Dia tidak tahu lagi darimana semuanya ini berawal.

Eren Jaeger, selalu mendambakan kelak ia akan melamar sang gadis di pujaan hati di restoran Perancis saat candle light dinner, dan kemudian membangun bahtera rumah tangga yang harmonis. Ia akan membangun sebuah rumah kecil sederhana beratap merah dan bermain dengan kedua anaknya setiap hari. Ya―sebuah angan akan masa depan sempurna.

Seharusnya sih begitu..

"Eren Jaeger, jadilah tunanganku."

Manik mata sewarna batu emerald itu membulat sempurna, dengan mulut terbuka lebar macam ikan koi baru diangkat dari kolam. Ia menatap lurus ke arah biji obsidian di depannya untuk menemukan secuil gurauan disana.

Namun hasilnya tentu saja ― nihil.

Tidak ada satupun tanda bahwa pemuda bersurai sewarna jelaga di depannya itu sedang dalam mood untuk bercanda. Yang ada hanya tatapan datar yang menghujam langsung ke emerald-nya.

"Eh?"

Hanya itu reaksi paling intelejen yang bisa diutarakan sang Jaeger muda. Yah―reaksi Eren saat ini bisa terbilang wajar sebenarnya. Karena dilamar oleh pria yang lebih tua 2 tahun di atasnya di tambah lagi― di depan para mahasiswa di universitas itu sama sekali tidak ada dalam agendanya.

Sungguh, ia tidak tahu harus menangis atau tertawa miris, ketika seluruh angan masa depan sempurnanya seakan dirobek di depan mata.

"Perlu kau ingat, aku hanya menerima jawaban 'Ya'. "

Oh Tuhan― bunuh dia sekarang.

.

.

Falling For A Pretend

.

Presented by: Winter Cocoa

Disclaimer: Isayama Hajime is the rightful owner for Shingeki no Kyojin/Attack on Titan, I don't own anything and not gaining any profit from this fanfiction. All the similarities all purely coincidence.

Warning: BoyxBoy, but I doubt that you are against it if you click on this fanfic ;D

Pairing: RiEre, and mention of some side pairings.

Rate: T utuk jaga-jaga.

Note:

Eren Jaeger (19 years old)

Rivaille (21 years old)

Mikasa Ackerman (19 years old)

.

.

Semuanya berawal di pagi yang sangat biasa di kediaman Jaeger, dimana sebuah teriakan bergema di seluruh rumah ketika seorang pemuda berusia 19 tahun meloncat dari tempat tidurnya saat melihat jam dinding digitalnya-nya. Jam itu menunjukkkan angka-angka dengan warna merah menyala, membuat mata Eren Jaeger yang tadinya masih belum sadar sempurna dipaksa untuk sadar dalam waktu singkat.

09.32 AM

"Sial, aku kesiangan!"

Mengabaikan hardik kesal dari penghuni di sebelah apartemennya yang menggedor tembok karena suara berisik yang dihasilkan Eren, sang pemuda bersurai coklat dengan cepat membuka lemari pakainnya dan mengobrak-abrik isinya. Eren menarik selembar kemeja putih dan celana panjang setinggi betis berwarna coklat muda sebagai pilihan busananya hari itu. Dan kemudian berlari keluar sambil berjingkat ketika kakinya terantuk ujung meja belajar.

Eren Jaeger, seorang mahasiswa biasa hidupnya bisa dibilang normal jika mengabaikan kenyataan bahwa ia seorang yatim piatu karena pasangan suami-istri Jaeger meninggal pada sebuah kecelakaan setahun silam. Menginggalkan Eren Jaeger seorang diri ketika ia baru saja masuk universitas, namun untungnya tetangga sebelah mereka, yakni keluarga Ackerman yang sudah kenal sangat dekat dengan pasangan Jaeger dengan senang hati menawarkan bantuan mereka pada Eren.

Bukan tipe yang hanya diam dan depresi meratapi nasib, Eren memutuskan untuk bekerja sambilan demi memenuhi kebutuhan hidupnya dan juga pendidikannya agar ia bisa mandiri dan tidak perlu merepotkan keluarga Ackerman.

"Mikasa, kenapa kau tidak membangunkanku?! Aku ada kuliah jam 10!"

Langkah kaki itu menapak beringas menuju ke arah dapur. Seorang gadis cantik dengan rambut hitam pendek dan paras khas oriental memandang sang pemuda berdarah Jerman dengan tatapan kelewat datar.

"Aku sudah berusaha membangunkanmu selama setengah jam, Eren. Tapi kau tidak bergeming meskipun sudah kutampar pipimu."

Ouch― itu menjelaskan penyebab mengapa pipinya terasa nyeri dari tadi. Apalagi tenaga yang dimiliki gadis berambut hitam itu bukan main-main.

Teringat bahwa ia sedang berpacu dengan waktu, sang Jaeger muda meraih handuk dan baju gantinya.

Gadis yang dipanggil Mikasa itu hanya bisa menggeleng kecil dan kembali memasukkan roti ke dalam toaster ― ketika ia mendengar sang pemuda rusuh tergesa-gesa menuju ke kamar mandi. Bunyi kecipak berisik terdengar berirama dengan suara shower yang menghantam lantai.

Mikasa kemudian mengingat sesuatu, dan ia berjalan ke depan pintu kamar mandi dan mengetuk pelan pintunya.

"Eren, ingat. Kemarin kau salah memasukkan isi ulang sabun cairmu ke dalam tempat shampoo. Jangan kau pakai shampoo yang berbotol hijau untuk rambut."

Dan bunyi yang semakin berisik terdengar dari dalam sana, diikuti pekikan histeris penghuninya.

"AH! Aku lupa, aku malah pakai botol yang itu!"

Mikasa hanya mendengus maklum atas ulah Eren. Sungguh― meskipun seumuran, kadang kala tingkah Eren lebih terlihat seperti bocah. Beberapa menit kemudian Eren keluar dengan rambut yang masih basah beserta kemeja dan celana panjang. Sesekali ia menggosokkan handuk ke rambutnya. Segera ia meraih ransel hitam yang teronggok di samping sofa.

"Sial, aku jadi harus keramas berulang-ulang, karena entah kenapa rambutku terasa lengket."

Eren mengerucutkan bibirnya dan terus menggumamkan protes.

"Itu salahmu sendiri kan? Eren, aku membuatkan sarapan."

Mikasa meletakkan piring berisi beberapa potong roti bakar dan sosis, lengkap bersama segelas teh hangat. Eren mencomot roti bakar yang tersaji di meja dan kembali sibuk menjejalkan diktat dan alat tulisnya ke dalam ransel hitamnya.

"Mikafa, fau tifak agha khefals faghi ini?"

Eren berkata ditengah-tengah kegiatannya mengunyah makanan, membuat Mikasa merengut tidak senang.

"Telan dulu makananmu, Eren."

"Mikasa? Kau tidak ada kelas pagi ini?"

Eren menoleh ke arah teman sejak kecilnya― yang sudah ia anggap bagaikan kakak sendiri, dan ditanggapi dengan sebuah gelengan singkat. Apartemen keluarga Ackerman dan kediaman Jaeger bersebelahan, karena itu setiap hari Mikasa selalu menyempatkan diri mengunjungi Eren. Meskipun kadang kala Eren cukup sebal karena Mikasa yang terlalu over protective padanya.

"Aku ikut kelas sore."

Menggangguk mengerti sambil meneguk segelas teh, Eren kembali mengalihkan fokusnya ke arah ranselnya sebelum ia beranjak ke arah pintu depan sambil menenteng bawaannya yang ia sampirkan di sebelah pundak.

"Aku pergi dulu!"

"Hati-hati di jalan."

Dan Eren memacu sepedanya kecepatan fantastis menuju ke universitasnya. Hei, jangan remehkan sepeda. Sepeda itu sangat praktis dan ramah lingkungan, benar-benar tunggangan sempurna― setidaknya seperti itulah menurut Eren.

.

.

21 missed call

Mata monokrom itu menatap sebal pada layar smart phone-nya, terutama ketika lagi-lagi ada panggilan masuk yang sengaja ia biarkan tidak terjawab. Mulai lelah dan kesal dengan ulah sang penelpon yang persisten, sang empu bersurai sehitam jelaga menghembuskan nafas panjang sebelum ia menekan tombol hijau untuk menjawab panggilan.

"Halo?"

[Rivaille, kenapa tidak kau angkat telponmu?!]

Rivaille mencoba untuk mengendalikan nada suara dan air mukanya agar tetap tenang dan datar, meskipun batinnya kesal setengah mati.

"Maaf aku masih ada tugas dari dosen, ayah."

[Oh, begitukan? Ya sudahlah―yang lebih penting, sudah kau lihat surat yang ayah kirimkan padamu kemarin?]

Pikiran Rivaille mulai berputar mencari topic yang dibahas ayahnya. Oh― surat yang 'itu'?

Heh, bahkan membuka isinya saja belum, amplop putih itu masih tergeletak rapi di meja belajarnya sedari kemarin. Sama sekali belum ia sentuh sama sekali, namun ia sudah tahu dengan sangat jelas isi surat itu.

Dan ia tidak ada niat sama sekali untuk membukanya.

"Ayah, aku tidak―"

[ Rivaille, ayah tahu yang mau kau katakan. Kau mau menolak perjodohan ini lagi kan?]

"Ayah, aku sudah bilang bahwa aku masih belum tertarik dengan pernikahan. Lagipula―"

Belum sempat ia menyelesaikan kata-katanya, lagi-lagi suara di seberang memutus perkataanya.

[Oh, tidak Rivaille. Kau sudah cukup umur, lagipula calonmu kali ini sempurna. Ayah sedang dalam perjalanan ke universitasmu sekarang dan akan membawamu untuk makan siang dengan keluarga Renz.]

Dan dengan itu sebuah nada yang repetitif bisa terdengar dari telpon yang Rivaille genggam, menandakan bahwa lawan bicaranya sudah memutus telpon secara sepihak sebelum ia sempat mengutarakan protesnya. Dengan geraman tertahan, si pemuda berambut ebony melesakkan telpon genggamnya ke saku celana panjangnya.

'Oh, bagus. Dan sekarang ia harus mencari alasan lain untuk menghindari masalah ini.'

Berasal dari keluarga terpandang, memiliki intelegensi di atas nata-rata, dan juga wajah yang rupawan― abaikan saja kenyataan bahwa tingginya dibawah rata-rata kalau kau masih sayang gigi-gigimu. Tampaknya memiliki ketiga hal itu adalah mimpi semua orang, tapi tidak begitu kasusnya dengan Rivaille. Dengan statusnya sebagai pewaris tunggal Recon Corporation, rupanya tidak membuat ia senang.

Karena tentu saja posisi yang besar diikuti dengan tanggung jawab yang besar pula. Ia tidak memiliki masalah jika ia harus memikul tanggung jawab sebagai pewaris perusahaan bisnis raksasa, namun hal itu tidak termasuk dalam urusan mencari pendamping hidup.

Semakin mendekati tahun-tahun akhirnya di universitas, ayah Rivaille― Dot Pixis, semakin mendesak sang pemuda ber-iris kelabu itu untuk menentukan masa depannya― dalam hal ini tentu saja bertunangan. Bukannya ia tidak tertarik―hanya saja ia masih belum menemukan seseorang yang bisa menarik hatinya.

Dengan mood yang lebih buruk dari seorang gadis yang mengalami PMS―Pasca Masa Stress, Rivaille melangkahkan kakinya ke gerbang utama universitasnya, hendak melarikan diri sebelum ayahnya datang.

Namun usahanya, harus gagal ketika ia merasakan tangan yang sangat familiar menarik lengannya. Mata monokromnya menatap sosok yang berdiri gagah berbalut jas resmi, beberapa kerutan tampak di wajah itu menunjukkan wibawa yang lebih-lebih dari sosok di depannya.

"Rivaille, mau kemana kau?"

Suara yang berat namun penuh dengan kharisma mengudara―dan Rivaille tahu dengan jelas pemilik suara itu.

Checkmate.

.

.

Eren berhenti di depan gerbang universitasnya, matanya melirik pada mobil hitam mengkilat yang terparkir di depan gerbang. Belum lagi ditambah dengan beberapa orang dengan jas hitam berdiri dengan wajah kaku di depan mobil itu.

Sang pemuda polos berdecak kagum pada pemandangan di depannya― hei, bukan salahnya kalau ia terkesan melihat beberapa orang mirip agen rahasia macam Man in Black tiba-tiba berdiri di depannya.

Ia memarkir sepedanya dengan cepat, karena tidak seperti mobil parkir sepeda ada di bagian depan univeristas. Eren memasuki gerbang saat sebuah kerumunan orang, menarik perhatiannya. Beberapa pria berjas hitam tersebut juga terlihat berada di dalam kerumunan tersebut, berdiri layaknya anjing penjaga. Sepenuhnya lupa tentang dirinya yang nyaris terlambat, Eren berjalan mendekati kerumunan tersebut.

Mata hijaunya menangkap sosok berambut kelabu yang pernah beberapa kali ia lihat.

'Kalau tidak salah itu senior Rivaille kan?'

Mengingat bangunan jurusan Desain Komunikasi Visual tempat Eren belajar dan jurusan Management Business milik Rivaille letaknya bersinggungan, tak jarang juga ia melihat seniornya yang satu itu.

Didorong oleh rasa penasaran ― yang sangat khas bocah, menggantikan urgensi Eren untuk menghadiri kelasnya tepat waktu. Dengan pola pikir yang simple itulah Eren menghentikan langkahnya, menelusup ke depan kerumunan agar pandangannya lebih jelas dan ikut menonton― tidak tahu bahwa keputusannya akan berakhir lebih buruk daripada menghadapi detensi dengan dosen killer-nya, Mr. Keith Shadis .

Oh, Eren seandainya saja kau tahu..

.

.

"Rivaille, mau ke mana kau?"

Tangan yang melingkari pergelangan tangan Rivaille mengerat, memaksanya untuk menjawab. Rivaille menghela nafas, cepat atau lambat ia pasti akan berhadapan dengan masalah ini. Tidak ada gunanya ia melarikan diri.

Ia melepaskan tangan yang mencengkram lengannya, dan dengan tatapan mata yang tidak goyah, ia membalas tatapan ayahnya. Determinasi tercermin sempurna di kedua kelereng obsidian tersebut.

"Ayah, aku menolak untuk menghadiri perjodohan itu."

Tensi yang berat menyelimuti ke dua ayah-dan anak tersebut, dan jelas dari postur dan gelagat mereka bahwa tidak satupun dari mereka ingin menyerah mempertahankan tujuannya.

"Jangan berkata bodoh Rivaille, sudah cukup kau menghindari semua perjodohan yang ayah tawarkan padamu. Kau akan ikut aku menemui keluarga Renz, dan itu final. Rivaille, ikut denganku atau aku akan mebawamu dengan paksa."

Rivaille bukan tipe orang yang mudah panik, ia selalu berfikir dengan kepala dingin dan memutuskan sesuatu setelah berfikir masak-masak akan segala resiko dan hasil akhirnya. Tapi kali ini ia tahu bahwa yang ada di depannya adalah jalan buntu.

Dan ia harus memikirkan sesuatu ―dengan sangat cepat.

Entah didorong dengan urgensi, ataupun rasa terdesak yang tidak biasanya memasuki sistem otaknya. Rivaille menangkap sesuatu dengan ekor matanya, dan membuat keputusan ―yang mungkin merupakan hal tergila yang ia lakukan semasa hidupnya.

Tch, tidak ada pilihan lain.

Lurik di tubuhnya bekerja secara impuls dan menarik seseorang yang saat itu berada paling dekat dengannya. Bola mata emerald Eren membola ―ketika ia sedang asik-asiknya menonton kejadian di depannya, dan Rivaille menarik lengannya. Kemudian pemuda yang lebih tua itu melingkarkan tangan di pinggangnya.

Eh?

"Ayah, aku tidak mau mengikuti perjodohan itu. Karena aku sedang menjalin hubungan dengan pemuda ini."

Apa?

Eren menjerit-jerit dalam hati, tapi mulutnya tetap bungkam karena ia terlalu panik dengan situasinya sekarang. Ia hanya bisa melihat kepada Rivaille, melancarkan tatapan minta tolong yang tentu saja diabaikan.

"Ho, aku tidak tahu kalau kau mempunyai preverensi yang.. cukup unik. Apa karena itu kau selalu menolak pada gadis yang kucalonkan? Tapi kau tidak berpikir aku mempercayaimu begitu saja kan, Rivaille?"

Rivaille mendengus, dan sebuah seringai menghiasi bibirnya. Tentu saja ia tahu ayahnya bukan orang bodoh yang dengan mudahnya percaya begitu saja. Ia perlu memberikan bukti, yang tidak bisa ayahnya bantah.

"Tunggu dulu! Ada apa in ―"

Ketika akhirnya Eren menemukan kembali suaranya dan hendak mengucapkan protesnya, ia tidak sempat menyelesaikan kalimat pertamanya. Karena saat itu sebuah bibir bersentuhan dengan miliknya. Dengan efektif membungkam dan mengasingkan tabiatnya yang cerewet ke suatu tempat ke negeri antah berantah.

Eren sukses kicep ditempat.

Namun belum sampai disitu keterkejutan Eren, karena ia merasakan gigi Rivaille menggigit bibir bawahnya ― meminta akses untuk masuk. Yang secara spontan diberikan Eren karena terkejut dengan gigitan Rivaille. Wajah Eren sudah semerah kepiting rebus, ketika ia merasakan sesuatu yang asing memasuki rongga mulutnya. Menelusuri tiap –tiap sudut mulutnya.

Setelah beberapa jam yang sebenarnya hanya beberapa detik singkat ―tapi terasa begitu lama bagi Eren, Rivaille melepaskan diri.

What. The. Flying. Titan. Was. That?!

Eren hanya bisa bengong dengan muka memerah dan nafas terengah. Sementara Rivaille terlihat baik-baik saja. Wajahnya tetap sedatar teflon di dapur Eren.

'Astaga, ini orang tidak punya ekspresi lain apa?!'

"Nah, ayah. Sekarang kau percaya kan? Maka dari itu aku menolak."

Rivaille berkata dengan nada yang masih datar dan serius. Pixis terlihat mempertimbangkan sesuatu, sebelum ia menghela nafas dan berbalik menuju mobilnya. Dan serentak para bodyguard yang bersamanya berjalan mengikuti pria itu.

"Kali ini kau bisa menghindar Rivaille, tapi ini belum selesai."

Rivaille yang melihat hal itu hanya mendengus puas, karena paling tidak ia bebas dari masalah ini selama beberapa waktu. Ia menoleh ke arah Eren yang masih membatu di tempatnya dengan wajah yang kini memutih secara mengenaskan.

Ingin rasanya Eren berteriak kepada ayah dan ibunya di surga "MAMA DAN PAPA, BIBIR ANAKMU YANG IMUT SUDAH TIDAK SUCI!" sambil berlinangan air mata. yang tentu saja batal dilakukannya, karena ia tidak mau mentalnya menjadi lebih tidak sehat dari saat ini.

"Siapa namamu?"

"Eh, huh?"

Eren memutus rangkaian pikirannya ketika sebuah suara kembali menyadarkannya. Ia menoleh ke arah Rivaille, obsidian memancang pada emerald.

Gulp

Sepertinya pria di depannya tidak dalam mood untuk memperpanjang sumbu kesabarannya.

"E-Eren Jaeger.."

"Kalau begitu Eren Jaeger, jadilah tunanganku."

Dan pernyataan itu sontak membuat kerumunan yang mengelilingi mereka terkejut, lebih-lebih pada Eren. Eren mengabaikan beberapa tatapan jijik dari para mahasiswa, dan jeprat-jepret kamera serta teriakan nista nan histeris milik beberapa mahasiswi yang mempunyai hobi.. unik.

Dan apa itu yang dia lihat? Tissue berlumuran darah? Ah, dia tidak perduli..

"Eh? "

"Perlu kau ingat, aku hanya menerima jawaban 'Ya'. "

APAAAAAAAAAAAAA?!

.

.

Dan kini disinilah Eren Jaeger berada, di ruangan kosong bekas perpustakaan lama. Di depannya berdiri sosok Rivaille yang bersandar di dinding dengan kedua tangan tersilang di depan dada dan wajah datar yang terkesan angkuh. Rivaille menyeret Eren ke laboratorium ini karena ia ingin membicarakan 'sesuatu' secara privat― katanya.

Apapun 'sesuatu' itu― ia merasa bahwa ia akan dibunuh disini, dan kemudian Rivaille akan menyembunyikan mayatnya di bawah pohon sakura. (1)

Eren hanya bisa berkeringat dingin melihat sosok pendkurang begitu tinggi di depannya menatapnya tajam, seakan hendak mengulitinya hidup-hidup.

"Jadi, Eren."

"I-Iya.."

Ah sial, mengapa ia malah jadi terintimidasi oleh sosok yang lebih kecil di depannya itu?

"Aku akan mengadakan penawaran yang saling menguntungkan untuk kita."

Rivaille memulai, tidak melepaskan tatapan tajamnya dari Eren.

Eren menelan ludah.

"Aku ingin kau berpura-pura jadi― partnerku, dan aku akan memberikan kompensasi untukmu."

Rivaille agak risih menyebut Ern sebagai 'kekasih', toh mereka baru kali ini mengadakan kontak langsung.

Eren mencerna kata-kata Rivaille dan alisnya berkerut tanda bahwa ia tersinggung. Hei― ia tahu ia bukan orang kaya, tapi untuk menghinanya seperti itu sungguh keterlaluan!

"Kau bermaksud membeliku?"

Ujarnya dengan nada sinisme, alis Eren berkedut tak suka. Rivaille mengangkat satu alisnya melihat reaksi Eren. Hoo.. rupanya pemuda di hadapannya ini punya harga diri yang tinggi, dan juga tidak lupa dibarengi sifat yang sangat temperamental.

"Lagipula aku masih normal, aku tidak ada minat 'berbelok' ke jalan yang kau pijak."

Ujar Eren, seluruh rasa takut yang ia miliki saat berhadapan dengan Rivaille tadi menguap sepenuhnya digantikan oleh amarah. Rivaille menautkan alisnya makin dalam, rupa-rupanya ia juga terpancing dengan kata-kata Eren.

"Untuk informasimu saja, aku bukan seorang gay."

Rivaille menekankan pada tiga kata terakhir.

"Aku tidak bermaksud membelimu bocah, aku mengajakmu bekerja sama. Aku memintamu membantuku untuk mengelabui ayahku. Setidaknya sampai situasi menjadi cukup tenang, toh itu tidak seperti aku bisa menggantimu dengan orang lain karena ayahku melihatku bersamamu. "

Rivaille berdecih, entah akal gila apa yang merasuki otaknya sehingga ia nekat melakukan hal 'itu'.

"Bagaimana jika begini, aku akan membayar semua keperluan pendidikanmu sementara kau membantuku. Aku juga repot kalau kau tidak mau. Deal?"

Eren meimbang-nimbang, seluruh keperluan pendidikannya berarti termasuk buku-buku, biaya kulaih perbulan dan uang semester. Toh, tidak seperti ia benar-benar menjadi kekasih Rivaille kan?

Dipikir-pikir tidak buruk juga, lagipula itu berarti si pendek sombong ini membutuhkannya kan?

Tanpa sadar Eren menyeringai memikirkan fakta bahwa si pendek namun sombong di depannya ini― (meski dengan angkuh) meminta bantuannya.

"Aku tahu apa yang kau pikirkan, sekali lagi kau berpikir seperti itu kutendang kau."

Mata Rivaille memicing dan Eren merasa bahwa tadi itu rasanya bukan hanya sekedar gertak sambal.

Dan astaga! Apa si pendek ini baru saja membaca pikirannya?!

"Kau memikirkan kata 'pendek' lagi kubunuh kau."

"Da-darimana kau tahu, kau membaca pikiranku?!"

Eren menjerit histeris, karena akan sangat mengerikan sekali kalau Rivaille bisa membaca pikirannya.

"Aku tidak membaca pikiranmu idiot, dari tadi kau melihat aku dari atas ke bawah lalu kau mendengus ingin tertawa. Kau kira aku tidak tahu? Ekspresimu jelas sekali.."

Sekali lagi Rivaille melemparkan tatapan membunuh, yang membuat Eren bergidik ngeri.

"Jadi bagaimana?"

"Deal."

Eren mengulurkan tangannya dengan senyum, dan hanya disambut dengan dengusan meremehkan oleh Rivaille yang mengabaikan tangannya yang terulur dan beranjak keluar dari ruangan itu.

SI KECAMBAH SIAL INI! AWAS SAJA KAU NANTI!

.

.

Note:

(1) Mayat di bawah pohon sakura: menurut legenda Jepang, bunga sakura yang merekah dengan sempurna dan terlihat paling indah itu dikarenakan ada mayat yang bisanya mati tidak wajar dan dikubur di bawahnya. Sang pohon akan menghisap sari-sari mayat tersebut dan kemudian membuat bunga sakura akan merekah kemerahan sesuai darah yang dihisap pohon tersebut.

A/N:

Hallo minna-san, masih ada yang ingat sama saya? Kali ini saya mau membuat fanfic multichapter perdana saya (setidaknya dengan akun yang ini). Terinspirasi dengan cerita dari ibu saya tentang temannya yang kawin kontrak, saya akhirnya bikin fanfic ini. Ada aja ya yang kaya begitu… =_='a Semoga characternya nggak terlalu OOC.

Soal chapter pertama yang agak 'anu', maaf saya harus bikin ini karena demi plot. #alibi Dan beberapa fujoshi yang nyempil disini itu mungkin reaksi saya kalau ada di tempat kejadian. Huehehe~ #ketawa nista

Iya, saya buat mereka disini 'awalnya' straight, awalnya lho ya.. saya nggak bilang samapai akhir mereka lurus! XD

Yasud, ada yang berkenan meninggalkan review?

.

Your Crazy Fangirl

-Cocoa-