Give Up On You

.

.

.

.

Ada beberapa malam dimana Jungkook hanya duduk dalam keheningan menyiksa diatas tempat tidurnya dengan lampu yang tidak menyala dan gelap malam menghantui. Ada beberapa malam Jungkook tidak akan bicara sama sekali karena saluran pernapasannya terasa lebih sesak dan bibirnya yang bergetar hebat. Ada beberapa malam ia akan ambruk namun tidak membanting dirinya keatas lantai kayu yang keras. Ia hanya, ambruk. Jatuh terpecah belah dimasa lalu. Lalu ada beberapa malam dimana Jungkook akan menangis tanpa suara karena jantungnya terasa seakan menerobos keluar. Tapi juga ada beberapa malam dimana Jungkook harus menahan ledakan tangisannya diatas bantal hanya karena ia terisak terlalu keras. Karena apapun yang terjadi pada beberapa malam tersebut, ia tidak akan mampu mengubah apapun.

"Aku menaruh harapan terlalu tinggi." Saat itu Taehyung terlihat begitu cantik. Taehyung yang menangis dibawah rembulan dan kesunyian dinding apartemen mereka terlihat luar biasa menawan. Jungkook ingin berjalan kearahnya, memeluknya, membawa seluruh raga dan jiwa Taehyung untuk bersatu dengannya, tapi ia hanya diam. Kakinya serasa lumpuh saat itu.

Bukannya menghapus air mata yang terus menerus jatuh dari pelupuk mata indah milik Taehyung, Jungkook hanya mampu bertanya dengan bodohnya, "Tentang apa?"

"Tentang kau yang juga mencintaiku." Suara Taehyung adalah musik favoritnya. Tapi kali ini, lantunan itu terdengar sangat tersakiti. Dan Jungkook lah pelakunya.

"Kau tidak pernah mencintaiku." Taehyung tersedak dan menangis lebih keras. Oh betapa pemandangan itu layaknya menusuk jantung Jungkook beribu-ribu kali. Seandainya Jungkook tidak menjadi pengecut malam itu dan memutuskan untuk berlari kehadapan Taehyung, menahan tubuhnya, memeluknya kuat-kuat agar Taehyung tidak pergi, membisikkan kata-kata 'aku mencintaimu' hingga pagi menjelang, membuktikan pada Taehyung bahwa tidak ada satu haripun ia lewati tanpa ia mencintai pria itu, memberinya semesta. Seandainya ia tidak diam diposisinya hanya melihat Taehyung terbakar begitu kejamnya. Dan Jungkooklah yang menyulut api itu.

"Jungkook, aku bertahan denganmu." Taehyung dalam keputusasaanya bersusah payah mengeluarkan suara karena Jungkook belum juga merespon apapun.

"Aku bertahan dengan semua sikapmu padaku. Aku memulai ini. Menyukaimu menjadi inisiatifku. Mencintaimu menjadi pedoman awalku. Aku tidak peduli dengan seluruh ketidakpedulianmu padaku diawal aku mendekatimu saat itu. Aku kira, aku kira jika aku mencintaimu lebih dan lebih setiap hari, setidaknya kau akan membalasnya walaupun sedikit saja."

Aku mencintaimu lebih dari apapun, Tae. Jungkook tidak menyuarakan itu.

"Karena aku selalu percaya kalau kerja keras pasti akan terbayarkan. Maka aku mencintaimu. Tiap hari makin mencintaimu. Dan saat kau akhirnya setuju mengencaniku, itu adalah hari paling indah untukku. Saat kau menciumku, aku terbang. Saat kau membawaku keatas tempat tidur, aku jatuh begitu nikmatnya. Dan saat kau mengajakku untuk pindah bersamamu ke apartemen ini, aku berjanji akan mencintaimu sampai waktuku habis."

Tarikan napas yang menyesakkan terdengar memantul di dinding apartemen itu. "Tak jarang kau mengabaikanku dan lebih tenggelam dalam pikiranmu sendiri. Aku tidak pernah bisa menebakmu, Kook. Karena kau selalu terlalu jauh. Bagaimanapun aku mengejarmu, kau akan mengelak. Walaupun aku ada disini dan mencintaimu, kau membuat jarak tak kasat mata yang aku tidak mengerti. Tapi sesuatu dalam diriku mengatakan bahwa aku tidak akan melepaskanmu."

Jangan lepaskan aku.

"Kook, apa pernah sekalipun aku terlihat cantik didepanmu?"

Aku tidak pernah melihat hal yang lebih cantik darimu.

"Apa pernah kau membayangkan jika saja kau tidak pernah bertemu denganku?"

Maka hidupku akan sangat suram, Tae.

"Apa saat kau mencium dan mencumbu wanita itu, kau membayangkan wajahku? Saat kau membawanya kekamar dan menyentuhnya seperti kau menyentuhku, apakah hatimu tidak merasa sakit sama sekali?"

Aku tidak pernah menyentuh orang lain seperti aku menyentuhmu.

Hancur sudah seluruh kebahagian Jungkook karena kebodohannya sendiri. Taehyung yang mengangguk beberapa kali sambil terus menangis menjadi isyarat finalnya. Bahwa ini akan menjadi akhir senyuman dan warna pastel dalam kehidupan Jungkook sekaligus permulaan monochrome yang sendu.

"Aku mengerti." Taehyung mengusap matanya dengan lengan sweater yang ia kenakan. Jungkook suka sweater itu ketika Taehyung memakainya. Semua yang Taehyung pakai akan terlihat sangat mempesona. Walaupun ia tidak pernah memuji pria itu secara langsung dalam kata-kata, Jungkook memujanya setengah mati.

"Seharusnya kau tidak pernah melakukan ini, Kook. Kalau aku terlihat sebegitu kasihannya dimatamu, seharusnya kau menolakku dengan lembut dimasa lalu."

Tapi aku mencintaimu.

"Tapi aku mencintaimu, dan mungkin itu kesalahan terbesarku."

Aku mohon, jangan katakan itu sebuah kesalahan.

"Gadis itu sangat manis dan cantik."

Taehyung, aku mohon.

"Beritahu dia kalau kau suka omeletmu tidak terlalu matang. Beritahu dia kalau kau suka dikecup dikening setiap pagi. Beritahu dia kalau kau tidak suka jika bajumu terlihat kusut, beritahu dia untuk mencintaimu."

"Dan mungkin dengan cara itu, kau akan mencintainya sama besarnya. Sayangnya, aku tidak berhasil bagaimana pun aku mencintaimu."

Kalau kau pergi, aku tidak akan bisa bernafas dengan baik.

Taehyung pergi. Pintu apartemen tidak ditutup dengan bantingan yang keras maupun diikuti makian oleh seorang kekasih yang patah hati. Taehyung hanya pergi dalam diam dan menutup pintu dengan halus seperti tidak ada yang terjadi. Seperti ia akan kembali lagi layaknya setiap hari.

Taehyung tidak kembali.

Walaupun Jungkook telah jatuh keatas lantai dan menangis sejadi-jadinya. Berteriak sekuat-kuatnya. Memanggil nama Taehyung berulang kali layaknya mantra agar pria itu kembali dalam pelukannya. Mencakar lantai dan membasahinya dengan air mata. Pria itu tetap tidak kembali.

.

.

.

.

.

.

Give Up On You

.

.

.

.

Orang-orang yang tidak tertidur pada jam tiga pagi hanyalah orang-orang yang kesepian, mabuk, dan jatuh cinta. Mungkin Jungkook adalah ketiganya. Mungkin juga tidak. Karena sejujurnya ia tidak merasakan apapun selain dingin yang membekukan kalbu dan hampa yang menyeramkan.

Ada berpuluh-puluh pesan masuk yang Jungkook abaikan. Hanya satu yang ia buka semalam sesudah Taehyung meninggalkannya dan pesan itu berisi :

From : Tae

'Kau dimana, Kook? Aku menunggumu dengan makan malam.'

Pesan terakhir dari pria yang menjadi cinta dalam kehidupannya. Dan ketika ia sadar apa yang ia sedang lakukan diluar sana ketika pesan itu masuk, pedang tajam seakan-akan melukai seluruh permukaan kulitnya. Membayangkan Taehyung yang duduk dimeja makan sendirian menunggu Jungkook, sedangkan sang kekasih tengah bercumbu dengan orang lain yang bahkan ia tak kenal. Jungkook ingin membunuh dirinya sendiri.

Ia ingin menekan tombol 'panggilan' untuk menghubungi pria itu. Menenangkan dirinya dalam suara Taehyung yang merdu dan menyembuhkan kerinduannya. Terisak ditelepon, 'Sayang, kau dimana? Aku akan menjemputmu, lalu kita akan menghabiskan malam dengan aku memelukmu diatas tempat tidur, mengecupmu berkali-kali hingga kau muak, mengatakan aku mencintaimu dan hanya dirimu, menahanmu dalam tempat ini, karena aku akan mati jika kau tak disini.' Tapi Jungkook sudah merusak segalanya dengan sangat buruk hingga untuk mengejar Taehyung dan memohon pengampunan pun sudah tidak mampu dilakukannya lagi.

Botol alkohol jatuh dari tempat tidurnya. Berkumpul bersama beberapa botol kosong yang telah ada disana selama berhari-hari dilantai. Darah Jungkook perlahan-lahan berubah menjadi alkohol. Kepalanya terasa berputar-putar dan kulitnya panas tak tertahankan walaupun pendingin ruangan sedang dalam keadaan menyala.

Ia tidak datang ke pekerjaannya, muntah setiap kali ia makan, dan mengeluarkan kembali air mineral yang ia coba untuk teguk saat tenggorokannya terbakar karena alkohol yang berlebihan. Jungkook mulai menghitung kapan ia akan jatuh pingsan dan berakhir koma jika ia terus berada dalam keadaan kacau seperti ini. Tapi ia akan tetap melakukannya. Karena Taehyung belum juga kembali dan inilah satu-satunya cara Jungkook menghukum dirinya.

Dengan jari-jari yang bahkan sudah tidak dapat bergerak secara normal dan pandangan mata mabuk yang terus-terusan memaksanya untuk berimajinasi bahwa Taehyung ada disampingnya, memeluknya, Jungkook bersusah payah untuk membuka kembali handphonenya dan membaca pesan-pesan yang tak henti-hentinya masuk. Berharap bahwa mungkin saja Taehyung mengirim pesan kalau dia akan kembali.

1 pesan dari Yoongi-hyung

'Apa yang terjadi?'

3 pesan dari Hoseok-hyung

'Kenapa kau tidak masuk kerja seminggu ini?'

'Bos marah besar denganmu'

'Beritahu aku jika sesuatu terjadi.'

4 pesan dari Jimin

'Aku akan membunuhmu'

'Aku akan membunuhmu'

'Taehyung ada disini.'

'Ia tidak bisa berhenti menangis.'

Pesan Jimin melumpuhkan matanya. Membaca dua kalimat terakhir berulang-ulang. Memproyeksikan gambaran Taehyung yang hancur dan menangis tak henti membuat sendi-sendi Jungkook terasa luar biasa ngilu. Taehyungnya, Taehyung miliknya sedang menangis diluar sana dan Jungkook tidak bisa berbuat apa-apa. Jungkook baru saja membuat pergi satu-satunya masa depan cerah miliknya. Ia memblokir matahari dan menginjak-injak cahaya paling indah yang ia punya.

Dengan jalan yang tak terkontrol dengan baik, otak yang hanya berisi cairan memabukkan, Jungkook membuka kulkas dan meraih satu botol alkohol baru. Malam ini ia akan menenggelamkan dirinya. Mungkin besok ia akan kembali muntah dan menangis, tapi itu tidak terdengar buruk lagi karena apapun yang ia lakukan sekarang, tidak akan pernah bisa menarik kembali Taehyung kedalam pelukannya.

.

.

.

.

.

.

Give Up On You

.

.

.

.

Dalam tidurnya yang penuh air mata, Jungkook bermimpi. Ia dengan jelas dapat melihat pemandangan ketika Taehyung berada dibawah kungkungannya ditempat tidur. Tubuhnya mengkilap karena keringat. Nafas yang memburu dan suara parau yang mendesah karena penyatuan intim mereka. Taehyung terlihat sangat cantik dengan rambut berantakan dan bibir bengkak yang memerah karena ciuman Jungkook. Sinar bulan membelai kulit pria itu membuat Jungkook ingin menangis karena ia sangat beruntung. Taehyung adalah mahluk terindah dan Jungkook tak pernah akan pantas untuknya.

"Koo,Kookk,," Taehyung meraih pipinya. Menangkup kedua sisi wajah Jungkook dengan sangat lembut walaupun Jungkook menyentak begitu kasar didalam Taehyung. Jungkook mempertemukan mata mereka. Tubuhnya tak berhenti bergerak. Taehyung selalu menatapnya seperti mengatakan bahwa Jungkook adalah seluruh semestanya. Dan setiap kali melihat itu, Jungkook merasa ia berubah menjadi kaku karena Taehyungnya terlalu hangat, terlalu bersinar, terlalu penting.

"Aku mencintaimu." Taehyung bersusah payah menyuarakan kata-kata itu ditengah-tengah peluh dan gerakan bercinta mereka. "Sayang," sebuah desahan lolos dari bibir bengkaknya. "Sayang Jungkook." Ia menggigit bibirnya menahan kenikmatan yang bertubi-tubi. "Jungkook, aku mencintaimu."

Balasan yang sama manisnya tertahan dipangkal kerongkongan Jungkook. Kata-kata cinta darinya tidak pernah keluar malam itu ketika mereka bergumul begitu intimnya ditempat tidur. Tidak juga malam-malam berikutnya. Tidak juga berbulan-bulan setelah itu. Jungkook tidak pernah menyatakan seberapa ia mencintai Taehyung bahkan hingga pria itu memohon dengan matanya agar Jungkook mengucap balik mantra yang mampu meyakinkan Taehyung bahwa ia juga mencintainya.

Jungkook tidak pernah mengatakannya.

Ia bangun dari mimpinya dengan keringat yang membasahi setengah permukaan kaos putihnya. Air mata kembali menggenang saat ia menangkap dalam mimpi setitik kekecewaan tersirat diwajah Taehyung malam itu, ketika Jungkook memilih untuk menggigit dan membuat tanda di leher keemasan Taehyung daripada membalas kata cinta dari kekasihnya.

Atau setiap pagi, saat Taehyung mengecup keningnya dengan penuh kasih sayang dan berbisik, 'Jungkook, aku mencintaimu. Bangunlah, kau tidak boleh terlambat.' Atau ketika Taehyung menjemputnya didepan kantor dan memeluknya, atau ketika Taehyung mengantarnya ke terminal menuju ke Busan, atau ketika mereka sedang bercumbu di sofa, atau ketika, atau ketika, atau ketika.

Jungkook menangis lagi. Entah sudah yang keberapa kali dan keberapa banyak. Ia berteriak diatas seprai putih tempat tidur. Menenggelamkan wajah sembab dan kacau. Mengapit erat-erat kain seprai sambil tersedak beberapa kali karena asupan oksigen yang mulai menipis dalam tubuhnya.

Begitu banyaknya kata-kata 'aku mencintaimu' keluar dari mulut Taehyung hanya untuknya, tak satu pun yang ia balas. Tak satu kalipun Taehyung teryakini.

Dan mungkin oksigen sudah tidak dapat membuat Jungkook bernapas dengan lega.

.

.

.

.

.

.

Give Up On You

.

.

.

.

Kita setuju bahwa mencintai adalah hal yang menyakitkan. Tapi rasa sakitnya tidak menyerupai rasa sakit ketika tungkai kita ditendang atau ketika kepala kita terhantuk benda keras. Walaupun luka fisik tidak pernah menganga tapi sesuatu didalam tubuh yang tak kasat mata lah yang dibantai hingga cacat. Jantungmu serasa akan merosok jatuh kebawah. Beban yang luar biasa berat dijatuhkan ke tulang iga. Seperti itulah rasa sakitnya bagi mereka yang mencintai.

Jungkook pernah mendengar sebuah pepatah kalau 'semua orang berkata bahwa cinta itu menyakitkan'. Tapi tidak hanya itu bagian paling menyakitkan yang berefek padanya kini. Kesepian yang datang setelah itu jauh lebih menyakitkan. Kenyataan bahwa kau kehilangan seseorang yang penting dalam hidupmu masih ia tak bisa terima hingga sekarang karena terlampau menyakitkan. Rutinitas setiap pagi yang ia temukan tanpa Taehyung disampingnya adalah hal terburuk yang pernah ia kecap.

Ia menyakiti Taehyung. Jungkook selalu menyakiti Taehyung. Jungkook adalah racun yang meretakan hati Taehyung setiap hari hingga retakan itu muncul kepermukaan lewat kedua mata indahnya. Jungkook bisa melihat itu dengan jelas. Dan ini merupakan harga yang ia harus bayar karena tak satu kali pun Jungkook berniat memperbaiki retakan yang ia buat.

"Hai, aku Taehyung. Kim Taehyung"

Pertemuan pertama mereka adalah kontra dengan cerita cinta pada umumnya. Tidak ada kembang api yang meledak-ledak di latar belakang. Tidak ada music romantis yang bermain lembut. Tidak ada 'jatuh cinta pada pandangan pertama'. Taehyung saat itu bukanlah orang paling cantik yang pernah ia lihat.

"Kau Jeon Jungkook-ssi kan?"

Jeon Jungkook bukanlah orang yang mudah untuk diabaikan. Kecemerlangannya dalam akademik dan atletik dan ketampanan luar biasa yang dibalut tubuh sempurna membuat Jungkook setiap minggu akan selalu mencari alasan untuk menolak pernyataan suka yang ditujukan padanya. Saat Taehyung menyapanya dengan mata yang berbinar seperti kala itu, Jungkook sudah tahu benar motivasi yang membawa Taehyung kesana.

"Aku tidak tertarik"

Jungkook bahkan tak membalas senyuman ramah yang dilontarkan Taehyung sebelumnya.

"Tidak tertarik apa? Aku hanya mau tau namamu."

Jungkook memutar bola matanya jengah. Berkata dalam hati bahwa seminggu setelah kau tau namaku, kau akan menembakku dan mengajak untuk berpacaran.

"Jadi kau Jungkook-ssi kan?"

"Kalau kau sudah tau, untuk apa repot-repot bertanya."

"Aku kan hanya ingin memastikan."

"Pergilah kalau kau sudah selesai memastikan. Aku sedang sibuk."

Dan Jungkook adalah seorang monster. Karena itulah ia tidak pernah menjalin hubungan serius dengan siapapun. Ia suka melihat ekspresi kecewa yang dipasang orang-orang setiap menyatakan cinta padanya dan ditolak begitu dingin oleh Jungkook. Ia mendapat kepuasan tersendiri ketika tidak memberikan satupun kesempatan pada gadis-gadis itu. Yang paling buruk adalah ketika ia merasa ingin tertawa saat seorang gadis mungil manis menangis didepannya menyebut Jungkook orang yang terlalu dingin setelah ditolak habis-habisan olehnya.

Jungkook punya monster didalam dirinya. Dan ia memelihara mahluk itu hingga tumbuh hampir menguasai tubuhnya sendiri. Jungkook suka melihat orang-orang yang memujanya jatuh kelubang yang begitu dalam dan tidak akan pernah menemukan Jungkook disana. Ia tersenyum tiap kali membuang cokelat maupun bunga mawar yang dikirimkan untuknya. Sebuah kencan tak berguna pernah dilakukannya dulu dan berujung dengan lawan jenis yang tak rela diabaikan Jungkook sepanjang malam kencan.

"Pergilah. Aku tidak tertarik dengan apapun itu yang membawamu kesini." Itu dia. Monster yang sedang berbicara. Monster yang membuat senyuman kecil diwajah Taehyung memudar pelan-pelan. Si mahluk menyeramkan yang menghapus binar indah di mata Taehyung dan menggantikannya dengan keraguan.

Tapi saat Jungkook melihat perubahan-perubahan pada wajah Taehyung, sesuatu yang tidak ia ketahui dalam dirinya tiba-tiba menekan sisi monster yang tadinya menguasai. Tekanan itu begitu kuat dan menarik hebat. Jungkook merasa seperti terpukul dengan kata-kata yang baru saja ia keluarkan. Ia tidak pernah merasa bersalah selama ini ketika berucap dingin dengan siapapun yang mendekatinya. Tapi kali ini, untuk pertama kalinya, Jungkook ingin menarik kembali ucapannya.

"Maafkan aku, Jungkook-ssi." Taehyung menghela nafas. "Sepertinya aku tidak datang di waktu yang tepat." "Tadinya aku mendekatimu diperpustakaan karena aku sering melihatmu duduk disini sendirian. Aku mahasiswa jurusan seni dan kami sedang mempersiapkan pameran. Tadinya aku berniat untuk mengundangmu."

Jungkook merasa mual. Perutnya seperti akan terbalik saat itu juga. Taehyung hanya berniat baik dengan mengundangnya ke pameran seni, dan ia dengan mudahnya menyuruh pria itu pergi dan menjauh. Tapi perang dimenangkan oleh si Monster kembali. Jungkook tidak menjawab bahkan tak repot-repot untuk meminta maaf atas prasangka buruknya. Ia hanya menatap mata Taehyung dalam diam yang canggung.

Mungkin Taehyung dapat merasakannya, mungkin juga tidak. Kelopak matanya bergerak lebih cepat. Bulu mata tersapu beberapa kali dibagian atas pipi Taehyung. Pria itu membasahi bibirnya entah karena udara dingin di perpustakaan atau ia hanya gugup. Namun semua gerak-gerik Taehyung terekam sangat baik dalam benak Jungkook. Sesuatu yang akan terus diputar ulang dalam kepalanya bertahun-tahun kemudian karena Taehyung begitu menarik perhatiannya.

"Baiklah, aku.. aku akan pergi sekarang..pergi.."

Sebuah suara aneh berbisik ditelinga Jungkook saat itu. Suara yang ia yakini bukanlah milik tuan Monster. Dengan jelas Jungkook dapat menangkap bunyi 'jangan sampai ia pergi' berulang-ulang bergetar di membran timpani nya. Jungkook tentu saja tak bisa mengabaikan suara mengganggu itu dengan mudahnya. Ia harus melakukan sesuatu. Sesuatu.

"Mmm, kapan?" Bisikan itu berhenti.

"Kapan apanya?"

"Pam, pameran yang kau bilang tadi?" Jungkook bahkan tidak tau kenapa ia begitu berusaha keras dengan pria ini,

"Ahh, ohh.." Rona tipis muncul di kedua pipi Taehyung. Senyumnya kembali seperti detik-detik awal ia mendekati meja Jungkook diperpustakaan. Binar mata itu perlahan-lahan namun malu-malu membuat mata Taehyung kembali hidup. Dalam hidupnya, Jungkook akan sangat mudah mengetahui tanda-tanda yang orang-orang perlihatkan jika mereka menyukai Jungkook. Jungkook kemudian akan merasa sangat terganggu ketika melihat senyuman malu-malu ataupun tawa lembut yang dibuat-buat ditujukan agar menarik perhatiannya.

Tapi Taehyung. Oh Taehyung. Jungkook sangat menghapal gerak-gerik itu. Tanpa keraguan sedikitpun ia bisa menyimpulkan bahwa Taehyung menyukainya. Anehnya, rasa terganggu itu tidak pernah muncul sekalipun bahkan bertahun-tahun kemudian ketika ia menggenggam tangan Taehyung dan membawa pria itu ke apartemennya untuk hidup bersama.

.

.

.

.

.

.

Give Up On You

.

.

.

To : Yoongi-hyung

'Hyung, aku ingin bertemu'

From : Yoongi-hyung

'Aku kira kau sudah mati.'

To : Yoongi-hyung

'Aku hampir mati, Hyung.'

From : Yoongi-hyung

'Dimana kau ingin menemuiku?'

To : Yoongi-hyung

'Aku akan mengirimkanmu lokasinya kalau aku sudah sampai disana.'

Jungkook tidak mengatur rambutnya. Tidak juga mengenakan pakaian bersih saat ia keluar. Ia ingin berteriak marah ketika tali sepasang timberland nya terasa sulit untuk dilepaskan ataupun dilonggarkan. Jaket jeans memeluk bahunya dan topi adidas hitam menutupi hingga setengah mata Jungkook namun tidak mengganggunya sama sekali. Lelaki itu pergi dengan satu bantingan keras ke pintu apartemen. Tidak memperdulikan pandangan heran anak-anak yang sedang bermain di hallway lantai gedung itu.

Pada titik ini, Jungkook tidak bisa lagi berpikir jernih. Pada titik ini, air matanya telah mengering. Pada titik ini, Jungkook merasa begitu lelah ia hanya ingin jatuh ketanah dan berbaring sampai beban dalam hatinya diangkat seluruhnya. Sampai Taehyung kembali.

.

.

.

.

.

.

Give Up On You

.

.

.

"Jungkook, aku mohon berhenti." Yoongi menatapnya dengan pandangan memohon entah untuk keberapa kalinya di malam yang dingin itu. Berulang-ulang memberitahunya bahwa meneguk cairan beralkohol tidak akan merubah apapun dan tidak akan memberikannya pikiran yang cukup bersih untuk sekedar mengatur hidupnya yang kini telah hancur berantakan. Tapi Jungkook tidak butuh pikiran yang bersih. Ia juga tidak akan repot-repot merapikan apa yang telah ia hancurkan. Ketidakberadaan sebuah kepingan dalam hidupnya sudah cukup untuk membuat Jungkook tersandung dan jatuh hingga melumpuhkan kakinya. Ia tak mungkin mampu untuk bangun kembali.

Jungkook menguatkan genggamannya pada gelas kaca kecil yang kini telah kosong. Tidak mengatakan apapun. Matanya mengarah pada bartender dan memberi isyarat untuk menuangkan apapun itu yang dapat membawa pergi akal sehat kedalam gelas kosongnya. Yoongi yang memperhatikan itu mendesah jengah. Jungkook sangat keras kepala dan bukan hal mudah untuk masuk kedalam pikiran anak itu.

"Hyung tau apa hal yang paling menguntungkan ketika aku meneguk hal sialan ini dalam jumlah yang banyak?"

"Aku tidak ingin mendengarnya."

"Aku akan melihat Taehyung."

"Kau sudah diluar pikiran sehatmu, Jeon."

"Lalu Taehyung akan menggenggam tanganku." Jungkook tersedak dan batuk untuk beberapa kali. Yoongi bisa melihat kilatan di kedua netra Jungkook yang tak sabar ingin keluar dan meluncur menuruni pipinya sebagai air mata. Ini adalah hal yang baru baginya. Anak itu dikantor maupun diluar kantor terlihat sangat kuat dan tidak pernah sekalipun memperlihatkan kelemahannya seperti ini pada Yoongi.

"Lalu dia akan memelukku, Hyung. Erat, erat sekali. Aku menyukainya. Aku menyukai pelukan Taehyung karena dia begitu hangat dan nyaman. Hyung,hyung, hyung." Pria itu telah menunduk sepenuhnya diatas meja bar. Gelas kaca terlupakan olehnya.

"Setelah itu Taehyung akan menciumku. Lembut, lembut sekali. Bibir Taehyung sangat lembut, kau tau? Saking lembutnya aku takut untuk menyentuhnya. Tapi aku tetap melakukannya, Hyung. Aku menyentuhnya, menghancurkannya."

"Jungkook.."

"Kau tidak mengerti, hyung. Kau tidak akan pernah mengerti."

"Aku coba, Jeon. Aku akan coba untuk mengerti. Kau bisa menceritakan apapun."

Jeon Jungkook menangis. Walaupun anak dua puluh dua tahun itu menahannya mati-matian, ia tak bisa menghentikan air mata yang tak habis-habisnya turun membasahi seluruh pelupuknya.

"Monster."

"Apa?"

"Aku ini seorang monster. Ah, tidak. Aku memelihara monster yang kini begitu besar tumbuh didalam tubuhku, hyung. Kau tidak akan percaya apa yang dilakukannya selama bertahun-tahun." Jungkook meraih gelas kacanya, menghabiskan minuman jernih itu dengan sekali tegukan, dan membanting gelasnya kembali keatas meja dengan keras.

"Apa yang dilakukannya selama bertahun-tahun?" pertanyaan Yoongi tenang dan terarah. Ia ingin sekali mencegah Jungkook untuk memesan minuman selanjutnya, tapi sekali lagi, anak itu begitu keras kepala malam ini.

"Dia akan merasa puas ketika melihat orang-orang menangis didepannya. Monster itu akan merasa kenyang ketika aku menolak siapapun dengan dingin ataupun kasar. Aku suka melihat mereka memohon dan berusaha keras untuk mendapatkanku, tapi tidak pernah sekalipun aku memberikan apa yang mereka mau. Aku akan setuju untuk berkencan, bahkan meniduri teman kencanku, tapi setelah itu, setelah itu mereka akan kucampakkan begitu saja, Hyung. Kemudian mereka akan menarik kemeja ku begitu erat dan memohon agar aku tidak meninggalkan mereka. Tapi monster itu tertawa,hyung. Ia tertawa dan hidup."

"Aku senang menyakiti." "Aku senang melihat mereka terbakar."

Yoongi perlu beberapa saat untuk mencerna semua yang dikatakan oleh Jungkook. Tidak menjawab dan hanya menatap wajah kacau anak didepannya itu dalam diam. Jungkook belum mencukur rambut-rambut wajah yang kini telah tumbuh didagunya. Matanya menatap kosong kedepan. Seluruh permukaan bibirnya pecah-pecah. Ia adalah definisi dari kekacauan murni. Dan air mata-air mata itu menambah poin plus.

"Apa kau senang menyakiti Taehyung?"

"Tidak pernah sekalipun."

"Kenapa kau menjalin hubungan ini sampai begitu lama kalau kau tau monster-mu itu akan mengamuk kapan saja?"

"Taehyu..Taehyung itu berbeda. Hanya jika bersamanya sisi gelap dalam diriku akan tertekan begitu kuatnya. Monster itu akan jinak bahkan tidak akan pernah bersuara."

"Itu bukan alasan yang bagus untuk menjelaskan kenapa kau tidur dengan orang lain dibelakangnya."

Jungkook tersedak bahkan lebih kuat dari sebelumnya. Ia menggigit bibirnya hingga terluka dan mengeluarkan setitik noda darah. Mungkin perkataan Yoongi menusuk sesuatu dalam diri Jungkook karena kini deru nafas pria itu memburu dan tangisan yang ia tahan hanya bertambah kuat setiap detiknya.

"Hyung, aku bersumpah. Aku bersumpah aku tidak pernah berniat untuk mengkhianati Taehyung. Untuk menyakitinya sehebat ini."

"Lalu kenapa? Jeon, jelaskan padaku, kenapa?"

"Aku tidak tau, hyung. Malam itu aku seperti kehilangan kendaliku. Aku tidak bisa berpikir bahkan berjalan. Semuanya terjadi diluar kontrolku. Saat aku sadar aku sudah tidak mengenakan busana apapun dengan perempuan yang bahkan aku tak tahu namanya berbaring disampingku." Kini giliran Jungkook yang menatapnya dengan pandangan memohon. Memohon Yoongi untuk percaya bahwa tidak pernah sedetikpun Jungkook ingin menyakiti kekasihnya yang amat dicintainya itu.

"Jungkook, kau tau benar bahwa Taehyung tidak akan –sampai selamanya- memaafkanmu karena ini."

Jungkook menarik nafasnya dalam-dalam. Namun semuanya terasa amat dangkal selama apapun ia mengandalkan paru-parunya kali ini. Menangis menghabiskan energinya. Membayangkan Taehyung membuatnya semakin tenggelam ke dasar yang tak akan pernah ia capai.

"Aku tau. Aku tau." Bahkan jika Taehyung datang dan membawa pisau untuk menusuknya beribu-ribu kali, Jungkook akan menerima itu dengan senang hati.

"Apa kau mecintai Taehyung?"

"Lebih dari apapun."

"Apa Taehyung tau?"

"Tidak untuk satu detik pun."

.

.

.

.

.

.

Give Up On You

.

.

.

Pagi nanti ketika Jungkook sadar akan semua kebodohan yang ia lakukan malam itu, ia akan sepenuhnya menyalahkan alkohol atas apa yang telah ia perbuat. Setelah meyakinkan Yoongi kalau Jungkook bisa pulang sendiri tanpa bantuan apapun, ia menyuruh hyungnya itu untuk pulang duluan dan tidak mengkhawatirkan dirinya.

Mungkin memang itulah tujuan manusia menjadi mabuk. Mabuk menolong mereka untuk melupakan rasa sakit. Mabuk membuat mereka berpura-pura. Mabuk bisa membawa mu kemana saja tanpa keraguan sedikitpun. Efek mabuk berat yang memakan Jungkook sedikit demi sedikit mulai mengambil kontrol atas pergerakan kakinya. Ia meninggalkan open bar setelah meminum beberapa shots dengan meletakkan berlembar-lembar won diatas meja dan bergegas untuk keluar dari tempat yang semakin memuakkan itu.

Jungkook layaknya mayat berjalan, terseok-seok ketika menyusuri jalanan malam Seoul. Orang-orang memperhatikannya. Memperhatikan keadaannya yang memprihatinkan. Ingin menawarkan sekedar tumpangan atau bantuan, tapi semuanya itu ditolak mentah-mentah oleh Jungkook hanya dengan tatapan kosong yang tak berarti.

Lima sampai sepuluh menit berjalan Jungkook terjatuh dan melukai lututnya. Ia kemudian akan bangkit kembali dan berjalan dengan terseok-seok lagi. Tak hanya itu, pria itu beberapa kali menabrak tiang ataupun papan tanda jalan, mengirimkan sinyal-sinyal nyeri ke otaknya dan berharap tubuh itu berhenti melukai dirinya sendiri. Tapi alkohol sudah merubah seluruh darah Jungkook, yang ada kini hanya kerinduan. Kerinduan untuk pulang kerumahnya. Ke Taehyung.

Maka Jungkook berjalan dan terus berjalan. Tidak peduli dengan lututnya yang telah lecet dan terluka karena beberapa kali tersandung diatas jalanan aspal yang keras. Tidak peduli perutnya yang ingin refluks dan muntah saat itu juga. Juga tidak peduli dengan seluruh permukaan kulitnya yang terasa terbakar. Jungkook tau, bahwa akal sehatnya yang masih tertinggal walaupun hanya sedikit berteriak padanya untuk mengambil jalan yang berlawanan, pulang, menangis ditempat tidurmu, dan meratapi kesalahanmu setiap hari. Akal sehat itu menarik tubuhnya untuk sadar bahwa ia tidak punya hak apapun untuk menunjukan wajahnya didepan mantan kekasihnya itu. Bahwa bila Jungkook terus melangkah seperti sekarang, ia akan berakhir menyakiti Taehyung lagi dan lagi.

Namun bergelas-gelas minuman keras yang kini duduk tenang dijaringan tubuhnya, lebih mendominasi. Sampai akhirnya, ia kini berdiri dengan lutut yang berdarah dibalik jeans kotornya, tepat didepan sebuah pintu bercat putih dan bertanda 'Park's' di sisi daun pintu luarnya efek alkohol itu belum juga hilang. Karena itulah Jungkook dengan berani-beraninya mengetuk pintu. Sekali lagi. Lagi dan lagi hingga ketukannya berubah menjadi tak sabar.

Kemudian pintu itu terbuka, "Jimin sedang kelua—"

Dan rasa rindu Jungkook sembuh saat itu juga.

.

.

.

.

.

.

Give Up On You

.

.

.

To Be Continued

Haiiiiiiiii, aku balik dengan cerita baru (walaupun BREATHE belum kelar hehehe)

Untuk yang satu ini, aku janji hanya akan bikin dua chapter aja, jadi gak lama-lama kayak BREATHE. (don't worry, be happy!)

Aku juga janji bakal fast update (gak fast-fast amatlah, setelah hari senin mungkin, soalnya lagi ada ujian yang penting banget, yaiyalh penting namanya juga ujian ._.) dan BREATHE pasti akan diupdate As Soon As Possible!

I hope you enjoyed this story of my favorite ship, TaeKook, and please wait for the next chapter! ;)

REVIEW AKAN SANGAT SANGAT AKU HARGAAAAAAIIIIIIIIIII, dan bakal aku balas di chapter selanjutnya (alias last chapter) jadi plis banget kalian review ya :"""")

Okay, lastly, as always

- come say hi to me at my instagram account lauralaoo -