Disclaimer:

Touken Ranbu © 2015 DMMゲームズ/Nitroplus

Note:

Fanfic ini sebuah adaptasi dari fanfic lama saya yang berjudul White Canvas (2013) dari fandom Inazuma Eleven. Fanficnya sendiri sudah dihapus karena saya tak sanggup menyelesaikannya, hahaha. (Ada yang membuatkan versi lainnya, sih... id fanfic-nya: 9207064, tapi sebaiknya jangan dibuka biar nggak spoiler. )

(Kemudian, saya tidak tahu apa-apa soal prosedur penerbitan sebuah buku, jadi seluruh kejadian yang saya tulis di sini benar-benar karangan saya sendiri.)


Tsurumaru Kuninaga menyeret koper putih miliknya dengan emosi.

Usai membawa kedua kakinya keluar dari pintu stasiun kereta, pria itu berteriak dengan keras tanpa mempedulikan orang-orang di sekitarnya.

"AWAS KAU, AKASHI KUNIYUKI...! AKU BERSUMPAH AKAN MEMBUAT TULISAN YANG BISA MEMBUATMU MENANGIS TERSEDU-SEDU SEPERTI WANITA...!"

.

.

(Seminggu sebelumnya, di kantor redaksi DMM Publisher.)

Hari itu cuaca cerah.

Perkiraan cuaca mengatakan jika cuaca cerah tersebut akan bertahan sepanjang hari sehingga Tsurumaru tak perlu membawa payung dari rumah. Ramalan bintang milik Tsurumaru juga mengatakan jika ia tidak perlu mengkhawatirkan apapun sebab ia akan beruntung sepanjang hari.

Kombinasi ramalan cuaca dan keberuntungan yang bagus membuat suasana hati Tsurumaru menjadi cerah.

—Ngomong-ngomong mengenai Tsurumaru Kuninaga; ia merupakan seorang penulis novel terkenal yang karya-karyanya selalu meledak di pasaran. Setiap buku yang ia tulis selalu terpajang di rak-rak best seller, sejajar dengan buku-buku karya penulis terkenal lainnya seperti Ban Drown, J. K. Lowring, Stephen Meyerie, serta penulis-penulis terkenal lainnya.

Mengenai nama pena, Tsurumaru juga menggunakan nama aslinya sendiri sebagai nama pena seperti penulis-penulis novel terkenal yang lainnya, yaitu: Tsurumaru K.

Saat ini Tsurumaru sendiri sedang duduk di sebuah sofa empuk sambil menyesap secangkir kopi yang dihindangkan oleh office boy padanya. Seperti yang sudah menjadi rutinitasnya sebagai penulis , saat ini ia sedang menunggu naskah novel terbarunya diperiksa oleh sang editor, Akashi Kuniyuki.

Akashi sudah bekerja menjadi editor Tsurumaru selama 4 tahun terakhir—jadi bisa dibilang bahwa hubungan keduanya sudah cukup akrab. Setiap kali hasil royalti penjualan buku-buku miliknya sudah turun, Tsurumaru sering mengajak Akashi untuk makan-makan di restoran enak.

Sesekali Tsurumaru melirik ke arah Akashi, mencoba untuk menangkap ekspresinya saat ia sedang membaca tulisannya. Sudah menjadi hal yang lumrah bagi seorang penulis jika ia ingin mengetahui reaksi pembacanya saat mereka membaca tulisannya.

Tsurumaru dapat melihat jika editornya begitu serius memeriksa tulisannya sambil sesekali membetulkan letak kacamatanya. Kalau sedang serius begini, Akashi sama sekali tak bisa diganggu. Daya konsentrasinya begitu tinggi sampai-sampai jika ada gempa sekali pun, mungkin ia tak akan terusik sama sekali. Kalau sudah begini, Tsurumaru hanya bisa menunggu Akashi selesai memeriksa tulisannya sambil bermain game di smartphone miliknya.

"Hmh," tiba-tiba saja Akashi mengeluarkan suaranya, "Aku sudah selesai membacanya."

Tsurumaru berhenti memainkan gamenya. "Jadi, bagaimana menurutmu?"

Akashi menghela napasnya. "Tulisanmu memang bagus dan menyentuh seperti biasanya, tapi sayangnya tulisan seperti ini sama sekali tidak bisa diterbitkan."

Tsurumaru merasa jika ada sesuatu yang salah dengan pendengarannya.

"Eh, ap—"

"—Tulisan seperti ini sama sekali tidak bisa diterbitkan," ulang Akashi kembali.

Kata-kata yang diucapkan oleh Akashi Kuniyuki terdengar bagaikan petir di siang bolong bagi Tsurumaru Kuninaga.

"Apa—tapi—" Tsurumaru tampak kehilangan kata-katanya saking terkejutnya mendengar komentar Akashi barusan, "—Bukankah tulisan seperti ini akan sangat laku di pasaran?"

Akashi menyesap kopi miliknya lalu berkata, "Memang benar. Tulisan seperti ini akan sangat laku di pasaran. Tetapi..."

Akashi berdiri dari sofanya lalu memberi isyarat pada Tsurumaru untuk menunggunya selama beberapa menit sebab ia akan mengambilkannya sesuatu dari meja kerjanya.

Tsurumaru tidak banyak berkomentar sebab ia masih shock karena baru kali ini karyanya mendapat respon negatif dari sang editor. Selama 4 tahun terakhir, tulisannya selalu bisa lolos dengan mulus tanpa ada koreksi mayor (dan pada minggu berikutnya, buku-bukunya sudah terpajang dalam rak "best seller" di setiap toko buku).

Sepandai-pandainya tupai meloncat, suatu saat pasti akan jatuh juga.

Sepandai-pandainya Tsurumaru menulis, suatu saat pasti akan direject Akashi juga.

Sesuai dengan perkataannya, Akashi kembali sambil membawa sesuatu—yakni sebuah naskah yang kelihatannya ditulis oleh penulis lain.

"Bacalah." Ujar Akashi singkat, jelas, padat, efisien, dan hemat kata.

Tsurumaru segera melaksanakan perintah Akashi. Ia mengulurkan tangannya untuk mengambil naskah yang Akashi simpan di meja yang ada di antara mereka berdua, lalu mulai membacanya dari bagian judul. Di situ tertera dengan sangat jelas dan nyata sebuah judul yang bertuliskan:

"50 Shades of Black."

Di situ Tsurumaru segera membelalakkan matanya.

"Tunggu, judul ini—"

"—Begitulah." Gumam Akashi pendek.

"...Kenapa judulnya bisa nyaris sama dengan judul naskahku—50 Shades of White?!" ujar Tsurumaru tak percaya. "Jangan bilang kalau ini—"

"—Tsurumaru." Akashi buru-buru memotong kalimat Tsurumaru, "Sebelum itu, tolong baca sekilas isinya terlebih dahulu. Setelah itu, silahkan kau nilai sendiri." Usai mengucapkan kalimat tersebut, Akashi kembali menikmati kopinya.

Kesamaan ide merupakan hal yang biasa terjadi dalam dunia penulisan. Akan tetapi Tsurumaru sama sekali tak menyangka jika ide orisinilnya yang selama ini selalu menjadi hits di pasaran bisa sama dengan ide milik penulis lain—

—tunggu dulu.

Siapa yang menulis naksah ini?

Karena panik, Tsurumaru sampai melupakan hal terpenting yang harus ia periksa dari naskah "hitam" tersebut, yaitu siapa penulisnya dan kenapa bisa ia memberi judul yang hampir serupa dengan naskah "putih" miliknya.

Tsurumaru membuka halaman-halaman naskah tersebut untuk mencari nama penulisnya. Saat ia menemukannya, seketika itu juga Tsurumaru langsung memasang wajah yang jelek.

"...Kenapa dari seluruh penulis yang ada di dunia ini, harus si keparat Kasen itu yang menulis naskah ini...?" gerutu Tsurumaru dongkol.

Nama yang baru saja keluar dari mulut Tsurumaru adalah nama seorang penulis yang bisa dibilang semacam saingan bagi Tsurumaru. Mungkin hal tersebut terdengar cukup aneh sebab persaingan dalam dunia tulis menulis itu rasanya jarang—atau bahkan belum pernah—terdengar. Tapi boleh percaya boleh tidak, Tsurumaru dan Kasen (yang menggunakan inisial namanya sendiri sebagai nama pena) merupakan dua penulis terkenal yang sudah cukup lama menjalin hubungan sebagai rival (dalam bidang tulis menulis).

Sebagai penulis, baik Tsurumaru maupun Kasen memiliki ciri khas mereka masing-masing. Jika Tsurumaru sangat ahli dalam membuat cerita dengan plot yang tidak biasa dan eksekusi ending yang tak terduga, maka kelebihan Kasen ada pada gaya penulisannya yang begitu indah, menarik, dan juga puitis—jenis bacaan yang biasanya sangat disukai oleh wanita atau para pembaca yang senang dimanjakan oleh diksi yang indah.

Akashi tak menggubris reaksi yang diperlihatkan oleh Tsurumaru. Ia tetap bersikap tenang seperti sebelumnya dan menghabiskan kopinya, menyisakan ampas di bagian dasar cangkirnya.

Sementara itu Tsurumaru—meskipun masih kesal—akhirnya memindai naskah "hitam" di tangannya , membandingkan isinya dengan naskah "putih"nya. Lambat laun, wajah keras yang Tsurumaru perlihatkan mulai melembek, semakin lembek, hingga ekspresi jelek Tsurumaru akhirnya menghilang seutuhnya.

Apa yang membuatnya begitu...?

"...Apa sekarang kau sudah mengerti?" celetuk Akashi tiba-tiba setelah melihat perubahan para air muka Tsurumaru.

Sosok yang ditanya diam tak menjawab. Lebih tepatnya, ia terlihat sedang merenungi sesuatu.

Akashi membuka mulutnya. "Kedua karya kalian memang sama-sama bagus dan pasti akan laku di pasaran, akan tetapi..."

Akashi meletakkan kedua naskah tersebut secara berdampingan di atas meja, "...Setelah membaca kedua tulisan ini, apa kau menyadari sesuatu?"

Tsurumaru mengangguk sambil berbisik lemah, "Ya..."

"50 Shades of Black dan 50 Shades of White. Meski judulnya terlihat seperti copy-paste judul skipsi dengan perubahan minim, tetapi isinya tidak sama—tentu saja, karena penulisnya juga tidak sama." Jelas Akashi panjang lebar, "Tetapi yang membuatku mengatakan jika tulisan milikmu tidak bisa diterbitkan adalah karena tulisanmu terlalu dipengaruhi oleh selera pembaca. Kau mengerti maksudku, kan?"

Tsurumaru tidak membalas perkataan Akashi sebab ia sudah memahami semuanya.

Ya; selama ini dirinya memang selalu menulis mengikuti kemauan pembaca. Karya-karyanya selalu disukai para pembaca sebab isinya sesuai dengan apa yang ingin mereka baca.

Namun...

"...Memang tulisanmu pasti akan laku di pasaran; tetapi jika selera pembaca sudah berubah, tulisanmu tidak akan laku lagi." Tutur Akashi menambahkan. "Saat itu terjadi, maka kau harus kembali menulis cerita yang disukai oleh pembaca. Ketika buku-buku milik penulis lain sedang dicetak ulang, kau malah harus mencetak buku-buku yang baru—bukankah itu terasa seperti sebuah lingkaran setan bagimu?"

Kata-kata yang Akashi ucapkan barusan terasa bagai ribuan panah yang menancap tepat di jantung Tsurumaru.

Akashi kembali membuka mulutnya.

"Tsurumaru, sebetulnya kau sangat berbakat menulis. Karya-karyamu yang sebelumnya adalah bukti nyatanya..." ungkapnya pada Tsurumaru yang terlihat masih termenung di sofanya, "...Tetapi bakat tersebut akan mejadi sia-sia jika kau tak berubah."

Melihat kolega di hadapannya masih diam tak bergeming, akhirnya Akashi memutuskan untuk mengucapkan sesuatu.

"...Tsurumaru, aku akan mengatakan ini sebagai temanmu, bukan sebagai editormu."

Lalu hal yang selanjutnya diucapkan oleh sosok berkacamata tersebut pada Tsurumaru adalah:

"Tulislah sesuatu yang ingin kau tulis, bukan apa yang ingin dibaca oleh pembaca."


Usai pertemuan tersebut, Akashi menyarankan Tsurumaru untuk merenung sekaligus mencari inspirasi di desa tempat ia dibesarkan oleh kakek dan neneknya.

"Kau bisa menggunakan rumah kakek dan nenekku sebagai tempat tinggal selama berada di sana. Kuncinya dipegang oleh kepala desa," itulah yang dikatakan Akashi pada Tsurumaru lewat sambungan telepon beberapa hari yang lalu.

"Pokoknya aku akan menendangmu jika kau kembali tanpa menghasilkan apa-apa."

Setiap kali mengingat kalimat yang terdengar menyebalkan tersebut, emosi Tsurumaru sering mendadak jadi tak terkendali—seperti sekarang ini.

"Lihat saja nanti, Akashi! Begitu kembali, aku akan menyumpal mulutmu dengan mahakaryaku yang paling sedikit akan dicetak ulang sebanyak sembilan belas edisi!" geram Tsurumaru.

Tsurumaru kembali menyeret koper putihnya dengan kasar sambil memegang secarik kertas yang Akashi berikan padanya. Kertas tersebut berisi alamat lengkap rumah nenek dan kakek Akashi, nama dari sang kepala desa (di situ tertulis "Ichigo Hifoturi"), nomor telepon penting, serta peta kasar dari desa tersebut.

Karena terlalu fokus melihat gambar peta dalam kertas tersebut, Tsurumaru jadi tidak memperhatikan jalan yang ia ambil. Ketika sadar, tahu-tahu ia sudah berada di sebuah pantai yang sama sekali tak ada di dalam peta buatan Akashi.

Tsurumaru menelan ludahnya.

Baru hari pertama dirinya tiba di desa itu, ia sudah langsung tersesat. Jika Akashi mengetahui hal ini, mungkin ia akan menertawainya

—Ah, persetan dengan hal itu. Lebih baik ia ditertawai daripada harus terlantar tak jelas di tempat asing tersebut.

Tsurumaru mengeluarkan ponselnya, bermaksud untuk menekan nomor telepon Akashi. Akan tetapi rencananya untuk menelepon teman berkacamatanya itu harus batal sebab ponsel miliknya ternyata mati karena kehabisan baterai. Tsurumaru baru ingat jika ia lupa mematikan ponselnya sebelum ia berangkat, jadi baterai ponselnya pasti habis karena dibiarkan terus menyala selama di perjalanan.

Tsurumaru terkulai lemas. Tanpa smartphone miliknya, ia hanya bisa mati gaya.


Bersambung—