Gelap. Gelap sekali. Siapa saja, datanglah kemari!
Ketakutan menguasai ketika tanganku yang dingin karena hujan tak dapat lagi kurasakan. Aku bisa mendengar suara nafasku sendiri yang terengah-engah. Tenggorokanku terasa kering. Aku tak bisa berteriak. Lukaku terasa berdenyut-denyut. Tapi aku mati rasa akibat banyaknya darah yang menetes tanpa henti dari tubuhku.
Samar-samar kudengar suara seseorang. Apakah dia memanggil namaku? Entahlah. Segalanya terasa begitu buram ketika kau menyadari bahwa kematian datang perlahan, mendekat padamu.
Dengan sisa-sisa tenagaku, aku menggenggam Rosario perak pemberian 'orang itu'.
Tuhan, jangan biarkan aku mati sekarang.
Aku masih belum membaca halaman terakhir novel bersampul putih itu…
BLUE BIRD
"Ketika sebenarnya kebahagiaan itu berada di dekat kita"
Katekyo Hitman Reborn by Amano Akira
Pria berambut pirang itu menghela nafas. Walaupun jam di dinding telah menunjukkan pukul 2 dinihari, tetapi pekerjaannya di depan laptop masih belum selesai-selesai juga. Kopi panas yang barusan disajikan sekretarisnya tidak tersentuh sama sekali. Sempat muncul godaan untuk mengguyur kopi itu ke kepalanya sendiri supaya dia tetap terjaga, tapi niat itu diurungkannya.
Dia ingin sekali menghujamkan pena tajamnya ke permukaan meja –frustasi-. Tetapi dia memilih untuk tidak melakukannya juga. Pertama, karena pena itu hadiah ulang tahun dari adiknya, kedua, meja itu adalah meja kayu berpelitur mahal dengan ukiran klasik yang membuatnya tidak tega untuk merusaknya. Tapi pria malang ini sedang membutuhkan pelampiasan.
Telepon meja yang sedari tadi berdering meminta perhatian juga sama sekali tidak disentuhnya. Sampai-sampai pria itu hafal nada dering menyebalkan yang diulang-ulang telepon sial itu. Pria itu menyibakkan rambut pirangnya ke belakang, persis aktor iklan shampoo yang sedang depresi, sebelum mengangkat telepon yang entah telah menjerit berapa kali.
"Halo, Dino?"
"Oh, berhentilah meneleponku, Tsuna. Kau tahu aku sedang bekerja," Bahkan suaranya pun terdengar sangat letih.
"Bekerja jam segini? Aku serius Dino, aku tak sudi jadi adik dari pria yang pola hidupnya seperti kalong. Yeah, kalong -kelelawar! Bahkan kelelawar sekarat pun terlihat jauh lebih bergairah daripada suaramu," hardik suara dari seberang telepon dengan nada yang kentara sekali kesal.
Pria pirang bernama Dino itu hanya tersenyum kecil mendengar suara adiknya tercinta. Bisa-bisanya si Tsuna yang lembut dan berhati emas itu menceramahinya dengan perumpamaan tidak elit. Apa tadi? Kalong? Yang benar saja!
"Aku akan tidur setelah laporan ini selesai. Aku janji, Tsuna,"
Oh yeah. Mungkin satu atau dua jam lagi, Dino tersenyum sinis.
"… Kalau gajimu rendah, aku pasti menyeretmu keluar dari tempat itu dari dulu! Perusahaanmu itu menyebalkan sekali! Mentang-mentang kau dibayar tinggi, kau dipaksa kerja lembur. Bahkan hari libur pun kau tidak pulang ke rumah! Sebenarnya apa sih, kerjamu?"
Senyuman Dino menghilang dengan cepat.
"Aku akan istirahat Tsuna. Kau jangan khawatir," bisik Dino menenangkan adiknya, "Minggu besok aku ambil cuti,"
"Ya sudah, selamat tidur, Dino,"
"Selamat tidur, Tsuna," Dino memejamkan mata, membayangkan wajah adiknya yang selalu tersenyum lembut. Membayangkan sang adik satu-satunya berada di kantor ini. Kantor yang luas tapi entah mengapa terasa sangat menyesakkan.
"…. Sebenarnya apa, sih, kerjamu?"
Dino melayangkan pandangan ke jendela di seberang mejanya. Dia bisa melihat sepasukan pengawal elit berjaga di depan gerbang. Setelan hitam mereka tampak berbaur dalam gelapnya malam. Mereka tetap siaga di jam seperti apapun, benar-benar professional. Dino menyandarkan dirinya di kursi berlapis Kevlar, yang berfungsi untuk menghindari peluru manapun yang ditembakkan menembus kursinya.
Kakakmu ini mafia, Tsuna.
Seorang pria gemuk, pendek, dan memakai kacamata frameless itu bersujud di depan dua orang di depannya. Yang satu, dengan badan tinggi tegap, menatapnya sambil tersenyum. Di sebelahnya, berdiri orang yang lebih pendek, namun dengan raut wajah yang berbahaya, mengacungkan pistol tepat ke kepala pria itu.
"Ampuni aku! Ampuni aku! Aku mohon, akan kubayar berapa saja! Sa.. satu milyar! Ya, satu milyar! Aku akan…."
DOR!
Pria itu terkulai, tak sanggup menyelesaikan perkataannya.
"Eeeeeh, kau kejam sekali membunuhnya secepat itu. Padahal aku ingin mendengar penawarannya. Sepertinya menarik, BB."
Seorang lelaki muda bergerak mendekati si pria paruh baya yang barusan saja ditembak mati oleh orang lain di sebelahnya. Langkah kakinya nyaris tak menimbulkan suara walaupun dia memakai dress shoes Gucci yang bersol tebal. Sikapnya tetap ceria seakan-akan tak menyadari bahwa beberapa detik yang lalu seseorang baru saja dibunuh di hadapannya.
"Hmmph. Satu milyar? Sedikit amat. Lagian aku ragu dia punya uang segitu. Jam tangannya saja Tag Heuer palsu," desis seseorang yang dipanggil BB itu.
Tawa renyah meluncur dari bibir lelaki muda yang kini sedang berlutut memeriksa mayat si pria paruh baya, "Jangan begitu, BB. Gajiku kecil nih. Aku juga tergoda untuk korupsi,"
Mau tak mau BB tertawa kecil. Gaji kecil? Bah. Orang itu bisa beli pulau dengan gajinya yang sekarang. Dilihat dari pakaiannya pun, pria itu pastilah bukan pegawai kantoran biasa.
Lelaki itu memeriksa si mayat sekali lagi sebelum tersenyum puas dan bangkit berdiri. Disapunya debu dari setelan Emporio Armani hitam kelam yang membalut tubuh atletisnya, sambil melirik sekilas Rolex 18 Daytona yang melingkar sempurna di pergelangan tangan kiri sang pria tak bernama, "Kalau begitu, terimakasih atas kerjasamamu, Blue Bird. Aku akan senang sekali kalau bisa bertemu denganmu di lain kesempatan. "
Ditepuknya pundak BB sekilas sebelum pergi keluar dari dalam bangunan yang terbengkalai itu.
BB menatap si pria paruh baya yang baru saja dibunuhnya tadi. Mata pria itu membelalak ketakutan. Masih ada sisa kehidupan dalam diri pria itu yang entah mengapa membuat BB segan. BB berlutut, menutup korbannya, sembari membuat tanda salib dengan cepat, kemudian menyematkan sehelai bulu sayap berwarna biru ke jas yang dipakai pria itu.
Tangan BB menyusuri Rosario yang menggantung di dadanya.
Tuhan, hari ini aku membunuh orang lagi.
"Tuan Hibari," seseorang berambut ala elvis memegang dahinya, pusing. "Tuan Hibari, ini bukan saatnya mengurusi gank berandalan yang mencoret-coret tembok kota! Banyak hal yang lebih penting!"
"Berisik, Kusakabe. Anak-anak itu harus diberi pelajaran supaya tidak mengotori fasilitas umum," ujar pria berambut hitam legam dan bermata setajam logam baja, Hibari, sambil menjilat darah yang mengotori sudut bibirnya. Bukan darahnya, tentu saja.
Si rambut elvis, Kusakabe, hanya bisa memaklumi bos-nya yang satu ini. Tentu saja, Kusakabe tahu kalau perkataan Hibari tadi bisa diterjemahkan "Aku sedang bosan. Aku sedang ingin menghajar sampah masyarakat"
"Hmmh. Memangnya apa yang penting?" Hibari memasukkan tonfa-nya kembali. Sepatu pantovelnya dengan sadis –tak sengaja- menginjak tangan salah satu anggota gank yang baru saja dihabisinya. Yah, Hibari sudah menahan diri untuk tidak membunuh mereka, paling tidak. Kemarahannya lebih dia lampiaskan pada kaleng-kaleng paintspray yang dia hancurkan tak bersisa.
"Mafia. Belakangan ini aktivitas perang antar mafia semakin meresahkan penduduk. Kita kekurangan personil dan pusat kesulitan mengirimkan back-up," Kusakabe membuka catatan kecilnya, bersiap membacakan kerugian apa saja yang telah terjadi akibat perbuatan para mafia.
"Hmpp, akan kuurus mereka nanti,"
Harus Kusakabe akui, terkadang dia kesal juga dengan kelakuan atasnya yang over pede.
"Sungguh, Tuan Hibari, kita harus mulai mengambil langkah serius,"
"Hnn," Hibari melambaikan tangannya asal-asalan.
Ah. Hopeless, pikir Kusakabe pasrah. Tidak ada gunanya berargumentasi dengan seorang Hibari Kyoya. Kusakabe membiarkan saja atasannya yang satu itu melenggang pergi.
Sang Guardia di Finanza –Polisi Finansial Italia- itu berjalan tak tentu arah. Walaupun tak memperlihatkannya, sebenarnya Hibari juga merasa sedikit kuatir dengan keadaan sekarang. Bagaimanapun juga, adalah rahasia umum kalau Kota Namimori ini merupakan salah satu sarang mafia paling nyaman. Tapi aktivitas mafia tak pernah separah ini. Selama bertahun-tahun pekerjaannya sebagai polisi, baru kali ini para makhluk dunia kegelapan itu menampakkan diri dalam terangnya matahari. Seakan-akan semua ini diprovokasi secara misterius.
Hibari baru menyadari kalau sekarang dia sedang berada di tempat yang benar-benar asing. Pelajaran moral paling berharga : Jangan ngelamun saat jalan-jalan. Nanti nyasar. Dan itulah yang dialami polisi muda kita hari ini.
Yah, Hibari tidak ambil pusing dan meneruskan berjalan. Logika-nya, bumi ini bulat. Bila jalan lurus, pasti bisa kembali tempat awal. Logika bodoh, memang.
"Ah, maaf," seorang anak perempuan tak sengaja menyenggolnya. Hibari hanya mengangguk sekilas. Beruntung anak itu. Kalau sedang badmood, Hibari pasti ngamuk. Tapi tadi dia sudah puas memberantas hama vandalisme.
Hibari baru akan berbalik pergi ketika dia menyadari apa yang digenggam di tangan gadis itu.
Burung kuning.
Dan… sebenarnya ini rahasia, tapi Hibari menyukai makhluk kecil. Dan yang lucu.
" … Burung itu milikmu?" Tanya Hibari, dengan nada suara yang lebih mirip interogasi.
"Yah… tidak juga. Aku menemukannya. Lucu sih, aku ingin mencelupkannya ke teres biru,"
Hibari agak shock mendengarnya. Dicelupkan? Sungguh, mencelupkan burung seimut itu ke dalam pewarna, apalagi warna biru! Adalah perbuatan tidak terpuji, kawan.
"….. dicelup?"
"Aku lebih suka biru daripada kuning. Kesannya macho. Oh, Kakak tinggi sekali. Model, ya?" gadis itu tersenyum, mengelus si burung kecil yang tak tahu nasib apa yang menunggunya. Hibari memperhatikan si anak perempuan yang masih saja tersenyum inosen. Penampilannya tak jauh berbeda dengan remaja kebanyakan. Mungkin usianya masih belasan, atau paling tua 20-an. Aneh juga melihat anak yang kelihatannya polos seperti ini berkeliaran sendirian. Apalagi gadis umur segitu biasanya punya kebiasaan untuk bergerombol dan cekikikan tidak jelas.
"Kau sendirian?" Hibari memicingkan mata.
"Oh, aku menunggu teman kencan," gadis itu masih tetap tersenyum.
"Bagus, antar aku ke kantor polisi," perintah Hibari seenaknya, dia berbalik dan memimpin langkah. "Heeeeeh? Aku lagi nunggu orang!" senyuman gadis itu menghilang, digantikan wajah shock karena diperintah oleh orang yang baru dikenalnya dengan semena-mena.
"Cepat jalan," perintah Kyoya dingin, namun sudah cukup untuk memberikan titah mutlak –antar-aku-sekarang-atau-mati-
Si anak perempuan berdecak pelan. High heels 5 cm-nya terdengar nyaring ketika gadis itu setengah berlari untuk mengimbangi langkah kaki Hibari yang panjang-panjang. Gadis itu suka menolong orang. Tapi kali ini dia tidak rela menolong orang tampan tapi sombong ini. BIlang aja deh kalau kesasar! Nggak usah sok-sok minta diantar segala.
"Oi, Kak, kau polisi?" gadis itu memperhatikan Baretta 92 yang disampirkan dengan rapi di belakang sabuk Hibari, senjata umum bagi seorang Guardia de Finanza, di samping sepasang tonfa yang kelihatannya berbahaya.
Merasa dicuekin, gadis itu memilih untuk diam sepanjang perjalanan mereka ke kantor polisi. Dan Hibari pun terima-terima saja dengan keadaan itu. Suasana pemakaman pun lebih ceria daripada atmosfer mereka berdua.
Tidak sampai 5 menit, mereka sampai di pos polisi yang paling dekat. Cat temboknya yang sudah tampak mengelupas menunjukkan betapa tak terawatnya kantor polisi itu.
"Hnn," gumam Hibari sebelum masuk ke dalam, tanpa berbasa-basi dulu dengan orang yang sudah berbaik hati mengantarnya.
Apakah itu ucapan terimakasih? Pikir gadis itu sangat heran. Kepalanya sudah mulai memikirkan hal yang tidak-tidak. Misalnya kalau pria di depannya ini adalah psikopat yang pendiam namun berkepribadian ganda. Pagi jadi polisi, malam jadi bencong …. Eh, salah! Malam jadi pembunuh sadis. Seperti di novel Jekyll and Hyde? Ngaco, memang.
"Eh, tunggu, kak!" gadis itu menarik vest belakang Hibari, membuat Hibari menoleh menatap gadis yang jauh lebih pendek dari dirinya itu. "Nih, kalau kakak suka, buat kakak saja," gadis itu memberikan si burung kuning yang bercicit ceria ke telapak tangan Hibari.
Hibari mengangkat satu alisnya, heran. "Habis daritadi ngeliatin burung kecil ini terus, sih. Kirain kakak kepingin," gadis itu kembali memasang senyum trademark-nya.
Hibari menyeringai sangat tipis. Dia berbalik, tangannya memegang si burung kuning dengan hati-hati. "Terimakasih… Herbivore,"
"Yap!…..? hah? Herb… apa tadi?" gadis itu melongo. Beneran deh, dia adalah orang paling aneh yang pernah ditemuinya. "Ah! Aku lupa tanya namanya!" gadis berambut cokelat hazel sebahu itu menepuk dahinya, merasa bodoh. Pikiran gadis itu dengan jujur mengakui bahwa kakak tadi sangat tampan sampai-sampai dia merasa grogi.
Gadis itu merogoh telepon genggam berwarna putih dari dalam tas-nya, yang ternyata berisi pesan yang barusan masuk dua menit lalu
"Seo, kamu di mana?"
Gadis itu merapikan mini dress putih-nya, kemudian berjalan kembali ke tempat janjiannya tadi. Benar saja. Seorang pria duduk di bawah lampu kota yang menyala redup. Rambutnya hitam klimisnya disisir ke belakang dengan gaya yang dandy, walaupun sebenarnya tidak pantas dengan wajahnya yang kendur dan sedikit berkeriput. Setelan linennya yang tampak tegas serta rokok Golden yang diselipkan di bibirnya sudah cukup untuk menunjukkan statusnya yang pastilah termasuk orang-orang high class.
"Seo, sayangku! Kupikir kamu tidak akan datang!" Pria itu mendekat, melingkarkan tangannya di pundak Seo dan mencium pipi Seo sekilas.
Seo menyibakkan rambut cokelat cantiknya dengan centil, mengedip pada pria itu –teman kencannya- ,"Lama menunggu, Om Rico?" Rico tertawa keras, "Tentu saja, sayangku! Aku sudah tak sabar…. Menikmati hari ini bersamamu," Pria yang umurnya tak mungkin lebih muda dari 50 tahun itu tersenyum lebar. Pandangan matanya menyusuri tubuh gadis yang dipeluknya, memperhatikan lekuk tubuh yang dimilikinya.
Seo memeluk lengan pria itu, "Om Rico, Seo nggak mau di suite hotel. Seo lebih suka…. Yang menantang," Seo terseyum, senyuman yang tidak mencapai mata hitamnya.
Rico tertawa lagi, "Tentu saja kau yang memilih tempat, sayang! Asalkan bersamamu, di manapun terserah!"
Seo tersenyum, "Jangan ketawa, ya, Om Rico. Sebenarnya… Seo ingin mencoba 'melakukannya' di tempat umum..,"
Mata Rico berkilat nakal, tersenyum sangat lebar ketika Seo menariknya ke toilet umum di dekat sana. Mereka berdua berhati-hati agar tak ada siapapun yang melihat mereka masuk.
Seo mengunci pintu kamar mandi, tersenyum dengan sangat ramah sebelum menarik dasi Rico. Rico tak dapat menyembunyikan nafsunya. Tangan pria itu memeluk pinggang Seo.
Seo tersenyum, dia berjinjit dan berbisik pelan di telinga Rico, "Om, jangan dendam, ya,"
Rico tak sempat mengernyit heran. Seo, dengan kecepatan tangannya yang luar biasa, menarik pistol dari balik mini dress yang diikat di pahanya, kemudian menembakkannya di kepala pria malang itu. Tak ada suara yang memekakkan telinga karena gadis itu sudah memakai peredam suara.
Rico membelalak. Wajahnya yang pucat pasi menatap mata hitam Seo, yang kini tak lagi tersenyum. Pelukan pria itu mengendur, dan terjatuh tak berdaya ke lantai kamar mandi yang dingin.
Seo mengangkat pria yang sudah tak bernyawa itu dan mendudukkannya di atas kloset. Perlahan, gadis itu berlutut di depannya. Seperti biasa, Seo melakukan ritual kebiasaannya. Menutup mata korbannya perlahan, kemudian menyematkan bulu sayap biru di dadanya. Seo membenci om-om mesum yang gemar tidur dengan gadis-gadis muda. Tapi, sebenci apapun Seo padanya, Seo sangat paham bahwa pria ini punya istri dan anak. Punya kehidupan. Punya nyawa. Dan Seo telah merenggut itu dari dirinya.
'Maafkan aku', bisik Seo di dalam hatinya sembari mengelus Rosario perak di dadanya.
"Sudah selesai, Swordman,"
Seo mengirim pesan singkat kepada orang yang telah membayarnya untuk melakukan ini. Tak sampai satu menit, Handphone Seo bergetar, menerima pesan masuk.
"Terimakasih, Blue Bird,"
Seo menutup ponselnya. Menghela nafas dalam-dalam. Berhati-hati untuk tidak meninggalkan bukti apapun, gadis itu pergi secepatnya dari toilet yang kini berbau anyir darah itu. Sekilas dilihatnya mayat pria itu sekali lagi. Gadis itu menggigit bibir. Seo, atau Ardine Oiseau harus mulai belajar bahwa dirinya tak lain dan tak bukan adalah pembunuh berkode Blue Bird.
TO BE CONTINUED
Next Chapter :
Blue Bird palsu atau tidak, pembunuh brengsek itu punya keahlian.
.
"Aku menemukanmu, Ardine"
.
"Blue Bird…,"
.
"Ardine Oiseau."
.
Waaaaaaaa! Fanfic pertama setelah seabad hiatus... T^T. Karena nggak punya internet, jadi kerepotan mau bales review... tapi makasih banget ya yang selalu review! Heran fanfic geje gitu mau aja diriview...
Cerita ini dibuat karena kayaknya fanfic OC dikit banget ya? Yah, saya juga suka YAOI, tapi sekali-kali mau buat yang STRAIGHT! Menciptakan OC yang nggak mary-sue dan bisa fit ke dalam cerita juga merupakan tantangan tersendiri... Pokoknya, mohon dukung saya terus ya! Saya akan berusaha buat lebih rajin update! (termasuk fic-fic lain yang discontinued)
GLOSSARY
Jekyll and hyde : Novel yang menceritakan tentang orang berkepribadian ganda. Terkenal banget, nih.
Oiseau : Cara bacanya adalah "wuiseo". Penulisan "Seo" di sini langsung saja sesuai pengucapan.
Guardia di Finanza : Polisi Finansial Italia. Lebih jelasnya, googling sendiri ya /plak
Cerita ini bersetting di Italia (walaupun nama kotanya Namimori). Tetapi tetap saya sesuaikan dengan gaya Indonesia (Karena di sana, penggunaan "kak" seperti yang digunakan Seo sebenarnya tidak ada)
