Jangan melangkah terlalu jauh, karena aku takut tak mampu menggapaimu.

Ayo! Aku akan ulurkan tanganku guna menggenggam jemarimu. Aku akan iringi langkahmu yang selalu terasa sepi, dan kamu tidak akan sendirian lagi. Karena ada aku disini. Kita bersama...

Aku akan menyalurkan kehangatan melalui sela jari tanganku, jadi jangan takut kedinginan.

Jangan terlalu sering menoleh ke belakang, karena aku tepat di hadapanmu.

Jika kamu merasa lelah, maafkan aku yang tidak bisa menjanjikan sebuah sandaran padamu. Tapi, ayo, kita cari sandaran itu bersama.

Jangan menangis sendirian lagi, karena ada aku yang senantiasa menghapus air matamu.

Ayo, kita berjalan bersama, menciptakan dua pasang jejak kaki yang akan terukir indah dibaliknya.

Hangat bukan?

Jika kamu merasa kedinginan, kumohon jangan sungkan. Ada aku yang senantiasa menjadi api unggunmu.

Dan... Biarkan aku menganggapmu sebagai rumah. Dimana sejauh apapun aku melangkah, kamu akan menjadi tempatku pulang.

Ya... Aku tidak pintar menulis seuatu yang indah 'sih, tapi...

KIM SEOKJIN, AYO KITA MENIKAH.

With love, Namjoon kim.

.

.

.

Seokjin meremas kertas sewarna merah muda di kedua telapak tangannya, kepalanya menggeleng kuat, menahan setiap dentuman emosi yang kini mulai menusuk tiap inci bagian kepala dan hatinya.

Seokjin jatuh terduduk, mengabaikan pekikan beberapa orang yang berusaha membantunya untuk segera berdiri. Namun dia enggan.

Air matanya turun tak beraturan, membasahi wajah yang kian lama kian memerah.

Ia terisak dalam. Nafasnya terputus-putus karena tangisan yang tak dapat ia sembunyikan.

Puluhan kali ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri, bahwa yang ia alami hanyalah mimpi.

Namun peti mati penuh bunga di hadapannya sudah cukup menarik Seokjin dalam pilu harinya.

Mengabaikan senyum berbingkai pigura hitam di hadapannya. Menyelami nasib yang baru saja menghantam tepat ke dalam sudut nalurinya.

Seokjin gamang...

Ia bersujud, menghabiskan segala keluh kesahnya dengan menangis, memeluk erat selembar kertas merah muda kusut yang baru beberapa menit lalu ia baca.

Seokjin tidak terima.

Seokjin terduduk kembali. Mengamati pigura hitam tersebut lamat-lamat. Kemudian tangisnya makin menjadi.

"Kau dusta! Apa yang akan ku genggam Namjoon?!" Seokjin meraung.

"Apanya yang menemani langkah? Apa Namjoon? Apa... A-apa yang harus aku lakukan sekarang?" Seokjin menangis lirih, mengabaikan pandangan iba belasan orang di sekitarnya.

Ia tidak peduli lagi.

Karena orang yang berjanji mengenggam tangannya hingga akhir, kini telah pergi.

.

.

.

- Telah beristirahat dengan tenang, Kim Namjoon. 15 Februari 20** -

.

.

.

END

Jangan tanya mengapa aku buat sesuatu yang seperti ini. Intinya, Spring Day justru buatku galau.

-salam cinta, Eat Jinnie-