alice sambil menaikkan alisnya; heran.
"Kalau begitu kau ingat pada kata-kata yang pernah kukatakan padamu?" tanya Alyss lagi.
"Ehm, '13 hari tidak menghabiskan waktu bersama orang yang kusayang sama saja 13 tahun tidak bersama' yang itu?" tebak Alice.
"Tepat sekali. Kalau begitu kau sudah tau jawabannya, kan?" Alyss kembali menyesap tehnya.
.
.
.
"TAPI KAN HANYA LEBIH 1 HARI!" pekik Alice kesal.
"13 hari saja sudah seperti 13 tahun, mau ditambah setengah hari pun aku bisa gila…" balas Alyss tenang.
"Rasa sayangmu berlebihan, Alyss…" Reo menggelengkan kepalanya.
"Jujur, aku ingin sekali membunuhmu, Alyss…" geram Alice.
"Coba saja. Aku yakin kau tak akan bisa."
"Cih, sialan kau."
"Kalian memang kembar terunik yang pernah ku kenal…" kata Reo menahan tawa.
Dengan kesal, Alice mengambil tehnya yang sudah dingin karena tidak disentuhnya dari tadi.
"SELESAI!" pekik Lily girang.
Waw, kini Alice Baskerville telah meyemburkan teh dinginnya.
"Lily!" Alice berteriak kesal. Seperti biasa, Lily hanya memandang Alice dengan tampang polos yang selalu disertai cengengesannya.
Alice sudah cukup kesal, ia pun bangkit dari tikar piknik merah mereka dan pergi dari sana.
"Mau kemana kau?" tanya Reo. Alice hanya memandang sekilas.
"Berjalan-jalan sebentar…"
.
.
Alice berjalan dengan kesal di pinggiran danau. Sesekali ia menendang rumput yang sebagai alasnya untuk berjalan.
'Dasar Lily!' geram Alice dalam hati. Jujur, ia benci sekali pada adiknya yang satu itu. Yang Alice heran, ia sudah membentaknya berkali-kali, dan itu setiap hari, tapi kenapa Lily tetap nekat untuk bersamanya?
Ia juga iri. Di balik sifatnya yang ceria, tubuh gadis kecil itu digerogoti penyakit sejak umurnya 7 tahun. Sampai sekarang, masih belum dapat disembuhkan. Alice iri, apa yang membuat Lily begitu kuat?
"Dasar bodoh… penyakitnya sudah parah kenapa ia masih bisa melakukan hal yang ia mau sepuasnya? Kau bodoh Lily…" gumamnya dan menatap kosong ke bawah.
Langkah Alice berhenti tiba-tiba. Ia menoleh ke danau dan menatap refleksinya.
Lily yang bodoh… Atau dia yang bodoh?
Alice meremas dadanya. Ia terdiam lama.
Ya, dia yang bodoh.
'Aku yang bodoh. Sebagai seorang kakak, harusnya aku bisa memberikan kenangan indah di saat-saat terakhirnya.' Alice menutup matanya, mengingat perkataan dokter 2 hari yang lalu.
Flashback
"Keluarga Lily Baskerville?" tanya seorang suster. Alice menoleh kemudian mengangguk cepat. Suster tersebut membimbingnya menuju ruangan Lily. Sesampainya di sana, Alice melihat Lily tertidur pulas di tempat tidur rumah sakit.
Alice berjalan menuju meja dokter bername-tag Rufus Barma di dekat tempat tidur Lily.
"Aku benci mengatakan ini, nona Alice Baskerville…" Rufus membetulkan letak kacamatanya dan memandang Alice serius, "Umur adikmu 7 hari lagi…"
Otak Alice seakan pecah saat itu juga.
End of Flashback
Alice masih terdiam di pinggir danau. Ia menghela napasnya dan menatap langit.
"Kalau memang umurnya tinggal 5 hari lagi, apa yang harus kulakukan? Meminta maaf saja kurasa tidak cukup…" gumam Alice lirih. "Apa aku harus membeli sesuatu yang dia suka? Tapi si kecil manja itu nyaris mempunyai semua yang ia inginkan…"
Hp Alice bergetar. Ia merogoh sakunya dan menemukan hp flip putihnya. Sms dari Alyss.
From: Nek Alyss Cerewet
Ke rumah sakit sekarang! Aku dan Reo sedang dalam perjalan ke sana, Lily pingsan.
Alice membelalakkan matanya. Ia langsung berdiri dengan cepat dan membersihkan sisa-sisa rumput di roknya. Mendadak, gerakannya terhenti.
Kalau Alyss dan Reo sudah di perjalanan, otomatis mereka sudah berangkat kan?
Lalu… Alice ke rumah sakit naik apa?
Oh, Alice, kau memang sial hari ini.
∞TBC∞
