Title : Monophobia
Part : 1
Rat / Genre : M (untik amannya ) / Romance
A/ N : Aoi menggunakan character base on Manga dan tempat-tempatnya base on Dorama ( khususnya Shingyouji ^^ ) . Tapi jika berfikiran lain, tak apa ^^ Ide ini sebenarnya sudah sangat lama dan dengan skill yang semakin parah, mohon maaf atas segala kesalahan pengetikan maupun penggunaan bahasa.
Pov : Hayama Takumi
-00START00-
"Takumi, sampai kapanpun aku akan selalu menyayangimu..."
Ucapan sederhana namun mempunyai makna yang sangat mendalam untukku. Sebuah kalimat yang selalu dikatakan oleh sang kekasih setiap kali menghubungiku melalui telepon maupun pesan singkat. Setiap kali kudengar, membaca ataupun membayangkan kalimat tersebut, aku hanya dapat terdiam dalam senyumanku.
Kulangkahkan kakiku menuju tempat tidur lalu kembali menatap layar handphone berisi pesan singkat Gii yang jauh dia kirimkan melalui negara kelahirannya. Setelah cukup puas, akupun meletakan hanphoneku disisi bantalku lalu menutup kedua mataku perlahan.
Ya, liburan Shidou sudah berakhir dan besok pagi aku harus kembali ke asrama sebelum memulai aktivitasku. Seperti biasa, aku memilih 1 minggu lebih cepat dari pada jadwal seharusnya karena suasana maupun lingkungan yang kurang kusukai. Suasana tenang membuat perasaanku ikut terasa nyaman. Selain itu, aku sudah berjanji dengan teman-temanku untuk menghabiskan liburan bersama, terutama dengan Saki Giichi atau lebih sering kupanggil 'Gii', sang idola sekolah maupun kekasihku.
Pagi-pagi sekali aku sudah merapikan barang-barangku lalu berpamitan dengan kedua orangtuaku sebelum melanjutkan perjalanan menuju stasiun. Rasa sedih maupun senang bercampur menjadi satu. Senang karena aku dapat keluar dari suasana tidak nyaman didalam keluargaku ini dan rasa sedih setiap kali melihat ibu yang memalingkan pandangannya kepadaku. Hanya ayah yang mengantarku hingga stasiun dan memberikan beberapa lembar uang sebagai tambahan untuk perjalananku.
Perjalanan menuju asrama Shidou memakan waktu lebih dari 3 jam karena adanya keterlambatan akibat cuaca. Secara tidak sengaja, akupun bertemu dengan salah junior sekaligus teman baikku, Shingyouji Kunimitsu. Dua tas kecil ditangan kirinya dengan sebuah tas ransel dipunggungnya, dia berlari perlahan mendekatiku. Penasaran, akupun langsung menanyakan isi kedua tas tersebut.
"Kue buatan nenekku itu nomor satu, Hayama-san! Jadi aku minta dibuatkan lebih banyak untuk dibagikan dengan kalian semua. Tapi, karena aku sudah lapar... jadi...," Shingyouji membuka salah satu tas yang berisi sebuah kotak makan bewarna hijau dan terdapat beberamacam kue kering didalamnya. "Silahkan, Hayama-san. Sekali makan, aku tidak tanggung kalau tidak bisa berhenti ya!" jelasnya singkat dengan wajah senangnya.
Tanpa ragu, akupun mengambil salah satu bentuk kue tersebut dan terasa campuran manis maupun asin yang bercampur menjadi satu. Bentuk kue ini sangat sederhana namun gula halus yang bercampur resep lainnya dan tertabur diatas kue ini membuat seluruh permukaan rongga mulut terlapisi oleh lapisan tersebut, Aku hanya dapat menutup kedua mataku untuk menikmati perasaan 'nyaman' dengan camilan ini.
"Bagaimana, Hayama-san? Enak bukan?," seru Shingyouji seiring memakan potongan kue berikutnya. Aku mengangguk dan kamipun menikmati beberapa potong kue sampai akhirnya kereta yang kami tunggupun datang.
Sepanjang perjalanan kami membahas kue kering buatan nenek Shingyouji maupun kegiatan yang kami lakukan selama liburan sampai akhirnya kami sampai ke stasiun terakhir dan melanjutkan perjalanan dengan bus khusus menuju Shidou.
Sesampainya di asrama, kamipun berpisah untuk merapikan barang-barang kami sebelum berkumpul dengan teman-teman lainnya. Teman sekamarku, Misu Arata akan datang esok hari sehingga hanya aku, Shingyouji, Akaike, Gii dan Toshihisa yang akan berkumpul untuk makan malam bersama. Sekitar 1 jam lamanya, kuputuskan untuk menghirup udara segar sekaligus berlatih ditempat kesukaanku, rumah kaca di tengah taman Shidou.
Kuraih tas biolaku dengan jaket biruku lalu kulangkahkan kakiku menuju rumah kaca. Suasana Shidou masih sangat sepi sehingga akupun dapat mendengar maupun melihat aktifitas hewan-hewan disekitar taman. Aku hanya dapat tersenyum menikmati suasana nyaman yang jarang kurasakan di taman ini.
"Hayama-kun," panggil seseorang dan kudapatkan seseorang yang tidak asing berjalan mendekatiku. Akaike Shouzo. "Bisa aku minta waktumu sebentar?"
Aku mengangguk dan kamipun duduk disalah satu bangku ditaman ini. Wajah Akaike terlihat sangat serius dan akupun hanya bisa terdiam untuk menunggu sampai dia angkat bicara.
"Hayama-kun, ada hal penting yang ingin kukatakan kepadamu dan kuharap kamu dapat tetap tenang." Raut bingung maupun penasaran tidak dapat kusembunyikan dan akupun hanya dapat mengangguk sebagai ganti jawaban. "Kapan kamu terakhir kali menghubungi Giichi?"
Aku terdiam sejenak untuk kembali mengingat-ingat. "Hmm... Sekitar seminggu yang lalu. Ada apa?"
Akaike menutup kedua matanya sejenak dan kulihat kepalan kedua tangannya diantara kedua lututnya. "Hayama, maafkan sikap Gii jika dia nantinya akan lebih banyak diam maupun tidak bicara dengan dirimu."
Aku kembali terdiam dalam kebingungan. "Apa maksudnya?"
Akaike menggeleng. "Aku sendiri kurang mengerti masalah sebenarnya. Sejak Gii kembali ke Amerika untuk menemui kedua orang tuanya, aku sudah tidak mendapatkan kabar sama sekali sampai akhirnya Namiko, teman kami berdua sejak kecil, memintaku untuk mengawasi Giichi selama di Shidou. Sebenarnya sudah tiga hari yang lalu Giichi mulai tinggal dirumahku namun dia lebih banyak diam dan menyendiri."
Aku tercenga. "Eh? Apa Gii tidak cerita sama sekali denganmu, Akaike-kun?"
Akaike menggeleng. "Ayahku hanya memberitahuku bahwa Giichi menerima banyak tekanan di Amerika sehingga dia stress dan akhirnya seperti ini. Seperti apa jelasnya, hanya Giichi dan ayahnya yang tahu lebih lengkapnya. Semoga kamu mengerti itu, Hayama. Jangan sampai ' Haphephobia 'mu kembali lagi seperti sebelumnya."
"Haphephobia'? Apa itu, Akaike-kun?"
Akaike tersenyum. "Nama ilmiah phobiamu atau Giichi sering mengatakannya sebagai 'Human Contact Phobia'."
Aku mengangguk sebagai ganti jawaban. Rasa bingung maupun penasaran yang mendominasi, kuputuskan untuk membatalkan rencana latihanku dengan menemui Giichi secara langsung. Akaike menyarankanku untuk menemuinya disaat jam makan malam dan memberitahu yang lainnya secara diam-diam. Akaike tidak mau sahabatnya menjadi ledekan maupun muncul gosip-gosip tidak baik mengenai Giichi.
Tanpa membuang-buang waktu, kuputuskan untuk menghubungi Toshihisa dan Shingyouji melalui sebuah pesan singkat, sedangkan Akaike memutuskan untuk menghabiskan waktunya bersama dengan Gii untuk menyusun beberapa rencana.
"Benarkah itu, Hayama-san? Mengapa bisa seperti itu?," seru Shingyouji setelah kujelaskan secara singkat mengenai keadaan Gii. Aku menggeleng sebagai jawaban. "Tapi Hayama-san, apakah tidak sebaiknya Hayama-san langsung menemui Saki-senpai sekarang?"
Aku menggeleng kembali. "Akaike melarangku untuk menemuinya karena Gii masih dalam keadaan tidak stabil walaupun aku sendiri kurang mengerti situasinya."
Toshihisa yang duduk disebelah Shingyouji hanya menggeleng lalu menarik Shingyouji untuk duduk kembali. "Jadi Saki berubah sejak dia menemui ayahnya, bukan?," aku mengangguk. "Hmm, apakah... ada hubungannya dengan keadaan sekolah maupun..."
"...maupun?," sambungku ketika Toshihisa menghentikan perkataannya.
Toshihisa menatapku sesaat. "...aku tidak ingin mengatakannya, namun ini hanyalah dugaan saja," dia terdiam sesaat. "...mungkinkah ada hubungannya juga... dengan hubungan kalian?"
"Eh?," spontan diriku beserta Shingyouji secara bersamaan.
"Mengapa bisa seperti itu? Bukankah hubungan Hayama-san dengan Saki-senpai itu baik-baik saja?," tanya Shingyouji dengan penuh semangat sampai-sampai Toshihisa harus kembali mendorong Shingyouji untuk memberikan jarak dengannya.
Toshihisa mengangguk dan menatap kami secara bergantian. "Sebelum liburan, secara tidak sengaja aku mendengar pembicaraan Saki melalui telepon genggamnya. Saat itu aku baru saja selesai kelas matematikaku dan berencana untuk kembali ke asrama, lalu aku melihat Saki dibelakang kantin sedang menelepon. Raut wajahnya begitu serius sehingga akupun penasaran dan mendekatinya..."
Aku tertawa perlahan. "Toshihisa, bukankah itu namanya 'menguping'?"
Toshihisa hanya melemparku dengan bantal sebelum melanjutkan ceritanya. "Kudengar suara Saki meninggi dan dari kalimat yang kudengar, sepertinya dia sedang berbicara dengan ayahnya." Kami berdua menatapnya penuh pertanyaan. "Y-ya... aku mendengar Saki berbicara dengan bahasa inggris... jadi..."
Shingyouji maupun diriku hanya bisa kembali tertawa mendengar penjelasan singkatnya karena kami mengetahui bagaimana kemampuan bahasa inggris Toshihisa sebenarnya. Setelah cukup puas, kami kembali terdiam dan fokus dengan masalah. Kali ini Shingyouji yang angkat bicara. Ah, lebih tepatnya dikatakan sebagai 'berbisik' dari pada 'berbicara'.
"Bagaimana kalau malam ini Hayama-san menginap dikamar Saki-senpai?," tidak hanya aku, Toshihisa ikut tercenga lalu menatapku. "Hayama-san, bukankah lebih baik Hayama-san langsung menanyakan masalahnya kepada Saki-senpai sebelum anak kelas satu dan lainnya sudah mulai masuk sekolah?"
"Ya, Takumi. Lebih baik kita batalkan saja acara menginap bersama dikamarku dan fokuskan saja dirimu bersama dengan Saki. Bagaimana?"
Aku menatap Shingyouji dan Toshihisa secara bergantian lalu mengangguk perlahan. "Terima kasih semuanya. Maaf sudah merusak rencana secara tiba-tiba."
Shingyouji tertawa dan mengancungkan tangan dengan tanda 'V' kearahku. "Tenang saja, Hayama-san. Kami mengerti karena kita semua adalah sahabat, bukan?"
"Perkataan Shingyouji itu benar, Takumi. Aku sebagai kakakmu ingin melihat senyum diwajah kalian berdua. Aku tidak ingin kesalahan terjadi lagi dan Takumi," Toshihisa menatapku dengan tajam. "...kalau Gii sampai menyakitimu lagi, biarkan aku untuk memukul wajah tampannya itu! Bagaimana?"
Aku hanya bisa tertawa mendengar permintaannya itu. Sejak Gii menjadi kekasihku, sikap Toshihisa menjadi lebih protektif kepadaku. Ya, dia melakukan itu karena dia sudah menganggapku sebagai adik sekaligus sahabatnya. Begitu juga dengan Shingyouji yang sudah menganggapku sebagai sahabat walaupun kami berbeda usia, dan terlebih kekasihnya, Misu Arata, menjadi teman sekamarku sejak aku memasuki tahun ke tiga di Shidou.
Perbincangan dengan Toshihisa maupun Shingyouji membuat waktu terasa sangat cepat. Warna langit perlahan mulai berganti hingga akhirnya mereka berpamitan untuk kembali ke kamar masing-masing sebelum bertemu di sebuah kafe yang sudah kami janjikan bersama. Akupun mulai merapikan barang-barangku yang masih terbengkalai, membersihkan diri lalu segera bergegas menuju kafe.
DIsaat aku hendak mengunci pintu kamarku, teman sekamarku, Misu Arata berjalan mendekatiku lalu spontan akupun langsung membukakan pintu kamar. Misu hanya tersenyum melihat sikap kikukku yang sebenarnya aku sendiripun tidak mengerti dengan sikap anehku ini.
"Hayama, kamu bisa pergi duluan untuk menemui Saki karena aku punya kunci duplikat kamar ini," ucap Misu seiring meletakan tas ranselnya diatas meja lalu menatapku yang masih diam membatu didepan pintu kamar.
Aku mengangguk dan mengerti dengan maksud perkataannya. Selain ingin memberikan kebebasan kepadaku, Misu sendiri tidak suka jika ada seseorang didekatnya ketika dia dalam proses merapikan barang-barangnya, namun akan menjadi cerita lain jika orang yang mengganggunya itu adalah Shingyouji.
Tepat disaat aku bergumul dengan pemikiranku, Shingyouji berlari perlahan mendekatiku sambil melambaikan tangannya. "Hayama-san! Mau berangkat sekarang? Ah, semoga saja kita bisa langsung makan karena aku sudah sangat lapar!," gerutunya seiring menepuk perutnya beberapa kali.
Melihat tingkah lakunya, aku hanya bisa tertawa lalu menginformasikan bahwa sang idolanya sudah datang dan kini berada dikamar, masih dalam proses merapikan barang bawaanya. Shingyouji terlihat bersemangat dan sepertinya rasa laparnya sudah tidak dia rasakan lagi. Akhirnya dia berpamitan denganku lalu berjalan cepat menaiki tangga menuju kamarku untuk menemui Misu.
Kulanjutkan perjalanku sampai akhirnya secara tidak sengaja akupun berpapasan dengan seseorang yang sangat aku sayangi sedang duduk disalah satu bangku di lobby asrama. Jantungku berdetak sangat cepat namun langkahku terhenti disaat kusadari bahwa pandangan orang yang kini dihadapanku... tidak fokus maupun tidak menyadari keberadaanku.
Perlahan, kucoba memanggil namanya untuk mengalihkan perhatiannya. "G-gii...? Kamu tidak apa-apa?" Gii masih terdiam tanpa bergerak sedikitpun. Kucoba lagi untuk memanggil namanya seiring kulambaikan tanganku dihadapannya, dan tiba-tiba saja dia menatapku lalu menarikku kedalam pelukannya.
Rasa bingung membuatku kehilangan kata-kata. Kutahan tubuhku setengah duduk karena Gii melingkarkan tangannya pada leherku. Tidak ada kata yang dia keluarkan selain menyandarkan kepalanya pada bahuku dan perlahan... kurasakan baju biru polos beserta jaket putihku mulai lembab dan tubuhnyapun perlahan bergetar.
Takut keadaannya semakin memburuk, akupun melingkarkan kedua tanganku pada tubuhnya dan perlahan mengusap rambut beserta punggungnya. Gii dalam keadaan seperti ini seperti anak kecil yang baru saja bangun dari mimpi buruknya. Namun rasa pegal pada kedua kakiku, memaksaku untuk mengubah posisi sejenak sehingga akupun duduk disisi kirinya tanpa melepaskan pelukannya.
"A-ah, Aka-," ucapku tanpa suara disaat kulihat Akaike mulai turun dari tangga namun dia menempelkan telunjuknya didepan mulutnya sebagai tanda bahwa aku harus tetap diam seakan tidak melihat dirinya. Akaikepun memberikan tanda bahwa dia akan segera ke kafe dan memberitahu lainnya mengenai situasi ini. Akupun mengangguk perlahan dan tidak lama kemudian sosok Akaikepun menghilang dari padandanganku.
Fokus pikiranku kembali pada Gii yang masih terdiam dan terasa pelukannya yang semakin erat. Setelah beberapa saat, akhirnya dia melepaskan pelukannya dan dia hanya diam bersandar pada bahuku. Kucoba perlahan memanggil namanya seiring memberikan jarak antara kami berdua. Ketika kulihat wajahnya, akupun tidak dapat menutupi rasa terkejut maupun rasa sedihku dihadapannya.
Wajahnya terlihat sangat lelah yang ditandai oleh warna hitam disekitar matanya. Jika diperhatikan lebih jelas, tubuhnya lebih kurus dari terakhir kali kami bertemu. Ada sesuatu terjadi selama dia pulang dan aku harus tahu alasannya!
"G-gii? Ada apa dengan dirimu? Apa yang sebenarnya terjadi selama kamu pulang?," tanyaku tanpa basa-basi seiring kuelus rambut beserta wajahnya. Air mata Gii kembali mengalir dan kali ini dia hanya menunduk dan menutup kedua matanya. Tanpa kata, akupun kembali memeluk tubuhnya dan menyandarkan kepalaku pada bahunya.
Sejak aku mengenal Gii, baru pertama kalinya aku melihat keadaan dirinya yang begitu lemah dan berantakan seperti ini. Sikap tegas, wibawa, santai dan terkadang menyebalkan sudah dia tunjukan kepadaku. Tetapi sikapnya yang begitu lemah membuatku semakin menyayangi dirinya.
"Gii, selama ini kamu selalu mendengarkan keluhanku. Sekarang, apakah kamu mau menceritakan masalahmu kepadaku?," tanyaku perlahan disaat Gii kembali melingkarkan tangannya pada pinggangku dan menyandarkan kepalanya pada bahuku. Gii terdiam sejenak lalu mengangguk perlahan sebagai jawaban.
Sebelum dia angkat bicara, dia kembali memelukku dengan erat seakan memberikan tanda bahwa 'beban' yang dia pikul begitu berat dan sudah tidak dapat dia sampaikan melalui kata-kata. Tanpa henti, tangan kiriku mengusap punggungnya berharap akan membuatnya sedikit merasa tenang dan dapat mengungkapkan seluruh perasaannya.
"Ta-takumi...," ucapnya sesaat dengan suaranya yang cukup...parau. "...ka-kamu...tidak akan meninggalkanku, bukan? Apa...apakah kamu akan meninggalkanku jika aku tidak dapat memberikan sesuatu kepadamu?"
Tubuhku terhentak dengan pertanyaannya. Semua pertanyaannya terkesan konyol namun kuketahui bahwa dirinya sedang berkecamuk dengan perasaan maupun pikirannya. Kupeluk erat tubuhnya dan menyandarkan kepalaku diatas kepalanya seperti sebuah harta yang tidak akan kuberikan kepada siapapun.
"Gii, bukankah kamu pernah mengatakan bahwa kamu menerimaku bukan karena latar belakang maupun masa laluku? Tetapi karena diriku bukan?," Gii hanya terdiam dan eratan pelukannya menggantikan jawaban darinya. "...tidak hanya dirimu, akupun menerimamu bukan karena latar belakang ataupun karena kamu sudah berhasil menyembuhkan penyakitku. Aku menyayangimu karena dirimu, Gii..."
Gii melepaskan pelukannya dan menatapku. "Benarkah?"
Senyuman beserta helaan nafas hanya dapat kuberikan kepadanya. Wajahnya kini terlihat seperti anak kecil membuatku semakin merasa gemas kepadanya. Kusentuh wajahnya lalu kukecup perlahan pipi beserta bibirnya sebagai ganti jawaban dariku. Setelah beberapa saat, kuelus kembali kepalanya dan berkata,
"Bagaimana kalau kita segera ke kafe untuk makan malam. Gii? Bukankah kamu mempunyai 'black hole' dalam perutmu? Tidak enak juga dengan yang lainnya jika mereka sudah menunggu kita dari tadi..."
Gii hanya terdiam lalu mengangguk perlahan seiring senyuman kini terukir di wajahnya. Rasa lega membuatku tersenyum kepadanya dan kamipun segera bergegas menuju kafe.
Sepanjang perjalanan kusadari perubahan sikap Gii yang begitu drastis. Tanpa kata, dia menggenggam lengan jaketku seperti anak kecil yang takut tersesat. Kuhentikan langkahku dan menatapnya sesaat. "Gii? Kamu... sakit?," ucapku seiring kupegang keningnya namun tidak ada terasa hangat maupun dingin. Tanda bahwa tubuhnya baik-baik saja.
Gii terdiam menatapku dan akupun hanya bisa ikut terdiam dalam kebingunganku. Sesampainya di kafe, kamipun segera menemui keempat teman-teman kami yang sudah memakan makanan mereka terlebih dahulu. Toshihisa melambaikan tangannya padaku dan akupun duduk disisi kanannya beserta Gii yang duduk disisi kananku.
"Gii, bagaimana perasaanmu?," tanya Akaike yang duduk didepan Gii setelah meneguk minumannya. Gii hanya mengangguk dan kurasakan tangan kirinya yang meraih jaket tangan kiriku ketika aku mendengarkan penjelasan menu melalui Toshihisa.
Terlihat wajah Akaike dan Shingyouji yang begitu bingung dengan perubahan sikap Gii. Misu dan Toshihisa menatapku sebagai ganti pertanyaan mereka, namun aku hanya dapat penggeleng karena aku sendiripun masih tidak mengerti dengan situasinya. Untuk mencairkan suasana, akhirnya kupilihkan menu makan malam untuk Gii seiring Shingyouji dan Toshihisa mulai saling berdebat mengenai rencana liburan.
Waktu yang terus berjalan membuat suasana semakin ramai namun keramaian tersebut terasa kosong karena adanya sesuatu yang menghilang diantara kami. Keceritaan maupun celotehan Gii menghilang begitu saja dan digantikan dengan keheningan yang diciptakan olehnya. Sesaat Misu memberikan tanda untukku untuk berbicara sejenak.
Tepat ketika aku beranjak bangun dari kursiku, tanggan Gii kembali menarik lengan bajuku dan menatapku. Kurasakan semuanya bergantian menatap Gii dan diriku. "Jangan kemana-mana...,"ucap Gii perlahan yang membuat mereka semua menatapku dengan penuh pertanyaan.
"G-gii... A-aku hanya ingin ke toilet saja. Tunggu sebentar disini, ya. La-lagipula disini ada Akaike, Toshihisa dan Shingyouji."
Gii hanya diam saja lalu kembali pada posisinya dan menundukan kepalanya. Aku hanya bisa terdiam menatapnya hingga Misu memberikan kode kepadaku untuk berjalan mengikutinya. Kamipun menuju kamar kecil agar Gii tidak khawatir karena terlihat olehku arah pandangannya yang mengikuti kemanapun aku melangkah.
Misu berjalan mendahuluiku lalu melihat sekeliling agar tidak terlalu mencurigakan. "Hayama, ada apa dengan Saki sebenarnya?," geram Misu yang rasa penasarannya mulai tidak tertahankan olehnya.
Aku menggeleng. "Akaike-kun hanya memberitahuku kalau Gii lebih banyak diam sejak kepulangannya. Lalu tiba-tiba...," aku menghela nafas sejenak. "...diapun bertanya hal konyol lalu diapun bersikap seperti itu sejak kami keluar dari asrama."
Misu menghela nafas dan mulai mengerti dengan situasiku, lalu diapun tersenyum sesaat padaku. "Melihat dirinya, mengingatkanku dengan 'peliharaan'ku, Hayama..."
"Peliharaan?," tanyaku meyakinkan dan kusadari siapakah yang Misu maksudkan. "Lalu? Aku harus bagaimana, Misu?."
Misu terdiam sesaat lalu kembali menatapku serius. "Hayama, lebih baik mulai malam ini kamu tidur di tempat Saki. Cari tahu penyebab dan alasannya dia seperti itu. Aku akan mencoba mencari tahu bersama dengan Akaike, dan sebaiknya Shingyouji maupun Toshihisa selalu bersama dengan dirimu. Aku tidak ingin terjadi masalah ini semakin meluas..."
Mendengar penjelasannya membuatku menatapnya dengan senyuman maupun tawa yang kutahankan. "Misu, terima kasih banyak. Maaf sudah merepotkanmu..."
Misu memalingkan wajahnya dan melipat kedua tangan di depan dadanya. "Aku hanya ingin berterima kasih kepada Saki atas bantuannya waktu itu..." Masalah yang dimaksud adalah hubungan Misu dengan Shingyouji maupun Sagara-senpai. Walaupun Gii masih berhutang 3 bantuan kepadanya, namun Misu tetaplah Misu. Itulah mengapa kami tetap berteman walaupun sikap Misu maupun diriku sangatlah bertolak belakang, terlebih hubungannya dengan Shingyouji yang terlihat aneh. Bukan sebagai sebuah pasangan tetapi lebih kepada 'peliharaan dengan pemiliknya'.
Setelah menyelesaikan rencana dengan Misu, kami kembali kepada yang lainnya dan terlihat sikap dingin Gii dengan Toshihisa maupun Shingyouji, bahkan kepada sahabatnya sendiri, Akaike-kun.
"Gii, ayo kembali ke asrama," ucapku seiring menepuk pundaknya untuk menghilangkan lamunannya.
Gii mengangguk lalu tersenyum padaku dan terlihat raut wajahnya yang sangat bersemangat. Menatap wajah Gii yang masih duduk disisiku, membuat sebuah bayangan lain muncul dalam benakku. Gii dengan dua telinga yang berujung lancip diantara rambut coklatnya, dan ekor lebatnya mengibas-ngibas tanda bahwa dia merasa senang, seperti jenis husky ataupun serigala.
Keinginan lainpun muncul dibenakku untuk membelikan Gii sebuah kalung dengan... "Ah! Mengapa aku bisa berfikiran seperti itu...!," ucapku dalam hati dan tanpa mengundang perhatian, dengan segera akupun menarik Gii untuk segera bangun dari tempat duduknya lalu bergegas kembali menuju asrama.
-00ENDPART100-
Review ?
