Orang-orang berbaju hitam berdoa di depan altar berisi abu jenazah dan foto berbingkai. Beberapa berwajah datar, beberapa mengerutkan alis dan bahkan ada yang menangis. Pintu bergeser berulang kali, mengijinkan orang keluar-masuk. Kali ini, pintu bergeser, memunculkan seorang gadis berambut gelap panjang. Ia duduk disebelah adiknya yang mengerutkan alis dan mengepalkan tangannya. Adik perempuannya yang kuat. Disebelahnya, seorang pemuda bangkit dan pergi. Pemuda berwajah datar dengan kedua tangan terkepal disamping kakiknya. Kakak sepupunya yang tangguh. Sementara ia, dengan tangan gemetar, berusaha menghapus air matanya yang tak kunjung berhenti.
Boundaries
Naruto milik Masashi Kisimoto.
Kematian adalah salah satu hal yang gadis itu—Hinata Hyuuga—takuti. Terlahir di keluarga Hyuuga, keluarga yang dituakan di daerahnya dan terkenal memiliki kekuatan spiritual tinggi, tidak membuat Hinata sekuat dan setangguh saudara-saudaranya. Hinata takut gelap, takut ketinggian dan serangga kecil, sensitif, mudah gugup dan lemah. Sementara kedua saudaranya, Hanabi, adik perempuannya dan Neji, kakak sepupunya, sangatlah kuat, tangguh, pemberani dan telah berhasil mengirim berbagai yokai ke neraka.
Menyandang nama Hyuuga dibelakang, berarti harus bersiap dikejar siluman tiap hari, berlatih untuk memusnahkan yokai pengganggu, dikutuk dan bersiap mati secara tak wajar setiap harinya. Dan pilihan terakhir itulah yang paling Hinata takuti. Ia tahu, manusia akan meninggal suatu hari nanti, tapi ia ingin pergi dengan damai, bukan secara tak wajar atau kena kutuk.
Adalah Konoha, daerah tempatnya tinggal, yang dikelilingi perbukitan dan pegunungan tempat para siluman bersemayam. 100 tahun yang lalu, keluarga Hyuuga datang dan berhasil membuat perjanjian dengan para siluman setempat untuk saling menghormati dan menjaga. Apabila salah satu melanggar, pihak lawan dapat membunuhnya di tempat atau menjadikannya budak.
Sekarang, kepala keluarga Hyuuga ke-8, meninggal, menyusul ayah Neji, Hizashi, yang telah meninggal beberapa tahun yang lalu. Memikirkan orang yang anak meneruskan keluarga Hyuuga nantinya hanya membuat perut Hinata mulas. Orang itu adalah ayahnya. Ini berarti, Hinata dan Hanabi menjadi Hyuuga utama—Hyuuga keturunan langsung kepala itu berarti… Hinata sebagai anak sulunglah penerus keluarga Hyuuga mendatang….Seorang Hinata! Hinata Hyuuga yang penakut dan lemah ini!
Hidup akan lebih sulit bagi Hinata mulai dari sekarang.
Kediaman keluarga Hyuuga tepat di tengah-tengah Konoha, sebagai penyeimbang dan pengendali pegunungan yang mengelilinginya. Dan sekarang, rumah besar itu dipenuhi oleh manusia dan juga siluman-siluman penjaga gunung dan pesuruh keluarga Hyuuga.
Hari ini, status kepala klan akan diberikan kepada Hiashi, ayah Hinata. Gadis itu duduk diantara Neji dan Hanabi yang duduk dengan khidmat. Di depan mereka, Hiashi duduk bersimpuh, bersiap memulai acara.
Setelah menerima status barunya, dimulailah perjanjian yokai yang sebelumnya bekerja pada Hizashi untuk setia kepada kepala klan berikutnya. Acara yang sangat penting dan khidmat, namun sayangnya, Hinata tak memperhatikan sama sekali. Entah mengapa, ia merasa cemas dan jantungnya berdegup kencang. Pikirannya melayang entah mengapa.
"Dengan ini—"
Dengan ini, Hinata harus berlatih lebih giat karena akan semakin banyak siluman yang mengejarnya…
"—kami serahkan—"
Dan kenapa harus ia yang menjadi putri sulung? Mengapa bukan Hanabi saja yang jelas-jelas lebih tanguh? Akan jadi apa klan jika ia yang memimpin?
"—Si Mata Merah."
Seperti ada yang memperhatikannya. Siapa? Hinata celingak-celinguk, mengusap tengkuknya yang merinding. Hanabi yang merasa terganggu, menepuk kaki kakaknya dan mendelik, "Nee-chan, perhatikan."
Hinata hanya mengangguk sebagai jawaban dan memindahkan pandangannya kembali ke depan. Di sana, ayahnya duduk bersimpuh di depan meja kecil yang terhidang sebotol sake dan dua gelas sake kecil. Tiba-tiba, muncullah Sang Yokai yang ditunggu, berwujud manusia dengan mata merah darah. Rambut hitamnnya panjang dan diikat dengan dua tanduk kecil di puncak kepalanya. Ia menuangkan sake ke gelas masing-masing. Mereka meminum sake bersamaan, sebagai tanda perjanjian setia.
"Hanabi-chan," bisik Hinata cemas. Neji dan Hanabi sama-sama menoleh dan mendelik kesal, membuat gadis itu menghela napas tertahan. Hatinya masih terasa khawatir. Seperti ada yang memperhatikannya dari tadi….
Akhirnya, upacara selesai. Baik manusia ataupun siluman bubar. Sementara itu, Hinata menarik ujung kimono Hanabi dan berbisik, "Nanti nee-chan mau cerita ya?"
Neji yang ikut mendengarnya, menaikkan alis, "Kenapa, Hinata?"
Hinata hanya menggeleng cemas. Baru saja ia ingin membuka mulut, seorang pelayan menghampiri mereka.
"Upacara belum selesai bagi Hyuuga Utama. Termasuk anda, Neji-sama," ucapnya. Ketiganya saling lirik, namun tak berbicara apapun dan mengikuti pelayan itu ke sebuah ruangan yang cukup , Hiashi duduk bersimpuh di depan para Hyuuga utama dan siluman penguasa masing-masing daerah.
"Upacara masih terus berlanjut," ucap Hiashi. Ia berdehem pelan, lalu melanjutkan, "Karena kepala keluarga Hyuuga sebelumnya memiliki dua yokai—"
Hanya beberapa yang terkejut. Salah satunya adalah Hinata dan Hanabi, sementara Neji tanpa ekspresi. Sangat jarang orang yang memiliki dua yokai, karena yokai tersebut menghisap roh dan nutrisi badannya sebagai upah pelayanan. Yokai dan manusia yang sudah terikat dalam perjanjian sudah menjadi satu. Jika memiliki dua yokai sekaligus, tentu saja keduanya akan menghisap badan Hizashi sebagai upah. Hinata tak pernah tahu kakeknya sekuat itu.
"—Itachi Uchiha," Hiashi melambaikan tangan kanannya. Muncullah Sang Yokai, di sebelah kanannya, duduk bersimpuh. "Adalah salah satunya—"
Batin Hinata kembali bergejolak. Lebih daripada sebelumnya. Hinata memeluk dirinya sendiri, berusaha fokus.
"—sedangkan yang lain adalah," Hiashi melambaikan tangan kirinya.
Jantung Hinata hampir jatuh. Bulir-bulir keringat mengalir deras.
"Sasuke Uchiha."
Muncullah yokai lain, berwajah hampir sama dengan yokai milik Hiashi. Ia berdiri di sebelah kiri ketua klan dengan rantai terkalung di lehernya. Dua tanduk mencuat dibalik rambut hitam gelapnya. Dan matanya… mata hitamnya, menatap Hinata tajam, seakan dapat membelah Hinata menjadi dua.
Betapa gemetarnya Hinata saat melihat mata itu menatapnya lurus-lurus. Jantungnya bertalu-talu, keringat terus menerus keluar dari tangannya. Mungkinkah ia yang menatap Hinata dari tadi? Apakah ia yang menyebabkan Hinata merasa cemas dan khawatir?
"Maka dari itu, disini, aku memanggil kalian, karena aku ingin menentukan, siapa yang kelak menggantikanku—"
Telinga Hinata seketika berdiri. Kepalanya mengadah tak percaya. Sekarang?
Hiashi memejamkan mata, hingga akhirnya kembali berbicara, "Sasuke Uchiha-lah yang akan memilih, tubuh siapa yang sanggup menahan dan menampungnya."
Seketika, ruangan berdengung ramai. Beberapa mendelik jelas-jelas, tanpa merasa harus disembunyikan. Para tetua memandang Hinata, Hanabi dan Neji dengan pandangan menusuk, seakan meremehkan.
Tiba-tiba, api berhembus di atas kepala mereka, membuat seisi ruangan terdiam. Itachi Uchiha, atas ijin Hiashi, telah menyemburkan napas apinya agar semua orang kembali terdiam.
"Tolong, hormati Sasuke," Hiashi melirik Sasuke, menganggukkan kepalanya, memberikan ijin pada Sasuke untuk memilih sekarang.
Hinata memejamkan mata, sedikit senang dalam hati, karena yang terpilih pastilah bukan dia. Pengamatan yokai sangat tajam dan mereka takkan memilih sembarang manusia untuk menjadi majikan mereka. Mungkin Neji atau Hanabi—
"Hinata Hyuuga."
Suara Sasuke yang keras dan jelas seakan membius semua orang di ruangan tersebut. Sementara yang namanya disebut, merasakan konser rock sedang di mulai di badannya, jantungnya berdentum kencang, keringat mengalir deras, dan badannya bukan lagi gemetar, namun mulai mati rasa.
Hening sedetik penuh, lalu detik berikutnya, seisi ruangan mulai ramai berbisik. Terutama Hyuuga utama. Mereka meragukan kemampuan Hinata. Tak terkecuali para Tetua.
"Tidak bisa Hinata!" ucap salah seorang Tetua, membuat kepala Hinata tertunduk makin dalam. Dalam hatinya, ia merasa senang sekaligus sedih. Senang karena bisa jadi bukan ia yang terpilih menjadi ketua klan berikutnya dan sedih karena diremehkan kekuatannya.
"Kita tak punya pilihan," Tetua yang lain menyela dengan wajah muram. "Itu perintah terakhir ketua klan sebelumnya."
Lagi, seisi ruangan hening. Tak bisa lagi membantah. Hanabi melirik kakak perempuannya cemas. Ia tahu, kakaknya sama sekali tak mempunyai niat untuk memimpin klan—meskipun itu masih lama. Gadis tangguh itu menyentuh kaki Hinata, menyuruhnya bangkit dan menolak. Sementara Neji yang melihatnya, mendelik kesal. Sementara Hinata makin tertunduk karena tertekan.
Hiashi berdehem, "Baiklah. Ada yang keberatan? Hinata? Bagaimana denganmu?"
Hinata mengangkat wajahnya, kaget, "A-ano… a-aku…, ku-kurasa aku bu-bukanlah o-orang yang te-tepat…."
"Itu tak merubah apapun. Ketua klan sebelumnya telah menugaskanku untuk memilih, dan karenanya keputusanku mutlak," Sasuke akhirnya bersuara. Dingin dan tegas. Membuat Hinata makin takut, walaupun hanya untuk melihatnya. Mungkinkah itu mengapa lehernya masih terikat? Karena tugas terakhirnya belum selesai?
"Kalau begitu, kita tak bisa berbuat apa-apa," ucap Hiashi tenang. "Kau dapat membawa Sasuke sekarang Hinata. Kalian bisa melakukan perjanjian ikatan kerja sendiri secara informal hingga waktumu memimpin klan, kalian baru bisa melakukan perjanjian setia."
Selesai. Hiashi menutup pertemuan dan semua orang ataupun yokai bubar sambil berbisik-bisik. Kini, tinggal Hinata, Hanabi, Neji, Sasuke, Hiashi dan Itachi.
"Kau bisa melakukan perjanjian ikatan sendiri kan, Hinata?" tanya Hiashi memastikan.
Pelan dan penuh keraguan, Hinata mengangguk. Sementara Hanabi, menyela kesal, "Oto-sama, nee-chan tak sebodoh dan selemah itu!"
"Ya, tentu saja," gumam Hiashi. Ia menatap mata Hinata dalam, "Mulai dari sekarang, Sasuke akan melatihmu agar dapat menjadi pemimpin klan yang kami harapkan."
Seketika, beban di punggung Hinata—yang sudah begitu berat—kini seakan dilipat gandakan. Bagaimana ia bisa semakin kuat jika melihat wajah Sasuke pun ia tak kuasa.
"Neji, Hanabi," Hiashi berbalik, menepuk pundah Neji dan Hanabi, "Kalian juga bantu saudara kalian."
Ia lalu menatap Hinata lagi, "Aku menunggu kabar gembira, Hinata."
Dan pintu ditutup.
Yak, yoroshiku~ saya pendatang baru di fandom ini :) semoga kalian suka fic saya... walaupun rada OOC dan aneh -,-'
kritik, saran, masukan, dll ditunggu di review ^^
