Akan tetapi, mengapa malam yang kuharap untuk sempurna ini jadi begini?

Alfred meraih jubah, jubah legamnya yang tergantung tidak rapi di gantungan. Satu tongkat kayu dengan permata biru berkilau serta-merta dia raih, Alfred akan membawanya.

Bibirnya terkunci rapat tanpa sepatahan kata apapun yang keluar setelah dia bangun dari pingsannya. Sama sekali tidak ada, kecuali seringai-seringai kecil penuh geram yang terbentuk demi menggerami 'musuh'.

Alfred maju beberapa langkah, memungut sesuatu; satu bola mata. Sekeping bundar violet, milik dari seseorang, yang dia sayangi selama ini.

Sekeping violet yang selalu memberi kehangatan batin bagi Alfred sejak penyihir itu bertemu dengan'nya' tempo tahun.

"Umka erpgi, Ivan? (Kamu pergi, Ivan?)"

Alfred menatap sekeping violet itu nanar. Alfred menggenggam sebola, di mana sekeping violet itu berada dengan hati-hati, lantas memasukkannya ke dalam sebuah toples kecil dari balik mantel cokelat yang dia kenakan.

Alfred menutup matanya, selama beberapa detik, kemudian membukanya kembali.

"Auk inngi lkaina akmeabil... (Aku ingin kalian kembali...)"

Dua manikan biru laut dalam telah berubah menjadi merah darah. Mantel cokelatnya menjadi hitam legam; menutupi seluruh tubuhnya (tentu saja kecuali telapak kaki, telapak tangan, dan kepala).

Dia berjalan penuh gontai menuju pintu keluar rumahnya yang sudah jebol, serpihannya, astaga ... berceceran ke mana-mana, namun Alfred tetap tidak peduli. Dia tetap melangkahi serpih-serpih tajam nan banyak itu.

Ajaibnya, wow, kaki-kaki telanjang Alfred sama sekali tidak tertelusupi oleh para serpih yang sekarang telah kehilangan gunanya.

(Mengabut, meredup, menutup...)

(Ke samudera api...)

(Api hitam menggelapi...)

(Mengabukan se... ga... la... nya.)

Alfred melangkah mengikuti melodi.

Alfred pergi.

Alfred hilang ditelan kabutan malam.

(Kemarilah, kasih, kemarilah...)

(Akan kubawa engkau menuju pada peraduanku..)

His name; Alfreedom 'Allen' Jones...

...~*oOo*~...


Hetalia - Axis Powers (c) Himaruya Hidekazu, Jepang.

Saya tidak mengambil keuntungan material apapun atas pembuatan karya.

Seluruh tokoh dan karakterisasi adalah milik dari fandom yang telah dicantumkan. Keseluruhan jalan cerita dan ide adalah milik penulis.

- IT AIN'T (Y)OUR FAULT, NOW -

[INDONESIAN KARA]

Rated: still T (R-14).

Genre: Fantasy, Romance.

Language: INDONESIAN (Bahasa Indonesia).

Note: AU, OOC, ketidaklayakan untuk dibaca oleh kaum di baeah umur, butuh rujukan (?), butuh bantuan, dan lain sebagai-bagainya.


*~...oOo...~*

Dalam pelataran senja menuju sang putera fajar menguzur dan meninggalkan tahta pada satu hari, satu pemuda tengah duduk seorang diri di atas pohon mangga berbatang tinggi, berdaun rimbun nan gelap.

Dia diam, termenung di atas pohon itu, sembari netra bermanikkan biru lautnya bergeser-geser fokus menatapi para pasangan kasmaran yang semakin menit berlalu semakin banyak yang berdatangan.

Busananya gelap semua, dengan tongkat berpuncakkan satu dan suatu permata biru besar (warnanya seperti iris matanya, astaga) berkilau ada dalam genggaman—oh, dan perkenalkan, namanya Alfred Jones.

Laki-laki dan perempuan. Pria dan wanita. Para gadis remaja yang datang berkelompok.

Berpasang-pasang pasangan yang mencari kebahagiaan di malam Minggu (berajikan 'mumpung' besok libur, barangkali mereka akan memuas-muaskan diri semalaman ini bersama 'pasangan' mereka masing-masing).

Taman kota. Terang bersama rembulan dan para bintang pada cakrawalanya. Para pasangan muda dalam ikatan cinta monyetika yang saling berjalan berdampingan. Saling berjalan bersama ditemani para rasa bahagia. Saling tersenyum. Menikmati keberduaan bersama.

Alfred berkeluh-kesah di dalam hati—kapan dia bisa merasakan yang namanya 'jatuh cinta' selaiknya manusia?

Sejenak, Alfred merasa iri. Iri tentang mereka semua. Mereka semua yang bisa merasakan bagaimana rasanya jatuh cinta yang tidak sesakit dan sesial-separah-seapes jatuh dan berakhir dengan masuk ke parit sempit yang kotor.

Cinta dalam dunia yang mewarnai kehidupan mereka...

Ck! Alfred berdecak. Satu decakan kesal.

Dia menyesal (mungkin saja, teramat sangatlah menyesal) karena telah diciptakan kembali menjadi seperti ini, seolah nasib-nasib dan para takdir baik dilarang untuk datang dan mencorat-coreti lembaran kanvas hidupnya.

Dia menyesal (lagi) karena telah menjadi seorang reinkarnasi yang kepadanya telah diberikan 'kelebihan' yang bagi Alfred seorang tidak pernah ada untungnya.

'Kenapa sedari dulu selalu saja begini?'

Alfred mengeluh lagi —kali ini disuarakan, walaupun suaranya pelan—, ada satu pasangan yang sedang berciuman bibir di bawah pohon, tempat di mana dia duduk seraya mengamat-amati keramaian taman kota sejak malam menjelang.

'Aku sumpahi salah satu dari kalian kesurupan, rasakan!' Alfred bersumpah serapah. Dia mengucap mantra (yap, barangkali ialah suatu jurus berkata-kata ampuh ala-ala penyihir lainnya), kemudian menghilang pergi.

Dia 'terbang'. Tongkatnya dia genggam agak lemah, seolah tidak ada niatan bagi Alfred untuk memegangnya lagi. Alfred ingin membuang tongkat sialan itu sejauh-jauh yang dia bisa—namun tongkat itu bisa saja datang kembali kepada Alfred tanpa diminta sekali pun (dan tongkat itu adalah sumber dari segala kekuatannya).

Whush!

Di atas para awan yang 'melayang' rendah, Alfred menetrai semua keramaian. Jalanan. Kafe. Toko-toko grosir dan eceran yang ramai oleh pengunjung (pembeli?) yang berdesak-desakan untuk masuk, memenuhi keinginan hati masing-masing.

Pakaian-pakaian dengan gaya terkini dan up to date, semuanya baru.

Alfred mendecih kesal lagi. Mengapa dia harus diberi takdir seperti ini? Sejak lahir, dia sudah dikenakan oleh baju hitam lengket yang serba panjang ini. Model yang Alfred benci sepanjang hidupnya. Pakaian tanpa guna, selain membungkus tubuh.

Meski begitu, sebenarnya Alfred tidak pernah perlu untuk mandi, menyemprotkan parfum, atau merasa malu karena bau tubuhnya. Pakaian yang Alfred kenakan sekarang ini dapat membersihkan 'diri' sendiri, membersihkan badan pemakainya, dan menyerapi keringat serta memberikan aroma parfum beragam jenis aroma kepada (sekali lagi) pemakainya.

Alfred hanya mengeluhkan modelnya yang jelek, warnanya yang tidak enak dipandang, dan (lagi, entah untuk yang keberapa kali) nasibnya.

...

...

(Pergi...! Pergi...!)

(Jauh kepada sang tuju...!)

(Jauh... Jauh... Tinggi... Kepada sang Legam...!)

(Bala tentara yang kejam bermurka amat sadis, menegahapuskan rasa, memenggali kepala sang waktu...!)

...

...

Whush!

Alfred pergi, dia ingin berkeliling mengitari dunia untuk sebentar (barangkali satu hingga dua jam cukup?) saja demi melepasterbangkan semua penat, jenuh, dan kekesalannya...

... atau mungkin, untuk selamanya?

Alfred mengembus napas. Titik-titik air membersihkan alami mukanya.

Ia merasa dingin.


end.


to be continued.


finished chapter I.

.

a/n: INDONESIAN KARA KELUAR DARI ZONA NYAMANNYA, MU3H3H3H3! *slapped*

Iya, loh, saya keluar (SEMENTARA) dari zona nyaman saya sebagai PeLitKreNasIndo (Penulis Literasi Kreatif Nasionalisme Indonesia).

Yaaa, anggap saja saya pengin nyebrang ke bagian lain dari dunia fanfiksi. Habis slash, nanti Mature, terus Thriller, dan lain sebagainya (aku juga pengin improvisasi selaiknya author-author lain di ffn, pls).

Oh, iya... YANG PUNYA IDE UNTUK FANFIKSI INI, TUANGIN SAJA, PLIS! SAYA RADA MEPET KALAU PAKAI BASA-BASI! PENGIN LANGSUNG KE KONFLIK!

.