Hi, everyone!

Anne muncul lagi, nih! Kangen nggak, hayooo! Hari ini akhirnya Anne sudah selesai UAS. Terima kasih yang sudah semangatin Anne, tinggal minta doanya semoga hasilnya Anne bagus, ya! Amin. Nah, untuk mengawali Februari ini, Anne buat fic baru, nih. Dulu Anne sempat dapat requestan salah satu reader yang pengen cerita fic Anne dulu yang "Anak-Anak Mummy Ginny' tapi dibuat versi Harry. Nah.. ini, nih. Anne buat formatnya seperti dulu tapi kisahnya sedikit berbeda. Bagaimana kisahnya? Dimulai dengan kisah Harry dengan James, ya!

Happy reading!


"Susu anak-anak—"

"Ya."

"Di lemari paling atas. Untuk Lily yang ada logo strowberrynya."

"Aku tahu."

"Jangan ajak mereka tidur sampai larut malam! Jangan ngemil malam-malam!"

"Siap!"

"Jangan makan sembarangan. Kalau bisa, masak sendiri. Jangan makan junk food."

"OK."

"Harry—"

"Ya?"

Ginny berhenti. Ia memberi kode pada teman-temannya agar berkumpul di dalam kantor redaksi terlebih dulu. Ginny masih membutuhkan waktu sebelum ia benar-benar pergi meninggalkan suaminya untuk bertugas di belahan dunia lain. Ia akan pergi ke daratan Amerika. Ditatapnya mata Harry yang selalu membuat kerja jantungnya lebih semangat. Rasa itu selalu ada tiap jarak keduanya sedekat ini. Siap untuk saling memeluk. Diraihnya tangan Harry pelan-pelan lantas menciumnya.

"I love you, my husband." Ucap Ginny sontak meluluh lantakkan keacuhan Harry menanggapi pesan-pesan Ginny. Mata Harry berubah sendu. Rasa berat merelakan istrinya pergi bertugas kembali datang.

"Ow.. Biarkan aku memelukmu sekali lagi, love! I love love love you!" balas Harry tak kalah romantisnya. Mereka saling berpelukan. Sejenak setelah mereka melepaskan diri, pelukan itu dengan cepat berganti dengan ciuman yang dalam. Hingga hampir lebih dari satu menit kemudian, seseorang berteriak memanggil.

"Mr. Potter, tenanglah. Anda masih bisa melanjutkan ciuman kalian dua hari lagi, bahkan lebih dari tadi. Aku pastikan Minggu malam, Anda tidak akan tidur sendirian lagi." Kata April muncul dari balik bilik meja kerjanya.

Mata Ginny terbelalak, sigap langsung mendorong tubuh Harry menjauh. Ia malu setengah mati. "Aku tadi juga mencium suamiku, kok, tenang saja." April mendekat ke telinga Ginny dan berbisik, "janjikan pada suamimu kau akan memberikan ciuman bahkan service yang lebih saat kau pulang nanti, Ginny." Katanya pelan.

"Aku bisa mendengarmu, Mrs. Austen," tegur Harry bergaya tegas.

April terpaku tak percaya. "Oh, aku lupa jika Auror juga dilatih kepekaan pendengarannya—"

"Mrs. Austen!" panggil Harry dengan penekanan sempurna pada nama keluarga suami April.

Ginny memukul pundak Harry pelan meminta Harry berhenti menggoda sahabatnya di Daily Prophet. "Sudah, sudah. Kita berangkat dulu, Harry. Hati-hati di rumah, ya. Jaga anak-anak."

"Tentu saja, love. Kau juga hati-hati. Dan—" Harry berganti melirik ke arah April, "Anda juga, Mrs. Austen. Hati-hati selama di sana. Suami anda juga menunggu service terbaik Anda sepulangnya nanti. OK!" Goda Harry sambil terkikik geli.

"Ow, tentu saja, Mr. Potter. Asalkan anda tak main-main dengan suami saya." April, yang memang suka sekali lelucon tak mau kalah kembali menggoda Harry, dan sejauh ini lelucon itu sudah semakin gila, begitu menurut Ginny. Cepat-cepat, April ditarik menjauh agar Harry tidak lagi-lagi melanjutkan joke-joke mereka.

Harry melambaikan tangan untuk kesekian kalinya. Ia cukup mengantarkan Ginny menuju perapian yang berada di sekitar ruang rapat redaksi. Setelah April, giliran Ginny masuk lantas menjatuhkan bubuk floonya. Ginny menghilang. "Ahh, pergi. Sekarang aku sendirian." Gerutu Harry melangkahkan kakinya keluar dari kantor pemasaran Daily Prophet.

Mumpung berada di kawasan Diagon Alley, ia melihat toko es krim favoritnya sedang padat dengan pengantre yang berbaris memanjang dari meja pemesanan. Benar saja, ini musim liburan. Anak-anak yang pulang dari Hogwarts banyak menghabiskan waktu di sekitar jalanan Diagon Alley. Beberapa dari mereka tampak senang dengan makanan kecil, mainan, dan kantung-kantung yang tampaknya berisi pakaian baru. Harry mengingat ketiga buah hatinya.

"Ah, mereka," katanya pelan. Meski ketiga anaknya belum semuanya berangkat ke Hogwarts, Harry selalu membayangkan bagaimana jadinya jika suatu saat ia hanya tinggal berdua dengan Ginny di rumah.

Seorang Potter kembali hadir di Hogwarts? Bahkan tiga orang sekaligus.

Anak pertama Harry, James, saat ini duduk di tahun ketiga. Anak itu benar-benar menjadi bintang di Hogwarts sejak di tahun pertamanya. Menurut informasi yang didapatkan Harry dari beberapa pengajar di sana, James sangatlah terkenal. Tentu, nama besar keluarga Potter melekat di dirinya. Tapi, tidak hanya itu yang membuatnya bisa terkenal di seantero kastil Hogwarts.

"James punya pesona tersendiri, Uncle Harry. Yang aku dengar dari beberapa Profesor, James digilai para siswa perempuan. Ya, aku tak bisa pungkiri jika ketampanan James bagi seorang siswi perempuan adalah lebih dari cukup. Bahkan lebih dari tampan. Mempesona!" Teddy, yang kini bekerja sebagai salah satu staf yang mengurusi segala kebutuhan pengajaran dan asrama Hogwarts bercerita terang-terangan pada Harry tentang ulah James.

"Hebatnya James, dia sangat pandai memanfaatkan keadaan. Banyak siswi di Hogwarts yang susah bernapas jika berdekat dengan dia. Aku sampai heran." Teddy menggeleng tak percaya.

"Berarti ada kemungkinan James sudah punya.. pacar?"

Kesimpulan Harry akhirnya sampai pada urusan cinta. Putranya itu tidak lagi anak-anak yang hanya tahu lucunya kartun, tapi James mulai tahu mana wanita cantik maupun menarik. "Sepertinya.. sudah, Uncle." Lanjut Teddy tampak ragu. Rambutnya berubah jingga.

Satu orang lagi, Harry akan sampai di meja pemesanan es krim. Ia memutuskan untuk membeli es krim favoritnya, karamel, coklat untuk James, vanilla untuk Al, dan juga strowberry untuk si bungsu Lily. Harry hapal semuanya, begitu juga Ginny yang suka dengan rasa moca. Ya, paling tidak ia pulang punya sesuatu yang bisa ia bawa untuk anak-anaknya.


"Mummy ke kantor pusat Daily Prophet dulu, ya, Dad?" tanya Al saat Harry mengambil posisi duduk di sisinya. Harry dengan ketiga anaknya bersantai di ruang keluarga. James dan Lily asik menonton drama televisi, sedangkan Al sibuk dengan laptopnya di sofa panjang. Harry mengamati Al yang bermain dengan tombol-tombol di laptopnya.

"Iya, jadi dari kantor pemasaran tadi, Mum pakai jalur floo ke kantor pusat. Katanya dari sana masih ada rapat sebelum benar-benar ke Amerika. Itu jauh, kan, jadi harus ada dokumen-dokumen resmi. Tugas Mummy juga, kan, ada sangkut pautnya dengan Kementerian yang bekerja sama dengan Daily Prophet. Jadi paling tidak ada proses tambahan yang lebih ribet."

Harry menyandarkan kepalanya di pundak Al sambil terus mengamati layar laptop Al yang menunjukkan gambar-gambar makanan. "Yang ini enak kayaknya, Al," tunjuk Harry pada gambar potongan pizza. Al mengangguk setuju.

"Kalau pasta yang ini rasanya gurih, Dad. Bisa pesan ekstra keju juga, di sini promonya begitu. Wuuhhh pasti enak," tunjuk Al pada gambar sepiring pasta. Mereka berdua mengamati salah satu menu makanan dari website restoran cepat saji di kawasan London.

"Ih, Dad.. kok ngomongin makanan, sih, aku jadi lapar. Aku ingin makan burger. Kau juga, James?" tanya Lily.

"Tentu saja, sejak sore tadi kita hanya makan es krim dan camilan. Dad, ayo makan di luar! Pizza!" Teriakan James diikuti sorakan setuju dari Al dan Lily.

James bangkit dari karpet lantas duduk di samping Al. Lily pun ikut berdiri namun ia lebih memilih duduk di pangkuan Harry. Keempat Potter itu seolah satu pemikiran, ingin makan di luar. Harry juga ingin sekali makan pizza. Tapi.. tiba-tiba pesan Ginny sebelum berangkat kembali terlintas di kepala Harry.

Jangan makan sembarangan. Kalau bisa, masak sendiri. Jangan makan junk food.

"Oh, kids. Mummy kalian melarang kita makan junk food." Harry mengangkat tubuh kurus Lily dan mendudukannya di atas sofa, tepat di sisi Al. "Dad akan masak makan malam untuk hari ini." Katanya.

Harry beranjak dari tengah anak-anak mereka berjalan menuju dapur. Berusaha untuk menyiapkan makan malam walaupun sebenarnya Harry sendiri sama sekali tidak punya ide untuk memasak makanan untuknya dan juga ketiga anaknya. James, Al, dan Lily bersorak kecewa dengan keputusan ayahnya yang tetap memilih memasak sendiri untuk makan malam. Ketiganya mengakui betul kepandaian sang ayah dalam memasak. Namun untuk malam ini, tidak hanya Harry, mereka pun menginginkan sesuatu yang tidak biasa.

Hampir lima belas menit kemudian, Harry belum kunjung menentukan akan memasak apa. Dapur tempat kekuasaan Ginny selama ini terasa hampa. Isi lemari pendingin hanya dipandangi Harry tak tahu harus dimasak apa. Beberapa buah dan sayuran tersedia di dalam sana, namun sayangnya.. Harry bingung.

"Asalkan enak, tak apa, deh."

Harry kembali menutup pintu lemari pendingin dan tampaklah James sudah berdiri di balik sana. Diusianya yang hampir empat belas tahun, tinggi badan James hampir setinggi Harry. Tubuh jangkung James memang tampak menunjang penampilannya yang sudah mempesona. Harry akhirnya melihat sendiri jika penggambaran sosok James yang mampu menjadi Don Juan Hogwarts tak bisa dielakkan lagi. Semuanya benar.

"Daddy tak bisa masak seenak Mummymu, James. Paling tidak, ya, masih lumayan untuk dimakan." Ujar Harry pasrah. Satu kantung berisi kentang ia keluarkan dan siap untuk dikupas. James bersandar di sisi lemari pendingin sambil bergumam.

"Susah juga, ya, kalau Mummy nggak di rumah. Kita jadi susah untuk makan. Daddy pinter banget, deh, cari istri seperti Mummy. Sudah atlet Quidditch, jago nulis, pintar memasak, membuat baju rajutan kami juga bisa. Ohh.. sempurna. Bagaimana, sih, Dad, cara mendapatkan pasangan seperti Mum?"

Deg! Harry tertegun dengan pertanyaan James yang tiba-tiba. Memilih pasangan? "Ehh kau sudah mulai tertarik mencari pasangan, ya?" tanya Harry dengan nada menggoda. Ia berniat memancing James untuk menceritakan kisahnya di Hogwarts yang menurut rumor sangat digilai para wanita.

"Sebenarnya, sih, aku belum mau, Dad. Tapi masalahnya, anak-anak perempuan di Hogwarts selalu menyusahkanku. Masa iya setiap aku jalan, jika ada siswa perempuan di dekatku pasti langsung menyapa. Padahal aku sedang bersama Lim dan Fred, tapi mereka tak disapa. Mengganggu sekali, Dad." Keluh James pada pengalamannya selama di Hogwarts.

James menceritakan jika banyak sekali siswa perempuan yang tidak pernah absen untuk menyapanya tiap kali berpapasan. Bahkan surat-surat kaleng sering ia terima dengan isi pesan meminta untuk jadi pacar. "Terus aku harus bagaimana, Dad?"

"Kau sendiri ada tidak yang kau taksir?" Harry terpancing. Ia meneruskan acara mengupas kentang sambil menyalakan kompor untuk mendidihkan air rebusan.

"Em.. ada, Dad—"

Dak! Suara pisau Harry menghantak papan talenan membuyarkan ketenangan keduanya. James langsung berdiri tegak. "Ada?" tanya Harry kembali mempertegas.

"Namanya Mei Jin. Mei Jin, Lee." Kata James.

"Nama oriental." Harry bak mengingat masa lalu, dengan gadis oriental.

James mengangguk pelan. "Orang tuanya berasal dari Taiwan. Satu tahun di atasku. Dia Ravenclaw." Penuturan James membuat Harry semakin tak berkonsentrasi. Ide masakan yang sempat terbersit di kepalanya tiba-tiba hilang dan digantikan penggambaran wajah cantik gadis Ravenclaw dengan paras oriental yang khas. Rambut hitam panjang lurus dengan mata sedikit sipit. Jelas. Sangat jelas ketika Harry coba mengambarkan sosok bernama Mei Jin itu.

Bukan. Bukan Mei Jin, Harry membayangkan wajah Cho Chang.

"Dad!" James menyadarkan lamunan Harry. "Bagaimana? Kata Mum dulu, pacar pertama Dad juga gadis oriental. Aunty Cho, kan? Bagaimana rasanya, Dad?"

Kacau. Harry sampai tidak menyadari jika air yang ia panaskan sudah mendidih sementara kentang yang ia kupas baru selesai satu buah saja. Harry meletakkan pisaunya. James tersenyum. "Rasanya apa? Pacaran bukan permen yang bisa dirasa." Harry salah tingkah.

"Oh, jangan begitu, Dad. Berbagilah ilmu sedikit denganku. First kiss Daddy juga dengan Aunty Cho, kan? Aku hanya memastikan apakah tepat aku memilih Mei Jin sebagai pacarku?" ujar James semakin mendekat ke sisi Harry. Suaranya dipelankan sampai dentingan permainan piano Lily dari ruang tengah terdengar hingga dapur.

Harry menghela napas dalam-dalam. "Siapa lagi yang menceritakannya padamu?"

"Uncle Ron, ahh tak masalah bukan siapa yang memberitahuku. Ayolah, Dad. Ceritakan! Aku akan belajar bagaimana nanti jika kita benar-benar berciuman—"

"No!"

Takk! Harry menjentikkan jarinya sekali, seketika api dari kompor padam. "Kok dimatikan?" tanya James bingung. Ayahnya sama sekali belum memasak apapun. Hanya air mendidih. Harry mengambil tongkatnya lantas mengayunkan tepat ke sekeliling dapur. Satu persatu perlengkapan dapur yang sempat ia gunakan bergerak dengan sendirinya membersihkan tanpa disentuh. Setelah semuanya beres, Harry melepas apron yang dipakainya.

"Kau masih tiga belas tahun, son. Jangan berpikir terlalu jauh. Belajarlah yang rajin. Jangan pikir pacaran. Nanti sakit hati kalau kau dihianati." Harry mengaitkan tali apronnya pada sebuah gantungan kecil di sisi meja dapur.

"Kalau Daddy dulu dihianati, aku bisa berusaha untuk membuat dia lebih nyaman denganku dengan pelajaran dari kisah Daddy. Aku tak akan mungkin dihianati jika dia nyaman denganku. Mungkin dulu Aunty Cho—"

"Nope!" Harry keluar dari dapur dengan lemas. Di ruang tengah, Al melihat sang ayah dengan ekspresi kebingungan. Begitu juga Lily yang langsung menghentikan permainan pianonya tiba-tiba lantas menatap ayahnya tak paham.

Harry berlari naik ke tangga utama ketika suara Lily memanggilnya, "sudah matang makan malam kita, Daddy?" suara Lily lantang menghentikan langkah Harry.

"Yang matang hanya air. Kita makan di luar. Al, kau ingat di mana restoran yang kita lihat websitenya tadi?"

Di lantai bawah Al berteriak, "ingat." Al ingat nama dan juga alamat terang restoran yang baru saja ia buka beberapa menit lalu. Harry tampak masuk ke kamarnya lalu keluar memakai jaket dan membawa kunci mobil. Harry cepat-cepat kembali turun sambil menggerutu pelan, tanpa menyadari keributan di antara ketiga anaknya.

"Setidaknya malam ini Mummy kalian tidak tahu kalau kita makan makanan di—"

Pemandangan mengejutkan tampak di depan Harry dimana James mengulurkan tangannya seolah memaksa kedua adiknya mengeluarkan sesuatu dari kantung pakaian masing-masing. Lily tampak lebih dulu mengeluarkan dua lembar uang Muggle diikuti Al yang turut mengeluarkan uang dengan jumlah yang sama dari saku celananya. Mereka berdua tampak ogah-ogahan menyerahkan uang-uang itu pada James yang kini tertawa kegirangan menerima lembaran uang dari kedua adiknya.

"Ahh kenapa kau bisa, sih, James, membuat Daddy mau mengajak kita makan di luar? Hebat sekali, pakai cara apa kau?" tanya Lily.

"Salah kita juga, sih, kenapa mau juga menerima tawaran James untuk bertaruh, Lils. Dia sudah ahli untuk urusan ini—"

"Ow, jadi James," seru Harry dari arah tangga, "kau membuyarkan konsentrasi memasakku dengan cerita 'gadis orientalmu' itu agar Dad mengajak kalian memilih makan di luar?" tanya Harry geram. Ia baru saja dijadikan bahan taruhan keisengan putra sulungnya.

James dan kedua adiknya terbahak geli. "Sorry, Dad, tapi aku, Al, dan Lily ingin makan di luar.. bukankah Dad juga ingin makan pizza? Aku hanya membantu kalian," rayu James.

"Dengan cara memancing kisah masa lalu Dad dengan ga—"

"Gadis oriental. Oh, Dad, aku dan dia belum pacaran. Tenang saja." Potong James tanpa dosa. Lily bergegas menarik tangan Harry menuju pintu depan meminta cepat berangkat.

"Ayo, Daddy. Mumpung Mummy tidak di rumah, kita akan tutup mulut. Sekali saja makan pizza, pasta, burger, kentang goreng, ayam goreng. Itu pasti enak, Dad." Ajak Lily.

Harry masih belum terima dengan penjelasan James yang mengatakan jika ia belum pacaran dengan gadis bernama Mei Jin itu. Kembali, Harry melirik James yang siap menuju mobil di garasi rumah. "Kau yakin belum pacaran?" ulang Harry kesekian kali.

"Belum, tapi kalau Dad setuju aku bisa menembaknya nanti saat kami kembali ke Hogwarts." Kata James sambil nyengir bersemangat.

"KITA MAKAN-MAKAN, GUYS!" teriak James diikuti sorakan gembira Al dan Lily.

"Come on, Daddy! Kami sudah lapar!" Panggil James di bangku sisi kemudi. Harry menghela napasnya pasrah. Oh memang, bersama ketiga anaknya ini membuat Harry harus siap-siap melatih mentalnya.

"Ginny, cepatlah pulang!" Harry sangat membutuhkan istrinya kembali. Secepatnya.

- TBC -


#

Ehem.. lanjut besok (kalau bisa) dengan kisah Harry dan Al.. Anne nggak bisa banyak ngobrol dulu. Anne tunggu review kalian. Anne kangen banget!

Thanks,

Anne xoxo