(!)
Disclaimer
Vocaloid © Yamaha Corporation
Ini adalah fic pengganti untuk partner sesama author di kelas, Uchiha Ry-chan. Yang benar-bener ingin mengintip bagaimana kehidupan Luka dan Gakupo.
Created by Akihisa Funabashi
Mohon maaf jika ada typo.
.
.
.
Derasnya hujan yang mengguyur kota itu semakin membuat suasana siang menjadi sedikit suram dan seperti menjelang malam. Matahari benar-benar tidak menampakan sosoknya siang itu. Angin yang berhembus memang tidak begitu kencang, namun aktivitas orang-orang yang saat itu berada di luar sedikit terganggu karena cuaca hari itu.
Wanita dengan rambut merah muda bersinar itu duduk di sebuah sudut bangku café yang di sebelahnya terdapat sebuah jendela besar yang langsung menghadirkan pemandangan keadaan diluar sana.
Luka-wanita yang terikat janji setia, mengabdikan seluruh hidupnya untuk seorang pria yang baru saja ia kenal. Pria yang menjadi target atau bisa dibilang korban perjodohan orang tua Luka dengan orang tuanya.
Sebuah scarf berwarna hijau kebiruan melilit di lehernya. Sebagai penghangat dirinya di dalam suasana seperti itu. Baju hitam ketat dengan lengan panjang terlihat pas dengan dirinya yang memiliki raut wajah sedikit berkelas namun tenang dan datar.
Ia memasukan sedotan minuman kedalam mulutnya dan menjilatnya. Memainkannya dengan lidahnya. Sambil melakukan aktivitas menunggunya yang sudah berlangsung kurang lebih sekitar 15 menit.
Pandangan Luka beralih ke pintu café sesaat setelah melihat seseorang yang sepertinya ia tunggu masuk tergopoh-gopoh ke dalam café. Luka meletakan kembali sedotan itu ke gelas minumannya. Ia mengamati orang itu-yang baru saja masuk kedalam. Ia mengamati segala gerak gerik orang itu, melepas mantelnya dan menentengnya dengan meletakannya pada lengannya. Kemudian orang itu menatap kearahnya-Luka. Ia tersenyum.
"Lama menunggu ya, Luka?" tanya orang itu, rambut hijaunya yang berwarna kebiruan, senada dengan scarf yang Luka pakai, kebasahan dan sedikit lepek.
"Kau masih bertanya seperti itu?" Luka tersenyum miring.
Wanita dihadapannya terkekeh. Ia lalu meletakan mantelnya di sebelah bangku yang ia duduki. Kebetulan bentuk bangku di café itu sedikit memanjang, cukup untuk 3 orang.
"Ngomong-ngomong, ada apa kau memintaku bertemu denganmu?" tanya Luka pada wanita muda dihadapannya. Wajahnya memang lebih muda daripada Luka, namun umur mereka setara.
"Ini, datang ya," wanita itu memberikan sebuah undangan.
Undangan pernikahan.
"Jadi kau sudah memutuskan untuk menikah dengan Len?" tanya Luka sambil mengamati undangan itu.
Wanita dihadapannya itu-Miku tersenyum. Kedua pipinya merona lalu ia mengangguk.
Luka tersenyum membaca tulisan-tulisan yang tersirat di atas kertas undangan itu.
"Menyenangkan sekali ya, bisa menikah dengan pilihanmmu sendiri," gumam Luka.
Bibir Miku yang menyunggingkan senyum kembali berubah datar secara perlahan.
"Gomennasai Luka…," Miku menggenggam tangan kiri Luka yang terletak di atas meja.
Luka menarik tangannya perlahan. Ia jelas tidak mau berbagi kekecewaan dengan sahabatnya sejak SMP itu.
"Miku, sebaiknya kau memesan sesuatu, untuk menghangatkan diri," saran Luka alih-alih mengalihkan pembicaraan.
Miku hanya menurut saja, ia sudah tahu persis watak dan sifat Luka.
Akhirnya Miku memutuskan untuk memanggil pelayan dan memesan secangkir kopi hangat untuknya saja, karena Luka menolak saat Miku menawarkannya untuk memesan sesuatu.
"Bagaimana dengan keseharianmu, Luka?" tanya Miku sambil mengambil posisi seakan-akan sangat tertarik dengan jawaban Luka nantinya.
Luka tersenyum samar, ia menatap bangku sebelah Miku yang kosong.
"Aku hanya diam di rumah, tidak ada yang harus atau mungkin bisa aku lakukan," ucap Luka.
Ia menenggelamkan gelas capucinno-yang telah habis di antara kepalan tangannya.
"Hmm, kalau begitu kau mau tidak ikut bersamaku, bekerja di sebuah toko bunga?" tanya Miku dengan tatapan berharap akan ada jawaban yang memuaskan meluncur dari bibir Luka.
Luka mengerlingkan matanya kearah Miku, ia sedikit membelalakkan matanya.
"Benarkah? Aku mungkin akan mempertimbangkannya,"
Miku tersenyum. "Biaklah, dan oh iya, suamimu itu bagaimana keadaannya?" Miku mengetahui ketidaknyamanan Luka saat ia membahas masalah ini, namun Luka benar-benar butuh membagi ceritanya dengan Miku.
Luka tersenyum. Lagi-lagi ia kembali memandang kearah bangku kosong sebelah Miku.
"Ia seperti biasanya, sibuk dengan kontrak-kontraknya yang masih berjalan," senyuman Luka kembali berubah menjadi ekspresi datar, sembari menyisipkan beberapa helai rambutnya ke bagian belakang telinganya, karena terjatuh ke bagian depan. Sedikit mengganggu, menurut Luka.
Miku menggembungkan pipinya, sambil meraih cangkir yang baru saja pelayan berikan padanya.
"Arigatou…,"
Sejenak Luka mengalihkan pandangannya keluar jendela café. Beberapa orang sedang bersiap untuk menyeberang kearah jalan di sisinya. Hujan di luar sana masih sama deras dengan sebelumnya.
"Hmm, apa dia pernah memintamu untuk melakukan itu?"
Pertanyaan ambigu Miku disambut dengan keterkejutan Luka sambil menoleh kearahnya.
Semburat pipi keluar di kedua pipi Luka.
"Kau ini apa-apaan, Miku,"
Miku terkekeh. "Andaikan saja ada Meiko disini, mungkin dia akan memberikanmu banyak sekali cara-cara untuk…," Miku melanjutkan kata-katanya dengan gerakan jari tangan kanannya menunjukan angka dua dan membuat simbol kutip.
Luka berusaha menyembunyikan semu-semu merahnya dengan mengalihkan pandangannya menuju keluar jendela.
.
.
.
Luka mengamati ponselnya sambil merebahkan diri di atas sofa. Ia membayangkan apa yang akan terjadi besok ketika bertemu Miku kembali dan pergi ke toko bunga tempat ia mungkin akan bekerja.
Ia memejamkan matanya. Membayangkan betapa bahagianya Miku bisa mencapai keinginannya saat SMU dulu. Menikah dengan kekasihnya sejak SMU. Len Kagamine.
Luka sangat menginginkan itu. Sejak dulu, ia bersama kedua teman dekatnya-Miku dan Meiko, selalu membayangkan bagaimana kehidupan mereka saat sudah menikah nantinya.
"Aku jelas menginginkan dua orang anak, yang satunya mirip denganku dan satunya lagi mirip dengan Len," Miku tersenyum. Diikuti tawa kecil milik Luka dan kikikan Meiko yang membuat Miku menggembungkan pipinya. Berpura-pura kesal.
"Dasar Miku, lalu kau berniat menjodohkan mereka?" tanya Meiko lagi. Tawanya meledak setelah mengatakan itu. Luka hanya tertawa. Hanya tawa biasa yang tidak seheboh tawa Meiko.
Miku menyipitkan matanya dan menatap Meiko.
"Tentu saja tidak! Aku akan menjodohkan mereka dengan anak-anak kalian, maka dari itu…," Miku menggantungkan kalimatnya.
"...kalian harus memiliki anak perempuan atau laki-laki," lanjut Miku dengan kekehannya.
Meiko dan Luka heran melihat temannya yang satu itu.
"Kenapa? Ada yang salah?" tanya Miku menghentikan tawanya.
"Ah tidak, Miku. Menurutku, idemu bagus," ucap Meiko sambil memasang tampang berpikirnya.
Luka menyeruput minuman yang ada di genggaman kedua tangannya.
Suasana kantin siang itu memang sudah lumayan sepi. Jam sekolah sudah berakhir, hanya ada beberapa anak yang memang sedang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler atau les tambahan saat itu, dan ada pula yang memang memilih menghabiskan waktu mereka di sekolah dengan teman-temannya.
Luka tersadar akan lamunannya tentang masa-masa SMU-nya dulu. Suasana mendung masih menyelimuti keadaan di luar. Ia berjalan menuju sudut jendela apartemennya.
Kedua mata Luka menerawang keluar jendela. Mengamati rintik hujan yang sudah sedikit reda.
'Menjodohkan anak? Sepertinya tidak mungkin…,' pikirannya melayang pada apa yang telah menimpa dirinya, dijodohkan.
"Kau akan menikah dengan Gakupo dan kau tidak bisa menolak itu,"
Masih terngiang perkataan ayahnya saat itu. Luka memang tidak berada pada posisi sedang mencitai seseorang, namun rencana perjodohan itu jelas akan ditolak oleh semua orang yang memang tidak pernah mengenal bagaimana calon suaminya nanti. Meski pada dasarnya mereka sama saja.
Apalagi membayangkan statusnya yang memang sengaja disembunyikan olehnya. Selain pada Meiko, Miku, dan beberapa sanak saudaranya. Luka tidak pernah menyebutkan bahwa ia adalah istri dari seorang Gakupo Kamui. Aktor, penyanyi, dan model laki-laki yang diidolakan banyak orang di luar sana.
Luka tidak pernah menyangka ia akan menikah dengan orang itu. Dan Luka juga tidak tertarik mengumbar statusnya sebagai istri dari Gakupo.
Mereka melangsungkan pernikahan mereka beberapa bulan yang lalu dengan sembunyi-sembunyi.
.
Drrt drrrt drrrrrt
.
Getaran ponsel Luka yang ia letakan di meja ruang tamu membuyarkan lamunannya.
Ia berjalan meraih ponsel itu lalu membuka sebuah pesan yang baru saja sampai.
.
Miku Hatsune
Luka, jangan lupa janji kita besok ya? ^^
.
Luka kembali menutup ponselnya setelah membalas kilat pesan Miku. Setelah itu ia memutuskan untuk menyalakan televisi untuk memecah keheningan di ruangan apartemen itu.
Gakupo Kamui aktor kebanggaan negeri ini masih bungkam mengenai masalah pribadinya. Dikabarkan sedang terlibat cinta lokasi, Gakupo menolak keras akan kabar itu.
.
"Aku benar-benar tidak menjalin hubungan apapun dengan rekan satu kerjaku,"
.
Fakta ini membuktikan bahwa kemungkinan besar ia sudah memiliki wanita idaman dan ia-.
Luka mematikan televisinya. Ia mendengus sebal. Perasaan risih muncul di benaknya.
Ia tidak begitu nyaman ketika reality show sedang membahas Gakupo-suaminya.
Pernikahannya yang terbilang muda memang dihantui banyak kemungkinan akan keretakannya. Belum lagi posisi Gakupo yang memang seorang bintang. Bukan tidak mungkin Gakupo akan menceraikannya dan meninggalkannya untuk partner kerjanya yang memang sesama aktris dan lebih sempurna dibandingkan dirinya.
Namun Luka tidak begitu khawatir dengan kemungkinan itu, perasaan lega mungkin akan datang jika itu memang benar-benar terjadi. Toh Luka memang tidak menginginkan pernikahan ini sebelumnya.
Hanya saja ada satu kemungkinan yang membuatnya takut akan semua ini.
Kemungkinan bahwa Luka mungkin saja jatuh cinta pada Gakupo.
Luka menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia membuyarkan bayangan-bayangan yang kemungkinan terjadi nantinya itu.
"Baka Luka," gumamnya.
.
.
.
Kegelapan malam mulai datang menghampiri. Keramaian hujan yang datang secara bersamaan sudah tidak terdengar dan terlihat lagi. Hawa dingin mulai memasuki dinding-dinding apartemen Luka dan Gakupo. Mematikan AC tidak membuat hawa dingin itu menghilang.
Televisi yang dibiarkan menyala dan nyala api unggun yang sudah Luka sulut menemaninya di ruangan apartemen itu. Luka merapikan makan malam yang sudah ia buat untuk Gakupo di meja makan. Menatanya agar terlihat sedikit niatan Luka.
"Tadaima…,"
Suara khas Gakupo terdengar hingga ke bagian ruang makan.
"Okaeri…," Luka melepaskan celemeknya dan pergi menyambut suaminya dengan raut wajah yang biasa ia lemparkan pada Gakupo.
Dilihatnya pria itu-Gakupo sedang membuka mantelnya dan meletakannya pada gantungan mantel yang terletak di sudut ruang tamu.
Gakupo menoleh merasakan kehadiran Luka yang datang menyambutnya.
"Ah, Luka," Gakupo menghampiri Luka sambil membuka kancing lengan kemejanya.
"Nani?"
Gakupo mengamati Luka. "Sebaiknya kita makan malam," ucap Gakupo sambil berlalu meninggalkan Luka dan berjalan menuju dapur.
Sementara Luka berjalan menghampiri gantungan mantel, lalu mengambil mantel yang baru saja Gakupo gantungkan, berniat untuk mencucinya.
"Makan malam dulu, Luka," ucap Gakupo yang sudah duduk di salah satu kursi meja makan.
Luka mengangguk, setelah meletakan mantel itu di atas mesin cuci, Luka duduk di kursi meja makan yang membuat posisinya berhadapan dengan Gakupo.
"Ittadakimasu…,"
"Ittadakimasu…,"
Seketika mereka berdua tenggelam dalam kesunyian di meja makan.
Sesekali Gakupo melirik Luka yang menyantap makanannya, lalu kembali fokus dengan makanannya.
Luka yang merasa diperhatikan menoleh kearah Gakupo.
Namun didapatinya pria itu asik dengan makanannya.
Luka meneguk air mineral yang sudah disiapkannya. Lalu merapikan piring sisa makanannya dan menumpuk mangkok-mangkok yang digunakannya untuk makan dengan piring-piring lauk yang sudah kosong.
Pria di seberangnya sepertinya juga telah menyelesaikan suapan terakhirnya. Lalu meneguk air yang ada dihadapannya.
"Makananmu makin lezat saja," ucap Gakupo sambil tersenyum.
Luka melirik Gakupo dan tersenyum miring. "Benarkah? Bagus lah kalau begitu," ucap Luka sambil mengangkat bekas peralatan makannya.
"Eh tunggu," Gakupo menggeser kursi makan lalu bangkit menghampiri Luka.
"Karena kau sudah memasakan makan malam untuk ku, aku yang akan mencuci piring-piring ini," ucapnya lagi sambil menjulurkan kedua tangannya.
Luka mengamati Gakupo dari ujung kaki sampai kedua mata mereka bertemu.
"Baiklah, dan satu lagi, aku memasak untuk kita berdua, bukan hanya untukmu," Luka tersenyum sinis. Namun bagi Gakupo itu justru senyum nakal yang pertama kali Luka berikan semenjak hari mereka bertemu. Pertama kalinya.
"Hhhh baiklah, kau sebaiknya tidur lebih cepat," ucap Gakupo.
Luka menyerahkan tumpukan pekerjaannya pada Gakupo lalu berjalan meninggalkan dapur. Sebelum masuk ke kamar, Luka melirik kearah suaminya. Ia tersenyum memandangi pria itu sibuk menata bekas peralatan makan itu di sebelah keran wastafle cuci piring.
.
.
.
Setelah mengganti pakaiannya dengan pakaian tidur bermodel dress yang menjuntai sepanjang betisnya. Luka mengecek aktivitas apa yang sedang Gakupo lakukan di ruang tamu.
Perlahan ia berjalan keluar kamar dan menuju ruang tamu. Gakupo tampak sedang berhadapan dengan lembaran-lembaran skenario yang sepertinya akan ia lakukan pada saat ia syuting salah satu program hiburan nanti.
"Mau aku buatkan teh?" kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibir Luka.
Gakupo menoleh. Ia menaikan posisi kacamatanya yang sudah turun.
"Tunggu sebentar," ucap Luka sambil berjalan kearah dapur.
Tanpa mendengar persetujuan dari yang ia tanya, Luka membuatkan teh hangat untuk menemani suaminya itu menghafal skenario.
Saat sedang menyendokkan beberapa gula untuk teh Gakupo. Luka terdiam sejenak, membayangkan betapa bahagianya jika ia benar-benar menikahi Gakupo karena perasaan cinta dan begitupula dengan Gakupo.
Perlahan perasaan tidak menentu datang mencerca Luka. Pertanyaan-pertanyaan batin berkecamuk di pikiran Luka.
.
Apakah bisa seorang Luka mencintai pria yang kini menjadi suaminya tanpai perasaan apapun saat menikah?
.
Luka menepis pemikirannya dan kembali melanjutkan menyiapkan teh untuk Gakupo.
Setelah selesai, ia berjalan menghampiri Gakupo yang masih asik dengan lembaran-lembaran yang harus ia hafal.
"Ini, aku mungkin tidak bisa menemanimu malam ini, jadi aku hanya bisa membuatkanmu-,"
"Terima kasih," Gakupo merebut cangkir teh itu dari tangan Luka lalu meminumnya.
Luka mengrenyitkan dahinya. Ia masih diam di tempat.
"Sudahlah, kau bisa tidur," ucap Gakupo.
Luka hanya menurut dan berjalan meninggalkan sosok pria itu tenggelam dengan pekerjaan menghafalnya.
.
.
.
Sinar matahari menembus jendela besar yang terbingkai di salah satu sisi tembok kamar. Hangat sinar matahari seakan menggambarkan suasana rindu sang surya menyinari kota itu karena hari sebelumnya tak sempat menampakkan dirinya.
Luka bergegas bertemu dengan Miku di tempat yang sebelumnya sudah mereka sepakati.
Setelah memastikan pintu apartemen terkunci rapat, Luka melangkahkan kakinya menuju tempat tersebut.
Lorong gedung apartemen terlihat bersinar karena sinar matahari yang menembus masuk melewati jendela lorong. Luka memandangi kearah luar. Birunya langit membuat sudut-sudut di bibirnya membentuk senyuman.
.
I want to fly well~
I want to fly well~
Tobi kata bo shiranai dake~
.
Luka melirik ponselnya.
"Gakupo…,"
Luka sedikit menyudutkan dirinya di sudut lorong.
"Kau ada dimana sekarang?" tanya Gakupo. Suaranya terdengar sedikit ricuh karena mungkin ia sedang berada di tengah keramaian.
"Lorong apartemen, ada apa?" Luka balik bertanya.
"Maaf ya tadi aku tidak sempat berpamitan denganmu, aku harus berang-,"
"Tidak masalah," jawab Luka kilat. Ia kembali melanjutkan langkahnya menuju lift.
"Hn. Baguslah kalau begitu," ucap Gakupo. Suaranya sedikit tenang.
Luka hanya tersenyum mendengar suara pria itu.
Pintu lift terbuka.
"Aku harus masuk lift, nanti akan ku telfon lagi," ucap Luka sambil mematikan ponselnya tanpa persetujuan dari suara di seberang.
Luka menarik nafas sambil meletakan ponselnya ke saku jaket yang ia kenakan.
Setelah lift menunjukan telah tiba di lantai dasar, Luka buru-buru keluar.
Ia melihat beberapa orang dengan kamera dan peralatan wartawan serta jurnalis sedang berunding di lobby. Ia buru-buru berjalan keluar gedung apartemen. Tiba-tiba seseorang menghampirinya.
"Permisi nona," ucap orang itu. Luka menoleh. Ia berusaha menyembunyikan kegugupannya pada orang itu.
"Ada apa?" tanya Luka dengan tetap tenang.
"Apa benar Gakupo Kamui tinggal di salah satu kamar apartemen gedung ini?" tanya orang itu.
Dapat di terka bahwa orang itu adalah seorang wartawan. Luka buru-buru menggeleng dan tersenyum. "Aku tidak tahu, tuan," Luka bergegas berjalan meninggalkan orang itu.
Wartawan itu mendesah. Berharap sercercah informasi dapat ia tahu dari sosok Luka yang sebenarnya adalah jawaban dari pertanyaan besar yang ia cari.
Wartawan itu sedikit curiga dengan gerak gerik Luka yang terlalu terburu-buru.
Luka menarik napas lega. Ia berjalan menuju halte dan menunggu bus tujuannya.
Sebenarnya Gakupo sudah menawarkan fasilitas supir dan mobil untuknya, namun Luka lebih memilih hidup seperti biasanya, sebelum ia bertemu dengan sosok Gakupo yang pada dasarnya bisa memberikannya apa saja.
.
.
.
Suasana toko bunga itu terlihat nyaman, kecil seperti toko bunga biasanya, namun toko itu bukan toko yang berada di pinggiran kota, toko itu sedikit terpencil namun banyak pengunjung yang sudah mengetahui keberadaan toko bunga itu. Halaman toko tersebut dihiasi dengan berbagai macam bunga yang tertanam rapi. Tidak heran banyak sekali kupu-kupu yang mampir sekaligus membantu dalam kegiatan menyuburkan bunga-bunga tersebut.
"Bagaimana Luka? Tempatnya bagus kan? Aku sudah mengatakan ini semua pada atasanku, dan hari kerjamu sama," ucap Miku sambil meletakan tasnya di atas meja kasir.
"Dengan semudah itu kah?" tanya Luka.
Miku mengagguk. "Aku tidak mengatakan kau istri dari…,"
Luka meletakan telunjuknya di depan bibirnya.
"…tentu saja tidak! Lagipula atasanku itu pria, mana mungkin ia…,"
Luka terkekeh. Ia memandangi sekeliling ruangan toko itu. Tersusun rapi dan terlihat cantik dengan cat wallpaper toko yang terkesan kalem, warnyanya tersusun dari garis horizontal berwarna putih dengan latar warna cream.
"Ah iya, hari ini dia akan berkunjung, untuk itulah…," ucap Miku.
"Eh iya, Miku, hari pernikahanmu kan tinggal 4 hari lagi, kau masih belum mau cuti?" tanya Luka sambil menyentuh beberapa bunga yang terletak di pot.
Miku menggembungkan pipinya, kebiasaan yang selalu ia lakukan.
"Ini adalah hari terakhirku, Kaito-san bilang, aku harus bisa membimbingmu untuk bekerja di toko ini, sehingga dia juga tidak akan khawatir ketika tidak sedang jadwalnya berkunjung ke toko jika kau yang bekerja," jelas Miku.
Luka dapat merasakan atmosfir bahagia yang menyelimuti diri Miku. Luka tersenyum melihat tingkah temannya yang satu itu.
Mereka berdua memutuskan untuk membersihkan toko itu sebelum jam buka.
Suara motor membuat Luka dan Miku menoleh keluar toko. Sebuah motor berhenti di depan toko tersebut. Seorang yang baru saja turun itu melepas helmnya dan warna biru gelap tersibak dari dalam sana. Rambut pria itu sedikit berantakan akibat helm yang baru saja ia lepas.
"Itu dia Kaito-san," Miku meletakan pot yang sedang ia lap. Luka mengamati Miku menghampiri orang itu. Ia memutuskan untuk menunggunya ketika sudah ada di dalam.
Terlihat Miku sedang berbincang-bincang dengan pria itu. Lalu entah apa yang Miku katakan, pria itu menoleh kearah Luka.
Luka hanya bisa mengerlingkan matanya kearah lain. Sedikit malu jika ia ketahuan mengamati pria itu sejak tadi.
"Ini dia, Luka Ka-,"
Luka buru-buru menyipitkan matanya.
"Maksudku Megurine Luka," ucap Miku sambil mempersilahkan atasannya itu menjulurkan tangan untuk menjabat tangan Luka.
Luka menjabat tangan pria itu ragu-ragu.
"Kaito Shion, kau bisa memanggilku dengan sebutan apa saja, lagipula kita seumuran," ucap Kaito—pria dengan rambut biru itu.
Luka sedikit risih, entah mengapa semenjak menikah dengan Gakupo, ia jadi ragu untuk berhadapan dengan pria lain selain dengan suaminya. Kecuali saudara dan keluarganya tentunya.
"Aaa, aku akan meletakan jaket dan helmku di belakang," Kaito buru-buru menuju ke sebuah ruangan yang memang dibangun untuk ruangan karyawan.
Miku tersenyum puas. Namun setelah melihat raut wajah Luka. Perasaan bersalah mulai datang.
"Luka, kau tidak apa-apa kan?" tanya Miku sambil merangkul lengan Luka.
Luka menggeleng dan tersenyum tipis. "Aku mau meletakan ini dulu," Luka melangkah dan meletakan sebuah pot bunga kecil ke tempat sebelumnya ia mengambil pot tersebut.
.
.
.
Televisi di ruangan itu diletakan untuk menghibur para pengunjung yang datang serta untuk mengatasi kebosanan bagi para karyawan yang sedang berjaga saat tidak ada pengunjung.
Pengunjung hari itu cukup ramai, sehingga membuat Miku dan Luka sedikit kewalahan. Karena kebetulan bulan itu adalah bulan dimana banyak orang yang berziarah ke makam-makam.
Luka dan Miku berlalu lalang melayani pembeli yang meminta tolong untuk mencampurkan rangkaian bunga yang mereka inginkan. Sementara Kaito membantu mereka dengan ikut turun tangan sebagai penjaga kasir.
"Kalau saja Rin-chan ada disini," ucap Miku.
Luka melirik Miku, sembari merangkai bunga yang salah satu pembelinya pesan.
"Dia karyawan yang biasa membantuku, hari ini dia absen karena harus pergi ke luar kota, menjenguk makam ibunya," jelas Miku setelah melihat tatapan penasaran yang Luka pasang.
Luka hanya mengangguk-angguk mengerti.
Setelah setengah jam kemudian, toko kembali sepi. Hanya ada beberapa pengunjung yang mampir untuk melihat-lihat atau membeli bunga yang memang sudah dipajang didalam toko.
"Jadi, kau tinggal dimana?" tanya Kaito sambil menyeruput gelas berisi minuman soda.
"Apartemen Emerald," jawab Luka singkat.
Kaito terbelalak. "Oh ya? Mengapa kau masih bekerja sampingan dengan status yang astaga, apartemen itu kan banyak ditinggali oleh orang-orang ternama," ucap Kaito sedikit tersentak.
Luka sedikit terdiam. Ia tersenyum. "Keberuntunganku," jawabnya singkat.
Kaito hanya mengangguk meng-oh-kan. Karena ia merasa Luka mulai tidak nyaman saat ia mulai bertanya tentang kehidupan pribadinya.
Miku yang menyadari kecanggungan tersebut langsung berusaha mencairkan suasana.
Luka tersenyum melihat tingkah sahabatnya itu, yang selalu siaga ketika ia memang merasa dirinya sudah mulai tidak nyaman dengan tempat dimana ia berada sekarang.
"Oh iya, hari ini sepertinya aku akan menutup toko lebih cepat," ucap Kaito sambil meneguk lagi minumannya.
"Eh? Ada apa?" tanya Miku.
Kaito menoleh kearah Luka sebelum ia menjelaskan tentang alasannya menutup toko bunga lebih awal.
"Aku harus pergi ke makam ibuku," ucap Kaito.
"Eh? Tapi aku dan Luka kan masih berjaga, kau bisa menitipkannya pada kami, benar kan Luka?" Miku menyenggol sikut Luka dan disambut dengan anggukan kepala Luka.
"Benarkah? Baiklah," Kaito tersenyum kearah Miku lalu berganti menoleh kearah Luka.
Suasana hangat menyelimuti toko bunga itu, sinar matahari siang itu benar-benar membuat bunga itu terlihat bersinar.
.
.
.
Gakupo duduk sambil berserah diri kepada stylist dan orang yang sedang mendandaninya. Hari itu daftar pemotretan yang dijalani Gakupo sangat padat. Beberapa syuting juga sudah menantinya setelah pemotretan-pemotretan ini selesai.
"Gakupo-kun!" panggil sebuah suara. Gakupo melihat sosok yang memanggilnya hanya dengan melirikan mata ke sudutnya.
"Ada apa Gumi?" tanya Gakupo sambil tetap fokus agar tidak mendapat protes dari orang-orang yang saat ini sedang merubahnya menjadi model.
Gadis itu—Gumi, duduk di kursi sebelah Gakupo. Mengamati pria itu dengan tatapan puas. Dapat dirasakan bahwa gadis itu telah terpesona dengan pesona yang memang disajikan dalam diri Gakupo.
Rambutnya yang dibiarkan panjang dengan paduan tubuh yang perofessional, tidak terlalu berotot namun tetap terlihat atletis, membuatnya terlihat seperti pria yang nyaris mendekati pernyataan sempurna.
Warna bola matanya yang senada dengan warna rambutnya membuatnya terlihat sedikit seperti wanita, namun tetap saja, cantik dalam diri Gakupo adalah tampan di mata idola-idolanya.
"Hari ini kau sibuk tidak?" tanya Gumi sambil menopang dagunya dengan kedua tangannya yang ia letakan di atas pahanya.
Gakupo diam sejenak. Setelah orang-orang yang mendandaninya selesai, ia menoleh kearah Gumi.
Sorot matanya yang tajam membuat Gumi tersenyum puas.
"Aku tidak bisa, maaf," Gakupo bangkit dari duduknya menuju tempat ia akan mengganti pakaiannya.
Gumi mendesah. Ia mencengkram tangan Gakupo. Namun buru-buru ditepis oleh pria itu, menyadari betapa berharganya dirinya saat ini, hanya untuk Luka.
"Huh, kasar sekali sih!" Gumi menghentakkan kakinya.
Gakupo hanya geleng-geleng kepala sambil mencari pakaian yang saat itu harus ia kenakan.
"Ayolah," mohon Gumi. Gakupo tetap menggeleng.
Gumi mengerucutkan bibirnya. Tapi semangat dalam dirinya tidak mau berhenti.
"Kalau begitu aku akan menemanimu hari ini," ucap Gumi.
Gakupo terdiam. Ia menoleh kearah Gumi. Ingin sekali ia menyuruh Gumi untuk pergi, namun ia tidak memiliki keberanian untuk menyakiti hati wanita.
Gakupo mengepalkan tangannya. Menahan emosi.
"Gakupo! Kemarilah," panggil sebuah suara.
Gakupo menarik napas lalu meninggalkan Gumi sendirian di tempat dimana ia berdiri.
Senyum tipis namun terlihat sedikit memuaskan tercoreng di wajah Gumi.
.
.
.
Jam sudah menunjukan pukul tujuh malam. Hari itu Miku dan Luka terpaksa pulang sedikit larut karena harus merapikan toko terlebih dahulu dan hanya berdua saja.
"Astaga, Miku! Aku lupa, aku tidak tahu hari ini Gakupo pulang pukul berapa, aku belum menyiapkan makan malam," ucap Luka sedikit cemas. Ia buru-buru mengobrak abrik isi tasnya, mencari ponsel.
Miku hanya tersenyum sambil tertawa kecil.
"Hmm, jadi kau sudah mulai peduli padanya, ya?" tanya Miku.
Luka melotot. Ia menghentikan aktivitasnya. Namun melanjutkannya kembali setelah memberi tatapan tajam dan membuat Miku berhenti tertawa.
"Aku sudah memikirkan untuk berusaha mencintai orang itu," ucap Luka perlahan sambil menggenggam ponselnya.
Miku hanya tersenyum dan mengangguk-angguk. Ia tahu persis sosok Luka saat ini memang bersungguh-sungguh dengan niatnya itu.
Luka bergegas menelpon Gakupo sebelum pemikiran lain melintas dibenaknya. Namun pemikiran itu justru lebih cepat datang.
"Mungkin dia sedang sibuk, tapi dia memang tidak pernah mengabariku jika sudah pulang," Luka kembali menutup ponselnya.
"Ada apa?" tanya Miku.
Luka menggeleng pelan. Ia akhirnya kembali membantuk Miku membereskan potongan-potongan sampah plastik yang biasa digunakan untuk membungkus bunga.
Setelah menyelesaikan pekerjaan mereka, kedua wanita itu bergegas meninggalkan toko bunga itu.
"Besok kau akan bekerja kesini sendiri, tidak apa kan?" tanya Miku.
Luka sedikit ragu. Namun ia menepis perasaan ragunya sambil mengangguk dan tersenyum.
Miku membalasnya dengan senyum lega.
Mereka berdua berpisah di sebuah pertigaan tempat Miku memberhentikan taksi.
Jalan menuju toko bunga tempat mereka bekerja memang berada di pinggiran kota. Namun tempatnya sedikit terpencil.
Luka memandangi sekelilingnya. Banyak kendaraan yang berlalu lalang, ditambah lagi orang-orang yang memang masih berkeliaran di sana. Luka berjalan menelusuri jalan menuju halte bus.
Suasana malam itu dingin seperti biasanya. Luka memasukan kedua tangannya ke saku jaket. Ia berdiri di sebuah halte. Lumayan banyak orang yang ada di sana. Karena sekarang memang bertepatan dengan berakhirnya jam kerja karyawan-karyawan.
Luka memandangi sekelilingnya dan terpaku pada sebuah spanduk besar. Disana terpampangfoto Gakupo setengah badan dengan wajah khasnya dan produk parfum yang memang sedang dipasarkan.
Ia tersenyum memandangi wajah Gakupo. Perasaan bangga sedikit terbelesit.
Ia benar-benar masih memikirkan takdir yang membawanya bertemu dengan Gakupo dan membuatnya terikat sebuah janji yang tidak pantas untuk diingkari pada akhirnya.
Karena semua janji memang bersifat begitu, kan?
Bus yang ditunggu Luka datang, ia buru-buru masuk untuk mendapatkan jatah pulang cepat saat itu. Tidak dapat dibayangkan jika Gakupo harus menunggu Luka pulang untuk dapat masuk ke apartemennya. Karena Gakupo memang terbiasa meninggalkan kunci duplikatnya di rumah. Mempercayakan segalanya pada Luka.
"Sebenarnya aku penasaran sekali, dia itu menjalin hubungan apa dengan Gumi," ucap salah seorang penumpang yang saat itu duduk di sebelah tempat Luka berdiri.
"Ah iya, gosip mereka sudah menyebar luas, tapi aku masih tidak yakin dengan keberadaan hubungan khusus yang mereka punya," ucap salah seorangnya lagi.
Luka sedikit tercekat mendengar itu semua. Ia menghela napas. Menyadari betapa beruntungnya dirinya. Namun ia masih belum yakin jika perasaan inilah yang disebut cinta.
Setelah sampai di halte yang berada di depan wilayah apartemennya, Luka turun dan mengamati sekeliling.
Udara malam semakin merasuk ke tulang-tulangnya. Luka mengatupkan rahangnya rapat-rapat untuk menahan rasa dingin yang menyerangnya.
Ia berjalan perlahan menuju gedung apartemen.
Keinginan untuk memiliki rumah sendiri masih takut ia utarakan pada Gakupo. Ditambah lagi kini keberadaan Gakupo mudah sekali dilacak oleh para wartawan. Bagaimana jika mereka tahu bahwa Luka adalah istirnya?
Luka menggeleng-gelengkan kepalanya. Di dalam benaknya, ia selalu bertanya-tanya sampai kapan ia akan terus menyembunyikan statusnya? Sementara Gakupo sejak awal sama sekali tidak keberatan jika semua orang mengetahui status Luka.
Tiba-tiba ponsel Luka bergetar.
.
Drrt drrrrt drrrtt
.
Luka membuka ponselnya.
.
Gakupo
Hari ini aku pulang sedikit larut, sebaiknya jgn menungguku utk makan malam.
Gomennasai~
.
Luka menghela napas. Ia sedikit merasakan perasaan kecewa lalu mempercepat langkahnya menuju gedung apartemen.
"Apa iya aku mulai mengkhawatirkan dia?"
Luka menggigit bibir bawahnya sambil menunggu pintu lift terbuka. Setelah yang ditunggu terlaksana, buru-buru Luka masuk ke dalam lift.
.
.
.
Luka memandangi langit-langit kamarnya. Sinar lampu meja yang hanya menjadi sumber penerang saat itu membuat Luka beranga-angan.
Di sebelahnya kini sudah ada pria yang seumur hidup mungkin akan menemani hidupnya. Pria dengan kategori mendekati sempurna. Namun perasaan tidak dapat membohongi kenyataan, Luka belum mencintai orang itu, entah nantinya ia bisa mencintainya atau selamanya ia akan hidup dengan dihantui rasa bersalah dan patuh terhadap orang tuanya. Kalimat yang menguatkan Luka sampai saat ini adalah kalimat yang diucapkan ibunya. Bahwa semua laki-laki di dunia ini sama saja.
Luka sebenarnya tidak pernah menginginkan pernikahan ini, namun yang membuatnya penasaran sampai sekarang adalah, persetujuan Gakupo untuk menikah dengannya, bahkan dulu saat pertama orang tua mereka saling memperkenalkan mereka. Dan Luka tidak menyangka bahwa pria itu adalah Gakupo Kamui.
Suasana rumah keluarga Megurine saat itu sedikit dipenuhi keramaian. Beberapa mobil terparkir di halaman rumahnya yang lumayan luas. Suasana suka cita menyelimuti rumah itu, hanya saja…
"Luka, kau tidak merasa terpaksa kan, nak?" tanya ibunda Luka sambil memakaikan sebuah kimono berwarna merah muda.
"Kalaupun aku terpaksa, ini semua tetap akan terjadi, kan?" Luka tersenyum. Namun ibunya tetap bisa melihat raut wajah kekecewaan di bibir Luka.
"Semua laki-laki sama saja, Luka… Disamping itu, kau belum pernah dekat dengan seorang laki-laki kan?" tanya ibunda Luka yang kini sudah berpindah dan memasangkan sabuk atau obi pada pinggang Luka.
"Hn," Luka mencoba untuk tenggelam dalam kesunyian agar tidak banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang membuat pikirannya berubah.
Menyukai laki-laki? Sampai sejauh ini mungkin Luka belum menyadari bahwa dirinya sudah pernah menyukai laki-laki. Kagum, tepatnya.
"Kau belum tidur?" panggil suara di sebelah Luka. Gakupo tampak memunggungi Luka, namun matanya belum benar-benar terpejam.
Lamunan Luka membuyar. Ia tidak menoleh namun hanya menggelengkan kepalanya.
Akhirnya pria di sebelahnyalah yang memutuskan untuk membalikan tubuhnya sehingga kini ia dan Luka sama-sama dalam posisi memandangi langit-langit kamar.
"Ada masalah apa?" tanya Gakupo dengan nada lembut yang bersahabat.
Luka kembali menggeleng. Ia menarik selimutnya sedikit keatas. Matanya masih memandang lurus ke langit-langit ruangan itu.
"Kau masih merasa terpaksa, bukan? 3 bulan bukan waktu yang tepat untuk mencintai seseorang dengan cara terpaksa," kalimat pria itu membuat Luka menolehkan kepalanya kearahnya. Ia memandangi Gakupo dari samping. Entah apa yang membuat jantungnya terpompa, namun itu membuat perasaan Luka sedikit gugup. Ia menyadari kini sudah berada satu ranjang dengan pria penuh pesona itu.
"Tidak apa, mungkin sulit untukmu menerima ini-,"
"Mengapa sulit untukku dan tidak sulit untukmu?" Luka membalikan pernyataan Gakupo menjadi pertanyaan yang membuat pria itu terdiam sejenak. Senyuman tersungging dari bibirnya yang tipis.
"Tidurlah," Gakupo memutar kembali posisinya menjadi memunggungi Luka.
Luka mendengus sebal.
"Oyasumi hime-chan," bisik Gakupo.
Luka terdiam. Salam tidur Gakupo membuat pipinya sedikit merona.
Akhirnya wanita itu memutuskan untuk memunggungi punggung Gakupo dan berusaha memejamkan matanya.
"Ah iya, aku lupa memberi tahu ini..," Luka menggantungkan kalimatnya. Dan membuka kembali kedua matanya.
"Hn?" Gakupo merespon tanpa membalikan tubuhnya.
"..aku sudah bekerja di sebuah toko bunga, tidak apa, kan?" perasaan ragu mulai muncul dalam benak Luka.
"Hn…," perasaan khawatir muncul dalam diri Gakupo. "..asalkan kau tidak kelelahan nantinya,"
Luka menghela napas lega. "Hai. Arigatou,"
Tidak ada balasan dari Gakupo. Sepertinya pria itu sudah terlelap. Luka tersenyum dan memejamkan matanya. Berharap bunga-bunga mimpinya malam ini tidak membuatnya cemas.
.
.
.
Pagi itu Luka menyiapkan sarapan untuk Gakupo dan juga dirinya. Hari itu ia bangun lebih pagi dari biasanya. Dua buah piring yang tertata dengan masing-masing sebuah omellette di atasnya.
Tirai-tirai di ruang makan dibiarkan terbuka agar sinar matahari pagi itu masuk dan menerangi ruangan tersebut. Hangatnya yang terasa sampai kedalam membuat Luka bersemangat melakukan aktivitasnya. Suara langkah Gakupo yang keluar dari kamar sudah terdengar.
"Ohayou," sapa Luka sambil membersihkan bagian bawah celemek yang ia makan.
Gakupo terdiam. Ia memandangi meja makan dan Luka secara bergantian.
"Pagi sekali kau bangun," ucap Gakupo sambil melangkah menuju kamar mandi.
Luka melepas celemeknya dan menggantungkannya ke sebuah paku di sebelah sebuah lukisan yang menghias ruang makan itu.
"Jangan remehkan aku," balas Luka. "Lagipula aku ini sudah mendapat pekerjaan, jadi…,"
Luka terdiam. Menunggu Gakupo keluar dari kamar mandi setelah menyikat giginya.
"..aku harus bisa bangun pagi dan menyiapkan ini semua untukmu," pipi Luka sedikit merona. Rasa hangatnya matahari yang dirasakan tubuhnya semakin hangat setelah ia mengatakan kalimat itu.
"Hn.. Bagus…," Gakupo duduk dan bersiap menyantap sarapannya. Menunggu Luka duduk dan bersiap untuk sarapan bersama.
"Ittadakimasu," ucap mereka bersamaan, lalu menggigit kecil potongan roti setelah sebelumnya bertukar pandangan.
Suasana sarapan pagi itu benar-benar super hangat. Mood pasangan itu benar-benar sedang bagus, ditambah dengan suasana pagi yang memang mendukung mereka untuk memiliki mood yang tepat.
"Luka,"
Luka menoleh kearah Gakupo yang sepertinya sudah selesai menyantap sarapannya. Dan kini baru saja meletakan gelas susu yang baru diteguknya.
"Apa kau benar-benar tidak menginginkan untuk tinggal di sebuah rumah?"
Luka nyaris tersedak. Namun buru-buru ia menyambar gelas susunya.
"Hn. Ada, tapi jika kau nyaman tinggal di sini, tak masalah," ia meletakan kembali gelas susunya.
"Aku lebih menginginkan banyak privasi, tempat ini terlalu umum untuk kehidupan kita,"
"…ma-maksudku aku takut jika tiba-tiba ada orang lain yang mengetahui tentang kita," Gakupo buru-buru menjelaskan kalimatnya setelah melihat semburat merah timbul di pipi Luka setelah mendengar kata privasi.
Sejenak keheningan menyelimuti ruangan itu. Luka sedikit menundukan kepalanya, sementara Gakupo menopang dagu mengamati sosok wanita dihadapannya.
"Ti-tidak masalah," ucap Luka.
Gakupo tersenyum. Ia bangkit dari duduknya dan pergi menuju kamar.
"Kalau begitu, sepulang kerja nanti, aku akan mencari tempat untuk kita nanti,"
Lagi-lagi pipi Luka merona. Wajah Luka terlihat lebih manis karena sinar matahari yang memaksa masuk ke ruangan itu. Senyuman yang membingkai wajahnya benar-benar sepadan.
Luka bergegas merapikan bekas sarapannya bersama Gakupo. Dan bersiap-siap untuk berangkat kerja pagi ini.
.
.
.
Terusan panjang selutut berwarna kuning dengan motif polkadot putih terlihat cocok dengan tubuh Luka. Meski sebenarnya wanita itu cocok untuk setiap busana yang ia kenakan, karena tubuhnya memang ideal bagai model.
Model.
Semenjak SMU, Luka dikenal sebagai gadis sampul suatu majalah, ia tidak pernah menyadari bakatnya dalam berpose di depan kamera. Namu kedua orang tua Luka tidak menyetujui karir Luka dalam bidang model.
Sedikit rambut yang berada di sisi kanan dan kirinya dijepit kearah belakang. Mempermanis Luka dengan jepit rambut berbentuk pita berwarna putih itu yang digunakan untuk menjepit rambutnya.
Luka merapikan lipatan-lipatan yang sudah terlihat merusak terusan bajunya itu. Ia mengamati pantulan dirinya di dalam cermin. Lalu tersenyum setelah mengamati ia cukup pantas bersanding dengan pria seperti Gakupo. Tiba-tiba wajahnya memanas, rona pipinya kembali terlihat. Luka beranjak dari hadapan cermin dan bergegas berangkat ke tempat kerjanya.
"Apa dia sudah berangkat?" pikir Luka sambil memeriksa sekeliling kamar apartemennya. Mencari sosok Gakupo yang terakhir ia lihat berada di ruang tamu.
"Sepertinya sudah….,"
Luka menutup pintu kamar apartemennya dan menguncinya. Setelah pasti terkunci rapat, ia bergegas menuju lift. Namun ia mengenali sosok yang sedang berdiri di sebelah pintu lift.
"Eeeeh?"
Sosok pria itu melambaikan tangannya kearah Luka. Jaket dengan bulu-bulu yang mengelilingi bagian lehernya dan kacamata hitam yang dikenakan pria itu tidak membuat Luka tak mengenalinya.
"Aku ingin tahu tempat kerjamu," ucap pria itu.
Luka tersentak. Mengingat statusnya yang masih dirahasiakan sebagai istri Gakupo. Ia sedikit terkejut dengan pernyataan Gakupo barusan.
"Aku tidak akan terlambat kerja, percayalah," ucap Gakupo lagi sambil menggandeng tangan Luka.
Luka hanya menurut saja dan mereka berdua masuk ke dalam lift.
Gugup yang Luka rasakan sepertinya tertebak oleh pria di sebelahnya itu. Genggaman tangannya sedikit ia longgarkan. Membuat Luka menoleh kearahnya.
Pada saat itu mereka benar-benar beruntung karena hanya ada mereka berdua di dalam lift.
"Sebenarnya apa yang membuatmu ingin menyembunyikan segalanya tentangku?"
Sedikit menusuk. Kalimat pertanyaan yang Gakupo lontarkan pada Luka barusan membuat wanita itu melirikan matanya kesana dan kemari. Mencari jawaban yang tepat. Lebih tepatnya jawaban sebenarnya.
.
Ting
.
Pintu lift terbuka. Seorang karyawan apartemen masuk dan tersenyum melihat Gakupo. Kedua orang itu membalas senyum sang karyawan.
Setelah pintu lift kembali tertutup, hanya keheningan yang menemani mereka sampai ke lantai dasar. Gakupo mengerti keadaan itu, dimana Luka memang tidak mau membicarakan hal-hal pribadinya di hadapan orang yang tidak begitu dekat dengannya-sang karyawan.
Luka menghentikan langkahnya di depan lift. Memandangi sosok Gakupo yang berjalan lebih depan darinya. Ia menundukan kepalanya. Usaha untuk mencari jawaban yang tepat terus ia pikirkan. Luka menggigit bibir bawahnya.
Luka memandangi sekeliling. Sosok Gakupo menghilang. Helaan napas lega keluar dalam dirinya.
Sepertinya Gakupo mengerti dan memutuskan untuk membatalkan rencananya. Tapi tiba-tiba perasaan bersalah Luka muncul kembali. Dimana peperangan pendapat antara batinnya yang bertanya-tanya mengapa ia menyembunyikan statusnya sebagai istri Gakupo.
"Baka..,"
Luka meneruskan langkahnya dan berlari keluar gedung apartemen. Mencari sosok Gakupo ke sekeliling. Namun nihil. Hanya ada beberapa deret mobil yang terparkir.
Suasana pagi itu kembali dingin. Ya, dingin baginya dan mungkin Gakupo, atau hanya dirinya saja yang merasakan dinginnya pagi itu. Bertolak belakang dengan keadaan sebenarnya, dimana matahari bersinar terang di atas kepalanya dan menyinari langkah-langkahnya menuju tempat kerja.
Suasana ramai yang memang menjadi keseharian kota itu terlihat seperti biasa. Lalu lalang kendaraan sudah terlihat wajar seperti kota-kota pada umumnya.
Antrian di halte bus dan orang-orang yang keluar masuk dari bangunan sebuah toko seperti kota-kota sewajarnya terlihat pada hari itu, dan pada tiap harinya tentunya.
Luka berjalan masuk ke dalam halaman toko bunga. Ia melihat sekeliling. Sebuah motor terparkir seperti sebelumnya di halaman toko itu. Motor dari sang pemilik toko, Kaito Shion.
"Irrashai-," kalimat Kaito terhenti setelah melihat siapa yang baru saja masuk. Ia menghentikan aktivitas memotretnya.
"Ah, Luka-san, kau rupanya," ia menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal.
Luka tersenyum dan membungkuk. Ia memandangi sekeliling toko.
"Kau sudah tahu Miku absen kan? Jadi kemungkinan kau-,"
Luka membungkuk lagi, menandakan dirinya sudah tahu segala sesuatu yang baru saja akan Kaito katakan padanya.
"Kalau begitu, mulailah," ucap Kaito sambil kembali menyibukan dirinya dengan kamera yang ia gunakan untuk memotret keadaan taman dari dalam toko.
Luka meletakan tasnya di kursi sebuah ruangan yang memang dikhususkan untuk semua karyawan yang bekerja di toko bunga itu. Lalu mengenakan celemek yang memang diperuntukan untuk penanda bahwa itu adalah seragam karyawan toko bunga tersebut.
Setelah mengikatkan celemak itu di pinggangnya cukup kencang, Luka menarik bagian ujung bawah celemek itu agar tidak terlipat dan terlihat rapi. Lalu melangkahkan kakinya keluar ruangan itu. Memulai hari kerjanya yang kedua.
Ia memeriksa sebuah pot berisikan bunga mawar berwarna putih. Sebelumnya, ia menoleh kearah Kaito yang asik dengan kameranya. Luka menggeleng-gelengkan kepalanya dan kembali sibuk dengan pot mawar itu. Ia menyemprotkan air yang memang biasa digunakan untuk membuat tanaman mawar itu subur. Lalu membawa pot mawar itu ke sudut dekat jendela toko. Deretan pot lain yang terletak di bagian luar jendela terlihat manis. Luka mengamati mereka dengan senyum manisnya. Kaito mengarahkan kamera kearah Luka dan memotretnya. Ia memotretnya berkali-kali, sehingga setiap gerakan yang Luka lakukan tertangkap oleh kameranya.
Merasa sedang dijadikan objek foto, Luka menoleh kearah Kaito. Memandang Kaito dengan tatapan Apa yang kau lakukan?
Kaito hanya tersenyum memamerkan giginya. Sambil menunjukan kameranya.
Luka hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum. Tidak terlewatkan, Kaito kembali mengabadikan momen itu kedalam bentuk foto.
Luka hanya menggembungkan pipinya. Kaito kembali mengambil gambar Luka.
Luka berkacak pinggang dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Kaito mundur beberapa langkah, berniat kabur. Namun niatannya diurungkan karena tiba-tiba seorang pengunjung datang.
.
.
.
.
Miku Hatsune
Bagaimana hari kerjamu? ^^
.
Luka tersenyum memandangi layar ponselnya. Ia membalas pesan Miku dengan jawaban yang mungkin memang dinantikan setiap orang yang mengirimkan pesan macam itu pada Luka.
.
Sending…
.
Setelah menutup ponselnya, Luka melepas celemek kerjanya. Jam kerjanya sudah berakhir. Ia lalu menghampiri Kaito yang saat itu sedang berhadapan dengan laptopnya.
Kaito sedang memasukan hasil fotonya ke personal computer nya. Hari itu Luka dan Kaito sudah semakin akrab, layaknya atasan dan bawahan seperti biasanya.
"Wah, kau berbakat jadi model," ucap Kaito.
Tiba-tiba perasaan sesak menyergap Luka. Ia terdiam mematung memandangi hasil jepretan Kaito tentang gambar dirinya. Kaito menyadari akan kesunyian yang datang ke mereka.
Ia melirik Luka yang berdiri di sebelahnya. Masih dalam posisi duduk, Kaito membalikan tubuhnya. Mengamati wajah Luka yang sepertinya tertunduk, namun pandangan matanya melirik kearah gambar dirinya yang Kaito buka di laptop.
"Maaf, apa aku…,"
Luka duduk di sebuah sofa yang memang tersedia di ruangan itu. Ia menghela napas lalu memutuskan untuk bercerita pada Kaito. Tentang masa muda dan segala sesuatu yang pernah ia lakukan dan bersangkutan dengan dunia model.
Kaito mengangguk-angguk mengerti. "Eh, begitu ya…,"
Luka tersenyum. Ia berdiri dan kembali melihat gambarnya di laptop Kaito.
"Aku berniat menjadikan fotomu untuk spanduk toko," ucap Kaito sambil mengarahkan kursornya dan memutar-mutarnya di sekitar foto Luka.
Luka tertawa kecil. "Tidak masalah,"
"Benarkah?" mata Kaito membulat.
Luka mengangguk mantap. Mungkin ayah dan ibunya tidak keberatan jika ia menjadi model dari tempat kerjanya, lagipula Gakupo memang sudah menyetujui rencana pekerjaan ini.
"Oh iya, lusa nanti Miku akan menikah, bukan?" tanya Kaito sambil melanjutkan acara memeriksa hasil-hasil jepretannya di laptop.
Luka mengangguk sambil tersenyum.
"Kau sendiri sudah menikah?" tanya Kaito. Luka tersentak. Ia tersenyum gugup. Sebenarnya tidak ada gunanya menutupi semua ini, akhirnya Luka memutuskan untuk memberi tahu Kaito.
"Aku sudah menikah,"
Dapat terlihat perasaan menyesal Kaito dengan cara membuang nafasnya barusan. Luka terkekeh. "Ada apa memangnya?"
Kaito menggeleng-gelengkan kepalanya. "Sayang sekali,"
Pipi Luka perlahan merona. Ia menepuk-nepuk bahu Kaito di bawahnya.
"Suamimu pasti beruntung bisa menikah denganmu," ucap Kaito.
Luka tertawa kecil. Rona di pipinya membuatnya terlihat sangat manis, di mata Kaito saat itu.
Luka dan Kaito tertawa bersamaan.
"Aku kira sebaliknya," pernyataan Luka di sela-sela tawanya membuat tawa Kaito berhenti.
"Memangnya siapa suamimu?"
Luka terdiam sejenak. Meredakan tawanya. Ia gugup dan bimbang. Ia mengedipkan sebelah matanya kearah Kaito. "Nanti kau akan tahu, aku pulang dulu ya," ucap Luka.
Kaito mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia menahan Luka pulang dan memanggilnya.
"Aku antar," ucap Kaito.
Luka tersenyum, ia menggeleng pelan dan melambaikan tangan pada Kaito.
Kaito bangkit dan mengantar Luka sampai ke pintu depan toko.
"Ja~," Kaito melambaikan tangannya kearah Luka dan tersenyum mengamati setiap langkah Luka meninggalkan toko itu.
Suasana di luar yang semakin sore membuat Kaito buru-buru merapikan tokonya dan menutup tokonya. Pengunjung hari itu tidak begitu ramai, suatu keberuntungan bagi Kaito karena hanya ada Luka dan dirinya yang bisa jadi akan kewalahan jika pengunjung toko ramai seperti hari sebelumnya.
Sementara itu Luka berjalan menelusuri jalan seperti kemarin, ia mengamati lingkungan di sekitarnya. Suasana hatinya sedikit berubah saat berbincang-bincang dengan Kaito. Ia tersenyum sepanjang perjalanan dan merasakan ia menemukan seorang lagi teman yang bisa ia percaya seperti Miku dan Meiko.
.
I want to fly well~
I want to fly well~
Tobi kata bo shiranai dake~
.
Luka membuka ponselnya.
"Kau dimana?" tanya suara di seberang.
"Aku baru saja akan pulang," ucap Luka sambil membenarkan posisi tasnya yang melorot dari bahunya.
"Baguslah, tadi pagi kau tidak mengenakan jaket, kan? Cepatlah pulang," ucap suara di sebernag lagi.
Luka tersenyum sambil mengangguk-angguk sendiri.
"Oh iya, sepertinya aku ada kontrak keluar kota, syuting serialku kali ini di tempat lain,"
Luka terdiam. "Lebih baik kita bicarakan dirumah," ucapnya sembari mematikan ponselnya. Sedikit perasaan kesal menyapu suasana hatinya. Senyumnya yang sebelumnya terlihat puas kini memudar. Ia menghela nafas dan duduk di sebuah tempat duduk di depan sebuah toko. Memandang sekeliling dan mencari objek untuk menghiburnya. Suasana ramai masih terasa di sana, sore bukanlah penghalang bagi orang-orang di sana untuk merasa lelah. Namun kali ini Luka merasa lemas yang membuatnya malas untuk pulang.
.
I want to fly well~
I want to fly well~
Tobi kata bo shiranai dake~
.
Gakupo's calling…
.
Luka mendengus. Ia sudah pernah memikirkan resiko menikah dengan orang seperti Gakupo. Karena itu ia tidak pernah ingin memiliki hubungan dengan seseorang yang bisa jadi sesibuk ini, seperti Gakupo. Namun takdirnya berkata lain.
Luka mengangkat kembali panggilan dari Gakupo.
"Kau ada dimana?" tanya suara di seberang.
Luka menghela napas. "Sudahlah, aku akan pulang, aku tahu jalan ke apartemen,"
Gakupo terdengar sedang terkekeh di seberang sana.
"Cepat beri tahu posisimu, aku akan menunjukan rumah baru kita," ucap suara di seberang sana.
Jantung Luka berdetak kencang. Wajahnya bersemu merah. Perasaan gundahnya segera tertepis oleh rasa penasarannya. Lalu ia memberi tahu dimana Gakupo dapat menjemputnya dan bergegas menuju tempat itu.
Sebuah café. Lebih tepatnya Luka hanya menunggu di depan café itu. Ia melirik jam tangannya dan masih tetap terlihat tenang. Sebuah mobil sedan sport berwarna hitam dengan berbagai modifikasi yang memang sudah banyak membuat mobil itu berubah dari sosok mobil yang semula mmebuat Luka menghela nafas. Ia sedikit lega orang yang ditunggu datang.
Beberapa orang sesekali memastikan mobil itu adalah milik Gakupo. Luka buru-buru menghampiri mobil itu dan bergegas masuk.
"Siap?" tanya Gakupo.
Luka tersenyum miring dan mengangguk mantap. Lalu mobil itu melaju kembali dan menarik perhatian banyak orang yang melihatnya.
"Sepertinya mereka menyadari keberadaan kita," ucap Gakupo dengan senyuman khasnya namun tetap fokus pada kemudinya.
"Tentu saja, kita ini kan manusia!" Luka tertawa sinis.
Gakupo melirik sebentar sosok Luka di sebelahnya. "Kau lucu,"
"Kau baru menyadarinya, huh?"
Gakupo dan Luka tertawa bersama. Suasana perlahan menjadi tenang dan hangat.
.
.
.
Sebuah rumah bergaya minimalis yang dindingnya nyaris dipenuhi dengan jendela-jendela kaca yang cukup besar. Rumah tanpa pagar itu terlihat simple dan menarik. Garasi dan halaman parkir mobil yang terletak lebih rendah dari rumah itu membuat rumah itu terlihat unik. Sebuah pohon tinggi berdiri kokoh di sudut halaman parkir mobil. Sebuah tangga kecil menuju halaman rumah membuat rumah itu terlihat seperti kerajaan kecil.
"Luka, bagaimana menurutmu?" tanya Gakupo.
Luka masih terpukau dengan keahlian Gakupo dalam memilih rumah untuk mereka.
Ia memandangi sekelilingnya. Lalu berjalan mendahului Gakupo memasuki halaman rumah mereka. Halaman itu cukup luas, beberapa batu disusun untuk jalan menuju pintu utama. Sementara di sekitarnya terhampar rerumputan hijau yang memukau. Tatanan halaman itu sangat bagus jika ditambahkan bunga-bunga yang nantinya akan dirawat sendiri. Bayang-bayang rumah itu di masa depan sudah terbayang di kepala Luka. Gakupo berdiri di belakang Luka, ikut mengamati suasana halaman rumah itu.
"Ini hebat," gumam Luka. Senyumnya terlihat sangat puas, jarang sekali Luka memperlihatkan senyum seperti itu. Gakupo terkesima melihat senyum langka yang Luka tunjukan saat ini. Ia mengambil ponselnya dan berniat memotret ekspresi Luka.
Bertepatan dengan ekspresi Luka yang berubah bingung menoleh kearah Gakupo, Gakupo menekan tombol kamera ponselnya.
"Eh? Apa yang kau lakukan?" tanya Luka.
Gakupo tertawa melihat hasil potretnya sendiri, wajah Luka benar-benar terlihat sangat bingung di sana.
Luka mendengus. Ia berniat menghapus foto itu. Namun buru-buru dicegah Gakupo.
"Ini untuk wallpaperku. Enak saja," Gakupo buru-buru memasukan ponselnya ke saku jaketnya.
Luka mengerucutkan bibirnya. Namun tidak dapat dipungkiri ia senang melihat tingkah Gakupo yang berusaha keras mempertahankan gambarnya.
Apa ini yang dinamakan cinta?
.
Senja sore itu mereka lewati di rumah baru mereka. Luka berdiri di hadapan sebuah jendela besar di lantai dua yang menyajikan pemandangan halaman rumah yang indah. Halaman rumah mereka dibatasi pagar yang terbuat dari susunan batu yang sudah diaduk dalam semen dan pada akhirnya membentuk pagar.
Sepasang tangan melingkar dari belakang secara tiba-tiba di pinggang Luka. Luka dapat melihat pantulan bayangan Gakupo dari kaca jendela dihadapannya. Luka sedikit tersentak. Perasaan gugup itu kembali datang, rona merah di wajahnya muncul. Ia belum pernah merasakan perasaan seperti ini sebelumnya.
"Apa kau mau tahu alasanku menerima perjodohan kita?" bisik Gakupo. Nafasnya terasa dari belakang tengkuk Luka. Luka merasa ngeri namun entah mengapa jantungnya seperti melompat-lompat saat itu.
"Aku ini teman masa kecilmu, kau ingat?" bisik Gakupo lagi. Ia menyandarkan dagunya pada bahu kanan Luka. Luka hanya bisa diam dan pasrah dengan apa yang akan terjadi selanjutnya, toh mereka memang suami istri, kan?
"Teman masa kecilku kan banyak, baka…," Luka menyentuh tangan yang sedang melingkar di perutnya.
"Si bodoh yang suka merebut mainanmu, bonekamu, lolipopmu," ucap Gakupo.
Luka tersentak. Ia ingat betul sosok kecil yang menurutnya sangat mengganggu itu. Ia memang belum tahu siapa namanya, namun orang tuanya selalu berkungjung ke rumah Luka dan berbincang-bincang dengan kedua orang tua Luka. Luka bahkan belum tahu siapa nama anak nakal itu.
"Jadi itu kau!" Luka melepas pelukan Gakupo dan membalikan badannya.
Gakupo tertawa melihat wajah Luka yang sebelumnya gugup berubah menjadi seperti nenek-nenek yang sedang mendapati cucunya berbuat nakal.
"Diam!" Luka membungkam mulut Gakupo. Ia membulatkan matanya dan memandang sepasang mata violet dihadapannya. Perlahan pergelangan tangan Gakupo menyentuh tangan Luka yang membungkam mulutnya. Luka seperti terbius oleh mata yang menusuk tajam matanya.
Perlahan Gakupo mulai mendekat. Luka tersentak dan memalingkan wajahnya.
"Kau seperti nenek-nenek," bisik Gakupo saat wajahnya sudah berhadapan dengan telinga kiri Luka.
"BAKAAAAAAAAAA!"
.
.
.
To Be Continued
Awal yang aneh, ngerasa nggak sih? Author sangat merasakannya. Semoga di chapter selanjutnya author menemukan masalah yang pas supaya pasangan ini punya konflik panas #ambigu.
Sampai ketemu di chapter berikutnya~
