Time Traveler

Naruto © Masashi Kishimoto

Ditulis tanpa mencari keuntungan materil sedikit pun, just for fun.


Naruto – Part 1

"Prolog"

Hari pelantikan Hokage Ke-6.

Seharusnya hari ini adalah hari yang kutunggu-tunggu. Seharusnya hari ini aku senang karena impianku sebentar lagi tercapai. Aku bilang 'seharusnya' karena memang yang terjadi sekarang adalah sebaliknya. Aku sama sekali tidak menunggu-nunggu hari ini, bahkan aku tidak merasa senang sedikit pun. Entah kemana perginya semua euforia yang sempat kurasakan beberapa hari yang lalu.

"... kami sudah mendapatkan laporan bagaimana kau berjuang dalam perang dunia ninja," ujar Daimyo, pemimpin tertinggi Negara Api saat memberikan sambutan dalam acara pelantikan Hokage.

Sejak setengah jam yang lalu, aku tak fokus memperhatikan sambutannya karena pikiranku disibukkan oleh hal lain. Hal lain itulah yang membuatku tidak bersemangat mengikuti acara ini.

"Uzumaki Naruto," lanjut Daimyo, akhirnya sampai di acara inti. "Atas jasa-jasa, pengabdian, dan kesetiaanmu selama ini terhadap Konoha, serta atas rekomendasi dari para dewan dan tetua desa, aku sebagai pemimpin tertinggi Negara Api mengangkatmu sebagai Hokage Ke-6. Majulah ke depan, Naruto."

Kakiku terpaku di tempatnya.

"Naruto?" tanya Daimyo bingung. Mata sayu karena efek penuaan itu menatapku bingung. Aku tak juga menanggapinya. Kupandang deretan awan di atas sana, seiring dengan pikiranku yang kembali ke kejadian sehari yang lalu.

.

.

.

"Uhuk! Uhuk!"

Aku berusaha bangun dari posisiku yang terjatuh di tanah. Aliran darah masih mengalir dari sudut bibirku. Perutku rasanya seperti terkoyak hingga membuatku muntah darah. Itu semua adalah efek dari penggunaan Hiraishin no Jutsu. Di waktu luang, aku berusaha memperbaiki kekurangan jurus itu dengan mencoba berpindah tempat tanpa menggunakan kunai atau segel kertas khusus. Itu sangat berguna saat melarikan diri dari kejaran fansgirls-ku yang setahun terakhir ini semakin bertambah.

Aku tidak suka kepada mereka. Entahlah. Kupikir, kemana mereka sebelum ini? Kenapa mereka hanya mengagumiku setelah aku jadi pahlawan? Sikap itu sudah jelas memperlihatkan kalau mereka tidak benar-benar mengagumiku sebagai 'Naruto', mereka hanya mengagumiku setelah apa yang kulakukan untuk desa ini.

Sekarang, setahun setelah perang berakhir, akhirnya aku berhasil mempraktekkan Hiraishin no Jutsu tanpa menggunakan kunai atau media apapun. Hanya saja aku bingung kenapa efeknya bisa sefatal ini? Rasanya semua chakra-ku terkuras habis. Kedua tanganku saja tak henti-hentinya bergetar sampai sekarang.

Saat itulah aku mendengar bentakan seseorang. Bukan ditujukan kepadaku, tapi kepada orang lain entah siapa itu.

Aku berjalan pelan keluar dari semak untuk mencari tahu apa yang terjadi.

Nampaklah seorang pedagang buah yang kesal tengah membentak-bentak seorang gadis kecil. Bahkan ia tak segan melempari gadis itu dengan buah busuk. Aku terkejut melihatnya, tega sekali seorang anak kecil diperlakukan seperti itu.

"Jika tak akan membeli, lebih baik kau pergi jauh-jauh dari tokoku! Kehadiranmu hanya membuat pembeli takut!" bentak pedagang buah itu.

Aku tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi di sini. Kenapa gadis kecil itu harus ditakuti padahal dia tidak terlihat menakut-

Pemikiranku terhenti saat sekilas wajah mungilnya terlihat, tampaklah tiga pasang tanda lahir yang mirip kumis kucing. Rambut pirangnya panjangnya terurai hingga ke pundak.

Aku terpaku melihatnya. Aku tak terlampau bodoh untuk tidak menyadari apa yang baru saja kulihat. Aku hapal betul tanda lahir seperti itu. Kuusap pipiku sendiri, tanda lahir gadis itu sama seperti tanda lahir di pipiku ini. Ada yang salah di sini. Aku segera mengedarkan pandangan ke sekeliling desa. Aku hanya membutuhkan waktu 3 detik untuk menyadari kejanggalan di tempat ini.

Patung Hokage.

Patung yang menjadi ciri khas desa Konoha itu kini Hokage-nya hanya berjumlah 4.

Ini bukan Hiraishin no Jutsu! Ini jurus lain yang telah mengirimku ke masa lalu, lebih tepatnya masa lalu orang lain!

Sial!

Aku tak bisa menyembunyikan degupan jantungku yang kini makin kencang karena efek kepanikan. Banyak pertanyaan yang bermunculan di kepalaku saat ini. Tapi kukesampingkan dulu semuanya. Aku berusaha mengatur napasku yang tak karuan dan kembali berpaling ke gadis kecil tadi. Aku belum berani menebak siapa dia, tapi satu yang pasti, aku tak bisa membiarkannya terus-menerus dicaci dan dilempari buah busuk. Ayolah, sepengecut apakah orang yang dengan teganya menganiaya seorang gadis kecil?

Aku menahan rasa sakit yang masih terasa di sekujur tubuhku. Kupaksakan diri berlari ke arah mereka sekuat yang kubisa.

CRAAAT!

Kurasakan sebuah mangga busuk mengenai punggungku karena sekarang aku melindungi gadis kecil itu dengan badanku sendiri. Mangga yang tak layak makan itu hancur dan isinya tercecer di jaket orange milikku.

Perlahan gadis kecil di hadapanku mengangkat wajahnya, memandang wajahku.

"Kau tidak apa-apa?" tanyaku sambil tersenyum, berusaha agar tidak membuatnya takut.

Gadis kecil itu tidak menjawab, ia masih terlihat kaget melihatku. Mungkin perasaannya sekarang tak beda jauh dengan apa yang kurasakan saat pertama kali melihatnya beberapa saat lalu.

Aku kembali berdiri, menatap tajam pedagang buah itu. Aku mengerutkan keningku, merasa pernah melihat orang itu.

Ah! Aku ingat dia! Paman gendut dengan tahi lalat di dekat alisnya. Aku pernah mengalami hal yang sama, dibentak, dicaci-maki, dilempari buah busuk, saat itu aku berusia 10 tahun. Uang saku bulanan yang diberikan Sandaime-jiisan sudah habis dan aku kelaparan. Aku berusaha meminta kepada orang-orang di desa. Saat melewati toko buah, siapa yang tak tahan melihat buah-buah segar di sana saat kau kelaparan.

Aku tahu mungkin dia bukan paman yang sama dengan paman di duniaku, tapi rasa kesal ini tetap saja muncul. Kubuka jaket dan kubersihkan noda mangga busuk di sana. Ukh, aromanya benar-benar tak nyaman di indera penciuman. Apa yang dipikirkan paman itu? Apa dia tidak punya perasaan?

Dalam satu gerakan cepat, kudorong badan paman itu ke dinding toko, kutarik kerah bajunya, dan berkata dengan nada dingin, "Berikan apapun yang diminta gadis itu."

Pedagang itu terkejut. "Ti-tidak! Kau pikir dia punya uang untuk-" Sebelum ia menyelesaikan kata-katanya, kulempar beberapa uang kertas ke mukanya. Yang pasti, jumlah uang itu cukup untuk membeli setengah dari isi tokonya.

"Simpan kembaliannya," jawabku dingin.

Gadis kecil itu tak bisa menyembunyikan rasa laparnya, ia segera saja menunjuk beberapa buah yang ia inginkan. Aku tersenyum melihatnya, seleranya pada makanan tak beda jauh denganku waktu seumur dengannya.

Setelah selesai belanja di toko buah, kami berjalan pulang. Diam-diam kuperhatikan sosok gadis kecil di sampingku. Iris biru shapire, rambut pirang lurus sebahu, dan sepasang tanda lahir halus di pipinya. Dari sudut manapun kau melihatnya, ia sangat mirip denganku. Aku tak tahu siapa dia. Mungkinkah dia semacam 'Naruto lain' di dunia ini? Entahlah, yang jelas aku akan cari tahu secepatnya.

Sebelum pulang, aku mengajaknya ke Ichiraku Ramen. Dia senang bukan main. Melihat reaksinya, aku semakin merasa kami terlalu mirip. Bukan hanya fisik kami, tapi juga sifat kami. Sudah saatnya memastikan siapa dia sebenarnya.

"Siapa namamu nak?" tanyaku.

"Uzumaki Naruko. Aku akan jadi Hokage perempuan pertama di Konoha!" serunya bersemangat. Kuah ramen masih berbekas di samping bibirnya karena tadi ia menyeruput habis ramen miliknya.

Aku kembali terkejut, meski sebenarnya aku sudah menduga dia akan berkata seperti itu. Ia seakan melupakan kejadian tadi, menutupinya dengan sifat cerianya. Saat wajahnya berusaha memperlihatkan keceriaan ke dunia luar, aku yakin hatinya masih merasakan rasa sakit. Kenapa aku bisa tahu? Karena aku pernah mengalaminya. Makanya sekarang hatiku ikut sakit melihat pemandangan di hadapanku. 'Rasa sakit apa saja yang sudah kau lalui selama 10 tahun ini Naruko?' tanyaku dalam hati.

Kuambil selembar tissue dan kebersihkan bibirnya. Aku memasang keceriaan yang sama di wajahku, lalu berkata, "Aku percaya padamu, Naruko. Kau akan jadi Hokage yang hebat suatu hari nanti, Hokage terhebat yang pernah dimiliki Konoha."

Naruko membalas senyumanku, nyengir memperlihatkan deretan giginya yang putih. "Kau orang pertama yang percaya aku akan berhasil jadi Hokage!"

Kuusap pelan kepala Naruko tanpa melepas senyumanku.

"Oh ya, panggil saja aku Naru," tambahnya, "Itu lebih mudah diucapkan."

Kini aku pun terkekeh melihat tingkah sosok di hadapanku. Aku merasa Tuhan sedang mempermainkanku dengan mempertemukanku dengan versi perempuan dari diriku.

"Kalau kau siapa?" tanya Naru, baru sadar kalau aku belum memperkenalkan diriku. Aku agak bingung juga harus menjawab apa.

Kening Naru berkerut. Ia mulai tak sabar menunggu. Maka kujawab dengan jawaban pertama yang terpikirkan olehku.

"Aku kakakmu, Uzumaki Naruto."

Naru terbelalak tak percaya. Tanpa pikir panjang, ia langsung memelukku sambil menangis. Ia meracau mengatakan betapa senangnya dirinya saat tahu ia punya keluarga. Aku berjongkok, dengan ragu kubalas pelukannya. Senang sekali saat melihat reaksi senang sosok di hadapanku. Namun di saat yang bersamaan aku baru sadar jika jawabanku telah terlanjur memberikan harapan yang terlalu besar kepadanya. Aku tak tega untuk mengoreksi jawabanku, karena Naru sudah terlanjur senang. Apalagi saat ia memintaku untuk tinggal bersamanya. Aku merasa berat untuk mengatakan 'tidak'.

.

.

.

"Naruto, kau mendengarku?"

Aku tersadar dari pemikiranku saat Daimyo kembali memanggil namaku. Ia sudah bersiap menyerahkan jubah bertuliskan Hokage Ke-6 serta topi Hokage.

"Maka dengan ini kuresmikan kau menjadi-"

"Maaf," ujarku, memotong perkataan Daimyo. "Aku tidak bisa menjadi Hokage."

Sontak semua yang hadir di sana kaget. "Jangan bercanda di saat penting seperti ini, Naruto! Bukankah impianmu sejak dulu adalah menjadi Hokage?!" bentak Tsunade yang saat itu berada di meja depan, bersama para dewan.

"Aku tidak bercanda," ujarku mantap tanpa keraguan sedikit pun. "Aku tak bisa menjadi Hokage sementara diriku yang lain sedang menderita di luar sana."

"Apa maksudmu?" tanyanya lagi.

Aku mengigit bibir bawahku. Wajah sedih Naru terlintas di kepalaku. Tsunade-baachan tak akan mengerti perasaan Naru, perasaanku, perasaan kami. Semua orang yang hadir di sini tak akan mengerti bagaimana rasanya hidup sendiri sejak kecil, tanpa kasih sayang orang tua, dibenci oleh penduduk desa, dan juga diasingkan. Mereka tak akan mengerti rasa kesepian dan rasa sedih yang kami rasakan. Aku sudah merasakan kesepian dan kesedihan itu selama 17 tahun. Aku tak ingin perasaan itu juga dirasakan oleh Naru. Dia tidak boleh sepertiku. Sekarang Naru berusia 10 tahun, aku tak ingin dia merasakan kesedihan lagi, aku tak ingin ia menderita lagi. Aku ingin berada di sampingnya dan menemaninya setiap saat.

Kudengar nada-nada keheranan dari para penduduk yang menghadiri acara pelantikan. Bahkan beberapa ada yang terlihat kecewa mendengar keputusanku. Kuperhatikan wajah-wajah mereka. Ironis sekali. Dulu mereka menghinaku habis-habisan, sekarang mereka malah mengharapkanku menjadi pemimpin mereka.

Memikirkan hal itu semakin membuatku ingin cepat pergi dari tempat ini. Kutatap patung Hokage Ke-4 untuk terakhir kalinya. Tou-san, aku sudah berhasil menjadi pahlawan yang kau dan Kaa-san harapkan. Sekarang sudah saatnya aku memilih jalanku sendiri. Aku tahu mungkin bukan ini yang kalian inginkan, tapi ini jalan yang kupilih.

Lalu kutatap para penduduk Konoha. "Sudah saatnya kalian menjaga diri kalian sendiri. 'Monster' yang dulu kalian benci akan benar-benar pergi." Lalu yang terakhir, kutatap teman-temanku dan orang-orang yang kusayangi di Konoha. Kuakui banyak kenangan indah yang kuhabiskan bersama mereka, tapi aku harus pergi.

Baiklah! Cukup basa-basinya, saatnya pergi! Kuaktifkan segel Hiraishin no Jutsu, umm.. maksudku segel-entah-apa-itu yang belum sempat kuberi nama, yang akan mengirimku ke dunia Naru.

Meski segel tersebut agak berbeda dengan Hiraishin, namun beberapa dari Rokie 11 kelihatannya sudah punya firasat buruk. Mereka berusaha mencegahku, tapi keputusanku saat ini sudah bulat. "Selamat tinggal," ucapku sambil tersenyum, lalu lenyap dari hadapan mereka untuk menuju dunia lain menemui sosok yang mulai sekarang akan menjadi adikku, Uzumaki Naruko.

To Be Continue…


© rifuki