Kamichama Karin © Koge-Donbo
Fic © Haruka Hitomi 12
Warning: semi-OOC, typo(s), AU
.
Haruka Hitomi 12 proudly presents...
_The Thief of Love_
.
Tokyo di siang hari kala musim gugur tahun ini memang sedikit dingin—mungkin angin musim dingin sudah memutuskan untuk segera berlabuh. Padahal ini baru bulan Oktober. Beberapa orang lebih memilih bergelung dalam selimut hangat atau keluar dengan jaket tebal dan syal wool. Ini masih musim gugur! Mungkin alam memang akan selalu merubah jadwal suhu cuaca di setiap tahun. Plin-plan.
Hanazono Karin berdiri di sisi jalan. Ia mengenakan sebuah setelan jaket menyerupai jas cokelat muda selutut yang sudah terlihat usang dengan pita cokelat pula yang melingkar sempurna di pinggang rampingnya. Kacamata hitam yang ia kenakan berkilat licik kala Karin menemukan target yang ia incar. Seorang wanita tua yang memang terkenal kaya di prefektur itu. Manik gioknya mengikuti setiap gerakan targetnya setiap detik—seakan tak ingin melewatkan satu gerakan apapun.
Ia melangkah menyeberangi jalan menuju arah wanita tua yang baru saja keluar dari tempat perbelanjaan dengan menenteng beberapa tas plastik raksasa berisi benda-benda yang ia beli dan tengah menuju sebuah mobil berwarna silver yang terparkir sempurna di sisi jalan. Karin menyeringai tipis kala ia mendapati targetnya itu meletakkan dompetnya di sisi kanannya—sama sekali tak memasukkannya dalam saku atau tas, itu artinya rencanaku akan bertambah mudah.
Karin sengaja mempercepat langkahnya saat ia lewat di belakang wanita itu dan saat tepat berada di belakang punggungnya—layaknya seorang wanita workaholic, ia menyenggol wanita itu hingga tiga tas plastik yang tadi ia tenteng terjatuh. Keduanya memekik kaget dan buru-buru menunduk dan Karin sengaja menjatuhkan sebuah map yang ia bawa.
"Maaf obaa-san, aku sedang terburu-buru," kilah Karin sambil membantu memunguti belanjaan wanita tuaitu yang terjatuh tadi. Wanita tua yang usianya mungkin sudah mencapai kepala enam itu mengangguk dengan senyum hangat yang membuat kedua matanya tertutup rapat.
"Tidak apa-apa. Apa kau akan berangkat kerja?" tanyanya masih dengan senyum.
Karin mengangguk lalu satu tangannya yang mulanya memegang sebuah bungkusan barang yang tadi dibeli nenek itu beralih meraih dompetnya yang terjatuh tak jauh juga dari situ dengan lincah. Terlalu lincah untuk bisa tertangkap mata. Ia lalu meraih map nya yang merupakan salah satu propertinya juga yang terjatuh lalu menyelipkannya kebalik jasnya bersamaan dengan dompet nenek itu, "Ya, aku akan berangkat kerja."
"Wanita jaman sekarang memang hebat, mampu bekerja keras demi keluarga dan dapat menyaingi laki-laki. Di umur semuda ini kau bisa bekerja dengan mapan. Kau hebat nak," puji nenek itu lalu berdiri setelah semua belanjaannya rapi kembali—diikuti oleh Karin yang masih memasang senyum palsu itu di wajahnya. Baru saja Karin akan pamit untuk segera pergi karena sudah mendapatkan yang ia inginkan, seorang pemuda berkacamata mendekati nenek itu dan membungkuk berkali-kali, "Maaf nyonya! Tadi... tadi saya sempat mencari pinjaman uang recehan untuk parkir!" ucapnya dengan nada bersalah dan raut takut-takut.
Nenek itu menggeleng pelan masih dengan senyumnya, "Tidak apa-apa. Nah, ayo kita pulang. Bisakah kau membantuku membawa belanjaan ini?" pemuda yang sepertinya adalah pelayan nenek itu mengangguk lalu buru-buru mengangkat semua belanjaan nyonyanya ke bagian belakang mobil tanpa menaruh kecurigaan apapun pada Karin. Karin menggigit bibir ketika nenek itu kembali menatapnya, "Kalau kau mau, kau bisa menumpang sampai kantormu," ujar nenek itu lagi.
"Ti-tidak perlu!" sergah Karin cepat sebelum kedoknya terbongkar, "Sudah dekat kok baa-san! Maafkan aku ya. Aku duluan," ucapnya sambil mulai berlalu. Nenek itu tersenyum lalu melambai dan Karin berlari sampai ia masuk ke sebuah tingkungan sempit yang gelap disalah satu sisi sebuah toko dan mengelus dadanya karena usahanya berhasil. Ia menyeringai lalu meraih benda yang tadi ia 'curi' dari wanita tua kaya itu.
Dia orang kaya dan ia pasti takkan curiga. Toh, aku yakin ini pasti hanya sebagian kecil dari kekayaannya. Semoga dengan ini, aku dan obaa-chan bisa terbebas dari hutang-hutang itu...
Karin beranjak keluar dari tingkungan itu. Tentunya ia sudah kembali menyelipkan dompet itu ke dalam jasnya dan berjalan cepat-cepat darisana. Ia memilih mengambil jalan memutar—yang menurutnya lebih dekat untuk menuju rumah sederhananya yang ia tinggali dengan bibinya. Walau berhasil mendapat uang, Karin adalah seorang gadis yang 'pernah' berpendidikan. Keluarganya dulu—sebelum semuanya meninggal—adalah keluarga yang sangat menjunjung tinggi kejujuran. Ia tahu, mencuri itu salah. Tapi... ini demi kelangsungan hidupnya dan bibinya yang hanya bekerja sebagai seorang pekerja paruh waktu dengan gaji kecil pula. Tak ada pilihan lain... pikirnya sambil menatap nanar dompet di dalam jasnya itu, maafkan aku...
Ia baru saja akan menyeberang jalan sebelum sebuah tangan mencengkram lengannya erat. Gadis itu mengernyit lalu memekik kaget ketika tangan itu menariknya dan menyeretnya menuju sebuah sudut jalan yang sepi. Karin memejamkan mata—takut kalau-kalau itu orang jahat.
"Buka matamu. Aku tahu apa yang baru saja kau lakukan." Suara baritone itu membuatnya mendongak dan terperangah seketika mendapati sepasang manik safir menatapnya lurus dan tajam—membuat nyalinya nyaris ciut. Wajahnya pun memerah mendapati paras pemuda bersurai pirang itu yang tampannya diatas rata-rata.
"Siapa kau? Maaf, aku buru-buru," ucap Karin cepat sambil menghentakkan lengannya dari cengkraman itu sebelum pemuda itu kembali menahannya dan meletakkan satu tangannya di samping kelapa Karin—sehingga gadis itu menelan ludah susah payah dan memilih diam. Apa... apa lelaki ini tahu aksi buruknya tadi? Kalau ya, itu bisa gawat.
Pemuda itu menyeringai, "Aku tahu yang kau lakukan, nona. Kembalikan dompet itu atau kita ke kantor polisi sekarang."
Matilah! pikir Karin histeris. Ia menggeleng kuat-kuat, "Apa? Aku tak melakukan apapun!" kilahnya. Pemuda itu mendecak, "Mengaku saja. Kau tadi yang mengenakan jas cokelat dan membantu wanita tua tadi mengambili barang kan? Kau mengambil apa darinya?"
"M-mungkin kau salah orang!" sergah gadis itu lagi, "Bu-bukan aku saja kan yang mengenakan jas cokelat?!"
Pemuda itu menaikkan alis lalu berpikir. Memang benar, tadi ia melihat ada tiga orang yang mengenakan jas cokelat yang sama dengan gadis di depannya ini. Mungkin... pelaku pencurian itu juga bukan gadis ini—menurutnya. Mengingat tampangnya... yang bagi pemuda itu... terlihat terlalu polos untuk seorang pencuri. Ia menghela nafas lalu melepaskan cengkramannya pada lengan gadis itu. Membuat Karin sedikit lega lalu memijat-mijat lengannya yang masih terasa nyeri karena cengkraman tadi itu.
Karin memutuskan membuat sandiwara lagi untuk segera pergi darisana, "Kalau begitu, aku duluan Tuan. Dan aku sama sekali bukan pelaku pencurian itu," dustanya lalu beranjak pergi darisana. Ia menghela nafas lega mendapati pemuda itu tak mengejarnya, tapi hatinya tetap merasa was-was.
.
.
"Demi Tuhan, Hanazono Karin!" wanita itu membanting sebuntal uang yang kira-kira jumlahnya mencapai lebih dari lima puluh ribu yen itu keatas meja makan, "Sudah kubilang hentikan perbuatan dosa ini!" serunya lagi.
Karin mendecak lalu ikut bangkit dari posisi duduknya, "Aku melakukan ini untuk kita baa-chan!" serunya, "Aku mencuri agar kita sanggup bertahan hidup! Demi baa-chan, akan kulakukan apapun walau harus berdosa seperti ini! Dengan uang sebesar itu—walau hasil curian, setidaknya kita bisa bertahan!"
Wanita yang Karin panggil 'bibi' itu memijat pelipisnya dan duduk, "Jangan bertindak gila. Ini bukan hal baik. Aku sudah bekerja dan walau gajiku kecil, bukankah itu cukup untuk kita untuk makan selama sehari?"
"Hutangnya! Ingat hutangnya baa-chan! Hutang kita tak hanya ada di satu tempat! Jika kita tak melunasinya, kita bisa celaka!" sergah Karin lagi, "Kita gunakan sebagian untuk membayar hutang pada para yakuza itu dan orang-orang yang hutangnya belum kita lunasi dan sisanya untuk sehari-hari! Gaji baa-chan bisa untuk tabungan!"
"Kau masih muda, jangan sia-siakan hidupmu untuk hal buruk macam ini. Jika kau terus-menerus rela mencuri demi bibimu ini, aku takut kau akan melakukan hal lebih buruk lagi demi uang. Aku mohon hentikan, " ucap bibinya lagi, "Hutangnya biar aku saja yang mengurusnya. Kau masih muda, walau kau tak bisa sekolah lagi karena masalah keuangan kita, carilah sesuatu yang berguna. Kalau kau mencuri lagi dan sampai kau ketahuan—"
"Aku tak mau kalau kau dibunuh oleh mereka!"
Keduanya terdiam. Karin mengatur napasnya sementara bibinya itu mengerjap sejenak lalu berucap dengan senyum sedihnya, "Itu hanya ancaman mereka bila kita tak dapat melunasi hutang. Paling kita hanya akan diusir..."
Karin menggeram kesal, "Bagaimana kalau lebih dari itu?! Itu alasannya kenapa aku mencuri! Untuk melunasi hutang kita! Walau ancaman, kalau mereka benar-benar melakukannya bagaimana?! Baa-chan adalah satu-satunya keluargaku yang tersisa, aku tak mau kehilanganmu. Aku takkan ketahuan. Aku takkan merepotkan baa-chan. Kumohon, ini agar kita selamat dari para yakuza itu dan bisa bertahan hidup untuk seterusnya!" ujar Karin lagi lalu ikut mendudukkan diri sementara wanita yang duduk dihadapannya yang sudah merawatnya selama tujuh belas tahun menghela nafas sambil menggeleng. Dalam hati, ia hanya bisa memohon pengampunan dari Kami-sama untuk keponakannya ini.
.
.
Keributan benar-benar terjadi di esoknya. Masih pagi—masih sekitar pukul delapan pagi dan di tengah pusat kota benar-benar terjadi kericuhan. Seseorang yang ketahuan mencuri uang dari seorang gadis muda menjadi pelakunya. Disaat gerombolan orang itu mengejarnya bagaikan paparazzi, Hanazono Karin—yang lagi-lagi menjadi tersangka pencurian ini berusaha menyembunyikan dirinya sekuat yang ia bisa. Mulai dari masuk ke bis umum dan tetap diikuti massa, masuk ke pusat perbelanjaan bahkan masuk ke toilet umum. Tapi ia memang gadis yang lincah sehingga walau beberapa orang sempat mengejarnya, kemampuan berlari mereka ada jauh dibawahnya. Ditambah ia lumayan menguasai bela diri—sehingga setidaknya ia bisa tenang kalau-kalau nanti dikero—ah, apa-apaan itu? Ia seperti menyumpahi diri sendiri.
"Aku sudah dapat uangnya dan lebih baik aku pergi sekarang," gumamnya lalu mengenakan jaket merah bertudung miliknya dan berjalan pelan keluar dari tempat persebunyiannya disalah satu sudut jalan.
Namun, disaat ia mengira semuanya sudah berjalan mulus seperti hari-hari sebelumnya, ternyata ia salah. Teriakan seorang gadis membuatnya tercekat dan menghentikan langkahnya, "Dia disana! Dia yang mengambil tas ku! Aku tak mungkin salah lihat!" dari gadis yang menjadi korban pencuriannya kali ini.
Sialan! batin Karin lalu kembali mengambil langkah seribu dan berlari dari sana secepat yang ia bisa sementara di belakang sana kerumunan yang mengejarnya semakin bertambah saja. Karin menepuk dahinya ketika ia terjebak macet. Trotoar? Penuh pejalan kaki. Bisa mati dikeroyok masa dia. Jalanan? Macet total. Tapi setidaknya itu bisa mengurangi kemungkinan orang-orang itu dapat mengejarnya dengan cepat. Akhirnya, ia memilih berlari ke tengah jalan raya—berlari di sela-sela kendaraan yang berjejer dan berderet dan berbaris itu. Benar dugaannya, masa yang mengejarnya tadi mulai sulit menyusulnya.
Karin mendengus keras kala gadis bersurai gelap yang menjadi korbannya tadi ikut berlari—jaraknya paling dekat dengannya pula! Mungkin kemampuan gadis itu berlari bisa disamakan dengan Karin. Gadis itu menggeram kesal sambil tetap mengejar Karin yang ada di depannya. Karin mendecak lalu berbelok mendadak ke sebuah jalan yang cukup renggang—karena bukan jalur utama. Karena ia berbelok tiba-tiba, gadis yang menjadi korbannya tadi kehilangan jejaknya. Kesempatan emas! pikirnya senang dalam hati tapi ia kembali merengut ketika gadis bersurai gelap itu berhasil menemukannya dan kembali mengejarnya—tapi sepertinya sebagian besar masa kehilangan jejaknya.
Karin mempercepat langkahnya. Dan ia mendapat ide kala melihat dua mobil yang terparkir didepannya—yang di belakang mobil sedan biasa dan yang di depan ada mobil tanpa atap yang terlihat mewah. Akhirnya, berbekal nekat, ia naik ke bagian belakang mobil sedan itu lalu berlari diatas atapnya dan meloncat kearah mobil di depannya lalu mendarat mulus didalam mobil tak beratap di depannya itu. Ternyata, di dalam mobil itu ada seorang gadis bersurai pirang dan seorang lelaki yang bersurai pirang pula. Sang gadis memekik kaget mendapati seseorang dengan jaket bertudung tiba-tiba memasuki mobilnya dari atas dan sang lelaki hanya membelalakkan mata terkejut—sebelum Karin dengan nekat menekan tombol yang membuat kain hitam yang berfungsi sebagai pengganti atap mobil dari logam yang kini menutupi atap mobil itu yang tadinya terbuka.
"Diam dulu," ucapnya. Kedua orang yang duduk di bangku depan menatapnya dengan pandangan bingung—dari sang pemuda—dan takut—dari sang gadis. Karin menunduk dalam, supaya gadis yang tadi menjadi korban pencuriannya tak melihatnya yang bersembunyi di dalam sebuah mobil.
Gadis bersurai pirang itu mencicit, "T-ta-tapi—"
"Sst! Diam!" desis Karin lagi lalu semakin menundukkan tubuhnya. Dan selanjutnya, ia mendesah lega ketika gadis bersurai gelap yang merupakan korbannya tadi juga yang mengejarnya sejak tadi berlari lagi kearah lain—kehilangan jejak Karin, "Fuuh~ yokatta..." gumamnya lalu bersandar di kursi bagian belakang dan mengusap dahinya yang di penuhi peluh. Yang benar saja, ia berlari hampir selama dua puluh menit.
"Kau pencuri?" pertanyaan dari sang pemuda yang duduk di bangku setir membuatnya mendongak lalu mengangguk pelan. Sang gadis yang duduk di sisinya menahan napas kaget, "K-kumohon... ja-jangan sakiti kami..." ucapnya takut.
Karin tertawa lalu menggeleng, "Tidak. Aku hanya butuh ini." Dan ternyata gelengannya itu membuat tudung yang ia kenakan terlepas dan menampilkan surai brunette nya yang tergerai bebas—membuat dua orang di depannya melongo.
"K-kau... perempuan...?" sang gadis menunjuknya dengan raut horror sementara sang pemuda memicing tajam kearahnya, "Benar kan dugaanku," dan ucapan itu membuat Karin juga gadis pirang disampingnya menoleh bingung, "Kukira kau gadis yang polos yang tak mungkin mencuri."
Manik giok Karin membola melihat sosok pemuda itu. Itu pemuda yang mencegatnya setelah ia melancarkan aksinya tempo hari! Pemuda itu menyeringai menatapnya dan sebelum sempat kembali melancarkan ucapannya, Karin memekik lalu menutup mulut pemuda itu dengan telapak tangannya, "Diam! Diam, diam diaaaammm...!"
Ketiganya terdiam di dalam mobil sampai akhirnya sang gadis pirang memulai perkataannya, "A-ano... apa... a-apa kau punya a-alasan kenapa me-mencuri?" tanyanya masih dengan nada takut.
"Ceritakan alasanmu atau kami akan melaporkannmu sekarang juga," ancam sang pemuda yang sudah lepas dari tangan Karin itu. Karin menunduk dan ia kembali duduk di kursi belakang lalu mengangguk pelan.
"Kalau aku tak dapat uang, aku takkan bisa melunasi hutang dan bibiku bisa dibunuh..." dan penjelasan itu membuat dua orang di hadapannya membelalak, "Bibiku... adalah satu-satunya keluarga yang kumiliki," ucap Karin lalu menunduk dalam, "Beberapa bulan lalu, setelah kematian kedua orang tuaku dalam sebuah kecelakaan pesawat, bibi merawatku dan membiayai sekolahku. Tapi bibi bukanlah orang berada. Ia meminjam uang pada orang banyak untuk biaya sekolah—bahkan pada para yakuza dengan bunga yang tinggi. Karena aku tak mau terus menyusahkannya, aku berhenti sekolah dan mulai membantunya sampai aku tahu jaminan kalau bibi tak bisa melunaskan hutangnya pada para yakuza itu, ia akan dibunuh. Sejak saat itu aku memutuskan untuk mencuri karena tak tahu harus bagaimana lagi untuk mendapat uang..." ia memainkan jarinya diatas permukaan jok mobil itu—membentuk pola-pola aneh dengan jemarinya.
"Siapa... namamu?" pertanyaan dari sang pemuda membuat ia mendongak.
"Hanazono... Karin."
Ketiganya terdiam sampai sang gadis pirang menepuk tangannya satu kali lalu mengulurkan tangannya, "Yah, salam kenal kalau begitu. Aku Kujyo Kazusa dan ini kakakku, Kujyo Kazune," dengan senyum lebar.
Karin tersentak. Sementara itu, lelaki yang bernama Kazune itu menyenggol adiknya, "Kau—"
"Sst! Nii-san! Kau dengar alasannya mencuri kan? Demi keluarganya! Kita harus membantunya!" ucap gadis bersurai pirang dengan bando telinga kelinci itu—Kazusa.
Kazune memutar bola matanya, "Bisa saja ia berbohong atau apa." Kazusa menggeleng tegas lalu kembali menatap Karin dengan senyumannya, "Aku yakin Karin-san adalah gadis baik."
Karin hanya melongo saat lelaki di depannya akhirnya mengangguk menyetujui ucapan adiknya. "Kalau begitu baiklah," ucap Kazune lalu kembali menghadap depan, "Biar kami antarkan kau sampai rumahmu." Kazusa mengangguk setuju dan mobil itu mulai melaju dengan kecepatan rata-rata.
"Ano... ka-kalian takkan melaporkanku kan...? Kalau me-melaporkanku, ba-bagaimana nanti nasib bibiku?" tanya Karin takut-takut. Kazusa menoleh ke belakang lalu menggeleng, "Tentu tidak, Karin-san! Kau melakukannya dengan alasan yang masuk akal dan benar-benar mendesak kan? Tapi... jangan lakukan lagi ya...?"
Karin menunduk lalu menatap keluar jendela, kalau tidak melakukannya lagi... bagaimana caranya agar aku bisa melunasi hutang-hutang bibi...?
.
.
.
TSUZUKU
.
Saya kembali dengan fic multichap baruuu~~~! *tebarconfetti* #kebiasaan
Hoho... untuk permulaan 2k+ dulu ya! Nanti kalau pada minta lanjut ku tambahin words nya (padahal mood ngetik lagi bejibun... T^T) nah, nah, bagaimana dengan chapter 1? Maaf kalo judul GaJe, saya gak punya ide lagiii... tapi setidaknya saya bersyukur. Setelah berminggu-minggu terkena WB akut, saya bisa dapet ide lagi. Hohoho... sejauh ini saya sudah mikir gimana plot nya dan endingnya, jadi tenang saja. Kalau soal updet kilat... hum, saya usahakan ya. Kalau gak bisa ya maaf, dah mulai masuk soalnya, muehehehe #dibuang
Bagaimana minna-san? Maafkan segala kekurangan dari fic saya ini ya! Tapi... kalau pada mau ngritik kekurangannya ya ga papa, saya kan memang author abal-serba-berkekurangan. Taruh pendapat di kolom repiu aja, feel free to express your feelings~! *sokinggrisloThor!*
Nah, lanjut atau delete?
.
Boyolali, Minggu, 18 Agustus 2013, 4.37 P.M
.
Salam sejahtera(?)
Haruka Hitomi 12
