[MEMORABILIA]
/
{kuroo's 2nd pov}
bokuto/kuroo slight kuroo/tsuki
{i – di gerimis, sedih tak ada habis}
Barangkali memang betul apa yang sering dijabarkan oleh penulis-penulis terkenal; bahwa gerimis membawa serta kesedihan.
Tiap-tiap tetesnya seumpama hujaman paku pada tubuh-tubuh tak berdaya, yang, semakin lama semakin membusuk dan lebur bersama hujan. Manusia tak pernah tahu sampai kesedihan itu berganti menjadi kekosongan, hingga mereka menyadari bahwa; ah, aku tak lagi merasa sedih, tidak pula bahagia, aku tidak merasakan apa-apa. Sebab, perlahan hati mereka rusak dan kesedihan hanyalah suatu peristiwa ketika mendung serta gerimis datang.
Hampa.
Mungkin itulah yang sekarang ini tengah kau rasakan: tatkala kekasihmu begitu jauh, jauh dari jangkauan, tak tertangkap mata, tak lagi tergapai. Kau ingin memeluk, tapi tidak juga terengkuh tubuh hangat itu—tidak pula kau mendengar suara detak jantungnya, yang biasanya menempel dekat jantungmu (dua jantung berdetak, berdetak, kau bisa merasakannya—membayangkannya, lantas senyummu merekah bersama senyumnya, dulu). Kau hampa karena dia tak ada. Atau karena gerimis itu perlahan merusak hatimu.
Adalah luka-luka;
Yang aku torehkan di dada waktu.
Kau memandang riak-riak kecil kopi pada cangkirmu, lalu kau pandangi kertas yang kau genggam (serta pulpen hitam yang beberapa saat lalu menggoreskan kata pada kertasmu, entah apa maknanya).
Adalah puisi-puisimu;
Yang aku tancapkan di kepalaku.
'Kenapa kau menancapkan puisi-puisi dari seseorang di kepalamu?'
Adalah pertanyaan yang mendadak saja diajukan lelaki itu, yang entah siapa namanya, yang, demi Tuhan, sungguh tidak sopan. Tiba-tiba dia muncul, membawa secangkir kopi hitam disertai senyuman lebar ramah yang mencurigakan, lantas ikut duduk bersamamu seolah kalian adalah kawan lama. Kau bertanya, ke mana gerimis pergi, kenapa matahari muncul dan menyengat ke arahmu.
[Seperti pula kehampaan itu, yang tiba-tiba tak ingat untuk kembali kau kecap.]
"Kau selalu sendirian, Bung."
"Aku memang selalu sendirian."
"Kau selalu terlihat kesepian, Bung."
"Aku memang kesepian."
Lelaki nyentrik itu mengulas senyum semakin lebar.
"Kalau begitu, biar aku temani bicara."
Kau berharap gerimis lekas pulang. Karena menemani bicara, tidak cuma sekadar bicara.
Kau habiskan malam bersamanya dalam tanda tanya. Entah. Tampaknya tak ada yang berminat untuk merenungkan kehampaan yang mendadak lenyap—terlebih kau, yang, betapa sial, masih saja mengingat puisi-puisi picisan yang kau temukan di kolong ranjangmu sekian hari lalu. Kemudian, lelaki itu bangun, mengerjap, tersenyum padamu. Selamat pagi, katanya. Kau bingung.
'Apakah aku bermimpi?'
'Apakah semalam sebegitu nikmatnya sampai kau linglung, Bung?'
Aku bukan Bung. Tapi kau menelan protesan itu, sebab kau tahu apa yang bakal terjadi selanjutnya; saling bertukar nama, saling menyimpan nomor telepon, lantas menghubungi di kemudian hari dan kembali bersanggama lagi. Kau berusaha menolak. Namun, ah, brengsek memang, kau selalu merasa candu pada ciuman-ciuman kecil, yang entah kepada bibir siapa bibirmu berlabuh; kau cuma menikmatinya karena memang nikmat, mengingatkanmu pada ciuman pertama ketika malam sehabis hujan reda. Ciuman seperti tanda bahwa kesedihan sudah berakhir—walau pada akhirnya datang lagi, datang lagi: gerimis yang membawa serta kesedihan itu. Tapi bibirmu tetap memagut bibirnya—ya, bibirnya, bibir lelaki yang meninggalkan puisi-puisi di kolong ranjangmu, dulu.
[Dan kau berharap bibir lelaki yang kini berada di atas ranjang bersamamu dapat menghapus bekas bibir lelaki pengumpul puisi-puisi itu.]
"Ketahuilah, Bung, aku tak pernah berharap menjadi pengganti siapapun."
"Aku juga tak berharap kau menjadi pengganti siapa-siapa."
"Nah, kenapa kau tetap ingin aku?"
"Karena kau seperti matahari."
"Aku sebetulnya tidak suka puisi. Terlalu rumit. Otakku tak mampu memahaminya."
"Aku tidak sedang berpuisi."
"Tapi terdengar puitis."
Kau tertawa.
"Sudah kuduga, kau memang seperti matahari."
—yang melenyapkan gerimis di hidupku.
[Yang lalu membakarku]
.
Kau dan lelaki itu pada akhirnya tetap bertukar nama.
.
Kau bertanya-tanya kenapa kau menciumnya malam itu; ya, mencium lelaki yang baru sekali kau temui itu, yang lalu mengingatkanmu pada matahari—laki-laki yang seperti matahari, mungkin memang betul putra surya. Atau kau terlalu melebih-lebihkan, padahal laki-laki itu biasa saja. Hanya energi serta senyumannya yang berbeda, senyuman yang lalu menggeser gerimis dalam dadamu, gerimis yang sudah berlangsung lama sekali … lama sekali. Bagaimana bisa dilenyapkan dalam satu malam.
Barangkali karena lelaki itu juga sama hampa; sepertimu, seperti kebanyakan manusia yang terlalu sering dibuat merana karena cinta. Tahi kucing cinta. Kau tertawa, padahal kau membenarkan.
'Kenapa kita tidak bersenang-senang saja, Kou.'
Kau lebih suka memanggilnya begitu; Kou. Koutarou. Biar cuma kau saja yang memanggilnya begitu, biar istimewa. Demikianlah dia memanggilmu Tetsu, biar sama istimewa. Bersenang-senang adalah pilihan kata yang paling kejam, pikirmu, namun juga tak terelakkan. Bersenang-senang, walau bagaimanapun, akan tetap terucap: dua insan berbagi kehangatan di atas ranjang yang sama, tanpa dipengaruhi perasaan—tanpa perasaan. Meleburkan kehampaan menjadi satu lantas kehampaan lenyap bersamaan dengan penyatuanmu dengannya (meski lalu kehampaan itu datang lagi, lenyap lagi, seperti gerimis).
'Kau tidak akan pernah tahu kapan aku serius padamu, Tetsu, kau tidak akan pernah tahu.'
Kau memang tak pernah mengetahuinya; bahwa lelaki itu serius padamu, atau tidak. Sebab, kau sendiri mempertanyakan; semua ini benarkah hanya perkara bersenang-senang demi melepas dahaga atas kebinatangan birahi, ataukah demi meleburkan perasaan hampa, atau bukan demi apa-apa. Kau tetap tidur dengannya, tetap menikmati secangkir kopi bersama, tetap bergurau, tetap begitu. Meski kerap kau termenung, memikirkan untuk apa kau menghabiskan waktu bersamanya—sementara waktu diam-diam menghabisimu, menghabisinya, dalam tanda tanya mengenai rasa: cinta.
Tapi cinta adalah tahi kucing, kau bersikukuh. Meski cinta itu kini tak lagi berwujud gerimis, melainkan matahari. Yang lalu membakarmu … perlahan-lahan.
[Kau rindu, amat sangat, pada gerimis yang menghujam mukamu, yang membawa serta kesedihan dalam balutan kenangan bersama laki-laki pengumpul puisi-puisi itu—yang puisi-puisinya lalu dia taruh di kolong ranjangmu, yang kemudian kau baca; kau rapalkan terus-menerus menjelang tidurmu, berharap laki-laki itu muncul di muka pintu, memelukmu. Menciummu.]
Dia menciummu. Kou.
Bukan laki-laki yang menaruh puisi di kolong ranjangmu. Bukan.
Kau tahu kau diam-diam mengharapkannya menjadi pengganti seseorang. Tapi dia tak pernah ingin menjadi pengganti siapapun. Kou ingin menjadi Kou; menciummu sebagai Kou.
'Kau membayangkan seseorang selain aku, Tetsu. Kau membayangkannya menciummu.'
'Aku tak ingin meminta maaf.'
'Aku tak memintamu untuk meminta maaf. Aku sudah tahu, sejak awal, semua ini hanya perkara senang-senang—biar aku tak sepi, biar kau tak sepi. Meski kenyataannya sepi itu masih datang padamu, tanpa kau sendiri menyadarinya.'
Malam itu, gerimis mendadak turun, mengetuk kaca jendela apartemenmu. Kau memilih untuk memandangi gerimis itu daripada memandangi muka laki-laki yang terluka di hadapanmu.
Untuk K. Tetsuro
Sepertinya aku melihat senja ketika fajar datang dari ufuk Timur jendela kamarmu
Atau aku salah sebab ini bukan anomali, tapi melankoli
Segalanya jadi tak lagi sama karena sekarang ini kau berbeda
Atau aku yang berbeda
Seribu maaf untukmu sebab cinta tak lagi seribu tidak pula satu
{Gerimis barangkali menghapusnya; cintaku}
[T. Kei]
.
.
'Terima kasih sudah menemaniku bicara. Kita sudahi saja.'
Karena menemani bicara, tidak cuma sekadar bicara.
'Pada akhirnya, aku tetap orang lain bagimu, Tetsu.'
Lelaki itu menciummu untuk yang terakhir kali. Kau menikmati ciumannya. Ini sama sekali tidak sama seperti ciuman pertama ketika malam sehabis hujan reda. Yang mengecupmu bukanlah lelaki yang mendekam dalam bayanganmu kini. Bukan. Yang mengecupmu kali ini benar-benar Kou—dan kau sudah terlanjur melepaskannya untuk pergi; seperti menyaksikan matahari terbenam, malam merangkak naik dan gerimis kembali turun.[]
11:06 PM – August 6, 2017
Haikyuu belongs to Furudate Haruichi. I don't take any profit from this fanwork.
[fanfiksi ini akan selesai di chapter tiga dengan pair bervariasi yang saling berkesinambungan, lebih ke kuroo-sentris. full of hurt/comfort, mungkin? bab berikutnya akan memuat kurooaka. terima kasih sudah membaca dan meninggalkan jejak.]
.
