❊)Prologue.
Sahabat kecil, siapa yang tidak mau?
.
.
Bayangkan saja, teman mungil dan nyata —bukan sekedar khayalan ataupun hantu— selalu mengekor dibelakangmu, yang dengan lucunya berlari-lari dan membawamu jauh dari kata kesepian.
Apakah ada yang berkenan untuk menolak?
'Hidup untuk bermain, mati pun belum terpikir' sepertinya cocok menggambarkan kehidupan masa kecil anak berumur tiga tahun yang sedang sibuk dengan dunianya sendiri. Pun yang dirasakan bocah dengan rambut hijau verde yang sedang duduk di hamparan tanah, mendongakkan kepalanya menatap sahabat kecilnya yang meloncat-loncat dengan kaki mungilnya— keasyikan.
Makoto Tachibana namanya, yang tanpa berkedip dan dengan mata berbinar berusaha menerka-nerka apa yang sebenarnya sedang dilakukan Haru dibawah sebuah pohon sambil melompat-lompat dan mengayunkan sebatang ranting dalam genggamannya. Sampai kemudian dia tersadar akan adanya seekor kucing kecil bertengger jauh di atas kepala Haru, melongok kebawah dengan bergidik.
Tanpa berpikir dua kali bocah itu beranjak dari duduknya, menghampiri Haru dan menoel pundaknya lembut. Haru pun menoleh otomatis, menatap bocah itu— sadis. Tapi seperti tidak peduli, Makoto merentangkan satu tangannya, memberi isyarat pada anak berambut biru untuk meminjami ranting pohon itu kepadanya. Haru menatap tangan Makoto satu dua detik dan kemudian kembali memandang wajahnya, memutuskan untuk membuka mulut.
"Pelgi sana," katanya, mengacuhkan Makoto yang merengus dan kembali hanyut dalam kesibukan. Makoto terpagut, kemudian mencolek pundak Haru sekali lagi.
Dan dua kali.
Tiga kali.
Empat kali.
Lim—
Haru dengan kesal menampis tangan Makoto dan melontar pandangan memperingati.
"Aku bantu, Halu." Mungkin merasa lebih tinggi, Makoto menawarkan bantuan padanya. Atau karena sayang?
.
Tangannya yang juga mungil menggapai ranting pohon milik Haru. Namun seperti dugaan, Haru meronta. Makoto juga bersikeras untuk membantu dan terus memegangi ranting itu dengan susah payah namun kemudian jatuh—
Terkejut.
—tersungkur didorong Haru yang memaksanya menjauh pergi.
"A-Aku hanya…" Mata Makoto memerah dan samar berkaca-kaca, "hanya i-ingin memban- HAAAAAA." Dan ledakan tangis pun tak dapat dielakkan. Bagaimana tidak? Sudah jatuh terjerambab, Haru tetap bertingkah tuli dan seakan tidak mau tahu.
Mama Makoto dan Mama Haru yang mengikuti dibelakangnya berlari tergesa keluar dari rumah setelah mendengar tangisan Makoto. Dengan terkejut Mama Makoto menggendong anaknya yang menangis sembari mengelus lembut pipinya. Sedangkan Mama Haru yang melihat putranya tetap sibuk mengurusi hal yang lain kemudian menggertaknya.
"Haru! Sudah berapa kali Mama bilang, jangan buat Makoto menangis," marahnya sambil mengguncang-guncangkan tubuh Haru. Haru sendiri hanya terus menatap kebawah dan terdiam, "Haru! Coba dengerin Mama, jangan jadi anak nakal. Dengerin!" Mama Haru memukul pantat anaknya itu dengan kesal. Haru yang diberi hukuman seperti itu diumurnya yang masih terhitung jari pun akhirnya—
—menangis.
Malang.
Melihat Haru menangis, Makoto turun dari gendongan Mamanya dan berjalan mendekatinya dengan napas yang masih terisak. Makoto kecil menjulurkan tangan mungilnya dihadapan Haru.
"Maaf ya, Halu".
Dengan wajah yang masih penuh dengan air mata, Haru mengalihkan pandangannya ke tangan Makoto. Mama Haru tersenyum melihat tingkah Makoto yang bisa dibilang manis. Mengharapkan putranya untuk menjabat tangan anak manis itu, Mama Haru kemudian mengelus kepala belakang anaknya dengan lembut. Dan seperti yang diharapkan, Haru dengan tegas menjabat tangan Makoto—
Atau tidak.
—dan kemudian memelintirnya. Sungguh diluar dugaan. Makoto spontan meringis kesakitan dan dengan tangan yang satunya berusaha melepas tangan Haru yang meremasnya erat.
"Aku benci," geram Haru.
"A-AHH Halu. Halu sakit."
Meskipun sedikit terlambat menyadari, Mama Haru kemudian dengan sigap menarik anaknya menjauh. Pun Mama Makoto yang mengelus-elus tangan anaknya dan menggendongnya, lagi.
Kedua wanita itu bersahabat, dan mereka mengharapkan hal yang serupa terjadi pada anaknya. Tidak kurang, tidak lebih. Tapi Haru berkelak, menolak. Mereka tidak pernah akur, bahkan sama sekali. Dapat dikatakan dalam hubungan mereka berdua hanya ada satu sisi yang berusaha mendekat, sedangkan sisi yang lain mencoba menjauh. Begitulah Haru dan Makoto yang sebenarnya. Tidak seperti yang Mama mereka harapkan, tidak seperti yang diharapkan.
Sahabat kecil, siapa yang tidak mau?
.
.
.
Haru.
Dia menolak.
The Hateful Shadow;
Free! © KyoAni; Hiroko Utsumi
Rating; Teen
Pairing; MakotoxHaruka
Genre; Romance, Friendship, Hurt/ Comfort, Slight Comedy (sorry not sorry)
Disclaimer; ® ALL RIGHTS RESERVED
aitamicchi;
The copyright holder, typically including the right to publish the work;
Do not plagiarize, copy and distribute without my permission;
This is just a work of fiction, I do not own the characters;
Any resemblance of any work is purely coincidental;
Warnings; OOC, typo/s, BL? etc.
.
Enjoy reading! tehee. c:
❊)Scene One; Elementary School.
"Aku berangkat, Ma."
Makoto selesai bersiap dan berjalan menuju sekolah dengan senyum riang bertengger di wajahnya, seperti biasa. Itulah yang membuat orang-orang menyayanginya. Wataknya yang ramah luar dan dalam— menggemaskan. Tapi untuk seorang anak lelaki berumur delapan tahun seperti dirinya, perawakan yang dimiliki Makoto terbilang tinggi dan tegap. Tanpa tahu kepribadiannya yang asli, orang akan langsung menganggap bahwa dia pastilah seorang anak yang cool. Sedang pada kenyataannya tidak— sama sekali.
Wilayah rumahnya adalah sebuah komplek kecil, dengan gang yang sempit sebagai jalan utama. Kanan dan kiri dipenuhi rumah-rumah lain hampir tanpa cela. Dan, tak ada satupun orang-orang disana yang tidak mengenal seorang Makoto Tachibana. Dengan umur anak ingusan, Makoto sudah menjadi anak yang populer— sekomplek.
Sampai pada sebuah pertigaan dimana sekolah Makoto berada lekat setelah jalan lurus didepannya. Dengan sedikit tergesa ia berjalan lurus—
Tunggu.
—ia berbelok ke kiri untuk lebih dulu menjemput sahabat karibnya, Haruka Nanase. Rumah Haru tidak begitu jauh dari belokan tadi. Sekitar lima puluh meter, mungkin.
Sesampainya di rumah Haru, Makoto disambut oleh Mamanya dan langsung dipersilakan masuk.
"Maaf ya, Nak. Mama sedang sibuk memasak di dapur untuk sarapan kalian nanti. Temui saja Haru. Seperti biasa, dia masih berendam diatas." Mama Haru menepuk pundak Makoto dengan senyuman dan memintanya untuk naik ke atas menemui Haru. Keduanya sudah sangat dekat, begitu juga Haru dengan Mama Makoto. Layaknya dua keluarga menjadi satu.
"Iya, Ma."
Makoto bergegas untuk menemui Haru yang sedang berada di kamar mandi dengan menaiki tangga ke lantai atas. Kalang kabut. Seperti orang yang rindu, lama tak bertemu. Sekilas seperti Makoto 'tidak tahan lagi'. Padahal dia hanya resah —dia masih kecil dan ini perlu ditekankan— takut nantinya terlambat sampai di sekolah.
"Haru," Makoto membuka pintu kamar mandi dan ditemuinya Haru yang masih berendam dengan santainya, "Ayo, nanti kita terlambat." Ucapnya khawatir.
"Sudah pernah aku bilang, kan? Kalau kau sebegitu takutnya terlambat, berangkatlah saja dulu. Tidak usah mampir kesini, tidak perlu." Ucap Haruka dingin, tanpa sebersitpun menatap Makoto yang sudah berdiri persis didepannya.
"Aku hanya disuruh oleh Mamaku. Sebagai anak yang baik, aku harus menuruti. Ayolah, Haru~" Makoto mencebilkan bibirnya, kesal.
"Kalau kau memang berniat mengadu ke Mamamu, dia pasti akan mengerti," dan akhirnya Haruka berakhir menatap Makoto dengan tajam langsung ke mata, "maksudku, kenapa tidak? Aku bukanlah kekasihmu atau semacamnya. Jadi istilah 'antar jemput' itu sama sekali tidak perlu." Kata Haru menekankan perkataannya.
Di luar dugaan, Makoto masih saja menatap Haru dengan senyuman. Bahkan sekarang dia menawarkan tangannya kepada Haru, memberi isyarat untuk lekas berganti baju.
"Dan—" tegas Haru sambil berdiri keluar dari bathtub dengan bantuan tangan Makoto, "jangan memanggilku dengan nada sok imut seperti itu. Menjijikkan."
"Hai, hai'." Makoto hanya terkikih dan membalas sekenanya. Haru kemudian berjalan untuk mengeringkan rambut dan badannya dengan handuk yang tersampir tidak jauh dari tempat dia sebelumnya berada. "Tapi Haru, boleh aku bertanya?"
"Hm." Jawab Haru lebih seadanya.
"Celana renang yang kamu pakai ini… celana yang sama dengan yang kemarin, kan?" Tanya Makoto sambil menaikkan satu alisnya, penasaran.
"Tidak".
"Aku yakin ini sama."
"Tidak."
"Tapi celana renang yang kemarin juga hitam bercorak ungu seperti ini." Tegas Makoto, kekeh.
"Memang."
"Jadi, kau mengakui kalau celana ini adalah celanamu yang kemarin? Ugh, ini lebih menjijikkan daripada aku." Makoto menggodanya.
Haru menghela napas panjang, sudah pasti menganggap semuanya serius.
"Ini berbeda, bodoh. Tutup mulutmu dan berhentilah bertanya."
.
.
"Apa bedanya?"
Haru tidak bergeming, terlalu malas menjawab pertanyaan Makoto. Setelah selesai mengeringkan rambut dan tubuhnya, Haru kemudian berjalan keluar menuju meja makan.
"Haru~ Jawablah pertanyaanku."
— u —
Sampai di meja makan, Haru kemudian duduk di tempat yang disukainya. Makoto mengikutinya dan duduk di kursi yang berada disampingnya. Menyadari hal itu Haru kemudian berpindah di sisi yang lain, di tempat yang biasa didudukinya. Benar, hal ini memang terjadi setiap kali mereka makan bersama.
"Aku tidak bau," omel Makoto. Haruka diam tidak peduli. Mama Haru yang melihatnya hanya bisa tersenyum setelah selesai menyajikan semua makanan diatas meja.
"Sudah, sudah. Cepat sarapan. Gawat kalau sampai terlambat nanti." Ujar Mama Haru yang berdiri di belakang Makoto dan mengelus kepalanya. Dan lagi, Haru tidak peduli. Dia mulai mengambil makanan dan menyantapnya lahap.
Makoto berkedip.
"Haru, kenapa kau hanya memakan ikan dan ikan saja. Cobalah sayur ini, enak kok." Dengan lugunya Makoto menganggap itu aneh, dia bertanya-tanya mungkinkah Haru mempunyai fetish terhadap ikan. Sekali dua kali sih tidak masalah, tetapi dari dulu Haruka hanya doyan memakan ikan setiap harinya.
"Kalau tubuhmu kelebihan protein, kau bisa terkena gangguan ginjal tahu."
Haru mendadak tuli, sibuk melahap makanannya.
"Dan itu hanya akan membuatmu buang air kecil secara tidak beraturan. Coba pikir, apa bagusnya ketika kamu sedang asyik berenang kemudian berhenti dengan alasan kebelet pipis. Itu tidak keren."
Haru meletakkan sendoknya, menatap Makoto kesal.
"Kau ini berisik sekali, ya. Diamlah, aku sedang makan. Kenapa kau malah membahas air seni, sih."
"Aku hanya—"
"Aku lebih menyukai ikan daripada kau, asal kau tahu saja." Haru beranjak dari tempat duduknya, mengambil tas ranselnya dan berjalan pergi—
"Ma, aku berangkat."
—diikuti Makoto yang mengekor dibelakangnya, masih menjalankan tugasnya sebagai 'sahabat kecil' Haruka.
— to be continued —
A/N;
Haaai. Aitami disini. o u o /nggaknanya.
Ini fanfic pertama saya, gomen kalau abal dan gaje.
Tumben juga Ai bikin fanfic berchapter, semoga nggak PHP ya. /dipaku.
Di chapter pertama ini, mereka masih anak ingusan. Tapi entah deh, kok malah susah?
Maksudnya, baik Haruka maupun Makoto nggak bisa 'ngapa-ngapain'. #IYKWIM
Saking nggak ada ide, jadinya cuma sedikit dan inipun garing.
"A-AHH Halu. Halu sakit."
Mungkin merasa lebih tinggi, Makoto menawarkan bantuan padanya. Atau karena sayang?
Sekilas seperti Makoto 'tidak tahan lagi'.
"Aku bukanlah kekasihmu atau semacamnya."
Oke, Ai khilaf. GYAAAAA. /nosebleed gitu ceritanya.
Nggak kok, Ai masih inget rating. Dan mereka juga masih anak-anak, tolong.
Fanfic ini mungkin selesai di tiga sampai empat chapter. Semakin kesana semakin tua, semakin mengerti apa itu cinta. (/ u \)
Udah ah terlalu banyak omong, doakan saja Ai dapet ide buat nge-fluff di chapter berikutnya ya. Dan—
—makasih udah baca. Ciao!
