Spesial buat fansnya KakaSaku. ^^
My first KakaSaku fic. Mengandung ke-OoC-an dan keabalan tingkat tinggi. Judulnya mirip-mirip serial 'I Love You, Professor'-ku untuk fandom Harry Potter. -dasar gak kreatif!- Tulisan ini hanya keisengan saya belaka. Jangan terlalu diambil hati, yah. Happy reading!
AISHITERU, SENSEI!!
By MzMoony
Naruto © Kishimoto Masashi
Kami berdua berbaring miring di atas karpet rumahku. Aku dan Ino memang sedang menganggur hari itu, tidak ada pekerjaan di rumah sakit, tidak ada misi yang merepotkan. Jadi kami berdua memutuskan untuk sedikit bersantai di rumahku sambil melakukan kegiatan membosankan yang biasa dilakukan gadis-gadis seusia kami—bergosip.
Yah, tidak bisa dibilang bergosip juga, sih. Lebih tepatnya Ino yang mengoceh sementara aku hanya mendengarkannya saja, sesekali menanggapinya dengan, "Hmm.." atau "Ya.." atau "Kau benar." Bukannya aku tidak tertarik atau apa. Hanya saja belakangan ini pikiranku selalu terbang kemana-mana tanpa bisa kucegah, sehingga aku tidak bisa benar-benar menangkap apa yang sedang dia ocehkan.
Seperti sekarang, saat lagi-lagi pikiranku terbang ke dekat-dekat dia.
Aku sama sekali tidak mengerti sejak kapan aku mulai sering memikirkan manusia satu itu. Yeah, aku memang kadang-kadang memikirkannya dulu. Maksudku, dia adalah salah satu orang yang penting bagiku, tentu saja aku akan memikirkannya, kan?
Hanya saja sekarang aku merasa ada yang berubah dalam caraku memikirkannya. Aku tidak lagi memikirkannya sebagaimana dulu ketika aku masih lebih muda. Di mana aku selalu penasaran dengan jurus-jurus apa lagi yang ia punyai selain yang pernah ia perlihatkan di depan kami, terkagum-kagum dengan caranya membuat strategi—yang barangkali hanya bisa dikalahkan oleh otak Shikamaru—terharu oleh caranya melindungi kami semua, penasaran dengan apa yang dia sembunyikan di balik masker-menyebalkannya itu, geram karena kebiasaannya terlambat dan bualan yang kerap ia lontarkan sebagai alasan keterlambatannya.
Sekarang tidak lagi seperti itu—yah, kecuali dua yang terakhir. Kurasa itu tidak akan pernah berubah—mungkin. Entah sejak kapan aku mulai merasakan desiran aneh itu saat sedang berada dekat dengannya, jantungku mulai berdegup kencang dan aku mulai gugup. Seperti ada kupu-kupu yang beterbangan di dalam perutku—aku tidak mengerti bagaimana mereka bisa masuk ke sana?—pikiran konyol.
Oh, seakan itu belum cukup menyiksaku saja, bahkan suaranya pun nyaris melumpuhkanku. Maksudku, kau tahu kan kebiasaannya muncul mendadak dan menyapa dengan sapaan khasnya, "Yo!"?Aku benci kalau dia melakukan itu padaku. Hatiku akan langsung mencelos dan darah naik ke wajahku sama cepatnya dengan kibasan kipas raksasa Temari-san, membuatku merah padam seperti orang tolol.
Tapi setelahnya aku seperti tidak bisa menahan senyumku, seakan otot-otot wajahku sudah otomatis melakukannya saat dia di dekatku. Dan aku mendadak bisa menjadi luar biasa riang tanpa alasan yang jelas. Perlu digarisbawahi; tanpa-alasan-yang-jelas!
Aaargh! Apa sebenarnya yang terjadi pada diriku?! Kurasa aku hampir gila gara-gara orang itu!
Hatake Kakashi-sensei.
Kupikir awalnya itu hanya perasaan normal saja saat kau dekat dengan seseorang yang memang sudah dekat denganku. Tapi ketika aku menyadari aku tidak seperti itu pada Naruto atau teman-temanku yang lain, aku mulai resah. Lalu aku teringat aku pernah merasakan hal yang sama seperti ini. Dulu… waktu aku masih jatuh cinta setengah mati pada Sasuke-kun.
Jatuh cinta.
Jatuh cinta setengah mati.
Apa aku sedang jatuh cinta setengah mati pada Kakashi-sensei?—aku bergidik.
Hell—NO WAY!!
Maksudku, Kami-sama! Dia itu guruku! Pria yang usianya terpaut limabelas tahun dariku! Tentu saja aku tidak boleh memikirkannya dengan cara seperti itu.
Jatuh cinta setengah mati? Kurasa aku mau jatuh dan mati betulan saja menyusul Sasuke-kun.
Dengan frustasi aku membenamkan wajahku ke bantal, menggeram kesal pada diriku sendiri—aku selalu melakukannya saat pikiran bodoh itu melintas. Detik berikutnya aku merasakan hantaman bantal lain di kepalaku.
Otomatis aku mengangkat wajahku dan merengut jengkel pada sahabat baikku. "Apa sih, Ino-pig?!"
Ino bangkit dari posisi berbaringnya dan duduk bersila di depanku, memandangku galak dengan mata aquamarine-nya yang berkilat-kilat. "Harusnya aku yang tanya apa, Dahi lebar! Aku dari tadi bicara tapi kau seperti tidak mendengarkanku, dan tiba-tiba kau berteriak sendiri seperti orang sinting!"
Yeah, Ino. Kurasa kau benar, kurasa aku memang sudah sinting.
Aku nyengir minta maaf, lalu mengangkat tubuhku bangun ke posisi duduk. "Gomen na," ujarku. "Tadi kau bilang apa?"
Ino memutuskan untuk ngambek selama beberapa detik lagi, sebelum menjawab dengan ekspresi jengkel, "Otouchan bilang aku harus cepat-cepat mendapatkan calon, kalau tidak dia yang akan mencarikannya untukku!"
Aku mengatupkan bibir rapat-rapat, berusaha menahan tawaku. Ino barangkali adalah salah satu kunoichi paling cantik yang pernah dimiliki Konohagakure no Sato ini—tapi bukan berarti yang paling laku. Tidak. Mungkin tidak akan seperti itu kalau saja Ino tidak menetapkan standar yang terlampau tinggi untuk cowok—mau shinobi atau bukan—yang jadi kekasihnya.
"Oh, oke," kataku setelah beberapa lama—setelah aku berhasil memulihkan kendali diriku. "Jadi kau sudah menentukan orangnya?"
Ino menggeleng sedih. "Belum."
"Bagaimana dengan Sai?" usulku. Aku tahu dulu Ino sempat tertarik pada Sai.
Tapi sekali lagi sahabatku itu menggeleng, disertai helaan napas berat. "Aku tidak mengerti dia," keluhnya, "Bicaranya terlalu blak-blakan dan seperti katamu—dia tidak pandai membaca situasi."
"Shikamaru?"
Ino hanya meringis. "Tidak, terimakasih."
"Chouji bagaimana?"
Ino kembali menggeleng. Tiba-tiba saja ekspresi wajahnya berubah antusias. "Kau tahu, aku baru saja memikirkannya."
"Memikirkan apa?" tanyaku sambil menyambar bungkus keripik kentang yang tergeletak di dekat kakiku dan mulai melahapnya.
"Entah mengapa cowok yang sebaya dengan kita menjadi sangat membosankan," dia menghela napas. Aku mengangkat alisku tak mengerti. "Maksudku, mengapa tidak melirik cowok-cowok yang lebih tua? Yang sudah jounin, yang sudah mapan dan sudah memikirkan masa depan. Kau tahu kan, seseorang yang sudah benar-benar matang."
"Kau mau melirik para jounin?" tanyaku lagi setelah menelan keripikku.
Ino tampak berpikir. "Tidak harus jounin sih…" ia meletakkan jari di dagunya, matanya menerawang. "Chunin juga tidak apa-apa. Yang penting dia lebih dewasa, dan siap—kalau kau tahu maksudku, Sakura-chan."
"Yeah, yeah, aku mengerti…" Aku mengangguk-angguk, lalu memasukkan keripik lain ke dalam mulut. Kalau saja kau tahu, Ino, cowok yang sekarang ini menguasai pikiranku juga seseorang yang lebih tua.
"Hmm…" Kubiarkan saja Ino berpikir sendirian. Aku sedang tidak ingin memikirkan cowok sekarang. "Bagaimana kalau Genma-san? Kau ingat kan, cowok yang jadi juri saat ujian chunin? Kurasa dia oke juga. Gagah dan cakep… Ahli menggunakan senbon—"
"Yah, silakan saja kalau kau mau merasakan jarum beracun Shizune-senpai," sahutku yang serta merta membuat Ino terbelalak.
"Shizune-senpai?"
Aku memutar bola mata. Rupanya titelnya sebagai ratu gosip itu hanya bualan belaka. "Yah, kudengar mereka punya hubungan. Um… bukan kudengar lagi sih sebenarnya. Aku pernah memergoki mereka…" aku mencondongkan tubuhku dan membisikkan apa yang kulihat beberapa minggu yang lalu pada Ino.
"Kau bercanda!" pekiknya kaget. Aku mengangguk dramatis. Menyenangkan sekali kalau aku tahu sesuatu sementara Ino tidak. "Mereka kan belum menikah!—eh, belum, kan?" Ino tampak tak begitu yakin.
Aku mengangkat bahu. "Entahlah. Bisa saja mereka menikah diam-diam saat misi bersama di luar desa. Bisa saja, kan?"
"Kenapa begitu?" cecarnya.
Sekali lagi aku mengangkat bahuku. "Barangkali Shizune-senpai tidak enak pada Tsunade-shishou yang masih melajang, makanya mereka diam-diam."
Ino cemberut. "Memangnya enak ya, main kucing-kucingan dengan Hokage? Yaaah… padahal aku sudah mengincar Genma-san!" dia tampak kecewa berat. Aku hanya nyengir.
"Jounin yang lain kan masih ada," kataku tak acuh, masih menikmati keripikku persis seperti Chouji.
"Raidou-san… tidak. Dia baru saja menikah bulan kemarin. Aoba-san… Hmm.." dia menggeleng, "Istrinya baru saja melahirkan. Yamato-taichou… seram. Ibiki-san… terlalu mengintimidasi. Gai-sensei…" Ino bergidik. Aku menahan tawaku. "BIG NO!!" Ino terus menyebutkan nama jounin dan tokubetsu jounin yang diketahuinya, dan seperti yang kuduga, tidak ada yang masuk kategorinya. Kalau pun masuk, pasti sudah menikah—atau sudah punya kekasih. Hanya satu yang tidak tersebut, dan diam-diam aku berharap Ino tidak akan menyebutnya.
"Iruka-sensei?" usulku cepat-cepat, sebelum Ino menyebut jounin terakhir itu.
Ino tampak mempertimbangkan. "Manis, sih… Iruka-sensei memang baik banget. Tapi dia bukan tipeku. Ah! Aku tahu!"
Hatiku mencelos. Mungkinkah? "Apa?"
Dengan senyum penuh arti, Ino menggeser duduknya mendekat padaku, lalu menyenggolku dengan sikunya. "Hei, Sakura. Kau pernah memberitahuku kau pernah melihat Kakashi-sensei tanpa maskernya, kan?"
"Huh?"
Oh, yeah. Aku belum cerita soal itu, kan? Bahwa aku-pernah-melihat-Kaka-sensei-tanpa-maskernya! Tidak, kali itu tidak pakai cara curang seperti yang pernah kulakukan bersama Naruto dan Sasuke-kun. Waktu itu dia cedera parah sepulang dari misi dan dibawa ke rumah sakit. Kebetulan aku sedang bertugas, dan yah… kalian bisa bayangkan sendiri situasinya. Kami tidak mungkin membiarkan maskernya tetap terpasang saat itu. Ha ha..
Ups, bukan saatnya berpuas diri! Karena kucing pirang di depanku ini berniat merebutnya dariku!—maksudku… dia itu guruku, kan?
Ino mengikik. Entah mengapa itu membuatku ingin sekali mencakar wajahnya. "Ne, ne… Kau bilang padaku kalau dia sangat cakep, kan?"
Oh, ya, Ino. Sangat-cakep-gila-sekali. Aku tidak mengerti mengapa dia menutupinya selama ini.—dan mengapa aku pakai acara menceritakannya padamu segala, sialan? Aaargh!
"Kalau aku mengincarnya, kau tidak apa-apa, kan?"
Aku akan menerkammu!
"Kalau aku berhasil, kau akan jadi anakku," kekehnya. "Ah… Kaka-sensei. Sudah kuduga dia cakep…"
"Kau tidak keberatan dia tukang baca Icha-Icha?" aku memutar otak supaya Ino membatalkan niatnya.
Ino mengangkat bahu, tampak tidak peduli. "Itu kan cuma buku."
"Tapi bagaimana kalau…?"
"Apa kau mau menuduh gurumu sendiri yang tidak-tidak, Sakura?" tanya Ino. Matanya menyipit curiga.
"T—Tentu saja tidak!" sahutku, entah mengapa jadi sangat marah pada Ino. Aku beranjak dari karpet dan menuju ke dapur untuk mengambil air. Aku butuh minum!
"Kau keberatan, ya?" Ino mengikutiku ke dapur. Aku tidak menjawab—kurasa dia tahu jawabanku—dan sepertinya itu mengganggunya. "Kenapa?"
Aku menenggak air banyak-banyak, tapi tidak banyak membantu karena wajahku masih terasa amat panas. "Karena…" aku menelan ludah. Rasa gugup sekarang bercampur dengan kejengkelanku. Aku bisa melihat Ino menaikkan alisnya, menunggu jawabanku. "Karena aku… um… Oh, sudahlah, Ino… Pokoknya jangan guruku. Oke?" Aku tahu itu tidak cukup untuk menahannya. Kemudian aku berbalik untuk mengisi lagi gelas airku.
Kejadiannya sangat cepat, sampai-sampai aku tidak sempat mempertahankan diriku. Ketika aku berbalik, mendadak Ino sudah berdiri di belakangku. Sebelah tangannya menarik tanganku yang memegang gelas dan sebelahnya lagi dengan cepat menyambar dahiku. Detik berikutnya aku merasakan kesadaranku menghilang dan ketika aku tersadar—rasanya seperti sedetik kemudian, tapi aku yakin pastilah memakan waktu agak lama—aku sudah berlutut di lantai dapur sementara Ino berdiri di depanku. Wajahnya berkilau karena peluh, tapi aku bisa melihat seringai penuh kemenangan di wajah itu.
Sialan! Dia pasti sudah menggunakan teknik membaca pikiran padaku! Aargh! Aku benci Klan Yamanaka dengan jutsu-jutsu anehnya!!
"Ino! Apa-apaan, sih?" omelku sambil berdiri. Lututku berdenyut-denyut. Aku memalingkan wajahku yang memanas—dari wajahnya, aku bisa menebak apa yang dilihatnya dalam kepalaku, atau kupikir begitu.
"Jadi…" kata Ino lambat-lambat. "…Sakura-chan jatuh cinta pada gurunya sendiri, huh?"
Aku tidak menjawabnya. Aku ingin bumi menelanku saja saat itu juga saking malunya. Kuletakkan gelasku di atas meja dan berlalu ke ruang tengah, tempat kami duduk tadi. Ino menguntitku seperti anak bebek mengikuti induknya, masih nyengir-nyengir menyebalkan.
"Sejak kapan?"
"Kau sudah melihatnya dalam kepalaku, Ino-pig!" tukasku.
"Yaa…" Ino mengikik. "Dan aku juga melihat kau sangat menginginkannya, betul, kan?—Oh, setidaknya itu alam bawah sadarmu yang menginginkannya. Karena kau yang ini kurasa tidak akan mau mengakuinya."
Aku membelalakkan mata padanya.
"Ya, ya… Kulihat sangat ingin menghabiskan waktu dengannya. Iya, kan?" Ino berlagak menjadi cenayang. "Kau kesal karena Kaka-sensei lebih sering bersama Naruto dan Sasuke dulu dibanding denganmu, tidak senang karena dia lebih memperhatikan dua cowok itu. Benar, kan? Kau ingin dia memperhatikanmu juga."
"Dia sudah cukup memperhatikanku. Terimakasih banyak," tukasku.
"Tapi tidak cukup perhatian sehingga dia meluangkan banyak waktunya untukmu," kata Ino dengan seringai menyebalkan.
Oh, aku benci kalau dia benar. Sejak dulu Kakashi-sensei memang lebih banyak meluangkan waktu untuk melatih dua rekanku yang lain. Tapi bukan berarti dia tidak pernah melatihku. Menurutnya aku tipe yang belajar cepat, jadi mudah menguasai apa yang diajarkannya. Seperti saat mengontrol chakra-ku untuk memanjat pohon, melepaskan genjutsu, dan lain-lain. Aku mempelajarinya dengan cepat sehingga dia tidak perlu berlama-lama menghabiskan waktunya untuk mengajariku.
Rupanya alam bawah sadarku menganggapnya kurang perhatian karena itu. Dan ya, aku memang ingin Kaka-sensei memperhatikanku lebih.—Wajahku memanas memikirkan ini—Bukan hanya sebagai muridnya, tapi juga sebagai… er… kau tahu maksudku.
"Ayolah, Sakura… Ngaku saja," desak Ino.
Dan aku tahu percuma saja menyangkalnya lagi—karena Ino memang sudah melihatnya langsung di otakku. Terlebih, ini juga memang sudah menyiksaku agak lama. Membukanya pada sahabatku, barangkali akan meringankan bebanku.
"Baiklah, kau menang," ujarku akhirnya sambil menghela napas. "Aku memang menyukainya—bukan karena aku sudah pernah melihat wajahnya. Kalau kau berpikiran seperti itu, kau salah besar!" Ino nyengir, lalu mengangguk. Aku melanjutkan, "Kurasa karena dia selalu membuatku merasa nyaman. Hal-hal semacam itulah. Tapi… Ino, yang benar saja, dia itu guruku. Dia lebih tua setidaknya limabelas tahun dariku! Orang-orang pasti akan menganggapku tidak waras kalau mereka tahu aku jatuh cinta pada guruku sendiri."
"Kurasa itu tidak aneh kok. Wajar saja," ujar Ino enteng. "Menurutku usia bukan halangan."
Aku mendengus. "Yeah, mudah bagimu ngomong seperti itu, Ino. Karena kau tidak merasakannya. Bagaiana menurutmu perasaanku, tadinya aku menganggapnya sebagai pengganti ayahku dan sekarang… tiba-tiba saja… Aku sangat bingung, Ino. Mengerti tidak, sih?"
Ino hanya mengangkat bahunya sambil tertawa kecil. Dia tidak mengerti—dan dia tidak peduli, aku bisa melihat itu dengan jelas, tidak perlu meminjam Byakugan Hinata.
"Ya, ampun, Sakura…" serunya tiba-tiba girang sambil memelukku. "Ternyata kau masih NORMAL!! Kurika kau berubah jadi lesbong karena trauma ditinggal Sasuke-kun!"
"APA?!" aku mendengking kaget. Aku mendorongnya mundur. "ENAK SAJA KAU MENYEBUTKU LESBONG!"
Ino mengikik lagi—kurasa sebentar lagi aku akan alergi mendengar kikikannya.
"Sekarang apa?" tanyanya, membuatku bingung.
"Apa apanya?" aku balik bertanya, dan dia menatapku seakan aku orang bodoh.
"Kau akan mengatakannya padanya atau apa?" perkataannya membuat wajahku memanas lagi. "Yah, setidaknya mengatakan hasrat terpendammu untuk menghabiskan banyak waktu dengannya."
"Gila!" hanya itu yang bisa kukatakan untuk mengomentari idenya yang menurutku tidak masuk akal. Maksudku, mengatakannya langsung pada Kaka-sensei? YANG BENAR SAJA! APA KAU SUDAH GILA? Dia bisa menganggapku sinting! Tidak waras!
"Gila karena cinta—ya," katanya. "Dari pada tersiksa terus, kan?"
Antusiasme Ino membuatku terheran. Bukankah tadi dia yang semangat mau mengincar Kaka-sensei? Mengapa sekarang jadi aku? Sial!
"Dan kau tahu apa yang harus kau lakukan sekarang?"
"Apa?"
Ino menyambar pergelangan tanganku dan menyeretku keluar tanpa bisa kucegah lagi.
"Ino! Kita mau kemana?" pekikku mulai panik.
"Kau akan lihat nanti, Sakura!"
Ino menyeretku meninggalkan gedung apartemenku, menyusuri jalanan konoha yang ramai. Orang-orang mulai menatap kami dengan pandangan heran, dan aku tidak menyalahkan mereka. Ini semua gara-gara Ino yang terlalu bersemangat menarik-narik tanganku. Ooh… jangan bilang mereka sekarang berpikiran aku benar-benar lesbong! TIDAAAK!!
"Kita sudah sampai!" seru Ino setelah kami sampai di depan sebuah rumah makan tradisional di pinggiran desa. Napasnya terengah-engah, sama sepertiku, tetapi sahabatku itu tampak sangat antusias, tidak sepertiku yang ingin sekali mencekiknya karena telah menyeret-nyeretku seperti kambing sepanjang jalan.
"Hari ini adalah hari ulang tahun Asuma-kecil!" ujar Ino menjawab tatapan bertanyaku. "Mereka bilang, Kurenai-sensei mengundang rekan-rekannya untuk datang dan merayakannya di sini! Kakashi-sensei juga pastilah ada di dalam!"
Aku merasakan perutku bergejolak tak nyaman membayangkan kemungkinan Kaka-sensei sedang berada di dalam, hanya berjarak beberapa meter dariku. Kami-sama… mengapa lututku gemetaran?
"Ayo sana masuk dan temui dia!" perintah Ino seenak jidatnya sambil mendorong punggungku masuk.
Tapi aku bertahan di tempatku, memandang tempat itu dengan ngeri. Tidak, aku tidak bisa mengatakannya pada guruku. Tidak bisa! Bagaimana kalau dia menolaknya?—dan hubungan kami akan canggung selamanya. Aku tidak mau!
"Aku tidak bisa, Ino," bisikku.
"Kau mau tersiksa terus?" tantangnya keras kepala. Aku menggeleng. "Dengar, tidak perlu langsung frontal mengatakan kau suka padanya. Bilang saja kau ingin diajari jutsu yang menurutmu benar-benar sulit. Supaya kau bisa menghabiskan banyak waktu dengannya."
Ino benar, pikirku. Tapi aku benar-benar merasa tidak akan bisa melakukannya.
"Astaga, Sakura! Kau ini kan bukan gadis remaja awal lagi yang masih malu-malu begitu!" kata Ino tak sabar. "Kalau kau begini terus, kapan Konoha akan melihat Hatake kecil berkeliara—umph!"
Dengan panik, aku memekap mulut besar sahabatku. Mukaku tidak bisa lebih merah lagi, sementara orang-orang yang kebetulan lewat menoleh ke arah kami—dua gadis gila yang berteriak-teriak di depan rumah makan. "Ino! Tutup mulutmu! Astaga…"
Dengan susah payah, Ino berhasil melepaskan kekapanku. Lalu memandangku sebal. "Kalau begitu lakukan saja."
"Oke! Oke! Akan kulakukan. Tapi kau jangan bawel!"
Ino membuat gerakan seakan sedang mengunci mulutnya.
Aku kembali menghadap pintu masuk, menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan—untuk menenangkan diriku—sebelum melangkah masuk. Tapi langkahku terhenti tepat di depan pintu. Aku menoleh pada Ino. "Sebaiknya kau pulang saja, Ino."
Ino mengangkat alisnya.
Aku memutar mataku, mengerti betul apa maksud tatapannya itu. "Nanti aku akan memberitahumu semuanya," geramku.
Ino nyengir puas. Ia mengangguk, lalu mengibas-ibaskan tangannya menyuruhku masuk. Aku balas mengibaskan tanganku menyuruhnya pergi. Ino cemberut, kemudian menjulurkan lidahnya padaku sebelum berbalik pergi.
Sepeninggal Ino, aku menghela napas sekali lagi. Sebenarnya aku ingin sekali kabur dari sana, tapi setelah kupikir masak-masak sekali lagi, kurasa yang dikatakan Ino benar. Aku tidak bisa begini terus. Maksudku, selama perasaan ini masih mengganjal, aku tidak akan bisa berkonsentrasi pada apa pun. Pekerjaanku di rumah sakit, misi-misiku. Kalau itu sampai terjadi, Tsunade-shishou pasti kecewa padaku. Dan Kaka-sensei juga pasti akan kecewa.
Jadi aku memutuskan untuk melakukannya.
Aku nyaris bertabrakan dengan Genma-san begitu aku melangkah masuk ke rumah makan itu. Sepertinya dia hendak meninggalkan rumah makan—er… bersama Shizune-senpai. Aku bisa melihat rona merah tipis muncul di wajah keduanya begitu mereka melihatku. Kurasa mereka belum lupa dengan peristiwa pemergokan yang lumayan memalukan itu—aku juga tidak akan bisa melupakannya, sepertinya. –Aaah! Mataku!
"Konichiwa, Shizune-senpai, Genma-san," sapaku sebiasa mungkin.
"Konichiwa, S-Sakura." Aku bisa melihat Shizune-senpai gugup, sementara Genma-san membalas santai—meski aku bisa melihatnya gugup juga,
"Hn."
"Sudah mau pulang?" tanyaku berbasa-basi.
"Eh—iya," sahut senpai-ku. "Acaranya sudah selesai. Jadi kami—maksudku, aku akan kembali ke tempat Tsunade-sama. Genma akan ke kantor Jounin. Iya, kan?" dia menoleh pada shinobi jangkung spesialis senbon di sebelahnya.
"Hn." Genma-san mengangguk.
Ke tempat lain berdua juga tidak apa-apa kok, Senpai, aku membatin geli. Kasihan sekali mereka ini, main kucing-kucingan begitu.
"Ano…" aku memulai. Mencoba membuat suaraku sebiasa mungkin. "Apa Kakashi-sensei ada di dalam?"
"Oh, Kakashi, ya?" Genma-san lah yang menyahut. "Dia tadi baru mau keluar. Ah, itu dia. Oi, Kakashi!"
Aku mendengar suara guruku dari dalam menjawabnya.
"Ada Sakura mencarimu!"
Tak lama kemudian, pria itu muncul juga dari pintu. Kaka-sensei seperti biasa, tampak agak bosan dan mengantuk. Rambutnya yang keperakan menantang gravitasi masih sama tegaknya. Sebelah tangannya tenggelam dalam saku celananya sementara yang sebelah lagi terangkat saat menyapaku, "Yo, Sakura! Ada apa?"
Hatiku langsung mencelos, dan debaran yang sudah sangat akrab itu terasa lagi. Aku hanya berharap wajahku tidak semerah yang kubayangkan sekarang.
Aku menunggu sampai Genma-san dan Shizune-senpai menghilang sebelum kembali menghadap guruku. Aku menelan ludah dengan susah payah.
Jangan pandang matanya… Jangan pandang matanya… Jangan pandang matanya…
Lalu aku harus pandang apanya? Maskernya?
Pandang saja telinganya, tolol!
"Ano… Kakashi-sensei…"
"Hmm?"
Sial! Kenapa suaranya bisa begitu empuk? MENGAPAAA?
Aku berdeham kecil. "S-Sensei, aku hanya ingin tahu, apa kau ada waktu besok? Aku ingin kau mengajariku sesuatu."
"Nani?" Dia menatapku dengan sebelah matanya yang mengantuk.
"Er… genjutsu?" tanyaku tak yakin. "Um… kau kan pernah bilang padaku kalau aku bertipe genjutsu. Aku… ingin mempelajarinya. Boleh kan?"
"Bukankah dulu aku pernah mengajarimu cara melepaskan genjutsu, ne, Sakura?"
Aku meringis. "Ya… tapi aku ingin bisa menggunakan genjutsu yang sebenarnya, bukan cuma melepaskannya saja."
"Hmm…" Kaka-sensei-ku mengangguk-anggukan kepalanya tanpa benar-benar mengerti apa yang kumaksudkan. "Wakatta. Nanti biar aku bicara pada Kurenai-sensei, supaya kau bisa belajar langsung dari ahlinya. Ya..?" Dia berbalik dan melangkah masuk lagi.
Ah, tunggu dulu! Bukan begitu!
"Cotto, Sensei!" aku segera menyambar pergelangan tangannya dan menahannya di pintu.
Dia menoleh padaku lagi. "Ada apa lagi?"
Aku menggelengkan kepala. "Tidak. Jangan Kurenai-sensei. Aku ingin kau yang mengajariku!"
"Tapi Kurenai-sensei lebih ahli dalam genjutsu, Sakura," ujarnya bingung.
"Aku tahu itu. Tapi aku mau kau yang mengajariku!" Aku kedengarannya seperti bocah yang merengek minta permen pada ibunya. Tapi aku tidak peduli. "Ajari aku genjutsu, Sensei. Onegai…"
"Ittai… tanganmu, Sakura…" Kaka-sensei meringis seperti menahan sakit.
Aku tersentak dan langsung melepaskan tangannya. Sepertinya aku tadi tidak sengaja meremas tangannya dengan sekuat tenagaku. "G-Gomenna…"
"Hn." Dia mengibas-ibaskan tangannya. Aku meringis minta maaf. Dia kemudian menghela napasnya. "Dengarkan aku, Sakura. Kalau kau benar-benar ingin mempelajari genjutsu, lebih baik kau belajar langsung dari ahlinya, dan Kurenai-sensei adalah master genjutsu terhebat yang dimiliki Konoha. Kau akan cepat belajar dengannya. Lagipula…" dia terkekeh, "Bukankah kau pernah mengataiku tidak kreatif menggunakan genjutsu?"
Itu karena kau selalu menggunakan Sasuke-kun yang terluka untuk mengelabuhiku! Tapi itu tidak penting sekarang.
Aku menatapnya tak sabar. Sensei no baka! Kenapa tidak bisa melihat kalau aku hanya ingin menghabiskan waktu denganmu, sih? Padahal aku sudah menahan malu begini memohon-mohon padamu. Baka! Baka! Baka!
"Kenapa sih, Kakashi-sensei seperti tidak mau meluangkan waktu buatku?" jeritku tanpa bisa kutahan lagi. "Kenapa hanya Sasuke-kun dan Naruto saja yang kau perhatikan, sementara aku sepertinya hanya sebagai pelengkap dalam tim?!" Dia tampak kaget, tapi aku tidak peduli. "Dulu kau mengajari Sasuke-kun teknik Chidori! Lalu kau membantu Naruto menyempurnakan Rasenshuriken-nya! Sedangkan aku? Kapan kau meluangkan banyak waktu untukku, Sensei?"
Aku nyaris menangis, sama sekali tidak memedulikan orang-orang yang mulai memandangi kami.
"Sakura…" ujarnya dengan kesabaran yang luar biasa menghadapi sikap kekanak-kanakkanku. "Bukannya aku tidak ingin. Aku juga tidak ingin dianggap tidak adil. Tapi selama ini kupikir kau berada di bawah guru yang lebih tepat untukmu, Tsunade-sama. Aku hanya menginginkan yang terbaik untuk tim-ku. Kau mengerti, kan?"
"Masalahnya bukan itu!" aku memekik tak sabar. "Aku hanya ingin menghabiskan waktu denganmu! Karena aku sangat menyukaim—"
Aku terkesiap saat menyadari apa yang baru saja kuteriakkan. Kata-kataku langsung terhenti dan aku memekapkan tangan ke mulutku, seakan takut mulut kurang ajar itu akan berulah lagi tanpa perintah otakku. Wajahku memanas luar biasa dan aku tidak akan heran uap panas menguar dari kedua telingaku. Aku memerah—sudah tentu. Dan kurasa Kakashi-sensei juga bisa melihatnya.
"Huh?" Dia menatapku bingung. Alisnya terangkat tinggi sekali, nyaris menghilang di bawah rambutnya yang terjatuh ke kening.
"Tidak," ucapku pelan setelah menemukan kembali suaraku. "Tidak. Lupakan saja, Sensei. Gomennasai…" aku membungkuk padanya. "Aku pergi dulu."
Dan aku pun melesat pergi secepatnya dari sana, seraya mengutuki ketololanku sendiri. Sekarang aku sudah habis. Riwayatku sudah tamat. Tutup buku.
Bagaimana bisa aku mengatakan itu? Aaaargh!!
Aku baru saja sampai di depan halaman gedung apartemenku ketika tiba-tiba ada yang menepuk pundakku. Aku terlonjak kaget dan menoleh. Hatiku mencelos saat mendapati Kakashi-sensei berdiri di belakangku. "S-Sensei?"
Mata kelabu itu tersenyum—atau kukira begitu. "Kalau kau begitu ingin belajar genjutsu denganku, datanglah ke lapangan tempat biasa tim tujuh berlatih pukul sembilan pagi." Tanpa menunggu jawabanku, dia menghilang bersama kepulan asap.
"H—Hai'" jawabku pada udara kosong.
Aku tidak tahu apakah harus senang atau resah menunggu besok pagi. Yang jelas malam itu aku tidak bisa tidur, memikirkan apa yang akan terjadi besok.
Ya, ampun… Aku akan berlatih berdua saja dengan Kaka-sensei? Ya, ampun… Ya, ampun… Ya, ampun…
Kami-sama… apa yang harus kulakukan? Aku tidak bisa datang… Tidak bisaaa…
Lama-lama aku bisa sinting betulan.
Keesokan harinya pukul sembilan pagi rasanya datang terlalu cepat. Aku tidak siap. Bagaimana ini..??
Aku mondar-mandir di kamarku.
Apa yang harus kupakai?—tentu saja pakaian yang biasa! Astaga… ada apa dengan otakmu? Terpolusi asap cinta?
Pukul sepuluh.
Aku masih mondar-mandir, menggerigiti kukuku sampai nyaris habis—oke, hiperbolis.
Pukul sebelas.
Mana hitaiate-ku?—apa itu yang terpasang di kepalamu, idiot!
Pukul dua belas.
Yah, kurasa cepat atau lambat aku harus menghadapinya juga, kan?
Terlambat tiga jam. Kurasa tidak terlalu parah dibandingkan terlambatnya Kakashi-sensei saat latihan pertama kami duluuu sekali, saat dia menyuruh kami datang pukul lima pagi, dan dia sendiri baru datang pukul setengah dua belas! Tapi tetap saja aku merasa tidak enak, karena aku memang terbiasa tepat waktu—biasanya.
Aku melihat Ino di pos gerbang saat aku lewat sana, flirting dengan… er… aku tidak begitu yakin. Izumo-san? Atau Kotetsu-san? Atau malah dua-duanya? Entahlah… aku tidak ingin memikirkannya sekarang. Ada hal lain yang lebih mendesak. Aku harus bergegas.
Sama sekali di luar perkiraanku, Kakashi-sensei sudah ada di sana ketika aku datang. Dia berdiri membelakangiku, menghadap batu peringatan tempat nama kawan baiknya terukir. Kedua tangannya tenggelam di saku celananya.
"Kakashi-sensei!" panggilku terengah. "Gomen, aku terlambat."
Dia berbalik menghadapku dan aku langsung berdebar-debar—semoga aku bisa terbiasa dengan sensasi ini nantinya. Raut wajahnya tampak seperti biasa. Mata kelabunya ramah menyambutku, tidak kelihatan marah atas keterlambatanku.
"Ada apa, Sakura?" tanyanya dengan nada santai. "Baru saja tersesat di jalan bernama… em… cinta?"
Sekarang aku mengerti apa yang dirasakan Hinata setiap kali dia berhadapan dengan Naruto, mengapa dia bisa pingsan begitu mudah. Karena itu terjadi padaku sekarang ini.
Aku benar-benar terjatuh.
. : O W A R I : .
C & C, please...??
