Rate : T
Summary : Laki-laki itu duduk terdiam sementara matanya memandang kehampaan Midgar. Hujan rintik di bangku taman yang sudah mengering: dia teringat suasana yang sama, berpuluh tahun lalu... Teringat kesalahan yang dia lakukan, hal yang tidak ingin dia ulangi lagi. Menghapus senyuman dari wajah seseorang. Fic valentine buat Vincent.
Disclaimer : FF7 © Square Enix, but the plot is mine, don't take out without credit.
A/N : Fic edisi valentine buat Vincent Valentine! Nggak pas tanggal 14, karena aku mau publish chap kedua di tanggal itu :D Ini fic kedua di fandom FF7... mohon bimbingan readers semua Tolong tinggalkan jejak kalian.
.
.
White Lily
.
Hujan deras di Midgar siang itu tidak berlangsung lama. Dengan segera butiran air yang menjatuhi tanah dengan derasnya berganti menjadi buliran lembut rintik hujan. Bau tanah Midgar tercium segar di udara saat angin meniupkan aromanya ke rumah-rumah. Dan ketika siang perlahan menjadi sore, suasana menjadi romantik. Romantik, sesuatu yang jarang terjadi di Midgar yang selalu sibuk dan penuh suasana muram. Tapi sore itu... seseorang merasa begitu damai, duduk di sebuah bangku di taman yang telah mengering, di bawah bayang-bayang. Seorang laki-laki dengan rambut hitam panjang dengan bandana sewarna darah. Dia mengenakan setelan hitam dengan mantel yang sewarna bandananya. Laki-laki itu, Vincent Valentine.
Dia memandang jauh ke depan, tanpa melihat secara khusus pada sesuatu, mendengarkan lingkungan sekitarnya, mengingat. Dalam suasana seperti ini berpuluh tahun lalu, ada seorang perempuan muda yang membuatnya kagum. Perempuan yang memiliki sinar mata yang hangat, seseorang yang selalu mengenakan baju berwarna putih, seseorang yang juga memiliki hati yang sangat putih. Berpuluh tahun lalu mereka duduk di tempat itu saat mereka memiliki waktu luang, saat istirahat, atau sesudah pulang dari Shinra. Mereka akan membicarakan sesuatu yang remeh dan tidak penting, tentang Midgar, tentang Turks, tentang apa saja. Dan kemudian dia akan mengantar perempuan itu pulang. Boleh dibilang, perempuan itu adalah orang terdekatnya, sebagai teman bicara, sebagai seorang yang selalu ada di saat dia butuhkan, sebagai orang yang memahaminya meskipun dia tidak banyak bicara.
Tidak banyak bicara? Mungkin lebih tepat, sangat jarang bicara, sehingga orang-orang menganggapnya orang yang dingin dan acuh. Mungkin memang benar...
"Jangan bercanda... Kau orang berhati paling hangat yang aku temui. Menurutmu kenapa aku selalu senang berbicara denganmu? Kau membuatku merasa nyaman."
Tapi perempuan itu mengatakan lain tentangnya.
"Kau orang pertama yang mengatakan hal itu padaku." dia menjawab. Perempuan itu tersenyum mendengar kata-katanya. Senyuman yang cantik, membuat wajah yang ada dalam benaknya itu makin bersinar di matanya.
"Kalau begitu beri aku hadiah." Perempuan itu tersenyum sambil menadahkan kedua tangannya di depannya, tingkah yang terlihat sedikit kekanakan, tidak seperti dirinya yang selalu terlihat anggun. Anggun seperti bunga lili air. Lili air yang putih.
"Hadiah?"
Perempuan itu mengangguk. Vincent mengerutkan keningnya, tangannya secara otomatis menyentuh rambutnya yang hitam sebahu, menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Apa yang kau inginkan?" tanyanya kemudian.
"Bagaimana kalau piknik?" perempuan itu memandangnya dengan mata yang bersinar, "aku akan membuat bekal untuk kita. Akhir pekan ini, bagaimana?"
Dan Vincent tidak bisa menahan dirinya untuk tersenyum juga. "Setuju."
Tapi hal itu tidak pernah terlaksana. Begitu dia mengetahui fakta tentang relasi kematian ayahnya dengan perempuan itu, perempuan itu menjauh darinya, meskipun dia sudah berusaha mengatakan hal yang ada dalam pikirannya. Perempuan itu memiliki pikiran sendiri tentang apa yang terjadi, dan yang sebenarnya tidak terjadi.
"Aku tidak menyalahkanmu. Meskipun ayahku memang mati seperti itu. Itu adalah kecelakaan."
Karena itu memang kecelakaan. Dia tahu perempuan selembut itu tidak mungkin sengaja membunuh seseorang, meski memang itu yang perempuan itu katakan padanya.
"Aku membunuhnya, Vincent. Aku membunuh ayahmu... Aku tidak pantas untuk bicara denganmu lagi, tidak... aku bahkan tidak pantas untuk melihatmu lagi."
Saat perempuan itu mengatakan kalimat-kalimat yang menyakitkan tentang dirinya sendiri, wajah itu terlihat setengah hampa dan sedih, senyuman yang cantik itu tidak ada lagi di wajahnya. Dia telah padam, lili air yang selalu bersinar di benaknya telah tiada.
"Karena itu aku berharap ini menjadi yang terakhir kalinya kita bicara. Aku harap setelah ini kita akan tetap baik-baik saja."
Tapi dia tidak baik-baik saja. Orang mulai mengatakan kalau dia jauh lebih dingin dibandingkan dirinya dulu yang memang sudah dingin. Permukaan es yang pernah sempat mencair karena kehangatan lili putih itu, telah kembali membeku, bahkan jauh lebih beku dibanding sebelumnya.
Dan lili putihnya juga tidak baik-baik saja. Dia bisa melihat hal itu dari perkembangan eksperimen yang tengah mereka lakukan. Lili putihnya telah mengorban diri untuk eksperimen itu.
Dia boleh hancur menjadi keping-keping es yang keras dan tajam, tapi tidak bisa begitu dengan perempuan lili itu. Dia tidak bisa mengijinkannya, tidak akan. Dia akan melindungi lili itu meski dirinya telah berada di alam kematian. Itu adalah janji yang dia ucapkan untuk dirinya sendiri, untuk membayar senyuman yang telah dia hilangkan dari perempuan itu.
Vincent menghela napas. Lagi, dia teringat masa lalunya. Masa yang telah lewat itu seringkali kembali ke benaknya akhir-akhir ini, menambah penyesalan yang seharusnya tidak pernah terjadi kalau dia bisa menepati janjinya. Dia memang melanggar janji yang tidak terucap itu, meninggalkan lili putih dalam kematian.
Kematian yang pertama, dan juga yang terakhir.
Ada sesuatu dalam tubuhnya yang membuat dia tidak akan merasakan pengalaman seperti itu lagi. Mungkin itu hal yang baik, karena dia bisa melindungi orang yang ingin dia lindungi tanpa harus takut dirinya mengulangi kesalahannya dulu. Tapi sayangnya dia tidak bisa melakukan apa-apa, bahkan dengan protomateria yang telah tertanam dalam tubuhnya. Dia membiarkan semuanya berlalu, terlewat, dan berganti dengan hal-hal yang baru dan asing. Dan dengan berjalannya waktu... dia benar-benar telah kehilangan lili putihnya. Tidak hanya menghapus senyuman dari wajah cantik itu, dia juga mengkhianatinya dengan tidak bisa melakukan apa-apa.
Dia tidak ingin mengulangi hal itu lagi. Menghapus senyuman dari wajah seorang perempuan... Itu hal terburuk yang pernah dia lakukan. Vincent melontarkan pandangan dingin pada kehampaan di depannya. Suasana romantik yang dirasakan orang lain pada sore itu jelas tidak berbekas apapun padanya. Dan dengan sinar matahari yang perlahan meninggalkan permukaan Gaia, suasana perlahan menjadi suram, mulai menggelap dalam bayang-bayang. Laki-laki itu menyentuh rambutnya yang permanen hitam, otomatis menyisir rambutnya perlahan, hal yang dia lakukan tanpa maksud tertentu. Dia menghela napas pelan, lalu bangkit berdiri. Mantel merahnya berkelebat mengikuti angin yang berhembus perlahan di tempat itu, dan Vincent berjalan menyeberangi taman, meninggalkan semuanya di belakang.
.
.
Sebentar! Katanya fic valentine! Kok angst?! Huhuhu asli, awalnya fic ini memang aku niatkan buat fic valentine Vincent... Bagian awalnya kan aku nulis soal masa lalu Vincent, nah itu kuanggap sebagai pembuka, tapi ternyata... hasilnya malah nggak tertolong lagi -_-; ya sudah akhiri saja. Karena aku yakin pasti hasilnya bakal aneh kalau tiba-tiba Yuffie muncul dan puk...puk...puk Vincent sama nada cerianya.
Eh? O.o; Yuffie mau muncul?
Yaps... dan aku janjikan itu di chap depannya. Karena itu, readers... your review please?
