"Kamu serius?"
Kata yang akan selalu dan selalu terngiang di telinga Kuroko Tetsuya sampai kapan pun. Juga menjadi alasan terkuatnya meneguhkan hati untuk masuk ke Teiko Gakuen, sekolah para yankee yang terkenal di Tokyo.
Tujuannya hanya satu.
Memenuhi salah satu mimpi terbesar sahabatnya.
.
.
.
.
.
Teiko Gakuen © Hinamori Hikari
Kurobas © Tadatoshi Fujimaki
.
Terinspirasi dari dorama Majisuka Gakuen (©Yasushi Akimoto)
Hanya mengambil beberapa nama dan latar. Jalan cerita murni ciptaan saya.
.
.
Out of Chara, beberapa adegan kekerasan dan perkelahian.
.
.
.
Teiko Gakuen. Siapa yang tidak tahu sekolah populer seantero Jepang itu. Iya, populer karena Teiko adalah sekolah para yankee bersarang. Yankee, atau sering disebut sebagai berandal maupun preman. Tak ada bedanya. Sekolah yang diperuntukkan khusus untuk kaum adam, sehingga tak ada satupun murid perempuan di dalamnya. Sekolah yang lain daripada yang lain, dimana segala peraturannya pun berbeda daripada sekolah pada umumnya. Tak pernah ada kata damai dalam Teiko. Hampir di seluruh penjuru kau akan menemukan berbagai macam kekerasan, perkelahian, ataupun kondisi tak normal lainnya seperti rokok, minuman keras, bahkan narkotika. Guru tahu, namun terlalu cuek untuk peduli. Pemerintah? Beliau terlalu sibuk untuk urusan semacam ini. Atau mungkin lebih tepatnya, mereka terlalu takut untuk mengambil tindakan.
Kekuasaan tertinggi dalam Teiko bukanlah ketua Osis maupun kepala sekolah, melainkan leader of Rappapa. Rappapa adalah geng yankee tertinggi sekaligus terkuat di Teiko. Semua kendali sekolah ada di tangan sang leader, seluruh murid tunduk padanya. Bahkan guru sampai kepala sekolah tidak bisa berkutik melawan. Sudah pasti, ketua Rappapa adalah murid terkuat dan terhebat di Teiko. Kepala sekolah hanya berfungsi sebagai formalitas belaka, karena pada faktanya sekolah dipegang oleh ketua Rappapa. Bisa dibilang, ia adalah yang tertinggi di Teiko.
Jika yankee terkuat adalah ketua Rappapa, maka yang terkuat kedua adalah wakil ketua Rappapa. Kemudian disusul oleh anggota khusus Rappapa yang terkenal dengan julukan Four Heavenly Kings.
Tak sembarang orang bisa menjadi anggota Rappapa. Harus ada seleksi ketat, terlebih yang memilih anggota adalah sang ketua langsung. Rappapa memiliki ruangan tersendiri yang terletak di lantai tiga. Tak ada yang berani naik kesana kecuali jika ingin berurusan dengan geng terkuat seantero sekolah itu. Tangga yang menuju langsung ke ruangan Rappapa sering disebut sebagai 'tangga neraka' karena banyak murid yang babak belur bahkan hingga patah tulang karena mencoba menerobos melalui tangga tersebut.
Saat ini, ketua Rappapa dijabat oleh sosok absolut bernama Akashi Seijuurou. Ia berhasil mengalahkan Nijimura Shuuzou —ketua Rappapa sebelumnya— di tahun pertamanya bersekolah. Suatu rekor yang menakjubkan, karena belum pernah sekalipun Teiko dipimpin oleh seorang murid kelas satu. Ia berhasil maju bersama dengan sahabatnya, Midorima Shintarou yang kini mengambil alih posisi wakil ketua Rappapa. Memang begitulah cara menjadi ketua Rappapa sekaligus pemimpin Teiko. Harus ada yang bisa mengalahkan ketua bila ingin mengambil posisinya, atau bisa disebut dengan merebut. Bagai hukum rimba yang berlaku di alam liar, memang. Bila tak ada yang sanggup mengalahkan ketua Rappapa hingga ia lulus, maka sang ketua sendiri yang akan memilih penerusnya.
Akashi menggulingkan kekuasaan Nijimura tepat di tahun terakhir Nijimura bersekolah. Setelah Nijimura, Haizaki, Nebuya, Hyuuga, dan beberapa anggota Rappapa lulus, Akashi mulai merekrut beberapa anak untuk menggantikan posisi Rappapa yang kosong. Bersama Midorima, mereka berhasil mengambil enam orang terbaik dan empat diantaranya dijuluki dengan nama Four Heavenly Kings.
Akashi Seijuurou. Pemuda berambut merah yang berhasil mencetak rekor Rappapa juga Teiko sebagai ketua termuda. Bersahabat dengan Midorima Shintarou sejak kecil, salah seorang yang turut andil dalam keberhasilan Akashi merebut posisi ketua dari Nijimura. Akashi mengidap Multiple Personality Disorder atau lebih awam disebut kepribadian ganda. Memiliki dua kepribadian bertolak belakang yang lebih mudah dijuluki dengan 'Oreshi dan Bokushi'. Oreshi, kepribadian Akashi yang sering disandingkan dengan malaikat. Paling dominan dalam menguasai tubuh, dan yang pasti adalah kepribadian yang paling terkendali. Tenang namun menghanyutkan. Bokushi, kepribadian yang setara dengan iblis dari neraka. Beringas dan tidak terkontrol. Biasa muncul saat pertarungan atau perkelahian. Dapat menghabisi banyak musuh dalam satu waktu, dan kepribadian inilah yang turun saat melawan Nijimura. Jika sudah lepas kontrol, maka Midorima harus turun tangan untuk mengendalikannya. Memiliki emperor eye yang menakjubkan. Tinggi badan tidak menghalanginya berkuasa, dan kata-katanya adalah absolut.
Oreshi adalah malaikat dan Bokushi adalah iblis. Berada dalam satu tubuh berupa pemuda berambut merah dengan tinggi 173 cm. Alter ego yang mengerikan.
Midorima Shintarou, sahabat baik Akashi sedari kecil. Mengenal Akashi luar dalam dan menjadi sosok yang paling mengerti sang ketua. Terlihat selalu mengikuti Akashi kemanapun ia pergi, seperti anak kembar. Sering menghabiskan waktu bermain shogi atau basket sesekali. Orang terkuat kedua seantero Teiko. Dia adalah orang yang turut andil dalam suksesnya Akashi menumbangkan Nijimura. Dalam pertarungan, perpaduan Akashi dan Midorima adalah yang paling mengerikan. Kolaborasi yang luar biasa serta kerja sama yang menakjubkan menjadikan mereka berdua iblis nyata dari neraka. Belum pernah ada orang yang sanggup merobohkan pasangan dengan julukan MidoAka ini.
Apakah akan ada sosok yang berhasil menumbangkan kekuasan Akashi Seijuurou dan menghancurkan pertarungan MidoAka?
.
.
.
Sosok pemuda berambut biru langit terlihat memasuki pelataran Teiko dengan tenang. Terlihat novel tebal di tangan kiri serta tangan kanan sesekali membetulkan letak kacamata yang dipakainya. Ia adalah murid pindahan dari Osaka. Kuroko Tetsuya adalah nama yang melabelinya sejak lahir.
Beberapa murid Teiko mulai membicarakannya ketika Kuroko melintasi koridor dengan santai. Tak ada tanda-tanda ketakutan atau gentar saat manik birunya menangkap perkelahian di beberapa sudut sekolah, seakan ia sudah terbiasa hidup dalam lingkungan seperti itu. Langkahnya pasti, tanpa keraguan di dalamnya. Suara orang-orang yang membicarakan dirinya tidak membuat Kuroko risih. Ia terus berjalan menuju ruang guru untuk mengonfirmasi kehadirannya sebagai murid baru.
.
.
Di atap sekolah, sosok crimson dan pemuda berambut hijau lumut terlihat memandang intens pemuda teal yang tengah melangkah melewati gerbang. Raut wajah pemuda itu datar, tidak ada ekspresi yang tersirat disana. Padahal seharusnya pemuda itu tahu bahwa dia adalah murid baru, di sekolah berandalan pula. Harusnya dia takut karena akan menjadi bulan-bulanan murid lainnya sebagai salam penyambut. Apalagi tubuh anak itu terlihat kurus dan ringkih, pasti habis dalam sekali pukul. Nyatanya, pemuda biru itu santai dan tenang sekali menuju gedung sekolah seakan sudah menjadi murid lama disini.
"Saa, sepertinya yang ini menarik. Bagaimana, Midorima?"
"Aku juga berpikir begitu, nanodayo."
.
.
Kuroko berjalan santai menapaki tangga dan menyusuri lorong lantai dua dimana kelasnya berada. Pembicaraan orang-orang mengenai dirinya diindahkan begitu saja. Matanya fokus mencari kelas 2-3, yaitu kelas yang akan ditempatinya hingga setahun kedepan. Lantas setelah menemukannya, ia bergegas menggeser pintu dan masuk.
Asap rokok langsung menyambutnya begitu Kuroko masuk. Tanpa protes, pemuda itu lekas mencari tempat duduk kosong dan berinsiatif mengambil bangku dekat jendela agar pernapasannya tidak dipenuhi asap nikotin.
"Wah wah, ada anak baru rupanya. Cupu sekali." baru saja mendaratkan tubuh di atas kursi, Kuroko disambut oleh dua orang tak dikenalnya yang menatap sengit. Salah satunya berambut oranye dan satunya lagi berambut hitam.
"Sepertinya kau salah sekolah, bocah." ujar si rambut oranye. "Teiko bukan sekolah untuk pemuda kutu buku sepertimu." diejek begitu, Kuroko nampak tidak acuh dan malah membuka novel yang dibawanya sedari tadi.
"Lebih baik kau pindah sebelum habis dibabat yankee disini." saran si rambut hitam. Namun Kuroko tetap tak peduli dan terus menekuri buku yang ia baca.
"Sialan, belum pernah ada yang berani mengacuhkan kami!" dengan kesal, satu diantaranya mengambil novel Kuroko dan melemparnya ke lantai. Kuroko mendelik, namun tak ayal ia bangkit dan membungkuk untuk meraih novelnya.
Kuroko bisa mendengar tawa tertahan dari kedua murid yang entah namanya siapa, namun ia cuek. Saat tangannya menyentuh novel, tak pelak tangan kecilnya diinjak oleh si rambut oranye. Tawa pun mengudara.
"Dasar bocah! Kembali ke pelukan mama sana!"
Kuroko meringis saat tangannya diinjak kuat. Perlahan ia merintih pelan, "lepaskan tanganku."
"Eeehh? Lihat, bahkan dia merengek seperti bayi!" ujar si rambut hitam dan keduanya pun tertawa. Si pelaku mengangkat kakinya dari tangan Kuroko, namun bukan untuk menyingkir melainkan kembali menghentakkan kakinya dengan lebih kuat ke tangan sang pemuda.
"Lemahnyaaa~ kalau tidak bisa melawan, jangan sekolah disini!" entah siapa yang berbicara, Kuroko tidak peduli. Kini ia fokus pada tangannya yang kini diinjak semakin kuat. Namun pemuda teal itu tidak bersuara, hanya diam dengan rintihan kecil sesekali lolos dari bibirnya.
Si rambut hitam menjambak surai Kuroko hingga mendongak kemudian mengambil kacamata Kuroko dan melemparnya tak tentu arah. Pemuda itu hanya menatap datar sang pelaku.
"Bocah!" kepala Kuroko dihempas kasar hingga jatuh dengan posisi tangan tetap diinjak. Si rambut oranye menyingkirkan kakinya dari tangan Kuroko lalu dengan kuat menendang tubuh kecil itu hingga tersungkur ke lantai. Tawa kembali mengudara. Tak ada satupun yang menolong Kuroko, semua asyik dengan kegiatan masing-masing walau mereka tahu sedang ada penindasan terhadap anak baru.
"Ah, lemah! Sudahlah, sebagai hadiah karena kau adalah murid baru, maka kau harus menjadi budak kami selama sebulan! Paham?" si rambut oranye kembali menjambak surai Kuroko dan menatap tajam. Lalu mendorongnya kuat hingga terantuk lantai kemudian hendak pergi.
"Cuih!" si rambut hitam meludahi Kuroko. "kau serius bersekolah disini, anak baru? Padahal kau sangat lemah. Dasar pecundang!"
Mendengar perkataan salah seorang penindasnya, Kuroko menggigit bibirnya kemudian berdiri menghadang keduanya, membuat penindasnya tadi mengernyit heran.
"Aku serius." Kuroko berucap dingin.
"Huh?" kedua pemuda di depannya saling berpandangan, bingung. Belum sempat rasa penasaran hilang, keduanya dikejutkan dengan tinjuan kuat Kuroko yang mengarah tepat di ulu hati hingga keduanya mundur beberapa langkah. Terlalu kuat untuk ukuran pemuda mungil seperti dirinya.
"Sialan!"
Si rambut oranye mengarahkan kepalan tinjunya ke arah Kuroko yang dapat dihindari dengan sangat mudah. Kaki kecil Kuroko dengan cepat mengarah ke perut sang pemuda hingga ia tersungkur ke belakang. Tak terima, si rambut hitam maju dan melayangkan kakinya ke arah Kuroko. Berkat tubuh kecilnya, ia berhasil menghindar dengan gesit. Kepalan tangan Kuroko menghantam dagu pemuda itu dengan keras, sebelum tendangan keras di perut dilayangkan Kuroko hingga si rambut hitam jatuh.
Satu kelas bengong. Bagaimana tidak, anak baru dengan tubuh kecil dan ringkih bisa mengalahkan trouble maker kelas dengan mudah?
Kedua pemuda itu bangkit. Secara bersamaan, mereka mengarahkan tinju ke arah Kuroko. Kuroko dengan mudah menangkap tangan keduanya dan memelintir dengan keras.
"Arrgghhh! Lepas, lepaskan!" keduanya berteriak tanpa ampun. Cukup sedikit lagi saja dan tangan itu akan patah. "Ampun! Kami mohon ampun!"
Kuroko melepas tangan keduanya sebelum mendorongnya dengan cukup keras. Rautnya tidak berubah, tetap datar tanpa ekspresi. Dengan santai, ia memungut novelnya yang belum sempat diambil dan berjalan mencari kacamatanya. Beruntung kacamata itu tidak terlempar keluar jendela. Setelah memakai kembali kacamatanya, Kuroko duduk anteng di kursinya sambil membuka novel seakan tidak pernah terjadi apa-apa.
"S-siapa kau sebenarnya?" salah satu dari lawannya tadi menghampiri Kuroko dengan kening yang masih berkerut kesakitan. Kuroko memandangnya lalu tersenyum sangat tipis.
"Aku Kuroko Tetsuya."
.
.
Rappapa's Room.
Akashi terlihat sedang mengaduk kopi seraya melamun. Entah apa yang ada di pikirannya, hanya dia dan Tuhan yang tahu.
"Akashicchi kenapa senyam-senyum sendiri-ssu?" tiba-tiba sesosok pemuda pirang nan tinggi menghampiri Akashi dari belakang lalu mengalungkan kedua lengannya di bahu kecil sang ketua dengan santai. Tentu dia tenang karena Akashi sedang dalam mode malaikatnya, dimana gunting hanya akan bersemayam di saku tanpa perlu repot-repot keluar.
"Ah," seakan tersadar, Akashi mendongak menatap wajah yang lebih tinggi darinya itu. "Memangnya aku senyum-senyum sendiri?"
"Iya-ssu. Aku perhatikan sehabis keluar bersama Midorimacchi, Akashicchi terlihat memikirkan sesuatu sambil tersenyum. Jangan bilang kau habis ditembak Midorimacchi?"
"Bodoh. Menyingkir dari Akashi sekarang!" Midorima tiba-tiba datang dan menarik lengan si pirang hingga rengkuhannya pada Akashi terlepas. "Jangan membuat berita yang tidak-tidak, Kise."
Sosok pirang bernama Kise Ryouta itu hanya terkekeh ringan. "Haaa~ Midorimacchi lucu sekali kalau sedang cemburu-ssu."
"Siapa yang sedang cemburu?!"
Akashi tidak menanggapi anak buahnya lagi. Kini ia mengangkat kopi yang telah diaduknya lalu bersiap menuju ruangan pribadi miliknya yang memang tersedia di Rappapa's room. Ruangan ini memang dilengkapi dengan sofa-sofa besar, air conditioner, meja, televisi, kulkas, kamar mandi, dan ruangan pribadi sang ketua. Belum sempat Akashi melangkah, mendadak kopinya diambil oleh Midorima dan dijauhkan dari jangkauan sang ketua. Kurang ajar? Memang.
"Kenapa kau ambil kopiku, Midorima?" beruntung Oreshi yang sedang mengambil alih. Bukan tidak mungkin kepala Midorima akan tertancap gunting bila Bokushi yang sedang turun.
"Masih pagi, Akashi. Tidak baik untuk kesehatanmu."
"Berarti nanti siang boleh?"
"Tidak boleh juga. Kau dilarang minum kopi sampai aku bilang boleh."
"Memangnya kau siapa, Midorima? Lagipula dari kemarin aku belum menyentuh kopi."
"Aku wakil, sahabat, sekaligus dokter tidak resmi-mu. Jangan membantah, tidak ada kopi sampai aku bilang boleh."
"Lalu aku boleh minum kopi kapan? Saat kiamat, huh?"
"Tidak seperti itu Akashi, maksudku—"
"Ya ya ya, aku paham maksudmu, dokter Mi-do-ri-ma. Demi kebaikanku, benar?"
"Nah itu tahu."
"Tapi tetap saja aku ingin kopi."
"Haaahh~ drama suami-istri di pagi hari-ssu. Lebih baik aku pergi saja daripada jadi nyamuk. Kopinya untukku, ya!" Kise berucap jahil seraya mengambil kopi yang dijauhkan Midorima lalu melangkah pergi menuju sofa panjang dimana dua anggota Rappapa lainnya tengah duduk. Yang satu sedang memilah beberapa kertas dengan tekun sedangkan pemuda sebelahnya membaca novel. Di sofa lainnya, terlihat satu lagi anggota Rappapa sedang asyik dengan ponselnya.
"Kise!" Midorima berseru kesal atas ucapan jahil pemuda pirang itu. Namun dalam hati ia bersyukur karena Kise mengerti suasana dan membawa kopi itu pergi sehingga Akashi tidak bisa meminumnya. "Bagaimana, masih mau minum?"
"Aku akan buat lagi."
"Tidak akan. Kopi yang kau buat tadi stok terakhir."
"Lalu aku minum apa?"
"Nanti kubuatkan teh herbal."
Mendengus kesal, Akashi beranjak menuju ruangannya dengan muka ditekuk. Midorima tersenyum tipis lalu mengedarkan manik hijaunya ke seluruh penjuru ruang. Anggotanya kurang dua, pantas sepi. Biasanya Rappapa's room tidak pernah absen dari yang namanya berisik dan riuh karena ulah dua bocah kopi susu.
"Mana yang lain?"
Kise yang sedang menyesap kopi, melirik lalu meletakkan cangkirnya di meja. "Tidak tahu-ssu. Mungkin terlambat."
"Dasar bocah itu."
.
.
Kuroko memilih menghabiskan jam istirahat dengan duduk di taman seraya bersender di salah satu pohon yang rindang. Novel di pangkuannya siap dibaca. Tangan kiri memegang gelas milkshake sedangkan tangan kanan sesekali membalikkan halaman novel. Suasana begitu tenang dan damai, sehingga Kuroko merasa nya—
Bruk!
Suara sesuatu yang dijatuhkan di dekatnya tak membuat Kuroko menoleh. Manik biru yang terhalang kacamata itu tetap fokus dengan deretan tulisan di novel yang sedang ia baca.
"Hei kau, kutu buku!"
Merasa terpanggil, Kuroko akhirnya menoleh dan mendapati lima orang pemuda berdiri di depannya. Satu orang pemuda dengan alis bercabang berdiri dengan angkuh sambil menunjuk Kuroko, "kau!"
Kuroko diam, hanya menatap pemuda dengan rambut merah kehitaman itu.
"Ku dengar dari salah satu anak buahku, kau berhasil mengalahkan Hayama dan Izuki ya? Hebat juga. Aku ingin melihat kemampuanmu."
Kuroko menatap datar pemuda di depannya. "Kau siapa?"
"Kagami Taiga. Ketua geng Majiba. Aku ingin menantangmu, Kuroro."
"Kuroko. Kuroko Tetsuya."
"Ah terserah lah! Pokoknya berdiri dan lawan aku!"
Kuroko menatap tanpa minat. Tanpa bicara, ia kembali menunduk dan menekuni novel yang tengah ia nikmati. Tentu saja hal tersebut membuat pemuda alis cabang itu berang.
"Kau dengar aku, tidak?! Berani sekali kau mengacuhkanku!"
Tidak ada respon membuat Kagami —pemuda itu— marah dan hendak melayangkan pukulan andai seseorang dengan rambut hitam eksotisnya tidak menahan.
"Tai-chan! Jangan begitu dong, kau tidak kasian dengan pemuda imutss ini? Dia bisa gegar otak kena pukulan mautmu, tahu."
Kagami menatap jengah pemuda alay yang tengah menahannya. "Sudah kubilang berkali-kali, panggil namaku dengan lengkap! Dan lagipula buat apa aku menahan diri jika si cebol ini bisa mengalahkan Izuki yang katanya punya mata gajah itu?"
"Mata elang, Tai-chan."
"Terserah. Lepaskan aku, Reo-nee. Aku ingin membuktikan ucapan Hayama itu benar atau tidak. Kalau sampai bocah itu berbohong, aku tak segan menghabisinya dengan catokan Reo-nee."
"Heh Tai, kau ingin kutendang ya? Sudah jelas bocah biru ini lemah dan ringkih, lalu kau mau melawannya? Satu kali pukul saja mungkin bocah ini mati. Lantas, mau kau kubur dimana nanti mayatnya? Bisa-bisa kau dicincang Akashi karena melanggar peraturan sekolah yang dia buat." seorang pemuda lainnya yang juga berambut hitam dengan alis cukup tebal terlihat memandang remeh Kuroko.
"Arrghh! Aku ingin sekali melawannya, memangnya tidak boleh?"
"Summimasen, Kagami-san. Bukan maksudnya menyinggung, tapi apa yang Kasamatsu-senpai katakan itu ada benarnya. Summimasen, summimasen!" seorang pemuda berambut coklat terang terlihat membungkuk sambil meminta maaf berulangkali walau tidak jelas juga apa kesalahannya.
"Bukannya aku meremehkan, tapi sepertinya Reo-nee dan Sakurai ada benarnya." kali ini pemuda dengan rambut coklat tanah yang menyahut.
"Cih," Kagami mendecih tidak suka. Kembali dipandanginya Kuroko yang terlihat tak acuh dengan tajam, lalu satu tendangan diarahkan pada sang pemuda teal hingga tersungkur dan kepalanya menabrak tanah. "Padahal tadi aku sudah semangat."
"Hidoii Tai-chan." pemuda yang dipanggil Reo-nee itu memandang geli Kuroko dengan suara yang dibuat-buat. Banci kaleng tersebut terlihat menahan tawa namun sekeras mungkin tetap terlihat sedang prihatin.
"Kau serius hanya seorang pecundang? Heh, sudahlah, ayo pergi."
Kata-kata terakhir Kagami cukup membuat Kuroko menggigit bibir dan langsung berdiri dengan tegas dihadapan lima —ralat, empat pemuda tulen dan satu pemuda jejadian itu seraya menatap tajam. Kuroko melempar novel dan kacamatanya tak jauh dari tempat ia duduk, lalu dengan dingin berucap,
"Aku serius."
.
.
.
.
Te be ceh
.
.
.
.
Hika's note :
Jadi.. Ada yang nonton majisuka gakuen? Hehe, yang udah nonton pasti ga asing lah ya. Tapi disini Hika cuman ngambil latar, beberapa nama seperti rappapa dan 4 heavenly queens (disini kings) dan sedikit alur. Sisanya seperti penokohan karakter dan jalan cerita Hika buat berbeda supaya terasa karya orisinil Hika walau hanya 85-90 persen. Disini maeda (kuroko) juga engga jadi perawat dan ngerawat yuko (akashi).
Ps : ada yang nungguin by your side? /gaadaHik,udahsanapulang/ mungkin beberapa hari lagi di post setelah hika edit. Abisnya ceritanya agak hilang feel dan masih mau dirombak sana-sini /alesan
