Moshi-moshi, minna...

Hajimemashite, watashi wa Cyan desu!

Ini fic pertamaku. Aku sengaja milih genre suspense karena cukup jarang di fandom FTI. Padahal, suspense merupakan salah satu genre yang saya suka. Baiklah, cukup sampai di situ ocehannya. Selamat membaca, semoga fic ini dapat diterima ^^


Disclaimer: Fairy Tail sepenunya milik Mashima-sensei. Saya hanya meminjam karakternya dan menambah-nambah cerita :p

Warning: semi-canon, typos, slight GraZa and NaLu, rate-M for gore

Selamat membaca~


Suasana di arena pertandingan nampak mencekam. Warna merah kehitaman mendominasi sebagian besar arena. Bau darah bercampur dengan abu naga dan aroma hujan menusuk indra penciuman jiwa-jiwa dari kedua pihak yang masih bertahan dalam raganya. Rintik-rintik hujan mengkamuflase butir-butir keringat mereka.

Di tengah-tengah arena, nampak empat orang penyihir yang masih berdiri. Nafas mereka terengah, pandangan mata mereka nanar manakala melihat mayat-mayat nakama di sekeliling mereka. Berbanding terbalik dengan mereka, di hadapan mereka berdiri dengan gagahnya seekor naga raksasa. Seringai licik jelas terpampang di atas wajahnya yang sekelam malam.

"Jadi, kau yakin mau melakukan permainan ini?" tanya naga itu dengan angkuh.

Seorang gadis penyihir berambut scarlet mengangguk mantap. Luka parah di sekujur tubuhnya seolah masih tak mampu membuatnya meratap.

Di sampingnya, seorang penyihir lelaki berambut gelap menatapnya tak percaya. "Erza..."

"Cukup, Gray. Kita sudah tak punya pilihan lain," tandas mage perempuan itu, sebelum rekannya sempat berkata-kata.

"Tapi, kita tak harus bertaruh nyawa lewat permainan konyol seperti itu!"

"Tutup mulutmu, Ice-pants! Erza benar, kita sudah tak punya pilihan lain! Cara apapun akan kuterima, asal bisa menghabisi naga keparat itu! Aku tak bisa memaafkannya yang sudah membunuh Igneel dan teman-temanku!" sahut Natsu.

"Heh, Flame-head! Apa kaupikir, kalau dia kalah, dia akan melepaskan kita?! Dia bisa saja bermain curang, kan?!"

"Wah, wah, itu suatu penghinaan buatku," dengus Acnologia, si naga raksasa. "Aku tidak akan berbuat curang, heh, bocah. Sebagai jaminannya, bagaimana kalau begini saja..."

Naga hitam itu melayangkan tinjunya ke tanah. Tiba-tiba, dari dalam tanah keluar rantai baja yang langsung membelit tubuh sang naga dan keempat penyihir di hadapannya. Tidak hanya itu saja, tanah di sekitar mereka juga melunak. Sekarang, tanahnya telah berubah menjadi lumpur hisap yang mampu menyedot apa saja ke dalamnya.

Di belakang masing-masing dari mereka berdiri sosok raksasa berjubah hitam yang memegang kapak berukuran besar. Mereka seolah siap memenggal orang di depannya kapan saja.

"Apa yang—?!"

"Tidak usah panik, bocah. Ini sihir yang sengaja kusiapkan agar kita tak bisa kabur. Hanya tangan kanan kita yang kubiarkan bisa bergerak walau terbatas. Kita juga tak bisa bermain curang, karena sekali kau bermain curang, maka 'para pengawas' akan memenggal kepalamu."

"KYAAA!" jerit Lucy. Karena syok berat, ia tidak bicara sejak tadi.

"Tenang, Luce. Kita pasti bisa..."

"Tapi, aku takut, Natsu! Aku tidak mau lagi kehilangan teman-teman yang berharga bagiku!" kata Lucy lagi. Airmata mulai menggenang di pelupuk matanya.

Natsu tidak lagi menyahut. Sejujurnya, dia pun merasa takut. Melihat Happy, Gajeel, dan kawan-kawannya yang sekarat—bahkan ada juga yang telah berpulang—membuat keyakinannya surut.

"Ow ow, sungguh memilukan! Jadi, bagaimana? Masih mau bermain? Atau kembali menyerangku dengan daya sihir kalian yang tersisa?" tantang Acnologia.

Gigi Natsu bergemeletuk menahan amarah. Gray yang menyadarinya tak bisa memberi komentar. Sama seperti Natsu dan yang lain, kalau boleh memilih, dia pun tak mau berada di sini.

Namun, tidak ada pilihan itu. Dia menghela nafas lalu melirik iris hazel di sebelahnya. Dengan wajah tegas, sang empunya iris itu menatapnya penuh arti.

"Kami... memilih melaksanakan permainan ini," ucap Gray akhirnya.

Seringai sang naga bertambah menyeramkan. Kedua matanya menyiratkan hasrat melihat cipratan darah yang tak tertahankan. "Baiklah! Karena itu pilihan kalian, jadi, silakan nikmati permainannya."

Sang naga menjentikkan jarinya. Di hadapannya dan keempat lawannya, seketika muncul kertas berpola kotak-kotak dan sebuah pena.

"Peraturannya hampir sama seperti permainan bingo biasa. Yang pertama kali 'bingo', maka bisa bernafas lega, karena telah terbebas dari taruhan nyawa. Begitu pula seterusnya. Hingga orang keempat 'bingo', maka orang terakhir akan terhisap ke dalam lumpur.

Dalam permainan ini, kalian berada di pihak yang dirugikan. Kalau aku sudah 'bingo' sedangkan kalian bertiga belum, kalian terpaksa saling bunuh untuk menyelamatkan diri. Tenang saja, aku akan menunggu kalian menyelesaikan permainan ini. Karena permainan ini kalian sendiri yang menawarkan, jadi, yaa, terima saja. Dan ingat, kalian tidak boleh curang! Kalau curang, kalian tahu sendiri akibatnya..." Acnologia lalu berpura-pura memenggal kepalanya sambil tak henti-hentinya tertawa keji.

Gray menelan ludah. Tak usah menengok pun, dia tahu, Lucy pasti sudah sepucat mayat. Namun, sang Titania tetap tidak gentar. Ah, betapa tegarnya dia..., batin Gray.

"Bisakah kita mulai? Aku sudah menulis 25 angka di kertas ini," sahut Erza, membuat orang-orang yang ada di sana terbelalak.

Jadi, selama Acnologia menjelaskan tata cara bermain, dia justru mengisi kertasnya, dan tidak terpengaruh samasekali dengan hasutan naga sial itu?

Gray berdecak kagum. Sang Titania selalu dapat membuatnya terpana.

"Kau benar-benar penantang yang berani, heh, cewek baju zirah! Aku suka tipe orang sepertimu." Sang naga lantas mengisi kertasnya. Begitu pula dengan Gray, Natsu, dan Lucy. Tak sampai semenit, kertas mereka telah terisi.

Permainan pun dimulai...

Karena Erza yang mengajukan permainan ini, maka dialah yang pertama kali menyebutkan angka. Dia memilih angka '3'.

KRET, KRET!

Suara goresan pena terdengar untuk beberapa detik. Karena arah gilirannya terbalik dengan arah putaran jarum jam, maka giliran selanjutnya adalah Natsu, yang berada di samping kiri Erza.

"Aku pilih ... 14."

Suara goresan pena kembali terdengar. Selanjutnya adalah Lucy. Dengan suara bergetar, dia berkata, "25..."

Kini, giliran sang 'raja' naga. Dengan suara lantang, dia berseru, "21!"

Gray menelan ludah. Kini adalah gilirannya. Dia tak boleh salah memilih angka, kalau tidak, salah satu dari mereka akan ada yang menulis huruf 'B'. Kalau yang menulis itu dari pihak mereka sih, tak masalah. Tapi gawat kalau yang menulisnya itu Acnologia.

Sang penyihir es berambut biru indigo itu memperhatikan deretan angka di kertasnya, mencoba mencari kemungkinan. Harap-harap cemas, Gray pun berkata, "23."

Kecemasan Gray bertambah ketika sekilas dia melihat Acnologia menyeringai ke arahnya. Jangan-jangan, dia sudah berhasil menulis huruf 'B'...?!

Walau takut, Gray tak dapat mengurungkan ucapannya, karena gilirannya telah lewat. Harapannya sekarang ada pada Erza.

"10," ucap sang Titania.

Dan Gray beruntung karena kini Acnologia nampak kesusahan mencari angka. Dia sendiri sih, tidak, sebab, angka 10 ternyata cukup dekat dengan tiga angka yang telah dia coret.

"19."

"13."

Aha, terimakasih, Lucy! seru Gray dalam hati. Akhirnya, dia berhasil menulis huruf 'B'.

"17."

"4."

"11, bingo," ujar Erza, mengalihkan tatapan mata orang-orang di arena. Cepat sekali! batin Gray.

Erza bisa bernafas lega, karena dirinya telah terbebas dari permainan saling bunuh secara tidak langsung ini. 'Pengawas' di belakangnya perlahan menghilang, lalu akhirnya berubah menjadi debu. Rantai yang mengikatnya perlahan-lahan mengendur, lalu dengan sekali hentakan, Erza berhasil melepaskan ikatan rantai itu. Tanpa kesulitan, dia berhasil melepaskan diri dari lumpur hisap. Dia lalu melompat menuju tempat yang lebih aman.

"Good job, Erza! Sekarang giliranku! Aku harap aku beruntung dengan angka ... 8."

Sepertinya do'amu itu manjur juga padaku, batin Gray senang. Yap, karena Natsu, dia berhasil mencoret huruf 'I' dan 'N' sekaligus. Mungkin dia harus berterimakasih padanya selepas pertandingan ini.

"Du... Duapuluh."

"16."

"1."

"Bi.. Bingo—kyaaa!"

Jeritan Lucy kontan membuat yang tersisa di arena menghentikan kegiatannya. Pupil Gray langsung melebar begitu melihat 'pengawas' di belakang Lucy mengayunkan kapaknya. Belum sempat kata-kata keluar dari mulutnya, adegan sadis telah terjadi di hadapannya ...

"LUCY!"

.

.

##to be continue##


Nanggung, yah?

Hehe, ampun, deh, ampuuun! #readers: tiada ampun bagimuu! Mana gore-nya?! Manaaa?!" *nimpukin author pake sendal #apasih

Buat yang suka gore, tunggu chapter 2-nya, ya!

Sambil nunggu, gimana kalau kasih pendapat di kotak review? Jangan ragu kasih kritik atau saran, karena itu sangat kunantikan. Tapi, bukan FLAME, lho, ya... kalian pasti tau bedanya, kan?

Sampai bertemu di chapter selanjutnya^^

~cyanfive98