Jika saja kematian mudah diprediksi, apakah semua akan baik-baik saja?
.
You are dead.
Try again with using the origin of life?
―[Yes]
[No]
.
Namaku Akabane Karma.
Entah apa yang merasukiku, dua jam berharga yang seharusnya kupakai untuk belajar malah berakhir bermain game di ponselku.
Karakter yang kupakai sejenis ksatria cahaya. Semua slot skill sudah kupenuhi. Pedang yang kupakai juga bukanlah pedang murah. Suatu kebanggan tersendiri mendapatkan pedang langka yang hanya di dapat setelah menyelesaikan secret mission. Armor jarahanku juga tidak bisa dikatakan murah. Malahan aku bisa menangkis semua serangan fisik tanpa mengurangi HP-ku.
Yah, jika saja lawanku bukanlah pengguna sihir.
Sekitar sepuluh menit kuhabiskan untuk mengalahkan boss arc pertama habis-habisan. Semua item yang kugarap sampai menipiskan tabunganku sudah kupakai semua. Seharusnya aku menang dan mendapatkan hadiah dan sejumlah uang dari sang Raja. Itu akan terjadi kalau saja boss sialan itu―naga berwarna perak dengan mata merah, seolah memberikan efek menyeramkan―tidak merapalkan kutukan di detik-detik terakhir. Sialnya lagi, ksatria bukanlah pematah kutukan. Hanya penyihir yang bisa melakukannya.
Belum sempat aku merayakan kemenangkanku, karakterku menjadi batu. Menu bar sekejap keluar dari layar. Musik kemenangkan berubah menjadi musik simpati, sekedar menghibur dari kekalahan. Tulisan You are dead nyaris membuatku melempar ponselku sendiri.
"Sudah kuduga." Aku mendesah pelan. "Aku salah memilih karakter."
.
You are dead.
Try again with using the origin of life?
[Yes]
―[No]
.
Dalam dunia game berbasis role-play, kematian adalah hal lumrah.
Tidak ada yang perlu ditakutkan dengan kematian. Mati adalah hal biasa dan bukanlah suatu masalah besar―tinggal memilih pilihan restrat dan kembali mengulangi permainan yang sama. Lalu kembali menemukan jalan yang benar dan menghindari kematian yang pernah sempat dialami.
.
Thank you for playing.
Are you play again?
[Play with lastest saved game]
―[Play with new game]
[Exit without save game]
.
Tapi kalau misalnya hidup ini seperti dunia game―
.
Thank you.
Choose your character.
[Knight]
[Thief]
[Assassin]
―[Mage]
.
Denyutan halus suara jam berdetik masih setia menemaninya untuk bermain lagi.
Aku kembali mendekapkan telinganya dengan headset. Jarum jam baru menunjukan pukul sepuluh malam lewat tigabelas menit. Masih terlalu dini untuk mengambil selimut dan menuju dunia mimpi. Game RPG-ku telah menungguku untuk dihabisi. Dendam kesumat dengan boss ini masih belum reda. Aku harus mengejar level terakhir yang bisa kucapai malam ini. Lalu menghabisi boss yang satu itu.
Masa bodoh dengan sekolah besok ataupun tumpukan tugas-tugas. Aku hanya ingin main game ini. Menuntaskan rasa penasaran dari spoiler alur beredar luas di dunia maya.
Lagipula, aku masih bisa bolos besok.
"Akan kupastikan kalian akan berlutut padaku."
Maka pilihan class karakterku terdampar pada pilihan mage.
Aku kembali memulai gamenya. Terlahir sebagai sosok penyihir muda dengan sihir kegelapan terkuat yang bersemayam di tubuhnya, kata orang yang berhasil menamatkan game ini sebelum dirinya. Katanya, penyihir ini bisa menghidupkan dirinya dari kematian, tanpa menggunakan the origin of life. Tanpa bayaran mahal tentunya.
Ah, benar-benar tipikal game RPG sekali.
.
Are you sure?
―[Yes]
[No]
.
―akan jauh lebih menyenangkan ketimbangkan menjalani kehidupan membosankan ini.
.
.
.
[ Redo: Alter Future ]
Assassination Classroom own by Yuusei Matsui
ERASED/Boku dake ga inai machi own by Kei Sanbe
Re: Zero Kara Hajimeru Isekai Seikatsu own by Tappei Nagatsuki
Kagerou Project own by Jin
.
Saya tidak mengambil keuntungan dalam bentuk material apapun
.
.
.
16 Juni 2016.
Musim panas selalu identik dengan sinar matahari kejam di siang hari.
Jam dua belas lewat empat puluh satu menit. Sebelas menit sejak bel istirahat berakhir. Tiga puluh satu menit; jika dihitung ketika tubuhku berbaring di bawah pohon rindang setelah menghabiskan roti lapis daging dan satu kotak susu stoberi yang kubeli di toserba 24 jam, aku berada di tempat ini. Matahari masih belum bersedia lenggser dari posisinya. Setidaknya, daun-daun pohon ini masih setia menjadi penghalau garis-garis intens cahaya matahari. Suasana begitu damai sekarang. Tanpa kepanasan dan angin sepoi-sepoi menyambutku. Cocok untuk tidur siang setelah bergadang semalaman.
Yah, jika saja saja suara kicauan burung berwujud manusia tidak mengangguku bak jam weker pagi.
"Haruskah aku setiap hari kemari dan menjemputmu? Ayolah, aku ini juga sibuk. Tak mungkin aku harus membuang waktu berhargaku begitu saja hanya untukmu!"
Isogai Yuuma, ketua kelas 3-E, selalu saja begitu. Hadir dengan kicauan berisiknya. Terutama ketika terik matahari seperti ini. Kicauannya lebih berisik dari burung nuri milik kakek yang menjaga toko manisan di persimpangan jalan. Lebih cerewet ketimbang ibu-ibu hamil yang menuntut kursi prioritas di kereta.
Tapi dari semua murid yang ada, hanya dia dikirim Koro-sensei untuk membangunkanku.
Benar-benar menganggu.
"Karma..." Isogai menarik nafas panjang. Walau aku menutup mataku, aku sadar kalau dia mendelik tajam ke arahku. "Aku tahu kau belum tidur. Hari ini kita tes matematika!"
"Palingan juga aku dapat seratus lagi."
Aku membuka mataku. Merkuri berkilat bertemu dengan sosok pemuda berpucuk yang berdiri di depanku. Agak kesal. Namun tatapanku lebih condong ke arah orang yang kekurangan asupan tidur. Aku memijit pelipisku. Rasa pusing menyergap kepalaku setelah tak menatap matahari langsung. Baru saja aku benar-benar bisa menjamah dunia mimpi kalau ketua kelas yang satu ini tidak menganggunya.
Yah, aku juga heran, kenapa Isogai tidak pernah bosan ke sini sekedar membangunkanku. Aku tak masalah kalau tidak ada yang bangunin. Palingan tinggal bolos lagi, masalah selesai.
Isogai Yuuma mendesah sekali lagi, "ayo kembali ke kelas. Koro-sensei sudah nungguin kita."
"Padahal aku baru saja tidur siang."
Sejak dulu, saat terakhir kali aku meninggalkan gedung utama, selalu begini. Isogai Yuuma berdalih yang akan membangunkanku jika saja saja aku berani bolos setelah istirahat siang. Si pucuk terlalu ajaib untuk menemukan keberadaanku di tempat bukit seluas ini. Mungkin penciumannya lebih kuat dari anjing tetanggaku, sampai-sampai ia bisa mengendus keberadaanku di sini. Selalu acak setiap hari.
Aku bangkit dari tempat tidur ternyaman yang kutemui. Merapikan sejenak pakaianku yang agak kusut. Tanganku tega menggusur debu-debu yang membentuk koloni di bajuku.
"Kau habis bergadang?" ―pengamatan Isogai memang selalu bagus. Ia menyadari area hitam di kelopak mataku, repot-repot aku tutupi dengan bedak. Padahal aku yakin kalau itu tidak begitu kelihatan untuk jarak sejauh ini. "Kau memang habis ngapain?"
"Main game."
Jawaban yang jujur. Tapi memicu aura gelap di balik sosok Isogai.
"Kau ini..." Ia memberengut. Perempatan imanijernya terlihat olehku. Tapi aku tidak peduli. "Kemarin itu aku sampai cuti buat belajar matematika."
"Yah―" aku mengguap. "―aku sudah belajar materi itu. Dan juga tidak susah untukku."
"Kata mantan anak gedung utama," imbuh Isogai skeptis. "Kalau saja kau bener dikit, mungkin Koro-sensei akan membantumu ke gedung utama. Jadi aku tak perlu repot-repot banguninmu tiap hari."
"Lebih membosankan di sana," kataku. "Aku tidak tertarik."
"Ah, benar, satu-satunya rivalmu hanya Asano-kun."
Itu dulu.
Tapi sekarang mungkin hanya Isogai yang menjadi rivalku di kelas ini.
Kami berjalan bersisian menuruni bukit. Kaki kami bergerak seirama, aku tahu Isogai akan menungguku jika jalanku diperlambat. Memastikan kalau aku benar-benar ke sekolah dan tidak merepotkannya lagi. Aku tahu, Isogai adalah orang paling keras kepala setelah Koro-sensei.
Tidak banyak yang kami bicarakan. Sebatas soal-soal yang sekiranya akan keluar di tes nanti. Menurut prediksiku, adalah buku-buku latihan yang pernah dipakai kelas 3-E terdahulu yang akan menjadi soal ulangan kali ini.
.
.
.
Dua jam dipakai untuk tes matematika. Kalau tidak salah, dimulai dari jam 01:03 PM.
Setengah jam aku menjawab lengkap jawab berserta cara di lembar jawaban.
"Seperti biasa Karma-kun. Duapuluh sembilan menit tigapuluh satu detik untuk dua puluh soal persamaan kuadrat."
Koro-sensei tertawa renyah ketika aku mendaratkan kertas jawaban di meja guru. Hanya aku yang dihitung kecepatan mengerjakan. Katanya untuk membantuku mengukur berapa besar kemampuanku dalam matematika.
Dengan kecepatan 20 mach miliknya, Koro-sensei mengoreksi lembar jawaban. Lalu membubuhi angka seratus di pojok kanan atas.
"Nufufu~ tingkatkan lagi kecepatanmu. Asano-kun mampu mengerjakannya kurang dari duapuluh menit."
"Ya, ya, ya." Aku mendengus. Lalu mengambil kasar lembar jawabanku. Kesal, dibanding-bandingkan kemampuanku dengan Asano Gakushuu. "Dari dulu memang dia sulit dikalahkan."
Anak kelas 3-E tidak terganggu dengan suara berisikku. Tentu. Mereka sudah dilatih untuk tetap fokus apapun yang ada di depannya. Karasuma-sensei yang mengajarinya. Kefokusan terpenting untuk pembunuhan gurita yang satu ini. Dan juga bagus untuk tes matematika seperti ini. Aku nyaris tidak melihat ada orang yang mencontek. Terlalu fokus pada tes kali ini.
Tak sengaja, ketika aku ingin kembali ke tempat dudukku di belakang, aku melihat lembar jawaban Isogai. Semuanya sudah terisi. Hanya saja ia terlalu ragu untuk menyudahinya. Aku tidak bisa melihatnya jelas. Tapi aku yakin kalau jawabannya benar. Meski aku hanya melihat sekilas dalam jeda beberapa detik.
Isogai terlalu ragu dengan keputusannya.
Aku menghela nafas.
Dia mungkin satu-satunya yang bisa menyandang rivalku di kelas.
Tapi, kalau dia terlalu ragu, mungkin aku hanya menganggap Asano Gakushuu satu-satunya rivalku di sekolah ini.
.
.
.
"Isogai izin."
Keesokan harinya, tanggal 17 Juni 2016, Maehara bilang begitu ketika nama Isogai diabsen pagi hari. Lalu Koro-sensei menulis izin di samping nama Isogai Yuuma pada jurnal kelas 3-E.
Artinya, tidak ada satupun yang memanggilku untuk ke sekolah setelah istirahat siang.
Sinar matahari masih belum mau menurunkan suhunya. Terlalu terik untuk siang hari di musim panas. Tapi oksigen hasil fotosintesis tempatku tidur siang kali ini―duaratus meter dari gedung lama Kunugigaoka―membuatku nyaris tertidur. Dedaunannya damai melindungiku dari sinar matahari. Aku hampir tak merasakan musim panas di tempat ini. Terlalu damai untuk usia bumi yang kabarnya tinggal satu tahun lagi, dengan guru kami bermaksud untuk neledakannya. Yah, sebetulnya aku tidak tertarik berita itu. Lebih suka menikmati adegan bunuh-bunuhan dan berakhir kegagalan.
Ya, aku ingin melupakan sejenak. Tempat ini memang enak untuk tidur siang dan main game. Kalau mencari tempat ini, aku memang ahlinya.
"Kenapa Isogai tidak masuk?"
Aku terdiam.
Karakter game yang tengah kumainkan terus berkedip-kedip, menanti gerakan tanganku. Suara nyentrik ala abad pertengahan terus berputar di earphone-ku. Kali ini karakterku berada di istana. Siap menerima tugas kenegaraan langsung dari Raja, menyelamatkan tuan putri yang disekap oleh naga perak sialan itu.
Ada kalanya aku sangat penasaran dengan akhir suatu game RPG. Tapi ada kalanya aku penasaran dengan situasi teman sekelasku
Sama seperti sekarang. Aku tahu Isogai Yuuma, meski tidak selengkap sahabat karibnya. Dia tidak mungkin izin sekenanya, apalagi kalau kemarin―terakhir kulihat saat tes matematika―masih sehat bugar. Tidak ada masalah darinya.
Tapi hari ini si pucuk itu izin. Tanpa keterangannya yang jelas. Dia tidak sakit, dan tidak masuk karena suatu alasan.
"Itu bukan urusanku."
Tanganku kembali bersidekap pada ponselku, siap untuk mengalahkan naga sialan itu dengan sihir yang kukuasai. Akan kupastikan kutukan-kutukan naga itu akan kelenyapkan dengan sekali sihir. Aku tidak sudi lagi kalah hanya karena tidak bisa mematahkan kutukan.
Yah, aku tahu.
Isogai Yuuma pasti baik-baik. Aku saja yang terlalu khawatiran.
Pukul 01:23 PM. Aku habiskan bermain game sambil menunggu waktu pulang.
.
.
.
Malam, jam 08:19 PM, getaran halus dari ponselku menimbulkan bunyi berisik berserta nada dering standar di atas meja belajarku. Aku baru saja selesai mandi setelah menyantap kudapan malam, mie instan direbus dengan telur dan susu stoberi sebagai penutup. Nama Isogai Yuuma berkedip-kedip. Nada dering berteriak makin menjadi, minta diangkat. Dengan satu kali tekan, aku mengangkat ponselku.
"Halo." Di seberang sana, tidak tahu ada di mana, Isogai mulai berbicara. "Ini Karma-kun kan?"
"Tidak, ini kucingnya."
"Ah, Karma-kun mana mungkin punya kucing." Isogai terkekeh. Aku hanya mendengus. "Lagi sibuk?"
"Kalau kau ingin cuma menanyakan kabarku kayak cowok lagi PDKT, aku langsung tutup."
"Hahaha... kau benar-benar tidak bisa basa-basi." Tidak ada suara lain di seberang sana selain suaranya. Dugaanku adalah, Isogai berada di suatu ruangan. Mungkin rumahnya. "Gimana sekolah? Ada sesuatu yang menarik... yah, apa gitu?"
Aku membuka laptopku. Layar hitam berganti menjadi start-up Linux. Hari ini aku mau bermain game online di laptop jam. Tanganku sudah kram karena kelamaan bersidekap dengan ponselku. Kebetulan sekali, malam-malam seperti ini kecepatan internet jauh lebih cepat daripada peluru senapanku.
"Baru enggak masuk sehari, langsung nanya begituan. Tidak ada yang menarik―kalau yang siang aku enggak tahu―palingan tugas numpuk lagi. Hei, ngapain enggak nanya ke Maehara? Kau lagi marahan?"
"Tidak juga, kalau jam segini dia palingan di depan laptop. Ponsel mati." Ia terkekeh, seolah paling tahu dengan kebiasaan sahabatnya. "Lagi-lagi kau bolos lagi. Memang kau ini... meski aku enggak ada, kau tetap harus masuk!"
"Jika kau bermaksud untuk menceramahiku, aku tutup sekarang."
"Hei, hei, aku belum selesai bicara." Jeda beberapa detik. "Besok... kau ada acara?"
Aku melihat kalenderku di meja belajarku. Tidak tulisan tinta merah yang biasa kutandai kalau ada acara khusus. Kemungkinan besar akan kuhabiskan berduaan dengan laptopku atau ponselku. Kalau urusan belanja mingguan, kurasa hari minggu saja.
"Tidak ada." Aku mengambil pulpen merahku yang kuletakan tak jauh dari kalenderku. Siapa tahu ada sesuatu yang harus kutulis di kalender ini. "Memang mau ngapain?"
"Yah...," aku mendengar hembusan nafasnya. "Aku ingin latihan bela diri. Maehara-kun besok harus ke rumah neneknya di Kyoto. Aku enggak ada teman―mau temani aku?"
"Tak masalah." Tinta merahku menodai kalender meja. Tepat pada tanggal 18 Juni. Aku menulis, janji bersama Isogai Yuuma. "Di mana? Kau yakin aku menjadi lawanmu."
"Tentu saja―untuk apa aku repot-repot menelponmu―lagian akan menantang kalau melawan mantan berandalan."
"Kau mengejekku?"
"Tapi memang benar kan?"
Hening beberapa sekon. Menyisakan suara analog jam kamarku.
"Besok aku kabari tempatnya di mana. Dan, ah, kalau misalnya yang lain bisa... ajak saja semuanya. Akan menyenangkan kalau latihan bersama. Sekalian menyusun pembunuhan Koro-sensei, bagaimana?"
"Kenapa harus aku?" Dan juga, kenapa mesti Isogai menggajakku yang pertama. Keningku mengerut, "hemat pulsa ya..."
"Ah, kau tahu saja Karma-kun." Ia tertawa pelan. Lalu kembali berkata. "Jangan lupa besok ya."
"Ya." Tanpa memberi salam, aku langsung menutup telepon. Menekan ikon telepon merah dengan tega. Ponselku kini bergelimang lesu di samping laptopku. Sepertinya afeksi laptop lebih besar ketimbang kehadiran ponselku. Aku beralih ke laptop, kembali ke tujuan awal―bermain game online.
Kuharap janjinya tidak terlalu pagi. Aku ingin bangun siang.
.
.
.
Pukul 10:16 PM. Ketika aku memutuskan untuk kembali bermain ponselku, jantung tiba-tibaku berdegup kencang. Deg. Dalam satu kali, tapi membuatku terdiam beberapa sekon. Tanganku sempat mengambang di atas ponselku sendiri.
Hening. Pandanganku menyebar ke seluruh penjuru ruangan
Tidak ada apapun yang memacu adrenalin.
Tapi aku merasakan suatu firasat buruk. Rasanya sesuatu telah terjadi.
(Mungkin hanya firasatku saja)
.
.
.
Jam 01:16 AM, aku masih terjaga.
Baterai ponselku berkedip-kedip merah minta diterobos kabel pengisi daya. Terus bergetar meski pemiliknya kini sedang menguras otak demi teka-teki untuk membuka harta karun di suatu game puzzle. Tanganku bisa merasakan panas tubuh ponsel ini. Sepertinya benda elektronik yang satu ini butuh pendingin, ide buruk jika aku memberinya es.
Maka kusudahi bergadang dengan ponsel ini. Kuletakan begitu saja di atas meja belajar. Dari ponsel, kini aku selingkuh dengan novelku sendiri. Novel terjemahan. Berasal dari Amerika yang kini menjadi trending topic bagi pencinta buku.
Kuharap dengan novel ini aku bisa tidur. Terutama setelah aku merasakan firasat buruk, dan tidak terjadi apa-apa. Aku paling tidak bisa tidur jika sudah seperti itu.
.
.
.
Keesokan harinya, ketika pagi, ponselku masih belum bersuara tentang Isogai.
Tidak ada kabar darinya.
Aku mengeliat pelan. Kantukku masih belum hilang meski air dingin sudah menyapa duluan di wajahku.
Rasanya aku ingin tidur lagi.
Tentu saja. Tentu aku ingin tidur lagi setelah bermain game semalaman tanpa peduli berapa banyak waktu kubuang percuma. Dua dini hari aku baru menarik selimutku. Lalu jam enam pagi, tamu sialan―entah itu siapa―seenaknya saja mengetuk pintuku. Memang dikira pintuku sedia 24 jam. Aku tahu ini pagi. Tapi sabtu adalah waktu berkah untuk bangun siang. Mana sudi aku menyia-siakan kesempatan ini.
"Sebentar..."
Aku yakin itu bukan Isogai Yuuma. Kami memang ingin bertemu. Tapi dia cukup waras untuk tidak menjadi tamu pagi-pagi sekali ketika hari sabtu seperti ini.
Pukul 6:49 AM. Tamu kali ini tidak kesabaran memencet bel. Berkali-kali aku bilang sebentar, tetap saja bel terus berbunyi. Yah, aku juga tidak buru-buru amat membuka pintunya. Mengenakan jaket lalu segera membukakan pintu untuk tamuku.
"Maaf, apa kau Akabane Karma-san?"
Ah. Aku terdiam.
Ternyata tamuku adalah polisi.
"Iya." Aku menatap tamuku―dua orang polisi dan satu orang, sepertinya inspektur dengan jabatan lebih tinggi. "Ada yang bisa kubantu?"
Melihat mereka menjadi tamuku, rasa kantukku langsung hilang. Hidungku mengendus suatu berbahaya. Aku tidak pernah ingat kalau aku pernah mengundang polisi ke tempatku.
Mereka saling menatap satu sama lain. Selang beberapa sekon, inspektur itu menyerahkan selembar foto padaku. Tak lupa lencana kebanggaannya seolah membuatnya bisa menggorek semua informasi dariku.
"Apa kau mengenalinya?"
Tentu saja.
Foto itu menggambarkan sosok Isogai Yuuma. Setengah badan dengan wajah lebih diutamakan. Layar belakang berwarna putih cermelang. Mata karamelnya menatap lurus ke arah kamera. Kemeja polos dengan blazer sekolah. Ini foto resmi sekolah. Dicetak untuk keperluan akademis. Tapi kini malah pindah tangan ke polisi.
Ada apa lagi sekarang...
"Aku kenal dia." Aku menyerahkan lagi foto itu. Kembali menatap polisi itu. "Kenapa lagi dengannya?"
Dan juga dari sekian anak kelas 3-E yang ada, kenapa malah aku yang didatangi oleh polisi.
Tapi, aku yakin kalau sebetulnya aku tidak pernah mengharapkan jawaban yang keluar dari bibir polisi itu.
"Isogai Yuuma telah melakukan percobaan bunuh diri di atap sekolah Kunugigaoka kemarin malam. Kami di sini ingin meminta keterangan darimu."
.
.
.
Bagian 01 | Kehidupan Damai Akabane Karma
-selesai-
.
.
.
Tamat beneran /enggak!/
Bukannya lanjutin fic malah nambah utang :') apa boleh buat. Ide fic ini sudah lama mengendap di otak ini, setelah nonton kagerou project. Terus habis nonton Boku dake ga inai machi sm Re:Zero, maka jadilah nih fanfic. Aku terinspirasi sm masterpiece tuh anime.
Sumpah, ini bukan tentang game kematian. Emang sih make game-game begituan, tapi bukan tentang game. Lebih ke arah misteri~~~ Sebetulnya aku pengen Karma yg bunuh diri terus diselamatin sm Nagisa. Tapi berhubung Nagisa sudah punya peran penting di fanfic ini, maka digantikan oleh Isogai. Dan tentunya ada Asano~ :DDD
Apakah Isogai sudah mati? Maybe yes, maybe not. Tergantung nanti moodku saja. Aku juga engga tahu ini bakal yaoi atau friendship seperti Hakuna Matata. Lihatlah saja berkembangan nanti.
Oke, sampai di sini, kritik dan sarannya ditunggu
.
nadezhda rein
