Dari RP-an aku sama Bonnefoy Clementie. Maaf ya saya jadiin fic seenak jidah 3. Huhuhu
Disclaimer: Hidekaz Himaruya XD
Pairing: Sweden x femFinland
Warning: pedo-hentai, AU, agak OOC, PWP, DLDR
*****
"Pagi, Ber," sapa Tiina Vainamoinen ceria pada Berwald. Gadis Finlandia itu tampak setengah mengantuk karena habis bangun tidur. "Kuharap hari ini sangat baik sekali. Bagaimana menurutmu, Ber?"
Berwald tidak menjawab pertanyaan Tiina sedikitpun. Matanya menatap Tiina dari atas ke bawah, seperti ada sesuatu yang diincarnya. Ia mengincar 'sesuatu' dari dalam diri Tiina. Sesuatu yang berkaitan dengan hasrat pria.
Perlukah dikatakan secara gamblang?
"A—ada apa, Ber?" tanya Tiina gugup ketika dipandangi oleh Berwald dengan tatapan seperti itu. "Apa ada sesuatu yang mengganggu?"
"Tidak ada apa-apa," jawab Berwald ketus.
Tiina mulai mengambil langkah menjauh sedikit demi sedikit sebelum Berwald akan menatapnya tajam. "Aku pergi dulu, Ber. Akan kubuatkan teh untukmu."
Tiina menjauh dari Ber dan menuju ke dapur untuk membuat teh. Sementara itu, Berwald diam-diam membaca majalah R 18 pemberian Matthias Kohler, tetangganya. Majalah itu berisi mengenai wanita cantik nan seksi yang piip dan tanpa sadar Berwald sering membayangkan tentang diri Tiina. Bagaimana rasanya jika ia bisa menikmati Tiina?
"Ber, ini tehmu!" Tiina berkata dengan ceria di dekat telinga Berwald sehingga Berwald terkejut dan buru-buru menyembunyikan majalah R 18 tersebut. Untung bagi Berwald, Tiina tidak melihat majalah tersebut tetapi wajah Berwald menjadi merah padam karenanya.
"A—ah" gumam Berwald, menjauh dari Tiina. "Tack."
"Tidurmu nyenyak semalam?" tanya Tiina lembut dan membelai pipi Berwald. "Bagaimana semalam?"
"Tidak nyenyak sama sekali," gumamnya dingin."Lupakan saja!"
Tiina memutar-mutar jarinya sendiri dan wajahnya terlihat tampak seperti habis dieksekusi. "Ke—kenapa? Apa aku mengganggumu semalam? Jika aku mengganggumu, aku minta maaf?"
Berwald terdiam seribu bahasa. Bukan maksudnya ia membuat Tiina ketakutan seperti ini, hanya saja ia tidak bisa mengatakan sesuatunya dengan baik sehingga Tiina sering salah paham terus menerus.
"Aku gila."
"E—eh?" Tiina terkejut dengan pernyataan Berwald yang tidak biasa seperti ini. "Apa maksudnya?"
Berwald tidak peduli dan ia mengecup bibir Tiina dengan dorongan keras serta nafsu yang menghentak-hentak di dalamnya. Tiina mendesah pelan dan gemetar ketika bibir dingin tersebut menyentuh bibirnya yang lembut. Bagaikan aliran listrik yang mengalir ke dalam mulutnya. Beberapa detik kemudian, Berwald melepaskan bibirnya dan mendorong tubuh Tiina ke sofa serta menahan Tiina dengan kedua tangan besarnya.
"Aku ingin tubuhmu," desisnya setengah meracau. "Sekarang juga!"
Tiina tersedak dan memeluk tubuh besar Berwald dengan erat. "A—aku mengerti, Ber."
Mendengar jawaban Tiina, Berwald merasa puas dan melepas baju Tiina perlahan-lahan hingga menyisakan penutup dada dan celana dalam. Wajah Tiina merah padam dan memalingkan wajahnya ke arah lainnya agar Berwald tidak dapat memandangi wajahnya.
"Pe—pelan-pelan melakukannya," ujar Tiina gugup. "Aku dengar rasanya sakit. Ya, tentu Ber tahu akan hal itu bukan?"
"Yah," jawabnya dan membuka apa yang jadi 'penghalang' kenikmatannya dengan perlahan. "Aku ingin bayi, Tiina."
Tiina tidak bisa menjawab perkataan Berwald, kepalanya sudah terlalu penuh dengan pikirannya dan rasa malu yang menghinggapinya akibat kepolosan tubuhnya ini. Ia memang sudah lama tinggal bersama Berwald, mungkin sekitar 10 tahun dan sekarang ini Tiina sudah berusia 19 tahun.
Ia memiliki perasaan khusus terhadap pria yang berada di depannya, tetapi ia tidak yakin bahwa ia akan mampu melewati hal—semacam ini.
"Aku akan coba semampuku, Ber. Akan kucoba."
"Yakin?"
"Aku yakin tidak akan apa-apa," jawab Tiina dengan nada mantap tetapi ada sedikit keraguan di dalam hatinya. Apakah ia akan siap melakukannya?
Berwald menatap Tiina dengan tatapan datar lalu ia membuang mukanya dan melepaskan diri dari Tiina yang hanya mengenakan celana dalam berenda saja. "Tidak jadi."
"Eh—eh? Kenapa?" Tiina bangkit dari sofanya sambil menutup payudaranya dengan kedua tangannya lalu mengambil pakaiannya dan memakainya dengan cepat. "Mengapa kau hentikan, Ber?"
"Aku lelah," katanya sambil memberikan death glare mautnya. "Hmm."
Tiina merasa kesal, tadi Berwald memperlakukannya seperti itu dan ia mengatakan sesuatu yang hampir melambungkan dirinya. Kalau seperti ini sama saja seperti dihempaskan dari atas ke bawah. Sama saja seperti memberikan harapan palsu ke orang lain.
"Moi, aku tidak suka dengan pria yang ingkar janji seperti ini," gumam Tiina setengah merajuk.
"Apa?" tanya Berwald tanpa mau menatap Tiina.
"Kau jahat ah,Ber," rajuk Tiina. "Ayo katakan sesuatu!"
"Tidak mau."
"Hmm, kalau begitu aku pergi saja dari sini," Tiina berkata dan bersiap-siap menuju ke arah pintu keluar. "Itu yang kamu mau, Ber?"
Berwald menarik tangan Tiina dengan erat agar Tiina tidak kabur dari gengamannya. Hati Berwald seperti terluka melihat kelakuan orang yang dicintainya seperti ini. Biasanya Tiina tidak pernah berbuat seperti ini, tetapi mengapa Tiina pada akhirnya bersikap seperti anak kecil yang kehilangan mainannya.
"Lepaskan aku, moi!" Tiina mengerang kesal. "Aku tidak suka padamu,Ber!"
"Iya," jawabnya dingin dan memeluk Tiina dengan erat. Tiina mengerang pelan dan mencoba untuk melepaskan diri dari Berwald dengan berbagai cara. Dan pada akhirnya Berwald mengambil satu kertas kecil di kantongnya dan menuliskan sesuatu di kertas itu lalu menyerahkan kertas itu kepada Tiina tetapi Berwald masih terus menahan tubuh Tiina. "Baca kertas itu," perintah Berwald kesal.
Jangan pergi—maafkan aku!
Tiina membaca kertas itu dengan seksama sementara tubuhnya masih ditahan oleh Berwald. Tentu saja ia tidak berniat pergi sedikitpun, jika ia pergi—mau tinggal dimana. Ia tidak sanggup membayangkan hal itu. Lagipula ia hanya ingin menguji perasaan Berwald terhadapnya.
"Aku tidak akan pergi. Tapi Ber jangan ingkar janji, ya?" Tiina bergumam sambil menjentikkan hidung Berwald. "Okay?"
"Soal apa?" Berwald balas bertanya, pura-pura tidak tahu apa-apa.
Tiina menekukkan wajahnya dan berjalan ke arah kamar mandi. "Ber tidak ingat tadi ingkar janji soal apa?"
"Tidak sama sekali."
Tiina mengeluh kecil dan wajahnya kembali tampak sedih. "Aku mau mandi dulu."
—00—
"Aaah—jangan masuk ke dalam, moi!" pekik Tiina dan membenamkan seluruh tubuhnya ke dalam air ketika Berwald memasuki kamar mandi dimana Tiina sedang mandi. "Aku sedang mandi!"
Berwald diam saja dan ia sama sekali tidak ada gerakan apapun untuk segera pergi dari kamar mandi sedikitpun. Sudah jelas tentu saja ia berada di kamar mandi dan berbuat macam-macam pada Tiina tetapi ia tidak sanggup untuk melakukannya. Ia bukan impoten tentu saja karena Tiina sama sekali tidak tahu bahwa dulu ia pernah berhubungan intim dengan mantan pacarnya.
Alasan utamanya adalah Tiina terlalu muda untuknya.
"Aiaa, Ber!" pekik Tiina dengan wajah merah padam. "Cepatlah keluar, kumohon!"
Tingkah laku Tiina yang seperti ini membuat hasrat Berwald untuk memiliki Tiina bangkit. Persetan bahwa Tiina masih terlalu muda, jika terjadi apa-apa tentu salah Tiina sendiri. Ia tidak akan peduli.
"Kau," Berwald berkata dan mengangkat dagu Tiina sehingga sejajar dengan Berwald. Matanya tidak mau lepas dari Tiina sehingga tanpa sadar Tiina sudah menarik tangannya dengan keras dan seolah-olah mengajak Berwald untuk masuk ke dalamnya.
"Kau tidak ingin istrimu ini menunggu terlalu lama, bukan?" tanya Tiina dengan mengumpulkan segenap keberaniannya. Ia harus mendominasi kali ini sebagai balasan atas ketidaktepatan janji Berwald terhadapnya. "Aku benar-benar serius!"
Berwald membeku di tempat. Ia tidak percaya bahwa ia akan didominasi oleh seorang gadis polos seperti Tiina. Tiina membuka kancing kemeja Berwald satu persatu hingga menunjukkan dada bidangnya yang besar dan kokoh.
"A—apa yang kau lakukan?" tanyanya geram. "Kau mabuk?"
Tiina terkekeh pelan."Ya, aku baru saja minum red wine satu botol penuh. Kenapa?"
Berwald tampak terkejut dan tak berapa lama Tiina menertawakannya. "Tidak begitu,Ber," gumamnya pelan dan membelai rambut Berwald lembut dan menciumnya. "Habis kau kaku begitu sih."
Pria Swedia itu mulai merasa habis kesabaran. Jika ia tidak bisa mengontrol nafsunya sendiri, ada kemungkinan ia menyerang Tiina habis-habisan tanpa memikirkan apa akibat yang akan ditimbulkan akibat perbuatannya sendiri. Ia mengeluarkan sesuatu di dalam kantongnya, yaitu sebuah kondom.
"Aku akan memakai benda ini," katanya dan menunjukkan bungkus kondom tersebut di depan hidung Tiina.
Tiina menggeleng-geleng kepalanya. "Aku tidak mau Ber menggunakan itu. Apa itu tandanya Ber tidak mau bertanggung jawab jika aku ha—."
"Aku tidak begitu," jawabnya terbata-bata. "Aku hanya—."
"Kau bilang kau mau bayi. Sekarang kau malah ingin gunakan kondom, maumu apa?" bentak Tiina kesal. Ia sendiri tidak mengerti mengapa ia jadi semarah ini. Ia bukan siapa-siapanya Berwald, mungkin saja Berwald sudah punya pacar lain. Tetapi ia ingin merasakan bagaimana cinta itu, di satu sisi Berwald memberi harapan yang melambungkan sekaligus menjatuhkan perasaannya. "Aku apa? Aku tidak mau? Kalau itu dengan pria yang kucintai, kenapa aku tidak mau, hah!"
"Kau masih terlalu kecil dan aku sudah tua."
Darah Tiina serasa mendidih, hasrat yang ia miliki sudah mulai padam akibat perkataan Berwald sendiri. "Jadi Ber bilang umur 19 itu masih kecil dan karena Ber sudah tua, aku tidak pantas mendapat cintamu? Begitu kan maksudmu?"
"Tiina, tidak—salah paham."
"Tapi apa?"
"Aku seperti pedo," katanya dengan nada serak."Seperti itu."
"Apa ada batasan umur untuk saling mencintai? Usiamu dan aku tidak mempengaruhi adanya cinta, bukan?" kata Tiina dengan nada lembut hingga Berwald terdiam, tak tahu apa yang harus dikatakannya pada Tiina. "Tak apa, santai saja.. Aku mengerti kenapa, kok. Kau ingin keturunan, hanya saja tidak tahu harus memilih perempuan mana yang sanggup untuk mendidik anak tersebut, kan?"
"Ya."
Mereka berdua tenggelam di dalam pikiran masing-masing. Di satu sisi Tiina merasa senang bisa mengatakan semuanya, termasuk perasaan cintanya yang mendalam. Tetapi di satu sisi Berwald tidak yakin apakah ia bisa membalas perasaannya terhadap Tiina. Ia tahu Tiina akan kecewa jika ia pernah berhubungan dengan wanita lain selain dengan dirinya sendiri. Pasti bagi seorang wanita itu sangat menyakitkan, apalagi untuk gadis seumuran Tiina.
"Kalau sudah selesai ada disini cepat keluar, aku mau mandi!" keluh Tiina dan menjauhkan diri dari Berwald. "Aku sudah kedinginan nih!"
Tak berapa lama Berwald memeluk Tiina dan menahan tubuh Tiina di dalam bak mandi lalu menempelkan keningnya pada kening Tiina lalu menciumnya dalam-dalam. Lidahnya masuk ke dalam mulut Tiina dan memainkan lidahnya di sana. Organ vitalnya sudah mulai mengeras seperti minta dibebaskan dari sana dan tangannya mulai membuka celananya pelan-pelan dan melemparkan celana tersebut ke arah yang tidak diketahui.
Kini mereka berdua sama sekali tidak mengenakan apa-apa. Polos tanpa terlindungi sedikitpun. Tanpa sadar mereka sudah berada di posisi berbaring di bathtub dengan air yang makin lama makin berkurang.
"Tiina—."
"Hah— I want you— Inside me, please," desahnya pelan. "Ber, ayo lakukan!"
"Apa maksudmu?" tanya Berwald heran tetapi nafsu di dalam tubuhnya meningkat. Ia tahu Tiina adalah gadis polos yang sama sekali tidak peduli akan hal-hal semacam ini.
"Kau tak mengerti? Setahuku kau langganan majalah R 18 punya Mathias," Tiina berkata dengan nada menggoda. "Yakin Ber sama sekali tidak mengerti?"
"Lupakan saja," jawab Berwald pelan dan mengangkat tubuh Tiina keluar dari bak mandi. Sekali lagi ia memberikan kecupan manis kepada malaikat kecilnya ini sebagai tanda cinta. "Bolehkah kau menjadi milikku?"
Tiina mengangguk pelan, mengabaikan rasa malu yang dimilikinya karena kini ia telanjang tanpa mengenakan apapun. Mengingat ini adalah pengalaman pertamanya. "Seutuhnya—seutuhnya aku milikmu, Ber!"
Sesampainya Berwald di kamarnya, ia menaruh tubuh polos Tiina di ranjangnya dan memandangi tubuh Tiina yang masih belum terjamah orang lain dengan tatapan penuh nafsu dan ingin memilikinya. "Manis," racaunya.
"Aku memang manis, memangnya kenapa, Ber?"
Ia menempelkan bibirnya ke leher Tiina dengan penuh hasrat mendalam dan berusaha meninggalkan bekas ciuman di leher. Tiina mengerang dan tak berapa ia memegang tubuh Tiina dengan erat lalu berpindah ke bagian dada gadis Finlandia itu. Menggigit puncaknya hingga Tiina mengerang kegelian dan bergetar.
"Kau menggodaku, Ber," gumam Tiina terengah-engah ketika Berwald menggigit ujung payudaranya. Ia merasakan ada sesuatu yang basah terhadap organ kewanitaannya akibat ransangan-rangsangan yang diberikan Berwald untuknya.
Berwald sama sekali tidak peduli dengan perkataan Tiina dan terus melakukan aksinya. "Aku akan membuang kondom itu," Berwald berkata. "Kuharap kau tidak menyesal."
"Aku bilang buang benda itu sekarang!" bentaknya di tengah-tengah permainan cinta mereka berdua.
"Yakin?" tanya Berwald untuk memastikannya. "Tidak menyesal?"
"Aku. Bilang. Buang. Sekarang! Aku mau bayi."
Ia membenamkan kepalanya ke dada Tiina dan diam di sana. "Kau masih tidak berpengalaman," akunya jujur."Ya, seperti itulah aku memandangmu."
"Kau meragukanku sebagai wanita, Ber," ujar Tiina menantang. "Kau—."
Tiina memekik, menyadari bahwa tangan Berwald sudah berada di dalam bagian miliknya. Ia bisa merasakan jari Berwald berada di dalamnya dan melakukan gerakan di dalam sana hingga Tiina memekik.
"A—akh, Ber!"
Ia mulai memasukan miliknya yang besar ke dalam milik Tiina yang masih polos dengan sedikit kasar. "Ini yang kau mau, Tiina?"
"A—aakh, Ber," Tiina mendesah dan gemetar ketika Berwald sudah masuk ke dalamnya. "Aku—."
Berwald memeluk Tiina sementara ia sudah terus merangsek ke dalam tubuh Tiina, mencari-cari dimana ia bisa merobek milik Tiina. "Ini tidak akan sakit," katanya setengah berbohong. Tentu saja Berwald tahu hal semacam ini akan membuatnya sakit, mungkin sakit selama seharian penu. Dan ia turut bertanggung jawab karena hal ini.
Tiina terengah-engah, tanpa sadar ia membuka lebar pahanya sehingga memberi kesempatan bagi Berwald untuk lebih leluasa memasuki tubuhnya.
"Tahan sedikit lagi," ujar Berwald terengah-engah dan keringat di tubuhnya mengalir deras.
Tiina mengangguk pelan dan ia memeluk Berwald dengan erat. Memberikan kecupan manis pada pria Swedia tersebut. "I-iya— a-aahh—m-mmnhh—."
Pelukannya terhadap Tiina semakin erat dan dinding penahan milik Tiina sudah mulai bisa diterobos. Merangsek pelan-pelan dan semakin lama semakin dalam. Mata Tiina mulai melemah dan mulai lepas kendali.
"Maaf," hanya itu kata-kata yang bisa terucap dari bibir Berwald.
Tiina tersenyum lemah. "Aku tidak apa-apa. Tapi bolehkah aku keluar terlebih dahulu?"
"Tidak. Sedikit lagi," ujar Berwald dengan nada bernafsu. "Sedikit lagi."
"A—akan kutahan, Ber."
Tiina menekan pinggang Berwald agar ia bisa tetap bertahan selama Berwald masih berada di dalamnya. Sementara Berwald sendiri masih berusaha menahan klimaksnya dan beberapa saat kemudian ia sudah meraih klimaksnya. Setelah itu, Berwald melepaskan diri dari tubuh Tiina dan melihat sebuah kolam darah kecil di ranjangnya.
"Berdarah."
"Aku tidak apa-apa," jawabnya dengan nada lemah. "Ini baru pertama, Ber. Aku bisa maklum akan hal ini. Sudahlah."
Berwald mengerti dari jawaban Tiina, sekarang ia mengerti bagaimana perasaan Tiina terhadapnya. Tiina begitu mencintainya hingga menuruti nafsu pria itu dengan resiko Tiina kehilangan miliknya yang berharga.
"Kau benar ingin anak?" tanya Berwald, mengalihkan pembicaraan.
Mendengar hal itu, Tiina kembali muram. "Ya sudah, kalau di rahimku ada seorang anak, aku akan pergi saja," katanya sambil berjalan ke kamar dengan keadaan sakit di pinggang akibat percintaan mereka.
—00—
"N-ngg— Pinggangku lumayan sakit," Tiina mengeluh sambil memegangi pinggangnya ketika terbangun di malam hari. "Kurasa aku tidak akan bisa berjalan nanti malam."
"Jangan bercanda," tukasnya sambil memegang tubuh Tiina. "Aku akan bersamamu."
Tiina mendesah dan ia menunduk. "N-ngg. Aku baik, kok—Ber, jangan khawatir. Mau makan apa, akan kubuatkan?"
"Aku ingin tubuhmu, rasanya nikmat," Berwald mendesah. "Ya, tubuhmu. Tentu saja."
"Ja—jangan bercanda, Ber," jawab Tiina gugup. Tidak mungkin ia melakukan hal itu bersama Berwald sementara ia sendiri masih kesakitan seperti ini. "Biarkan aku tidur dulu!"
"Dulu aku pernah melakukannya dengan Nora,"aku Berwald jujur karena pengaruh vodka yang diminumnya. "Tetapi tidak senikmat dirimu."
Mendengar perkataan Berwald, Tiina seolah-olah seperti diguyur air es. Ia melakukannya bukan karena cinta. Mengapa ia bisa salah berpikir bahwa sebenarnya Berwald hanya menginginkan tubuhnya.
"Jadi aku hanya pengganti Nora?" Tiina bertanya dengan tajam. "Kau memperalatku, Ber! Aku tak menyangka Ber sekejam ini padaku."
"Aku tidak," ujar Berwald mulai kesal. "Tiina—."
Tiina mengambil barangnya yang ada di rumahnya dengan perasaan kesal dan membawa semua barang-barangnya keluar rumah. Mengabaikan Berwald yang berusaha mengejarnya. Sungguh bodoh ia menyerahkan keperawanannya terhadap pria yang jelas-jelas memperalatnya. Berwald benar-benar pria brengsek. Ia bersumpah tidak akan mau menemui pria itu lagi sampai kapanpun.
FIN
