Siang itu, matahari bersinar cerah. Angin berhembus sepoi-sepoi, menerbangkan kelopak bunga sakura yang menari-nari di udara. Seorang pria berdiri di bawah pohon sakura sambil menghirup udara segar. Tidak ada peperangan. Suasana yang tenang itu membuatnya amat rileks. Dihirupnya udara lewat hidung dan dihembuskan lewat mulut. Dalam hati, dia berharap negeri matahari terbit itu bisa selamanya damai.
Seorang wanita yang kecantikannya amat mempesona berjalan mendekati pria itu. Rambut panjangnya melambai-lambai tertiup angin. Dengan suara yang amat halus, ia menyapa pujaan hatinya.
"Nagamasa-sama..."
Pria itu menoleh, melihat ke arah istrinya.
"Ada apa, Ichi?"
Wanita itu menggeleng. "Tidak... a..apa Ichi mengganggu?"
Wajah gadis itu agak tertunduk. Sikapnya itu agak terlalu sopan untuk ukuran seorang istri pada suaminya...
"Ah, tidak kok. Kenapa juga aku harus merasa terganggu?" Jawab pria itu.
Pria itu duduk di rerumputan. Istrinya ikut duduk di sampingnya. Mata pria itu menatap ke arah langit biru yang dihiasi awan. Sang istri memandangi wajahnya yang tampak sangat damai itu. Ia tersenyum kecil.
"Nagamasa-sama... seandainya saja setiap hari damai seperti ini..." Ucapnya. Sang suami mengangguk.
"Bukannya itulah tujuan kita, sampai haus mengorbankan nyawa kita?" Ujar pria itu tanpa menoleh. Matanya masih tertuju pada langit biru yang teramat luas.
"Benar, tapi... perang ini seperti tidak ada ujungnya..." Suara wanita itu memelan.
"Ichi." Pria itu menoleh, memandangi istrinya.
"Jangan bicara seperti itu. Jangan pesimis. Kau-"
"Tapi... Ichi tidak ingin terus seperti ini. Ichi takut. Ichi sudah kehilangan nii-sama. Ichi tidak igin kehilangan Nagamasa-sama juga. Ichi..." Ucapan gadis itu terhenti, ia teringat perang yang terjadi beberapa hari lalu. Ketakutan dan kecemasan yang amat sangat menghantui perasaannya saat melihat suaminya berlumuran darah dan terbaring lemah di tanah. Rasa takut akan kehilangan membuat air matanya tak bisa dibendung lagi.
"He-hei, kenapa kau menangis?"
Wanita itu menyentuh pipinya. Basah.
"Maafkan Ichi." Kepala gadis itu tertunduk. Seandainya saja dia tidak jatuh cinta padanya, seandainya saja dia tetap menaati perintah kakaknya menjadi sebuah "boneka" semata, hal itu tak akan terjadi. Kakaknya tidak akan berusaha melenyapkan lelaki idamannya
Pikirannya itu mengiris hatinya. Air matanya terus berjatuhan.
"Maafkan Ichi. Ini semua salah Ichi. Ichi-"
Ucapannya terhenti ketika merasa sesuatu menyentuh bibirnya. Nagamasa mengelus pipi istrinya sambil merasakan bibirnya yang amat manis. Setelah beberapa saat, dia mundur.
"Nagamasa-sa..." Oichi menyentuh rambutnya, menyadari sebuah bunga yang tersemat di atas telinganya.
"Apa kau bodoh, Ichi? Kau tak salah apa-apa." Dengan lembut, pria itu menghapus air mata yang membasahi pipi istrinya.
"Dan... aku janji, aku akan selalu berada di sisi Ichi selamanya."
Pria itu memalingkan wajahnya yang memerah. Oichi tersipu malu.
Dia tersadar, dia tidak perlu takut. Nagamasa-sama ada di sisinya. Dia tidak sendirian. Selama ada pria yang dicintainya itu, dia akan baik-baik saja...
Oichi menyandarkan kepalanya ke pundak pria itu. Senyumannya mengembang.
Ya, pasti.
A/N
AAASJDKGLHLDJSJSKGLG APA ITU UJIAN?! APA ITU BELAJAR?! SAYA TAK TAHU LAGI! *headbang ke tembok*
Ahem.
Halo semuanyaa- author yang sudah terlampau stress disini. Setelah melarikan- ahem, mengerjakan tugas yang menumpuk, saya akhirnya bisa menyisihkan waktu untuk nulis lagi... tapi ya, nggak bisa se-sering dulu. Ngomong-ngomong... saya lagi bikin project FF buat fandom ini, multichap rada panjang. Makanya mugkin saya nggak akan nulis lagi untuk waktu yang cukup lama, maaf ya ^^;;
Sekian, babai~! RnR is always appreciated!
-Ikurin
