Halo minna, o hisashiburi ne~, lama tak jumpa! ^-^; Yah, awalnya saya memang berniat quit, tapi rupanya ide-ide itu justru makin menekan-nekan kepala saya.

Nah, akhirya ide yang sudah mengendap sejak setahun yang lalu ini saya realisasikan juga! Saya tahu, sudah banyak fanfic yang mengangkat tema vampir di fandom YGO ini. Mohon maaf buat yang udah bosen. Akan tetapi, ijinkan saya berimajinasi dan melampiaskan hasrat saya untuk menyiksa karakter-karakter Yu Gi Oh!

Ide cerita fanfic ini murni dari otak saya (yang memang sakit), tidak ada plagiasme sama sekali dari author mana pun (Saya jarang sekali membaca fanfic English). Adapun beberapa konsep vampir yang saya pakai di sini berasal dari serial Supernatural milik Warner Bross dan Eric Kripke. Saya cuma meminjam konsepnya untuk keperluan kesenangan semata, bukan untuk mendapatkan profit apalagi hak cipta.

Fanfic ini ditulis di tengah deraan WB parah dan depresi akut yang tak kunjung selesai. Mohon maaf bila tidak memuaskan. Selamat membaca, semoga berkenan…^_^

CRIMSON DROPLETS

Rate : T

Genre : Mistery, Tragedy

Disclaimer : Yu Gi Oh! ©Kazuki Takahashi

Supernatural ©Eric Kripke and Warner Bros.

Warning : OOC maybe, no slash (palingan cuma hints).

Chapter 1 : Oyasumi Nasai

Yami melirik arlojinya entah untuk yang keberapa kali. Jam dua siang lewat lima puluh menit, Yami membaca dalam hati. Nyaris dua jam dia duduk di sudut ruangan itu, tapi orang yang ditunggunya belum juga muncul.

Yami mendesah pelan. Jam makan siang sudah lewat dan kafe kembali sepi. Suasana nyaman yang awanya dirasakan Yami kini menguap, menyisakan rasa bosan yang merayap naik ke kepalanya. Berkali-kali dia menghubungi ponsel Jou tapi tidak diangkat sama sekali. Anzu juga sama saja.

"Argh!" erang Yami kesal. Dua tahun. Dua tahun mereka tidak bertemu satu sama lain semenjak pesta kelulusan SMU Domino. Selama itu pula mereka hanya berhubungan melalui ponsel, itu pun hanya sekitar dua-tiga kali dalam sebulan. "Jangan-jangan mereka tahu kalau Yugi tidak datang, lalu membatalkan janji secara sepihak?" Terka Yami dengan perasaan cemas.

Tiba-tiba pemuda tinggi dengan coat putih panjang berdiri di hadapan Yami.

"Kaiba! Akhirnya kau datang juga!" seru Yami riang. Betapa tidak, akhirnya ada seseorang yang bisa diajak bicara, meskipun itu adalah si muka kaku 'sok cool bernama Kaiba Seto.

"Kau berhutang satu penjelasan padaku! Dan sebaiknya itu benar-benar hal penting!"

"Huh?" Dua alis Yami bertaut, menunjukkan ekspresi tak mengerti. Ekspresi yang kemudian membuat mata lazuli Kaiba melotot kesal.

"Untuk apa kau mengganggu akhir pekanku dan memaksaku ke tempat jelek dan murahan ini, seakan-akan ada vampir yang mengancam kota, hah?"

Yami sedikit tersentak mendengar kalimat terakhir Kaiba. Tapi dalam sekejap mata dia sudah kembali menampakkan wajah kalemnya. "Sudah kubilang di telepon tadi kan, hari ini ada reuni."

"Lalu?" Kaiba melipat kedua tangannya di depan dada.

"Jou dan Anzu mengajakku bertemu. Apa kau tidak merindukan teman-teman kita? Apalagi katanya Anzu akan memperkenalkan pacarnya!"

"Itu bukan hal penting! Dan sejak kapan mereka jadi teman-temanku?"

"Tapi, buktinya kau datang juga, kan? Apa itu tidak cukup untuk membuktikan kalau kau memang ingin sekali bertemu Jou dan Anzu?" Yami berusaha keras agar kekehnya tak terdengar Kaiba.

"Cih!" Dengan kesal CEO muda nan sukses itu menarik sebuah kursi dan lalu mendudukkan dirinya di depan Yami. "Lalu, mana teman-teman yang katanya kau rindukan itu?"

"Sepertinya ada yang tidak beres. Sampai sekarang aku tidak bisa menghubungi ponsel mereka. Hm, lebih tepatnya, mereka tidak menjawab teleponku sama sekali!" Terdengar nada kesal bercampur khawatir dalam kalimat Yami barusan.

"Si Payah itu mungkin cuma mempermainkanmu. Toh kalian masih tinggal dalam satu kota, apa pentingnya sebuah reuni? Buang-buang waktu saja!" Kaiba masih menggerutu sebal karena tiba-tiba liburannya yang langka itu dirusak Yami. Tapi kemudian otaknya menangkap sesuatu yang janggal. Yami dan Yugi yang biasanya "satu paket" kini sepertinya berpisah. Aneh!

"Kau tidak bersama kembaranmu?" Tanya Kaiba sinis.

"Aaa.."

"Hah, bahkan Yugi pun menganggap pertemuan ini tidak berharga!" Kaiba tertawa mengejek.

"Sonna…"

Tiba-tiba ponsel Yami berdering, nama Jounouchi Katsuya berkedip-kedip di layarnya. Segera Yami mengangkat telepon yang sejak tadi ditunggunya itu.

"Halo, Jou…"

Tidak ada jawaban, hanya terdengar desah napas tertahan.

"Jou?" Yami memanggil lagi. Menunggu dengan tidak sabar apa yang akan dikatakan Jounouchi.

"Ukh... Anzu… Ung, Yami…"

"Hei, tenangkan dirimu Jou, katakan pelan-pelan saja, oke?" Tiba-tiba perasaan tidak nyaman menyergapnya, membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Di seberang sana terdengar suara Jou menarik napas panjang dan menghelanya perlahan, membuat Yami makin merasa takut.

"Anzu…meninggal," ucap Jou dengan suara bergetar. Kemudian telepon terputus begitu saja, meninggalkan bunyi "tut" berkali-kali.

(-A.K-)

Bukan Yami namanya kalau tidak bisa membuat seseorang patuh. Bahkan seorang Kaiba Seto tidak bisa menolak saat Yami memintanya membantu mencari Jounouchi.

Kaiba duduk di belakang kemudi dengan wajah yang tidak mudah ditebak ekspresinya. Yami duduk di kursi penumpang di sebelahnya, berkali-kali memandang ke arah luar dengan perasaan campur aduk. Antara tidak percaya, takut, sedih, semua bercampur jadi satu dan kian membuncah seolah akan meledakkan dadanya. Jou lagi-lagi tidak mau mengangkat telepon. Satu-satunya harapan tinggal Kaiba dan peralatan canggihnya.

Sebuah titik merah berkedip-kedip di monitor. Kaiba berhasil melacak keberadaan Jou melalui sinyal ponsel pemuda pirang itu.

Perjalanan pun dilewati dalam diam. Sesekali Kaiba melirik ke arah Yami dan mendapati pemuda bermata crimson itu meremas rambut tiga warnanya. Sesekali pula Kaiba meihat ke arah monitor, melihat apakah titik merah itu beranjak dari posisinya semula atau tidak. Dan sejauh itu, titik yang terus berkedip itu sama sekali tidak bergerak.

"Si Payah itu! Apa sih yang dia lakukan?" gumam Kaiba. Tanpa sadar Kaiba merasa harus segera menemukan musuhnya itu tanpa sebab yang jelas. Di sampingnya, Yami mulai bergumam. Wajahnya memerah dan bibirnya terlihat bergetar.

"Anzu… bagaimana mungkin? Bagaimana bisa?" ucapnya lirih, lebih pada dirinya sendiri alih-alih mencoba mengajak Kaiba bicara. Wajah gadis itu berkelebat dalam benaknya, ingatan akan persahabatan mereka kembali berputar seperti video usang dan kian mencabik nuraninya.

Anzu, gadis periang yang teguh hati yang dia kenal semenjak kecil. Bersama Yugi, mereka bertiga mengukir masa-masa sekolah penuh kenangan.

"Yugi…" panggil Yami sedih, mengingat bahwa betapa aibou-nya akan benar-benar sakit jika mengetahui Anzu sudah tiada. Dengan frustasi Yami mengusap wajahnya. Dalam hatinya dia berharap apa yang sedang dia alami ini hanyalah mimpi. Mungkin memang hanya sebuah mimpi buruk, 'kan? Atau mungkin saja Jou sedang mengerjainya, dan dia sebetulnya tengah tertawa-tawa bersama Anzu di suatu tempat. Yami terus menenangkan dirinya dengan memikirkan segala kemungkinan-kemungkinan bodoh yang sedang dilakukan Jou, berharap Anzu tidak benar-benar meninggal. Berharap apa yang dikatakan Jou tadi hanyalah sebuah kebohongan! Namun, semakin Yami berharap, semakin kuat pula perasaan takut itu mencekik lehernya. Yami benar-benar takut bila di ujung sana dia akan melihat sebuah peti mati dengan Anzu terbujur kaku di dalamnya.

Yami merasakan tubuhnya luar biasa lemas sewaktu Kaiba menghentikan Ferrari putihnya di depan sebuah rumah yang cukup dikenalnya. Rumah orang tua Anzu. Rumah itu tampak sepi. Yami menatap nyalang ke arah pintu rumah itu hingga tak menyadari bahwa Kaiba sudah turun dari mobil. Pria jangkung itu berdiri di samping tempat Yami duduk dan mulai mengetuk-ngetuk kaca jendela.

"Ayo keluar! Bukankah kau mau mencari anjing payah itu?" ujar Kaiba masih dalam nada sinisnya. Melihat Kaiba yang tampak tidak sabar, Yami langsung beranjak keluar dari mobil Kaiba meski harus bersusah payah menyiapkan hatinya.

Begitu Yami dan Kaiba melewati pintu masuk, suasana sunyi menyambut mereka diringi isakan samar seorang wanita yang entah berada di mana. Kaiba terus melangkahkan kakinya menelusuri depa demi depa bangunan itu, meskipun dia sadar bahwa memasuki rumah orang lain tanpa izin adalah sebuah kejahatan. Dia tengah menempatkan dirinya sebagai pelayat.

Persetan dengan aturan! batinnya tak acuh.

Di ruangan tengah, nyaris merapat pada dinding, terdapat sebuah peti mati berwarna coklat tua mengkilap dalam keadaan terbuka. Di sekelilingnya terdapat lilin-lilin yang belum dinyalakan.

"Tidak… mungkin…" bisik Yami tak percaya pada apa yang dilihatnya.

Tiba-tiba terdengar suara-suara dari lantai atas.

"Aku pergi dulu. Jangan lupa bayaranku!" Ujar seseorang yang suaranya tidak dikenali Yami maupun Kaiba.

"Aku tahu. Tenang saja, aku pasti bayar!" timpal seseorang dengan suara pelan. Itu Jounuchi. Yami yakin betul meski cara bicaranya sedikit berbeda dari Jou yang biasanya. Tak lama, seorang pria tua muncul dari lantai atas, menuruni tangga lalu berjalan menuju pintu depan. Sepertinya dia pergi. Tak apa, orang tua itu tidaklah penting. Perhatian mereka teralihkan oleh suara langkah yang lain dari lantai atas, lalu kemudian mulai menuruni tangga.

"Jou!" Panggil Yami begitu pemuda itu muncul di hadapannya dengan wajah kuyu dan rambut berantakan. Mantan preman itu tengah menggendong seorang gadis berpakaian pengantin berwarna putih. Rambut gadis itu coklat, dan kedua matanya tertutup rapat. Hati Yami mencelos menyadari siapa gadis dalam gendongan Jou itu. Anzu. Gadis berwajah pucat itu adalah Anzu Mazaki, sahabatnya dan Yugi. Di belakangnya, orang tua Anzu megikuti langkah Jou sambil menangis. Ibu Anzu terlihat mendekap erat sebuah protret putrinya sambil sesekali mengusap air mata di pipinya. Bahunya terlihat berguncang-guncang bersamaan dengan isak tangisnya.

Tanpa sadar Yami mengepalkan tangannya kuat-kuat, mencegah dirinya agar tidak berteriak histeris. Tiba-tiba saja lantai yang dipijaknya terasa lunak. Tiba-tiba saja semua persendiannya terasa ngilu hingga Yami nyaris tak sanggup berdiri tegak lagi. Kaiba menoleh ke arahnya, menatapnya dengan pandangan kasihan, namun tak mengeluarkan sepatah katapun.

Pun begitu dengan Jou. Pemuda itu hanya melangkah dalam diam, tak merespon kehadiran Kaiba dan Yami di tempat itu, seakan dua pemuda itu adalah makhluk tak kasat mata. Dengan ekspresi sedih, dibaringkannya tubuh Anzu di dalam peti mati. Ditatapnya wajah gadis itu lama. Tatapan matanya dengan jelas menyiratkan kalau dia tak ingin berpisah, tak ingin ditinggalkan dengan cara seperti itu.

Kaiba memerhatikan pemuda yang sering beradu mulut dengannya itu. Ada gurat kesedihan yang mendalam yang terlihat amat jelas di wajah Jounouchi. Dan Kaiba berani bersumpah bahwa dia melihat berandalan itu menangis! Tidak terisak-isak seperti cewek yang patah hati, memang. Hanya setitik air mata di sudut matanya. Kaiba langsung memalingkan wajahnya karena merasa tak suka melihat pemandangan itu.

"A... aku akan menghubungi rekan kerja dan keluargaku," ujar ayah Anzu. Dengan tangan gemetar dia mulai meraih gagang telepon dan memijit-mijit tombol.

"Jounouchi-kun…" wanita yang merupakan ibu Anzu itu mengelus punggung Jou.

"Dia tertidur dengan tenang, Bibi!" Jou mencoba tersenyum walau terasa getir. Wanita itu membalas dengan anggukan kecil dan setetes air mata yang meluncur jatuh dari pelupuk matanya.

"Terima kasih atas semuanya, Jounouchi-kun. Peti mati, encoffiner, semuanya kau yang menyiapkan."

"Tidak masalah," jawab Jou singkat. Lagi-lagi Jou memaksakan bibirnya untuk tersenyum. Jou kemudian membimbing wanita ringkih itu ke sofa. Mereka lalu berbicara dalam nada yang pelan. Sementara itu Yami beringsut mendekati peti mati, diikuti Kaiba.

Anzu. Gadis itu tampak seperti sedang tidur. Wajahnya terlihat bercahaya, sangat damai. Yami mengulurkan tangannya untuk menyentuh wajah gadis itu. Tapi tiba-tiba saja dia tersentak dan segera menarik tangannya kembali.

"Kaiba!" panggilnya pada pemuda jangkung berambut coklat di sampingnya.

Kaiba menoleh dan dahinya langsung berkerut melihat Yami begitu fokus pada jasad Anzu, terlebih karena ekspresi aneh di wajah pemuda berambut tiga warna itu.

"Coba lihat!" Yami kembali mengulurkan tangannya pada jasad Anzu. Dengan hati-hati tangannya menyentuh sebuah luka di leher Anzu. Kaiba bisa melihat dua titik bekas luka berwarna merah dan mulai membiru di situ. Dia mencondongkan sedikit badannya agar bisa melihat lebih jelas luka apa itu sebenarnya. Dua titik, atau lebih tepatnya dua lubang kecil terlihat sangat jelas dan tampaknya mulai infeksi.

"Seperti…"

"Bekas gigitan?" Yami memotong kalimat Kaiba. Pemuda brunet itu kemudian tampak berpikir.

Gigitan ular, kah? Terka Kaiba dalam hati. Tapi dia langsung membatah karena dia merasa belum pernah membaca soal ular yang menggigit leher manusia.

Apakah…vampire? Batin Kaiba lagi. Dan kalimat itu malah membuatnya ingin tertawa. Mana mungkin vampir itu ada!

Para pelayat mulai berdatangan, berbicara ini dan itu, beberapa diantaranya berbisik-bisik, terdengar seperti dengungan sekumpulan lebah. Ada pula yang menangis histeris. Namun, di antara kebisingan itu Kaiba masih bisa menangkap kalimat selanjutnya dari mulut Yami.

"Kaiba, ada vampir yang berkeliaran di kota Domino," ujar Yami, menghentikan dugaan-dugaan aneh yang mulai berseliweran di kepala Kaiba.

TBC.

Ocehan si Pemalas:

Setelah saya baca lagi, rasanya fanfic ini bener-bener aneh! Hah, sudah lama tidak menulis fanfic, jadi agak kaku. Mohon dimaafkaaann…Saya akan belajar dari awal lagi!

Ini adalah chapter paling kelam yang pernah saya tulis. Dan paling kaku. Sekali lagi, paling kaku! Sial! Benar-benar suram sampe saya berkali-kali merasa otak saya jadi kosong. Dan berkali-kali pula saya ganti dan akhirnya teronggok selama setahun. Arhg, tekanannya besar sekali!

Hm, saya membunuh Anzu di awal cerita. Gak ada maksud membashing Anzu. Sungguh! Tadinya mau dipanjangin dikit lagi, tapi pengen cepet-cepet dipublish.

Hm, jaga-jaga bagi yang tak tahu, Sonna = tidak, bukan, gak gitu, gak mungkin…(kira-kira gitu lah!)

Chapter 2 mungkin akan lebih fokus pada Jou. Doakan semoga bisa cepat di-up date.

Mohon review-nya, minna-san!

Arigatou gozaimasu…

-A.K-