Prolog
Angin sudah cukup baik untuk berhembus lembut menerpa wajahku, jika lebih dari ini maka aku tak akan sanggup untuk menahan air mataku. Jika angin berhembus lebih kembut lagi dan aku menerima segala kehangatannya aku akan menangis. Disini, di tanah lapang di mana ilalang menyembunyikanku.
Lapangan ilalang, hanya ilalang, serangga, langit, awan, matahari, dan aku yang dimanjakan angin. Punggungku merasakan nyaman tidur beralas tumbuhan rumput panjang ini. Mataku terpejam menikmati angin, mataku terpejam tapi air mata lolos.
Bukan pilihanku untuk selalu lari ke ladang terlupakan yang berubah menjadi kumpulan ilalang setiap kali aku merasa muak dan lelah. Bukan keinginanku mendapat perlakuan manis seperti ini dari alam tiap kali aku hendak menangis. Bukan aku alasan kukemari sekarang, kakiku membawaku berlari hingga berpeluh karena mereka ada di sana, tertawa.
Ini takdirku, harusnya aku sudah tau itu. Harusnya fakta itu menjadi pedoman kuat agar aku tidak perlu menangis lagi di sini, tapi langit biru itu seolah menatapku memberikan tanpa batas kebebasan yang hanya membuatku mengasihi diri tak bebas ini.
Sudah cukup. Aku bangkit dan duduk, masih menatap permadani biru putih di atas. Angin masih tetap membawakan nyanyian untukku. Sudah cukup. Tidak akan aku datang lagi kemari, apa pun keadaannya. Apa yang terjadi, betapa menyakitkannya itu, aku tidak akan kembali kemari.
Aku harus. Suka tidak suka, terima tidak terima, sakit maupun tidak, benci maupun suka, apa pun alasannya ini terakhir kalinya aku kemari.
Kugadahkan tanganku ke langit biru seraya berdiri, menatap ujung jemariku yang seakan menyentuh langit. Angin bergerak dari belakangku dengan cukup kuat membuat kaos longgar yang kukenakan bergerak searah, kujatuhkan pandanganku ke ujung kakiku dan tanganku kuturunkan.
Angin selalu baik, ia menerpa diriku keras seolah memberi pukulan untukku agar lari. Kulakukan itu, aku berlari lurus ke arah dimana aku datang tadi. Memacu kakiku sekencang yang aku bisa, dan angin menerpa punggungku. Yang bisa kulakukan hanya terus berlari sambil membiarkan air mataku lolos lagi. Sejujurnya aku tidak bisa bohong, tempat ini masih menyimpan kehangatan ibu.
...
Eixa Tuvan
