Disclaimer © Tite kubo
(Bleach bukan punya saya)
…
Ai
by
Ann
…
Peringatan : AU, OOC (Sesuai kebutuhan cerita), Typo (Saya sudah berusaha menguranginya tapi sepertinya tetap ada), Gaje (Silahkan anda berpendapat sendiri),
Tidak suka? Mungkin bisa tekan tombol 'Back' atau 'Close'
dan
Selamat membaca!
...
Cinta membodohkanmu, membutakanmu dari kenyataan. Bagiku seperti itulah cinta, hanya memberi kesenangan sesaat lalu kepedihan berkarat.
...
Prolog
...
Sepuluh menit sebelum tengah malam Rukia merangkak keluar dari selimut tebalnya dengan berpakaian lengkap. Karpet tebal meredam suara langkahnya saat ia berjingkat-jingkat ke jendela, menarik tirai ke samping dan mengintip melalui bilah kerai.
Ichigo menunggunya.
Pria itu berdiri di sudut jalan, persis di luar lingkaran cahaya pucat yang terbentuk dari lampu jalan. Bahu bidangnya tampak tegap di balik jaket tebal yang ia kenakan.
Sensasi yang menyenangkan berdesir menembus dirinya. Dengan satu jari Rukia menurunkan bilah kerai agar dapat melihat Ichigo dengan lebih jelas, dan pria itu melambai padanya. Ujung mulut Ichigo terangkat dalam senyum santai yang sangat familiar dan hati Rukia melonjak. Besok mereka akan berada jauh dari Soul Society. Dan ia akan menjadi nyonya Kurosaki.
Selama beberapa minggu terakhir ini Rukia tidak bisa memikirkan hal lain selain menikah dengan Ichigo. Ia tidak dapat berkonsentrasi dengan kuliahnya, dan hampir tak menyimak pembicaraan apa pun di keluarganya. Satu-satunya hal yang terpenting dalam hidupnya adalah prajurit berusia 22 tahun yang memiliki senyum mematikan.
Ichigo memenuhi pikiran dan hatinya, dan Rukia yakin ia tak mungkin bisa hidup tanpa pria itu.
Tak mau membuang waktu Rukia melepas bilah dan membiarkan tirai kembali turun menutup jendela.
Dengan jantung yang berdebar cepat, Rukia membungkuk untuk mengambil ransel kecilnya. Ransel itu hanya berisi pakaian ganti dan peralatan mandinya, serta sebuah boneka chappy kecil pemberian Ichigo. Ia hanya bisa membawa sedikit barang-barangnya karena ia akan melakukan perjalanan dengan sepeda motor, lagipula akan sulit melewati rumah yang gelap sambil membawa ransel besar apalagi koper.
Seluruh tubuh Rukia seolah melompat dan menari gembira. Ia sangat mencintai Ichigo dan masih tak percaya pria itu membalas perasaannya. Ia pasti gadis paling beruntung di dunia, bukan di alam semesta.
Tanpa melirik ke belakang, pada kamar indah yang menjadi tempatnya menghabiskan sebagian besar waktunya, Rukia bergegas keluar ke lorong.
Rukia melangkah perlahan sambil menenteng sepatunya sembari berdoa kaus kakinya akan meredam bunyi langkah kakinya. Semua ini akan percuma jika ayahnya terbangun.
Begitu memikirkan ayahnya, langkah Rukia terhenti, kaku oleh rasa bersalah. Ini bukan cara yang ia inginkan untuk menikah. Sebelum bertemu dengan Ichigo, hubungan Rukia dengan orangtuanya baik-baik saja. Sekarang rasanya benar-benar mengerikan jika ia harus memilih antara keluarga atau kekasihnya.
Tetapi ayahnya tak mau mendengarkan saat ia membela Ichigo, ayahnya tak memberinya pilihan sama sekali. Rukia hanya bisa berharap setelah ia menikah semuanya akan menjadi baik. Ayahnya harus melihat bahwa mereka memang diciptakan untuk satu sama lain.
Tak ada sedikit pun keraguan pada akhirnya ia dan Ichigo bisa mendapatkan persetujuan orangtuanya. Setelah ayahnya mengenal Ichigo, dia pasti akan mengagumi pria itu. Ichigo pasti akan menjadi suami yang sempurna baginya, ayah yang baik bagi anak-anak mereka, dan menantu yang dapat dibanggakan oleh orangtuanya. Segalanya akan baik-baik saja segera setelah ia berada di luar. Bersama Ichigo.
Ia menarik napas dalam dan kembali berjingkat-jingkat.
Beberapa minggu terakhir ini ia sudah berlatih menyelinap keluar rumah yang sunyi pada tengah malam, dan percobaan-percobaan yang pernah dilakukannya sebelum ini selalu berhasil. Sehingga Rukia memiliki kepercayaan diri jika pelariannya malam ini akan berhasil pula.
Akhirnya ia bisa melewati rumah dan berada di jalan masuk yang berubin batu. Ia hampir berhasil keluar. Tinggal melewati jalan setapak dan ia akan sampai di pagar belakang rumah, setelah itu ia hanya perlu membuka pintunya dan ia akan bebas. Rukia memakai sepatu, menarik napas dalam-dalam, dan melangkah cepat ke pintu. Kemudian dengan perlahan memutar gagang pintu, berdoa pintu itu tidak akan membuat suara. Jangan sekarang. Saat kebebasan sudah berada di depan matanya. Tidak saat Ichigo menunggunya di luar.
Sambil menahan napas, Rukia membuka pintu. Tepat saat ia membuka pintu, suara nyaring menggelegar dalam kegelapan.
"Kaupikir ke mana kau akan pergi?!"
Dengan cepat dan mengerikan seperti sambaran halilintar, kepanikan menembus dirinya. Dengan terengah putus asa, Rukia menyentak pintu lebar-lebar dan melempar dirinya ke depan. Tetapi sepasang tangan yang kuat seperti cakar, mencengkeramnya.
"Tidak!" Rukia berteriak selagi meronta untuk melepaskan diri. "Lepaskan aku, ayah!"
Lengannya hampir terlepas dari persendian dan ranselnya jatuh ke jalan setapak saat ayahnya menariknya kembali ke rumah.
"Tidak," isak Rukia. "Kau tidak boleh melakukan ini! Kumohon, biarkan aku pergi."
Rukia menjerit saat ia kembali terkunci di rumah. Dengan ketakutan, Rukia melepaskan diri dari pegangan ayahnya yang melonggar dan berlari menerobos ruang tengah langsung ke ruang tamu, tujuannya adalah pintu depan.
"Jangan bodoh!" raung ayahnya. Lagi, tangan ayahnya muncul dari belakang dan menangkap lengannya. Rukia mencoba melepaskan diri, tetapi ayahnya terlalu kuat untuk dilawan. Ia tak mungkin berlari lebih cepat dari tentara terlatih di rumahnya sendiri. Rukia tersentak ke belakang dan terdorong keras ke dinding.
"Kau harus membiarkanku pergi," kata Rukia tersengal. "Aku sudah dewasa, aku nerhak menentukan masa depanku sendiri."
Wajah gelap Byakuya Kuchiki menjulang di atasnya. "Menyebut dirimu sendiri dewasa?" ejek ayahnya. "Orang dewasa tidak akan menyelinap di tengah malam untuk dijemput oleh pemuda tak berguna seperti Kurosaki itu."
"Dia bukan pria tidak berguna. Kau tidak mengenalnya."
Cahaya membanjiri ruang depan, mata Rukia menyipit melawan cahaya tajam itu. Ia melihat ibunya, Hisana, berdiri di dekat saklar lampu dalam gaun tidur. Di belakang ibunya, sepupunya, Riruka, menatapnya dengan sorot mata yang sulit Rukia artikan.
"Kalian tidak bisa menahanku," Rukia terisak. "Aku tidak akan membiarkan kalian menggagalkan ini. Aku harus pergi. Biarkan aku pergi."
"Rukia, bersikaplah masuk akal," terdengar suara ibunya.
"Tidak, ibu yang harusnya bersikap masuk akal," Rukia menangis kembali saat meronta melawan pegangan kuat ayahnya.
Menolak menatap wajah marah sang ayah, Rukia fokus pada ibunya, yang nampaknya lebih bersahabat.
"Ibu bekerja sama dengan ayah untuk melawan Ichigo padahal ibu tidak mengenalnya. Ibu tidak mengijinkanku mengajak Ichigo ke rumah, ibu menolak mengenalnya, dan sekarang ibu melakukan ini padaku. Aku dua puluh tahun, bu, aku cukup dewasa untuk tahu apa yang kumau. Ichigo dan aku saling mencintai dan ibu harus membiarkanku menjalani hidupku. Aku harus menemuinya. Harus!"
"Langkahi dulu mayatku!" raung ayahnya. Dan, untuk menekankan maksudnya, ia mencengkeram pundak Rukia lebih keras dan mendorongnya kembali ke dinding.
"Tidak perlu mengasarinya," terdengar suara ibunya.
Rukia mengerang dan air mata bercucuran membasahi pipinya. Air mata kemarahan, bukan kesakitan. Ichigo menunggunya di luar pagar belakang rumahnya. Apakah Ichigo mendengar? Apa yang akan Ichigo lakukan jika ia tak kunjung muncul? Apakah ia bisa bertemu dengan Ichigo lagi? Harus. Tidak seorang pun bisa memahami betapa ia membutuhkan Ichigo. Setiap sel dalam tubuhnya merindukan lengan kuat Ichigo. Merindukan saat pria itu membisikkan namanya.
Cengkeraman ayahnya mengendur, tapi akan menguat jika ia kembali mencoba kabur. "Berhentilah menangis, Rukia," desis ayahnya. "Aku tidak percaya anakku sendiri bisa bertindak begitu bodoh. Kalau kau berpikir jernih, kau akan bersyukur. Kau akan berterima kasih padaku."
"Tidak akan!" teriak Rukia, malam ini ia begitu membenci ayahnya. "Kau sudah memutuskan untuk membeci Ichigo tanpa mencoba mengenalnya. Kau membencinya hanya karena dia bukan seorang perwira dan karena dia naik sepeda motor."
Byakuya mengguncang pundak putrinya. "Kurosaki adalah pengacau. Dia pernah ditangkap polisi karena ikut balapan liar, dan dia berkelahi di kelab malam. Aku tidak akan membiarkan anakku disentuh berandalan itu."
"Terlambat, ayah. Dia sudah menyentuhku!" seru Rukia dengan penuh kemenangan.
Tatapan ayahnya berubah bengis. "Aku akan membunuhnya!"
"Byakuya-sama, anda harus lebih tenang," ibunya menyela, menghampiri suaminya dan berusaha menenangkannya. "Kita bisa membicarakannya."
"Tidak ada yang perlu dibicarakan," protes Rukia. "Tidakkah kalian mengerti? Aku mencintai Ichigo, dan Ichigo mencintaiku. Aku tidak bisa hidup tanpanya. Jika kalian tidak membiarkanku pergi, kalian akan menghancurkan hidupku."
"Anggap saja hidupmu memang sudah hancur," bentak ayahnya.
Rukia menangis. Bagaimana orangtuanya bisa bersikap begitu kejam padanya? Rukia merosot di dinding. Ayahnya melepaskan pundaknya, tetapi Rukia tak lagi mencoba melarikan diri, ia tahu hal itu tak ada gunanya. Ia meluncur ke lantai dan meringkuk sedih, kedua lengannya memeluk lututnya yang menekuk.
Rasanya ia ingin mati.
Suara Riruka terdengar menembus kesedihannya. "Apa kau mau aku pergi dan memberitahu Ichigo bahwa kau tidak akan datang?"
Kepala Rukia tersentak.
Riruka beringsut lebih dekat dengannya, dan untuk pertama kalinya ia sadar bahwa sepupunya itu berpakaian lengkap seperti ayahnya. Apakah mereka tahu rencananya?
Ia menatap Riruka, ada yang salah dalam tatapan sepupunya itu tapi Rukia tak sempat memusingkan hal itu. Ichigo menunggunya di luar, dan ia tak ingin membiarkan pemuda itu terus menunggu sementara ia tak mungkin bisa keluar.
"Dia menunggu di sudut jalan. Pergilah dan katakan padanya apa yang terjadi," kata Rukia.
"Jangan lakukan, Riruka," Byakuya menyela. "Jika ada yang akan bicara dengan prajurit Kurosaki, akulah orangnya."
Riruka melontarkan senyum yang tampak simpatik pada Rukia, jika saja matanya tidak berseri dengan kegembiraan tertahan. "Aku akan kembali tidur kalau begitu," gumamnya, lalu mengedipkan mata pada Rukia. Saat Rukia melihat Riruka meninggalkan ruang depan, ia tahu sepupunya berencana mengendap lewat pintu belakang untuk menemui Ichigo. Rukia menjadi lebih tenang setelah mengetahui hal itu.
"Bagaimana ayah tahu aku akan kabur?"
"Aku seorang intelijen angkatan darat, kau ingat?"
Selagi meringkuk di lantai Rukia memandang penuh kebencian kepada ayahnya.
Ayahnya mendesah tidak sabar. "Dengarkan ayah, Rukia. Ayah punya alasan mengapa menentang hubunganmu dengan Kurosaki."
"Karena dia pengacau?" tantang Rukia.
"Bukan hanya karena itu."
"Ayah tidak memberinya kesempatan."
"Aku tidak mau dan tidak akan melakukannya. Aku tidak mau mengambil resiko jika putri semata wayangku terlibat. Aku tidak percaya pada pemuda aneh itu."
"Apa maksud ayah?"
"Kurosaki Ichigo, dia pandai di segala bidang. Ujian tingkat kecerdasan, ujian bahasa, ujian menembak."
"Benarkah? Dia tidak pernah memberitahuku. Tetapi ayah menganggap prestasinya itu hal buruk?"
Keterkejutan muncul di mata ayahnya untuk sesaat, kemudian wajahnya kembali datar seperti semula. "Dia bertingkah seperti penjahat. Suka berkelahi, membuat onar. Pada pelatihan, kami tak pernah tahu apa yang akan ia lakukan. Dia mempertanyakan dan membantah perintah. Dia menolak menyesuaikan diri. Itulah sebabnya ayah menolak kenaikan pangkatnya."
"Ayah melakukan itu?" tanya Rukia. "Ichigo tak pernah memberitahuku." Ia menggigit bibir.
"Dia tidak akan memberitahumu," ujar ayahnya. "Prajurit Kurosaki adalah orang yang tidak layak untukmu. Dia selalu ingin menjadi pahlawan. Dia jenis prajurit yang melemparkan diri ke garis depan."
"Ichigo pemberani dan selalu ingin melindungi orang lain," bela Rukia.
"Dia tolol. Dan malam ini dia membuktikan hal itu, dia berpikir aku tidak tahu apa yang dia rencanakan."
Hati Rukia berubah hampa.
"Byakuya-sama−"
Byakuya mengangkat tangannya, sebagai isyarat agar istrinya tak melanjutkan kalimatnya.
Byakuya membungkuk di samping Rukia dan meletakkan tangannya di pundak putrinya itu. "Rencana Kurosaki adalah mendapatkan putriku, mempermainkannya lalu mencampakkannya."
"Tidak!" Kata-katanya ayahnya membuat Rukia tak bisa bernapas.
"Itu kebenarannya, Rukia. Berpura-pura tergila-gila dan kawin lari denganmu adalah pembalasan dendamnya untukku."
"Tidak!" Selagi mencoba untuk bernapas. Rukia merasa ditutupi oleh kabut hitam tebal. Awan tebal menyesakkan yang meremukkan dadanya saat ia mencoba untuk berdiri. "Tidak, ayah salah! Ichigo mencintaiku. Dia ingin menikah denganku."
"Sadarlah, Rukia. Tidak akan ada pernikahan. Apa Kurosaki memberitahumu bahwa dia mengajukan permohonan untuk di pindahkan ke Karakura?"
Rukia menggeleng pelan. "Tidak, ti-d-dak!" Protes Rukia berubah menjadi jeritan.
"Lebih baik kau memercayainya," suara ayahnya melembut. "Maafkan aku, apa yang ia lakukan padamu hanyalah usaha pembalasan dendam karena aku menolak kenaikan pangkatnya. Kurosaki Ichigo, hanya memanfaatkanmu, Rukia."
...
Bersambung...
...
a.n :
Perwira/kadet : pangkat terendah dalam ketentaraan.
...
Terima kasih sudah menyempatkan waktu membaca fic ini.
Untuk kalian yang bertanya-tanya mengenai fic saya yang lain, saya belum tahu kapan akan meng-update-nya, tapi akan saya usahakan sesegera mungkin *setelah ide dan mood melanjutkannya muncul di kepala saya*
See ya,
Ann *-*
