The Boy Who Forever Drowned in Loneliness

Kuroshitsuji © Yana Toboso

A/N: setting pertama sebelum Ciel jadi iblis :) ditulis dari sudut pandang Sebastian.


"Sebastian…"

Nada suara itu.

"Yes, My Lord."

Tak ada satu kata pun yang keluar dari mulut mungilnya setelah itu. Hal itu seperti isyarat perintah lainnya dari dia. Kutegakkan kepalaku untuk melihat tuan mudaku tersayang; melihat matanya yang bulat besar bersinar terkena cahaya suram lilin. Matanya sudah minim akan cahaya kehidupan, kuning suram lilin hanya memperjeleknya, batinku.

"Mengapa Anda tidak mau tidur, Tuanku," ujarku, lebih terdengar seperti pernyataan dibanding pertanyaan karena sepertinya aku tahu apa sebabnya. Tuan mudaku tersayang hanya diam menatapku yang membenahi kembali tempat tidurnya yang sedikit berantakan. Sepertinya ia sudah berusaha tidur, namun gagal.

"Kenapa kau mengeluh, Sebastian?" tanyanya ketus seperti biasa. Aku terkekeh mendengarnya. Hanya di saat seperti inilah aku merasa senang bisa menjadi kaki tangannya; karena aku bisa menyaksikan sendiri sifat kekanakkannya yang sangat aku sukai.

"Apa aku terdengar seperti mengeluh, Tuanku?"

Ia mendengus.

Aku menepuk pelan tempat tidurnya yang sudah rapi kembali. "Mari tidur, Tuanku."

"Tidak."

Aku tersenyum pasrah. "Baiklah, apa yang ingin Tuan Muda lakukan, kalau begitu?"

Aku takbisa melihat raut wajahnya dengan cahaya minim seperti ini, tapi aku tahu ia sedang resah akan sesuatu. Aku adalah iblisnya. Tentu aku tahu ia seperti aku tahu diriku sendiri.

"Mau bermain chessboard?" aku memancingnya. Wajahnya masih mengeras, lalu tak lama ia berjalan pelan ke arahku.

"Berhenti bicara dan temani saja aku."

Ah, manusia memang lemah sekali terhadap 'kesepian'—bahkan Tuan Muda Ciel sekalipun lemah terhadapnya.

"Yes, My Lord."


Aku menatapnya. Sebagai iblis, aku tak berpikir merasakan emosi adalah hal yang seharusnya terjadi. Namun, detik ini juga aku merasa bisa mengamuk dan menghancurkan apa saja agar bsia terbebas dari perasaan campur aduk yang sangat mengganggu ini.

Tubuhnya dingin.

Warna tubuhnya bukan lagi putih pucat yang terlihat hangat dan nyaman dipeluk; kini pucat membiru seperti bongkahan es.

Orb birunya tidak terlihat lagi—tertutup kelopak mata yang seakan sudah tidak punya keinginan untuk terbuka lagi.

Bau kematian menguar kuat.

Tuanku...

"Bangunlah," bisikku pelan—sangat pelan.

Butuh beberapa detik baginya untuk memperlihatkan kembali bongkahan sapphire terindah yang pernah kulihat sepanjang masa. Mata itu bergerak lemah tak menentu, mencari fokus. Tepat ketika bertemu dengan mataku, aku langsung tahu aku kembali kehilangan dirinya—kedua kalinya setelah ia bangkit dari kematian beberapa waktu lalu sebelum bertemu bocah Trancy dan butler sialannya itu.

"Sebastian… inikah kematian?" tanyanya seperti bocah yang tersesat. Mungkin ia memang tersesat—sejak awal sudah tersesat.

Aku tetap pada sikap hormatku, membungkuk di depan iblis yang baru saja lahir tersebut. "Ya, Tuanku. Haruskah saya ucapkan 'Selamat Datang'?" ujarku mencoba meringankan perasaannya.

Ia tampak tidak peduli.

"Tidak jauh beda dengan ketika aku masih hidup." Aku mendengarnya meskipun ia berbisik lebih kepada dirinya sendiri. Aku meraih wajahnya dalam telapak tanganku, menatapnya dalam-dalam dan mengelus lembut pipi porselennya.

"Apa maksud Anda, Tuan?"

"Aku masih merasa sendirian, Sebastian."

Tuanku, Ciel-ku.

Tidak ada yang lebih mengerikan daripada kenyataan ini. Inilah mengapa aku menentangmu ketika kau memutuskan untuk menjadi iblis sepertiku. Kauhanya akan merasakan sesaknya kegelapan yang menghimpit jiwa, rasa putus asa, tenggelam dalam emosi negatif yang kaurasa akibat dendam selama hidupmu….

Bahkan aku pun takbsia membantumu—

"Jangan pernah meninggalkanku."

—tapi mungkin aku bisa.

"Yes, My Lord."

END