SETIA...

Apa yang ada dipikiranmu saat kau mendengar kata-kata ini?

Dan lalu...

Cinta pertama...

Siapakah yang terlintas dipikiranmu sekarang?

Cinta monyetmu? Pacar pertama? Orang yang membuatmu berdebar untuk pertama kali atau-

Haha, oke. Aku rasa cukuplah pendapat tidak penting dariku barusan. Sekarang, aku ingin menceritakan sebuah kisah pada kalian. Kisah cintaku, tentang seseorang. Yah, bisa disebut dialah...

Cinta Pertamaku...

Sincerity © Namikaze Ex-Black

Naruto © Masashi Kishimoto

Genre-Romance, Hurt/Comfort

Rate-T

Warning-Out Of Character, Another Univresal,Typo(s)

Length-One Shoot

A Naruto and Sakura Fanfic

Tahukah kau rasanya mencintai seseorang hingga setengah mati? Sampai rasanya bila kau tak bertemu dengannya sehari saja rasanya, ughh.. menyebalkan, membosankan dan semuanya datar.

Aku pernah merasakannya...

Oh, tidak.

Oke. Ini salah. Bukan pernah. Namun masih merasakannya.

Ohya. Satu lagi. Aku lupa belum memperkenalkan diriku.

Namaku, Sakura. Sakura Haruno. Pekerjaan terakhirku adalah seorang Dokter pada sebuah Rumah Sakit terkenal dikota tinggalku. Aku hanyalah seorang gadis yang sama dengan gadis-gadis lainnya. Bermimpi mempunyai kisah cinta yang indah, dengan orang yang kita cintai tentunya.

Kalau pendapatmu mengatakan cinta pertama adalah seseorang yang kau sukai waktu kau menginjak bangku sekolah taman kanak-kanak, menurutku jawaban itu tidak tepat untukku. Karena aku pernah menyukai beberapa orang saat menginjank jenjang itu, namun terlupakan begitu saja saat sudah tidak pernah bertemu. Malah aku lupa bagaimana wajah mereka sekarang.

Dan kalau kau bilang itu adalah seseorang yang sukai sewaktu kau kecil, aku juga bilang itu keliru untuk , ya. Maksudku, keliru untuk kisah cintaku.

Kisah cintaku berkata, cinta pertama atau istilah kerennya yang orang-orang bilang jaman sekarang adalah... FIRST LOVE -Seperti judul lagu milik seorang penyanyi wanita Jepang yang dulu masih sering aku nyanyikan saat aku pertama kali jatuh cinta- adalah seseorang yang bukan pertama kali membuatku tertarik padanya. Namun seseorang yang bisa membuatku merasakan perasaan cemburu dan berdebar saat pertama. Dan dialah yang akan aku ceritakan disini. Dia. Yang selama bertahun-tahun kucintai. Walau tak pernah ada sedikitpun balasan darinya.

Mungkin orang-orang bilang aku bodoh. Aku aneh. Aku bla bla bla bla yang lainnya. Tapi aku tidak perduli. Karena walaupun beberapa tahun sudah kulalui, dimataku, hanya ada dirinya. Dirinya yang selalu berdiri tegak disana. Menghipnotisku dengan tatapan lembut safir-nya.

ŏ

Tokyo Senior High School, 2006

"Sial! Sial! Sial!." Umpatku saat aku melihat gerbang sekolahku terlihat akan menutup separuh lagi. Aku terus berlari sekuat tenaga dan saat pintu tersebut hanya tinggal sedikit lagi, sseseorang yang memang setiap harinya selalu bertugas menutup pintu gerbang itu melihatku langsung saja menatapku dengan pandangan maklum dan menghentikan tangannya yang akan menutup pintu gerbang.

"Telat lagi Haruno-san?" Tanyanya saat aku sudah tepat berada didepan gerbang dengan napas yang ngos-ngos an. Aku hanya menatap lelah pada lelaki didepanku ini lalu menjawab walau masih agak terputus-putus karena kelelahan berlari.

"Hah.. hah... iya... maaf ya Iruka Sensei. Tadi pagi alarm di flatku rusak." Kataku. Dan ia langsung saja memberikan pandangan yang seolah olah berarti-Aku tahu kau berbohong-. Namun sepertinya ia tidak ambil pusing tentang hal itu. Ia malah tersenyum dan membukakan gerbang besi yang pastinya berat itu untukku bisa masuk.

"Arigatou Sensei." Kataku lalu berlari menuju dalam sekolah. Dalam hati aku tersenyum. Ialah guru yang selama ini selalu baik kepadaku. Selalu membukakan pintu walau aku sudah terlambat. Dengan toleransi tidak boleh lebih dari sepuluh menit tentunya. Dan untung saja selama ini aku tak pernah melanggar batas toleransi tersebut.

Iruka Sensei tahu alasan apa yang membuatku terlambat dan memandangku dengan wajah maklum setiap harinya. Ya, setiap pulang sekolah hingga pukul sepuluh malam aku harus kerja part time untuk menghidupi diriku sendiri. Aku seorang yatim piatu yang memutuskan untuk meninggalkan panti enam bulan yang lalu. Aku ingin lepas dan hidup mandiri karena tidak ingin membebani panti yang sudah merawatku semenjak 10 tahun yang lalu itu. Untuk sekolah, aku mendapat beasiswa karena aku memang cukup berprestasi disekolah. Sedangkan untuk kehidupan sehari-hariku, aku cukupi dengan bekerja paruh waktu tersebut tentunya.

Mungkin semua orang yang melihatku, aku ini gadis yang malang. Namun aku tidak melihat seperti itu pada diriku. Bagiku, aku ini hanyalah makhluk tuhan yang tercipta dengan tidak beruntung saja. Namun aku yakin, tuhan selalu menyayangiku. Karena itulah aku selalu tak pernah ambil pusing dengan hidupku. Biarlah seperti ini. Yang penting aku bahagia apa adanya ^^.

ŏ

Aku terus berjalan melewati koridor sekolah yang masih penuh dengan beberapa siswa yang bercengkrama itu. Memang, bel masuk jam pelajaran dan bel tertutupnya gerbang sekolahku tidak bersamaan. Selisih sepuluh menit.

Aku menengok sejenak pada jam tangan merah muda satu-satunya yang aku miliki itu. Masih ada lima menit lagi sebelum pelajaran dimulai. Aku tersenyum lega.

"Hoi Teme! Lempar bola itu kesini sekarang." Terdengar suara seseorang berteriak dari arah kanan aku berdiri disertai sebuah decitan benda karet yang memantul dengan permukaan datar. Dan entah mengapa, aku yang biasanya tak terlalu peduli pada urusan orang lain ini menoleh. Aku tak tahu. Tapi ada suatu dorongan yang membuatku melongokkan kepala pada arah sumber suara tadi.

Dan disana,aku melihatnya untuk pertama kali. Seorang lelaki berambut pirang yang nampak kelelahan namun terus berusaha fokus pada benda orange yang jadi bahan perebutan di lapangan basket.

DEGG...

Tanpa sengaja, lelaki itu menatap kearahku. Iris biru itu, menghipnotisku. Rasanya, hangat. Namun sejenak kemudian ia kembali fokus pada permainannya, saat seseorang yang dipanggil 'Teme' tadi –yang ternyata adalah Uchiha Sasuke, si pangeran sekolah- mengoper bola padanya.

Sebuah perasaan aneh menelusup dalam hatiku saat mataku sempat beetemu pandang dengannya tadi. Nafasku sempat terhenti sesaat melihat sosok berambut pirang yang tadi sempat aku lihat berteriak itu. Aku menyentuh dadaku. Oh tidak. Ada apa ini. Seingatku aku tidak punya riwayat penyakit jantung selama ini. Aku berdebar. Debaran cukup keras yang baru kali ini aku rasakan

"Huh! Dasar anak-anak itu." Suara cempreng seseorang mengalihkan pandanganku di obyek yang aku pandangi barusan. Berpindah pada mata aquamarine dan rambut blonde yang sekarang berada didekatku. Oh, kalau yang kalian kira itu adalah si lelaki yang menjadi objek pengelihatanku barusan, maaf kalian salah. Ini orang dan iris biru orang yang berbeda. Disebelahku sekarang berdiri seorang gadis cantik yang sudah menjadi sahabatku mulai menginjak bangku sekolan dasar.

"Haisshh... Ada apa Pig. Jangan mengomel didekat telingaku dengan suara se bombastis itu." Kataku dengan sedikit bercanda dan menutup telinga menggunakan kedua telapak tanganku. Aku memang suka sekali membuat kesal sahabat cantikku ini. Yang menurut Shikamaru-Ketua osis- sekolahku itu 'merepotkan' ini. Yamanaka Ino.

"Kau lihat mereka Sakura!." Tunjuk Ino dengan dagunya pada gerombolan anak yang sedang mengoper-oper bola basket dilapangan sana. Tangannya dilipat didepan dada dengan kaki kiri yang mengetuk-ngetuk lantai menandakan ia kesal.

"Memangnya ada apa dengan mereka, Pig?" Tanyaku heran karena sama sekali tak melihat keanehan pada anak-anak itu.

"Mereka itu pagi-pagi sudah berkeringat. Lihat juga Shikamaru yang pemalas itu jadi semangat bila sudah ikutan menyangkut soal basketnya. Apa mereka tidak tahu bau keringat mereka dipagi hari saat pelajaran itu sangat mengganggu, Forreheaaaaad." Cerocosnya lebar disertai jeritan kesal di akhir katanya sambil mengguncang-guncang lengan kiriku.

Aku hanya menghela napas kecil. Yah, memang benar. Siapa memang yang ingin konsentrasi belajarnya di pagi hari terganggu oleh bau-bau an menyengat bernama keringat. "Memangnya mereka semua sekelas denganmu, Ino?"

"Tidak Sakura. Tapi bayangkanlah." Katanya dengan efek dramatisir yang berlebihan sambil mengangkat dua tangannya di udara seperti seseorang yang sedang membaca puisi. "Dua orang berkeringat yang masuk kelas pagi hari yang segar, akan mencemari udara dan mengganggu ketentraman proses belajar mengajar tentunya."

Jujur, aku sempat sweatdrop sejenak melihat drama didepanku barusan. Namun sebentar kemudian kedua alisku bertatut. "Dua?" tanyaku heran. Karena seingatku hanya Shikamaru yang sekelas dengan Ino. Seingatku sih.

"Bukan hanya tuan pemalas yang sukanya berkata aku dan semua hal itu 'merepotkan', Sakura." Ino memutar bola matanya tanpa alasan yang jelas lalu menunjuk seseorang di tengah lapangan. Aku melihat kearah yang ditunjuk Ino. Dan saat itulah aku kembali merasakan sensasi aneh didadaku. Ino menunjuknya. Lelaki itu. Dan ughh.. sensasi itu kembali aku rasakan. "Kau lihatkan, seseorang yang berambut kuning pirang sepertiku disana." Lanjut Ino yang hanya aku jawab anggukan kecil. Namun sejurus kemudian tanpa aku sadari mulutku membuat gerakan dan suara yang terdengar aneh bagiku.

"Siapa dia?"

"Naruto. Namikaze Naruto. Ia baru pindah kesini beberapa bulan yang lalu. Teman sahabat Sasuke pangeran sekolah yang tampan itu. Setiap hari mereka..."

Jujur aku tak terlalu memperhatikan ocehan panjang Ino selanjutnya yang pastinya berisi gosip-gosip itu. Hanya hal penting yang aku tangkap dan kumasukkan segera di memori otakku. Namanya Naruto. Namikaze Naruto. Dan dialah, orang yang membuatku berdebar saat pertama melihatnya. Aku tersenyum.

Naruto. Namikaze Naruto. Dan sejak saat itulah, nama itu tersimpan jelas di memori otakku.

ŏ

Tokyo High Scholl, 2007

"Tugas kalian hari ini adalah membuat dialog anak-anak." Kata seorang bermasker hitam dengan tampang malasnya didepan sana.

"Dialog apa Kakashi sensei." Seorang berambut cepol dua yang duduk dipojok depan mengangkat tangannya.

"Terserah kalian saja." Katanya lalu kembali duduk dikursi guru. Dan mengeluarkan sebuah buku bersampul orange bersiap membacanya. Buku paling erotis abad ini. Icha-Icha Tactics. Hei. Siapa yang tak tahu buku ini. Dan yang mengherankan para murid adalah, bagaimana bisa ada guru sejenis ini. "Pekerjaan dikumpulkan satu jam lagi." Lanjutnya yang membuat semua murid disana protes berjamaah sambil memasang tampang –orang ini benar-benar menyebalkan sekali-

"Sensei... kenapa waktunya sedikit sekali. Ttebayo. Ttebayo " Suara lain disudut ruangan menginterupsi kegiatan sensei pervert itu yang akan membaca bukunya. Aku tersenyum saat Naruto. Ohya. Aku belum bercerita tentang yang satu ini. Kalau dulu saat kelas satu, aku dan pemuda ini berbeda kelas, tahun ini saat kelas dua aku sekelas dengannya. Inilah yang membuatku selalu bersemangat sekolah sekarang tiap harinya. Meskipun kadang ia terlihat bodoh dan sedikit konyol aku tetap menyukainya.

"Ah ! kesini!" Kakashi sensei memanggil seorang bertampang stoic yang langsung maju kedepan tanpa perlu dua kali dipanggil. "Satu lagi." Kini ia kembali menatap keseluruh kelas. "Kalian akan dibentuk dalam kelompok. Satu kelompok dua orang. Nama dan pasangan kelompok kalian sudah saya atur. Lihat disini. Neji akan membacakannya untuk kalian." Katanya sambil menyerahkan selembar kertas pada ketua kelas.

Seluruh kelas langsung ribut dengan siapa mereka akan berkelompok nantinya. Banyak sekali siswi perempuan yang berebut melihat kertas itu berniat mengerubungi Neji Sang Gunung Es bertampang Harimau itu *dibakar Neji FC* *author:ampun!ampun!* berharap agar mereka bisa satu kelompok dengan sang pangeran sekolah. Sasuke. Namun niat mereka segera diundurkan begitu melihat Neji yang sudah memasang deathglare yang terkenal menusuk setajam silet itu.

Dan untuk menghindari keributan berlangsung lebih lama, Neji segera membacakan siapakah yang berkelompok dengan saskuke agar kegaduhan tidak semakin menjadi. Disusul raut kecewa gadis-gadis karena si beruntung yang mendapat peran tersebut adalah Shikamaru.

"Huh! Kakashi sensei menyebalkan sekali sih!" gerutu teman sebangkuku tersayang.

"Ada apa lagi sih Pig. Kenapa kau selalu saja menggerutu bila memulai dialog di Fic ini*ino sweatdrop: inikan naskah dari author* *lirik-lirik Black." Haha. Oke. Back to story.

"Kau tidak perlu tanya alasanku kan?" ino melipat kedua tangannya didada. Sambil memandang kearah Shikamaru dengan kesal. Aku ikut memandang kearah yang ditunjuk Ino. Dan tak perlu ditanya lagi kenapa. Sepertinya si gadis blonde ini sedang cemburu pada Sasuke. Aku sweatdrop.

"Sasuke itu lelaki, Pig." Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Ino memang sering cemburu. Entah shikamaru dekat dengan lelaki atau perempuan. Baginya, Shikamaru hanya boleh untuknya. *author: Apa-apaan itu. Shika juga cowoknya author kok* *shika: lu udah pernah nyobain Kagemane gue apa belum thor#deathglare* *author: ngacir aja dah*

"Iya. Aku tau Sakura. Tapi kan tetap saja..."

"Haruno Sakura-Namikaze Naruto."

DEGG..

Aku sempat terlonjak kaget yang langsung menghentikan celotehan Ino saat namaku disebutkan oleh Neji bersamaan dengan nama seseorang yang aku harapkan memang satu kelompo denganku walau harapan itu tak begitu besar.

.

.

.

.

.

Beberapa menit lalu aku dan Naruto baru saja selesai menyelesaikan tugas bahasa yang diberikan oleh Kakashi sensei. Aku melihat jam tanganku. Masih ada 20 menit lagi sebenarnya sebelum tugas ini dikumpulkan. Sekarang aku hanya berdiam ditempat duduk sambil menelungkupkan kepalaku di meja.

Yah. Bagaimana aku bisa tidak hanya diam saja, sedangkan Naruto sekarang nampak tertawa-tawa dengan Hinata yang duduk berada tepat didepannya tanpa memperdulikan aku yang sekelompok dengannya. Hinata. Yang semua orang di Tokyo High School inii tahu ia menyukai Naruto. Inilah yang membuatku sedikit sedih sebenarnya. Walaupun sebenarnya aku dan Naruto sekelas, jujur aku sama sekali tak pernah berbicara sebelumnya. Aku sempat khawatir, apa ia tahu perasaanku selama ini dan membenciku?

Berbagai spekulasi bermunculan diotakku memikirkan kenapa alasan sebenarnya aku dan Naruto tak pernah bercakap-cakap sebelumnya.

"Hinata. Ada sesuatu dirambutmu." Satu kata yang keluar dari mulutnya tanpa sengaja membuatku ingin mendongakkan kepala. Dan disana, aku melihat Naruto yang sedang membersihkan sesuatu dikepala Hinata namun tak sengaja tangannya bersentuhan dengan tangan Hinata yang hendak memeriksa kepalanya begitu mendengar perkataan naruto tadi. Membuat wajah mereka memerah bersamaan.

Dan, sebuah perasaan aneh yang aku tak tau ini namanya apa, hari ini kembali aku kenali. Rasanya sakit. Aku segera menelungkupkan kembali kepalaku dimeja. Sebuah bulir bening yang aku tahu itu bernama air mata muncul dari sana. Apa kalian tahu rasanya begitu sakit melihat orang yang kita sukai dekat dengan dengan orang lain dihadapan kita walaupun kita sudah berada begitu dekat dengannya.

Air mataku terus mengalir. Aku menangis tanpa suara. Tanpa ada yang tahu. Hanya jejak jejak air mata yang aku lihat menetes membasahi di lantai dibawahkku sana. Aku sudah tidak perduli apa yang Naruto dan Hinata sekarang lakukan. Mungkin akan semakin perih bila aku mengetahuinya. Karena itu aku memilih untuk tidak melihatnya. Dan didalam hatiku aku mulai bertekad, aku lupakan saja lelaki periang disebelahku ini mulai sekarang.

ŏ

Tokyo Senior High School, 2009

Oke. Aku tau aku plin-plan. Setahun yang lalu aku memang bilang akan melupakan lelaki blonde penghias mimpiku semenjak sekitar dua setengah tahun yang lalu itu. Tapi sekarang aku disini. Didepan ruang ganti laki-laki menunggunya pulang untuk menyatakan persaanku. Karena asal kau tahu saja, saat aku berusaha melupakannya semakin besar pula rasa sukaku padanya.

Beberapa jam yang lalu guru-guru telah mengumumkan siapa saja murid yang lulus ujian nasional tahun ini. Aku senang. Sangat senang. Karena aku tahu aku lulus dengan nilai memuaskan. Oh tidak, bolehkan aku meralatnya dengan kata SANGAT MEMUASKAN. Karena aku mendapatkan nilai tertinggi ketiga setelah si jenius Shikamaru yang mendapat nilai paling sempurna dan diatasku masih ada lagi Tuan Muda Tampan Uchiha Sasuke yang sudah tidak perlu ditanya lagi kecerdasan otak selain kelebihan tampan yang ia miliki itu. Yah, walau tak mendapat nilai paling tinggi akupun bisa mendapat beasiswa untuk melanjutkan sekolah dengan nilaiku yang sekarang ini nantinya.

"Naruto!" panggilku saat aku melihat sosoknya. Sosok yang aku tunggu keluar dari dalam ruang ganti sendirian. Ia nampak sedikit terkejut melihatku di sini. jujur. Ini baru pertama kali aku memanggil namanya walaupun sempat selama dua tahun sekelas dan 3 tahun sekolah dengannya.

Ia lantas berjalan menghampiriku. Jujur. Rasanya jantungku mau meledak saat itu juga melihatnya menghampiriku. Ekspresinya aneh. Aku tak bisa membacanya. Tapi yang jelas, aku bahagia. Akhirnya aku memiliki kesempatan berbincang lagi dengannya setelah satu tahun berlalu.

"Kau? Sakura Haruno?" tanyanya sedikit bingung. Aku hanya mengangguk pelan. Setidaknya ia masih mengingatku sebagai teman sekelasnya kan? Yah walaupun hanya pernah SATU KALI berbincang karena kebetulan tidak terduga setahun yang lalu karena tugas Kakashi sensei.

"Ya? Ada perlu apa?" ia memasang ekspesi bertanya yang menurutku itu begitu imut dan tampan. Namun aku buru-buru menyingkirkan euforiaku itu. Tak ingin menghancurkan kesempatan berharga yang mungkin tak akan pernah kudapat lagi selanjutnya.

"Aku menyukaimu Naruto." Aku sudah tak bisa berpikir lagi. Entah kenapa kata-kata yang hanya terdiri dari tiga suku kata namun memiliki sejuta arti itu tuba-tiba meluncur keluar dari mulutku. Dan aku sempat mengutuki juga mulut emberku ini yang main langsung saja bilang suka padahal pada awalnya aku tadi berniat berbasa-basi dulu.

"Hah?" hanya itu yang keluar dari mulut Naruto usai aku menyatakan perasaanku. Ekspresinya terkejut dengan bibir yang terbuka dan mata yang terbelalak lebar. Namun sejenak kemudian ekspresinya mengeras dan pandangan matanya menjadi nanar. Tangannya mengepal erat sambil menahan marah dengan wajah yang memerah. Dan saat aku sadari ternyata matanya sedang tidak menatap kearahku. Namun ke arah lain.

ZEPPP

Rasanya pisau bernama sakit hati kembali menusuk dan menghujam tahun ini. Aku menoleh kebelakang. Aku melihatnya. Dan ini siaran live. Oh, oh salah. Bukan. Tepatnya ini penglihatan nyata oleh kedua mataku sendiri. Diujung sana, aku melihatnya. Melihat dua orang sedang berpagutan mesra dibawah pohon seberang ruang ganti pria. Yah, disana. Hyuuga Hinata dan Uchiha Sasuke berdiri. Berpelukan dan... Sepertinya aku tak perlu menjelaskannya lagi apa itu kalian pasti sudah tahu jawabannya.

Air mataku menetes lagi saat itu dan tanpa aku sadari aku mencengkeram erat dadaku yang perih. Bahkan saat aku menyatakan perasaanku padanya pun dia hanya melihat ketempat tersebut. Dan tanpa perlu aku tanya serta ungkapkan perasaanku lagi, aku tahu Naruto pasti akan menolakku nantinya.

Aku langsung saja berlari menjauhi lelaki pujaanku itu dengan perasaan terluka. Tak ingin lagi melihat ekpresi Naruto selanjutnya. Itu terlalu menyedihkan untukku. Aku tak ingin dihadiri sakit yang menusuk-nusuk itu lagi. Terlalu sakit.

Dan langit serasa ikut mengatakan bahwa aku menyedihkan. Hujan terus turun disaat aku berlari entah kemana. Mengguyurku dengan deras membuat kulitku sakit karena hujaman-hujaman tajam air langit itu. Tapi tetap saja tidak sebanding dengan hujaman pisau sakit hati didadaku ini.

.

.

.

.

.

.

Aku lelah terus berlari. Aku berhenti. Jatuh berlutut ditengah jalanan yang sepi. Aku berteriak. Baru kali ini sebenarnya aku berteriak keras menyampaikan seluruh amarahku. Selama ini aku hanyalah wanita pendiam yang hanya akan ribut bila bersama Ino saja.

.

.

.

.

.

.

Apakah Sakura Haruno semenyedihkan itu? Bahkan disaat aku ingin meminta waktunya sebentar lelaki itu masih saja melihat pada wanita lain. Rasanya sakit.

Sebenarnya aku sudah menyiapkan hatiku akan menghadapi sakit hati bila Naruto menolakku nanti. Tapi yang ada dipikiranku saat itu hanyalah Naruto yang pastinya akan bilang. 'Maaf Sakura. Aku tak bisa menerimamu. Kita berteman saja ya.' Atau 'Maaf. Aku sudah memiliki orang lain yang aku cintai.' Bukan penolakan tanpa kata namun sukses menyayat-nyayat perasaanku yang sering terluka namun tidak juga kebal ini. Dan merasa tidak... dianggap.

"Kau bodoh Sakura. BODOH BODOH BODOH!" Aku mengumpati diriku sendiri. "Aku.. aku... aku hanya ingin mengungkapkan perasaanku padamu sebelum aku mungkin tak akan pernah bertemu denganmu lagi. Tapi kenapa kau malah menolakku tanpa kata-kata." Aku menangis dan terisak kecil. Berbicara entah pada siapa saat itu. Pada hujan mungkin. Pada aspal keras dibawahku. Atau pada diriku sendiri yang menyedihkan ini. Hidupmu benar-benar miris Sakura. Sakura Haruno yang malang.

ŏ

Tokyo City, 2009

Sumpah. Apakah tuhan tidak sayang aku? Atau karena ia terlalu sayang padaku ia terus-terusan betah untuk mengujiku? Sumpah –lagi- aku benar benar tak habis pikir akan kesialan nasibku yang satu ini. Tadi pagi aku baru saja pulang dari kampus baru yang akan aku tempati sekolah sebulan lagi sebelum masa ospek dimulai.

Aku meneguk lagi air mineral botolan ditanganku dengan penuh emosi. Aku menenggaknya sudah seperti orang stress yang minum bir saja. Lalu membanting botol tak berdosa itu kembali ke meja. Menimbulkan suara botol remuk namun sebenarnya belum remuk. Hanya saja dramatisir tenagaku yang begitu besar ini mebuatnya seolah olah seperti botol malang yang tak salah apa-apa dan menjadi bahna kekesalan kemarahanku saja. memang begitu ya-

Ah, sudahlah. Untuk apa aku membahas masalah botol yang tak penting ini. Kembali pada topik awal. Tahukah kalian apa yang membuatku emosi siang ini? Yakk. Aku sama sekali tak menyangka kenapa aku mesti satu kampus-satu fakultas-dan satu kelas-lagi dengan bocah tampan-ughh.. aku masih menyebutnya begitu.-bocah tampan keluarga Namikaze itu.

"Argggghhhhhh." Aku mengacak-acak rambutku frustasi dan merebahkan tubuh ke sofa di flatku yang bobrok ini. Flat pemberian seorang kerabat jauhku yang sekarang sudah tinggal diluar negri dan sepertinya tak akan pernah kembali.

"Arghhhh..." dan erangan kedua kembali terdengar dari bibir tipisku saat aku merasakan sebuah nyeri menusuk-nusuk perutku.

Sial. Maag ku kumat.

Aku berdiri menuju dapur dengan langkah tertatih sambil memegangi perut sebelah kiriku yang nyerinya terasa semakin menjadi-jadi. Mengobrak abrik sebuah laci dan menyambar sebuah kotak P3K dengan kasar. Aku segera membuka kotak tersebut.

Tidak. Persediaan obat maag ku habis. Aku teringat bibi Tsunade, seorang wanita baik yang tinggal di seberang flat ku berniat meminta obat maag siapa tahu ia punya.

Aku segera berjalan menuju pintu, memakai mantel tebalku tanpa memakai alas kaki. Nyeri diperutku membutakan semua hal. Yang ingin aku dapat sekarang hanyalah obat maag yang siapa tahu bisa langsung meredakan nyeri ini walau perlahan. Kulangkahkan kakiku langsung keluar setelah sukses membuka kunci pintu flat ku.

TOKK..

TOKK...

"Bibi.. Bibi Tsunade, ini aku." Panggilku parau sambil menahan rasa sakit yang menghujam perutku. Keringat dingin mulai menetes dari dahiku yang lebar ini. Namun sia-sia. Sudah sepuluh menit berlalu aku berdiri didepan sana sang pemilik pintu tak juga membukakan pintunya.

. aku mengumpat terus dalam hatiku. Menyesali kebodohanku. Bibi Tsunade tadi pagi kan pamit padaku ia akan ke Suna selama seminggu. Ah. Benar-benar bodoh. Oh, tidak Sakura, semenjak kapan kau menjadi pikun begini. Apa terus memikirkan bocah Namikaze bernama Naruto itu dulu setiap hari membuatmu menjadi bodoh sekarang, hah.

Uppss. Aku mengutuk kebodohanku sendiri sekarang. Bagaimana bisa aku memikirkan bocah itu disaat-saat genting seperti ini.

Aku berbalik menuju flatku yang masih terbuka. Nyeri maag ini begitu aneh. Biasanya tidak sampai seperti ini. Mungkin memang aku kurang teratur makan.

Sesampainya didalam, aku segera menyambar sepatu bootku yang hangat untuk pergi keluar dimusim dingin yang menusuk ini. Terpaksa aku akan membeli obat di mini market saja. Aku tak begitu kenal pada orang-orang di flatku walau sudah hampir tiga tahun aku berdiam di flat ini. Semua penghuni selalu sibuk tanpa memperhatikan tetangga-tetangga mereka disebelah atau depan belakang.

Perutku terasa semakin nyeri saat aku akan sampai tangga yang membawaku menuju lantai bawah karena flatku berada dilantai tiga. Masih jauh. Tapi rasanya aku sudah tak kuat untuk berjalan. Ditambah lagi mual yang mulai kurasakan sekarang. Tuhan, aku tidak kuat. Tapi terus saja kupaksakan kakiku untuk berjalan menuruni tangga-tangga yang laknat ini-karena begitu banyak-. Dan dilantai kedua, aku merasakan tubuhku benar-benar sudah akan limbung. Namun seseorang debgan rambut berwarna kuning cerah tiba-tiba muncul. Wajahnya... kukenali sebagai...

"Aggghhh." Aku merintih saat nyeri hebat itu lagi-lagi datang. Aku tak ingat apa-apa lagi. Semuanya gelap-putih-gelap-putih lagi. Sampai akhirnya, semua hanya gelap. Tubuh dan kepalaku memberat. Sepertinya aku pinsan dan akan terjatuh kelantai.

ŏ

Mataku terasa berat. Nyeri yang menusuk masih kurasakan didaerah sekitar lambungku.

"Ahhhg." Aku mengerang kecil saat tusukan itu kembali datang.

"Kau sudah sadar?" suara seseorang yang begitu familiar menyapa gendang telingaku. Aku menoleh kesamping.

Deggg...

Mata biru itu. Rambut kuning cerah. Wajah tampan itu dan...

Aku mengucek ngucek mataku meyakinkan diriku bahwa ini bukan mimpi.

"Ah.. aku pasti berhalusinasi." Kataku meyakinkan diriku sendiri. Dan setelahnya, aku mendengar sebuah kekehan kecil disampingku.

"Kau pikir aku ini hantu, Haruno-san."

Aku membulatkan kedua mataku melihat sesorang disampingku ini tertawa. Begitu tampan dan,,,

Ckittt...

Aku kembali mengerang kecil saat kurasakan sakit dilambungku muncul lagi.

"Kau tidak apa-apa Haruno-san?" ekspresi gelinya yang tadi kulihat kini berganti dengan cepat menjadi ekpresi panik. Aku tidak menjawab pertanyaannya barusan. Hanya mengangguk kecil. "Apa yang bisa aku lakukan? Kau sakit apa?"

ŏ

Tokyo City, 2011

"Naruto Baka! Ayo bangun!" kataku sambil menyeret sebuah selimut yang digunakan lelaki pirang ini. Namun naas, saat aku menyeret selimut tersebut, seseorang yang yang dibungkus selimut itu tadi barusan ikut jatuh menggelinding dari dalam selimut.

Dan...

"Upss. Maaf Naru. Tanganku sedang dalam mode kekuatan penuh pagi ini." Aku berkacak pinggang sambil menyeringai.

Sedangkan sang korban yang sudah jatuh menggelinding mencium tanah hanya mengerang kecil disusul sebuah rengekan lain.

"Aduh. Kau tega sekali padaku Sakura-chan." Ia mengelus-elus dahinya lalu bangkit dari posisi tengkurapnya dilantai. Oke. Mungkin orang yang melihat ini akan bilang aku tidak sopan. Tapi ini sudah jadi kebiasaan baruku setiap pagi semenjak setahun lalu.

"Siapa suruh kau terus-terusan molor seperti kerbau begitu. Cepat mandi dan kuliah Baka!" aku melipat kedua tanganku didada dan tersenyum tipis melihatnya mengerucutkan bibir yang bagiku terlihat imut sekali. Dan aku suka sekali ekpresinya yang seperti itu. "Aku akan memasak sarapan dulu sekarang." Aku berjalan meninggalkan kamarnya dan beralih menuju dapur.

.

.

.

.

.

Hei! Tunggu. Jangan menatapku dengan pandangan menusuk seperti itu. Oke oke. Aku akan menceritakan bagaimana aku dan dia bisa menjadi akrab semenjak setahun yang lalu itu. Aku tersenyum mengingatnya.

[[Flashback]]

Cklek..

Aku menoleh saat mendengar suara dari pintu flatku. Sesorang langsung masuk menghampiri kasurku yang tidak memiliki ruangan khusus untuk kamar tidur didalamnya itu.

"Bagaimana? Kau sudah lebih baik?" tanya orang itu lalu meletakkan sebuah bungkusan di meja pantry. Aku mengangguk. Yah. Beberapa waktu lalu setelah nyeri maag yang melandaku dengan hebat itu menyerang, ialah yang pontang-panting merawat dan membelikan obat untukku. Aku sedikit sungkan juga padanya sejujurnya.

Ia lalu melangkah menuju rak piring, mengambil sebuah mangkuk kosong dan menuangkan sesuatu berwarna putih yang berasal dari bungkusan kantong plastik yang ia bawa tadi. Setelah selesai, ia berjalan menghampiriku dengan sebuah senyuman memikat yang aku serasa begitu silau bila melihatnya.

"Makanlah bubur ini." Ia menyerahkan mangkuk itu padaku dengan sebuah cengiran. Namun aku bergeming. Mamandangnya dengan sinis.

"Untuk apa kau melakukan ini semua Namikaze-san!" ucapku tajam. Cengiran lebar dari bibirnya menyurut perlahan.

"Jangan memberiku harapan. Apa kau ingin semakin menyakitiku dengan memberiku harapan." Lanjutku dengan suara tercekat. Air mataku rasanya ingin tumpah. Kebaikannya yang seperti inilah yang akan membuatku semakin menyukainya.

"Sakura..." Suara itu menyapu pendengaranku dengan lembut. Membuatku terdiam. Ini pertama kalinya ia menyebut nama kecilku. Dan itu, tak pelak membuatku melayang.

Ia mengambil kembali mangkuk yang diserahkannya padaku tadi dan meletakkannya dimeja. Terdengar suara nafasnya yang dihela pelan. Sejurus kemudian, ia menggengam tanganku. Memberikanku sensasi aneh yang tak bisa aku jabarkan.

"Maafkan aku atas kejadian 3 bulan yang lalu." Katanya sambil menatap kedalam emeraldku dalam. Aku terbelalak. Sedikit tertohok ucapannya barusan. Tidak menyangka membuka memoriku tentang kejadian yang begitu ingin kulupakan itu.

"Aku tahu aku salah karena tidak langsung menjawabmu saat itu. Malah memperhatikan hal lain. Tapi sumpah, aku tidak bermaksud seperti itu." Ucapan dan pandangannya begitu lembut. Membuatku semakin terhipnotis dengan dua bola mata sewarna langit itu.

"Aku akan mencoba menyukaimu." Kata-katanya yang terakhir membuatku kembali terkejut. Apakah ini mimpi. Oh, seseorang. Tolong. Tampar aku dengan sandal kali ini. Aku tertegun. Lidahku kelu. Apa maksud lelaki dihadapanku ini.

Dan belum selesai keterkejutanku akan pernyataannya barusan, aku kembali dikejutkan dengan ia yang memelukku.

"Jadilah kekasihku, Sakura Haruno."

Orang ini apa main main. Dua kali. Oh salah, berkali-kali tepatnya. Orang ini menbuatku terkejut hari ini.

"Kau pasti bercanda." Akhirnya setelah sekian lama lidahku terasa kelu, aku bisa berkata-kata lagi.

"Aku tidak bercanda. Ini serius Sakura-chan." Nah. Apa lagi ini. Ia memamnggilku dengan embel-embel chan sekarang.

"Apa kau menjadikanku pelampiasan gadis Hyuuga itu?" kata-kata-kataku sukses membuatnya beku. Bisa kurasakan tubuhnya yang menegang saat memelukku.

"Bu-Bukan begitu sebenarnya. Aku.."

"Oke. Aku terima." Entah setan jenis apa yang merasukiku untuk menerima permintaannya tadi. Aku mengiyakan tawarannya tadi. Ia, kekasihku sekarang.

[[FLASHBACK end]]

Aku tersenyum miris mengingat kenangan satu tahun yang lalu itu. Mungkin orang akan menyangka aku ini gila karena mau menerima sesorang menjadi kekasihku untuk aku menjadi pelampiasannya. Namun aku bahagia. Ia sama sekali tak pernah menyakitiku satu tahun ini. Malah selalu membahagiakan dan menuruti segala sesuatu yang kumau. Menerima segala perlakuan kasar dan beberapa hantamanku kalau ia bertindak bodoh.

Satu lagi. Ia tinggal di flat sebelah flatku sekarang. Menjadi tetangga selama sekitar satu tahun ini. Dan membuatku sibuk setiap harinya karena harus mengurusi segala tetek bengek yang ia butuhkan selama ini. Tapi jujur, aku suka ini. Aku sudah seperti istrinya saja. Begitulah yang orang-orang katakan bila melihat kedekatan kami.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Masakanmu belum selesai Sakura-chan?" kurasakan sebuah tangan memeluk pinggangku dari belakang di barengi sebuah suara yang menggelitik ditelingaku. Aku mengenali aroma ini. Wangi tubuh khas kekasihku. Naruto.

"Sudah selesai Naru." Aku mematikan kompor didepanku. Lalu ikut mendekap tangannya yang melingkar dipinggangku. Kurasakan bibir lembutnya mengecup pipiku sejenak. Walau ia terkadang nampak bodoh dan konyol, namun disaat-saat tertentu ia akan menjadi seseorang paling romantis didunia kalau kau mau tahu.

Aku mendongak. Mendapati iris biru jernih itu menatapku intens. Dan aku tahu apa yang ia inginkan bila sudah seperti itu pandangannya. Otomatis aku menutup kedua mataku. Dapat kurasakan ia semakin mengeratkan pelukannya padaku. Namun, tinggal beberapa mili lagi sesuatu itu akan sampai, bel pintu flatnya yang berbunyi nyaring menginterupsi kegiatan kami.

Ia mendecak kesal dan melepaskan pelukannya padaku. "Dasar bel pintu sialan. Siapa sih yang datang pagi-pagi begini." Keluhnya kesal.

"Mungkin itu Paman Jiraiya yang ingin meminjam palu lagi, Baka. Cepat buka pintu." Perintahku. Aku lalu mengangkat panci di atas kompor dan meletakkannya di meja. Aku tahu ia mengerucutkan bibirnya kesal dan menggerutu sambil berjalan ke arah pintu walau aku tak melihatnya karena kembali sibuk menata masakan-masakanku ke meja.

.

.

.

.

Tidak biasanya Paman Jiraiya selama ini bila meminjam palu pada Naruto. Aku melongok pada jam dinding berbentuk jeruk yang terpasang didinding dapur Naruto. Lima belas menit untuk meminjam palu saja. Aneh.

Aku bangkit menuju ruang tamu. Mungkin saja yang datang bukan paman Jiraiya. Namun tamu yang lain. Aku melongok keruang tamu.

Degg... mataku terbelalak.

Dan, rasa sakit yang sudah tak pernah menghantuiku lagi semenjak satu tahun yang lalu itu, kembali datang. Perih. Sakit. Dan kesal kurasakan bercampur jadi satu sekarang ini. Disana. Didepan mataku. Kekasihku memeluk wanita lain. Dia... kembali.

.

.

.

.

.

"S-Sakura-chan? K-kenapa k-kau ada disini?" suara lembut wanita yang memanggilku ini membuat Naruto melepaskan pelukannya pada wanita dihadapannya kini. Wajahnya mendadak berubah menjadi pias.

"Oh hai Hinata-chan. Aku baru saja ada perlu dengan Namikaze-san barusan." Aku menoleh sekilas ke arah Naruto yang seakan memberikanku tatapan protes karena aku memanggilnya dengan nama marga. Bukan nama kecilnya.

"Kalau begitu aku pamit dulu. Silahkan melepas rasa rindu kalian." Aku mengucapkan kata-kata itu dengan sinis seraya memandang tajam wajah pucat Naruto. Tak lama kemudian aku membuka pintu flat naruto dan kembali menutupnya berusaha sehalus mungkin agar pintu itu tak menjadi sasaran kekuatan monsterku yang sedang mengamuk.

Aku berlari memasuki flatku. Menutupnya dengan keras dan segera menguncinya dengan kasar. Air mataku menetes. Tubuhku jatuh merosot di balik pintu. Kutekuk kedua lututku dan kutelungkupkan wajahku kedalamnya. Rasanya perih sekali melihat pemandangan tadi. Dan bahkan Naruto tak mengejarku saat aku pergi tadi. Apa begitu mudah ia melupakanku bila gadis manis keluarga Hyuuga itu sudah didepannya. Begitu tidak berartikah aku yang sudah menjadi kekasihnya selama satu tahun ini bila ia telah kembali.

Aku terus menangis. Tak dapat membendung perih yang membuncah didadaku ini. Berkali-kali aku memukul-mukul dadaku. Mencoba menghilangkan rasa sakitnya. Namun nihil itu tidak berhasil. Luka lama yang telah ia sendiri yang menutupnya itu, kini terbuka kembali karena ulahnya juga.

TBC-

GYAAAAAAA
apa ini? apa ini?*bingung sambil lari2 bawa bantal naru*

yaapun, suer dah. sumpah. kemarin malem tangan saya yang gak bisa tertib ini tiba-tiba ngetik sebuah fic waktu kepikiran orang yang saya sukai waku SMP dulu *yah. apaan sih ini. malah curhat*

oke oke. saya kembali. aduh.. saya benar-benar ga bakat bikin oneshoot ternyata ya.. jujur, sebenernya ini fic itu awalnya terencanakan untuk jadi sebuah one shoot aja. tapi waktu saya cek lagi kemari male, fic ini separuhnya aja udah lebih dari 5000 karakter. hua.. maafkanlah saya yang ga berbakat ini. bukan maksud saya nyampah d FFN sebenarnya. tapi saya pengen banget punya archieve narusaku di akun saya. dan jadilah fic aneh yang sepertinya mbulet ini. halah.

ini fic dah selesai kok sebenarnya. digarap kemarin malem dan langsung hampir jadi sore ini. cuman saya ga langsung publish jadi satu karena ternyata udah 9000 karakter lebih sebelum masuk ke endingnya. jadinya gini deh. saya pisah jadi dua. atau tiga mungkin ya, supaya gak kepanjangan dangebosenin yang baca.

ohya, saya juga mau minta maaf buat pembaca Fic saya yang Iain. yaitu fic Into The New World ama My Foolish Regret karena masih belum layak publish. hehe. saya usahakan mungkin sekitar selasa depan.

okelah! basa basi lagi saya terbitkan fic amburadul ini. kalo ada yang suka dan review saya usahakan publish chap terakhirnya cepet deh. hehe. tapi kalo ga ada yg suka bakal saya hapus aja dari pada menuhin ffn . hehe

saya tunggu review dan respon para pemirsaa. e salah. pembaca maksudnya...^^

.