PROLOGUE

"Pertanyaan terakhir. Korea Selatan dilanda bahaya besar. Negara bekas jajahan Jepang ini kembali memperingatkan para pemimpin negeri akan kemungkinan masuknya bibit-bibit penjajah untuk kembali menguasai Korea. Presiden lewat wakilnya terpaksa melarang diperdengarkannya musik pop korea di seluruh wilayah negeri hingga ke pelosok-pelosoknya. Ketetepan ketentuan ini dikarenakan musik pop korea yang sedang marak-maraknya didengar tersebut agaknya mengarah pada kebarat-baratan. Kondisi ini diperparah dengan banyaknya unjuk rasa di mana-mana yang bersikeras menentang kebijakan pak kepala negara. Status 'diwakili' presiden dianggap pengecut oleh sebagian orang serta gagal dalam mengambil segala tindakan yang diperlukan."

Masuk telinga kanan lalu keluar telinga kiri-ucapan pembicara itu sama sekali tak diindahkan. Jemarinya tak kunjung berhenti bergerak naik-turun tuk membersihkan lensa kacamatanya yang kotor secara bergantian dengan sapu tangan kecil yang ia selalu simpan di saku celana setelan hitamnya. Lantas ia berdiri setelah kembali memasangnya. Dengan segera, sang sekretaris mengambilkan jasnya yang tersampir pada punggung kursi lalu membantu mengenakannya.

"Inilah kata calon presiden kita. Silahkan, Tuan 'Nomor Satu'." Tangannya terayun tegas menunjuk pijakan podium dan sekaligus membantunya naik. Uluran tangan itu digenggamnya tak terlalu erat-tak sampai diremas. Tatapannya seketika meneduh melihat banyaknya papan-papan kecaman atas kebijakan presiden. Dengan senyum yang terkembang, ia berkata,

"Jujur saya sangat terkejut melihat Anda semuanya di sini. Sangat, sangat terkejut. Namun, saya sangat paham apa maksud Anda semuanya kemari. Saya sendiri sebagai calon pemimpin nomor satu Korea Selatan sangat tidak setuju dengan langkah yang Presiden Won ambil. Musik pop korea bisa menjadi potensi budaya Korea Selatan yang nantinya akan menjadi daya tarik turis asing. Dunia pasti akan melirik Korea karena musik popnya."

Dalam sekejap, ruang debat menjadi riuh akan dukungan untuknya. Senyumannya semakin melebar lega karenanya. Tak sampai semenit, massa kembali membisu melihat lawannya berdiri dari kursi. Langkahnya terhenti setelah naik ke podium, tangannya menarik kasar mikrofon-yang ia gunakan untuk berpidato sehingga menghadapnya. Lalu, ia rendahkan kepalanya agar mulutnya sejajar dengan benda hitam tersebut. Telunjuknya terlihat mengetuk-ngetuk pelan permukaan mikrofon-mengeceknya sebelum tenggorokannya terbatuk membersihkan suara.

"You're bluffing, aren't you? Kau memanfaatkan situasi kondisi yang ada dengan janji-janji palsumu itu 'kan? Sayangnya Korea Selatan tak sebodoh yang kau pikirkan." Seringaiannya melebar kala tenggorokannya tercekat tak bisa menjawab olokan dari lawannya tersebut. Badannya lebih memilih menghadap depan dibanding menjawab ejekan itu. Tanpa diketahui, ujung bibirnya sedikit tertarik ke atas, membuat sebuah seringai meremehkan tercetak samar-samar pada bibirnya. Sedikit demi sedikit mulutnya mengeluarkan kekehan kecil yang menjadi gelakan tawa olehnya.

"Aku tidak sebaik yang kau ucapkan, tetapi aku tak seburuk apa yang terlintas di hatimu." Kepalanya sedikit tertoleh, berusaha melihat sang lawan dari ekor matanya sambil tetap menyeringai lebar.

"Memang apa yang akan kau perbuat jika berada di posisiku?" Tanyanya balik membuat dagunya mengeras dan giginya digertakkan-kesal dan marah bercampur menjadi satu ketika dirinya dirasa sedikit menyinggungnya. Mulut mengatup rapat, kini gilirannya membisu tak bisa menjawab perlawanannya tadi. Lantas dirinya mundur untuk kembali duduk.

Senyuman puas kembali terukir di bibir. Kepalanya kembali menghadap depan. "Sudah. Begitu saja." Tambahnya sebelum berjalan mundur kembali ke kursinya di sebelah lawannya tadi.

"Ada yang ingin menambahkan?" Tanya sang pembicara dengan sorotan mata seakan-akan bertanya pada satu per satu dari mereka. Mereka menggelengkan kepala, termasuk anak semata wayangnya. "Baik, kita break sebentar." Setelah itu, sang anak melangkah maju mendekat kepada ayahnya. Tubuhnya membungkuk akibat ayahnya yang duduk-hingga mulutnya sejajar dengan telinga kanan sang ayah.

"Saya ke kamar kecil sebentar." Sedangkan sang ayah yang merasakan hembusan napas hangat pada telinganya sedikit tertoleh. Mendengar itu, dirinya mengangguk mengizinkan. "Cepat." Kepalanya dengan otomatis mengangguk mematuhi perintah sang ayah.

Langkahnya sedikit berantakan karena kakinya sudah lelah berlari, ditambah dengan jarak kamar kecil dengan ruang debat yang lumayan jauh-berbeda satu lantai. Setelah sampai, lengan setelannya langsung ia gulung sesiku, tak ingin membasahi jam tangan klasik warna peraknya. Lantas ia hidupkan kran wastafel untuk ditampungnya sebentar dalam telungkupan tangannya sebelum membasuhkannya pada muka. Telapak tangannya bergerak naik turun hingga sisi samping wajahnya. Tak jarang telapak itu dipukul-pukulkan pada permukaan wajahya, membuat suara tamparan yang tak terlalu kencang.

Semua pergerakannya tiba-tiba terhenti di saat seseorang masuk untuk buang air kecil membelakanginya. Kepalanya sedikit terdongak ke atas lega karena 'sesuatu' yang dari tadi ia tahan akhirnya keluar. Tepat di saat ia ingin mengambil selembar tisu untuk mengeringkan wajahnya, terdengarlah bunyi celana yang diresletingkan kembali. Badan tegap gagah itu berbalik, memperlihatkan seringai yang ia tahu milik siapa. Lalu, kakinya melangkah ke depan mendekatinya, tangannya terangkat meraih bahunya membuat sang empu sedikit tersentak. Badannya gemetar di saat hembusan napas iti sampai di telinga kanannya.

"Roda pasti akan berputar. Sang penguasa akan jatuh, yang terinjak berganti berkuasa. Semua itu sedikit demi sedikit akan memakanmu dan ayahmu hidup-hidup hingga hanya ada satu Jeon Jungkook di dunia ini. Dan salah seorang yang akan membuatnya terlihat sangat adalah aku, diriku. Karena akulah...

...yang kedua"

Setelah itu, dirinya beranjak keluar dari kamar kecil meninggalkan badannya yang membeku. Telinganya seakan-akan merekam sekata demi kata, membuat hatinya makin gelisah. Lantas rekaman itu terus-menerus diputar layaknya lantunan lagu. Tangannya dibiarkan terangkat mengusap wajahnya yang masih basah karena air, mengeringkannya sambil menatap kaca seolah bertanya kepada pantulan dirinya di kaca tentang apa yang sedang dan akan terjadi nantinya. Kapasitas otaknya seakan tak cukup menerima saking banyaknya hal yang ia pikirkan, walau bisa dikatakan ia paksa untuk memikirkannya.

Mimik wajahnya terus saja tegang, otot mukanya terlalu kaku selepas dirinya beranjak meninggalkan kamar mandi. Kepalanya tertoleh hanya dihadiahi seringaian yang menurutnya seram dari lawan sang ayah. Sorot matanya seakan berbicara mata dengan mata dengan miliknya.

'Kau tidak akan pernah lepas dariku.' Katanya.


- bersambung -


Hello~ Hello~

Sorry ya kalau ffku yang satunya dihapus

Jadi ceritanya, ff itu mau digabungin ke ff ini. Jadi, mau tidak mau ff itu harus dihapus. Apalagi, baru satu chapter.

Aku minta maaf banget bagi reader yang nungguin ff itu (walaupun gak ada yang nunggu) yang udah nge-follow cerita maupun author. Aku bener-bener minta maaf.

Nah. Sekarang, aku nulis ff baru lagi. Karena ideku yang terbatas, jadi ide ff hari-hari agak jelek. Maaf ya...

Kalau gak suka gapapa kok gak usah dibaca. Ffnya memang gak bagus-bagus amat plus jauh banget sama apa yang dipikirkan reader sekalian.

Apalagi tahun ini banyak banget urusan sekolah yang harus diurusin. Dan ya...gimana lagi. Hal ini bakal berimbas sama cepet lamanya ff ini bakal diupdate. Sudah aneh, kekurangannya+++

Sekali lagi, minta maaf ya~

Kindly drop your comment and check my new wattpad account : firstofficial

Thanks ^_^