Disclaimer : Naruto bukan milik saya

Don't like don't read

Warning : Bahasa tidak baku, EYD tidak sempurna, karakter OOC

.

.

SATU

.

Salah satu memori kebersamaan Hinata dengan ibunya yang paling ia kenang adalah saat mereka duduk di selasar kediaman Hyuuga sambil mengamati aneka bunga yang bermekaran di taman dan ibunya menceritakan padanya mengenai kisah benang merah takdir. Salah satu alasan mengapa memori itu tidak mampu ia lupakan karena kebersamaan mereka itu adalah kebersamaan mereka yang terakhir sebelum ibunya wafat.

Hinata masih mengingatnya dengan jelas, saat itu langit sedikit mendung sehingga matahari tertutup gumpalan awan. Ibunya yang saat itu terlihat lemah dan pucat menimang Hanabi yang baru berusia beberapa minggu di lengannya yang terlihat kurus. Ketika ibunya melihat kedatangannya, wanita sayu itu tersenyum manis padanya.

Saat itu Hinata hanyalah gadis kecil polos yang masih tidak tahu apa-apa. Ia tidak tahu jika kondisi ibunya semakin lama semakin kritis. Yang ia tahu adalah saat itu ibunya terlihat damai dan bahagia. Hinata kecil lalu duduk di samping ibunya sambil mengamati adik bayinya yang tertidur pulas di gendongan si ibu.

"Hinata, saat ini kau sudah menjadi seorang kakak, kau harus melindungi dan menyayangi adikmu. Bisakah kau melakukan itu demi Kaa-san?"

Hinata lalu mengangguk dan berjanji akan melindungi dan menyayangi Hanabi. Ia tidak tahu jika itu adalah permintaan terakhir ibunya.

Hikari lalu meletakkan Hanabi di pangkuannya sementara tangannya kini mengelus kepala Hinata dengan penuh sayang. "Kaa-san sangat menyayangimu, Hinata. Jangan pernah lupakan itu."

Hinata kembali mengangguk. "Kaa-san juga menyayangi Tou-san dan Hanabi kan?" Ujarnya dengan polos.

Hikari tertawa. "Tentu saja. Kaa-san sangat menyayangi kalian bertiga."

Mendengar perkataan ibunya, Hinata tersenyum senang. Kini perhatiannya beralih pada adik bayinya yang masih tertidur pulas. Ia lalu mengusap-usap pipi Hanabi dengan menggunakan jari telunjuknya untuk membuat adik bayinya terbangun. Ia sangat senang karena kini ia menjadi seorang kakak.

Hikari lalu meraih tangan Hinata, tidak ingin putri sulungnya itu membangunkan Hanabi yang tertidur pulas. Ia lalu mengelus tangan mungil putrinya itu dengan lembut, hatinya menjadi pilu ketika membayangkan tangan mungil ini kelak akan memegang kunai demi menumpahkan darah musuh-musuhnya.

"Kaa-san?" Tanya Hinata dengan sedikit bingung ketika ibunya mencium punggung tangan kirinya dengan lembut.

"Hinata, apakah kau pernah mendengar kisah mengenai benang merah takdir?" Tanya Hikari tanpa melepaskan genggamannya.

"Belum pernah." Kata Hinata sambil menggeleng. "Apa benang itu sama seperti benang untuk menyulam dan merajut?"

Hikari tertawa mendengar perkataan polos putri kecilnya. "Bukan seperti itu. Benang merah takdir adalah sebuah benang yang tidak terlihat. Legenda mengatakan Kami-sama mengikat sebuah benang merah yang tidak terlihat di jari kita dan menghubungkan benang merah itu pada jari seseorang yang ditakdirkan menjadi belahan jiwa kita."

Kini Hinata mengamati jari-jari mungilnya dengan perasaan takjub. Benarkah saat ini di jarinya ada sebuah benang merah tidak kasat mata yang menghubungkannya pada belahan jiwanya?

"Legenda juga mengatakan dua orang yang terhubung oleh benang takdir ini memiliki sebuah ikatan yang tidak mungkin bisa diputus kecuali oleh maut. Benang merah itu mungkin bisa merenggang atau kusut, namun benang itu tidak akan pernah putus."

Hinata mendengarkan penjelasan ibunya dengan seksama dan menyimpan kata demi kata di memorinya.

"Hidup kita telah ditentukan oleh takdir, semua perjuangan dan hambatan yang menghadang bukanlah suatu kebetulan belaka melainkan telah ditetapkan untuk kita. Benang merah menuntun kita untuk bertemu dengan sang belahan jiwa, dan ketika takdir menyatukan keduanya maka benang itu akan merajut sebuah kisah baru."

"Kaa-san, apakah suatu saat nanti aku juga bisa bertemu dengan belahan jiwaku?" Tanya Hinata dengan penuh harap. Ia tidak mengerti apa itu belahan jiwa, namun ia merasa jika 'belahan jiwa' adalah suatu istilah yang keren dan penting.

Hikari tersenyum. "Tentu saja, putriku. Kelak kau akan bertemu dengan orang yang kau cintai dan juga mencintaimu dengan segenap jiwa raganya."

.

.

Hinata kembali teringat kisah yang diceritakan oleh ibunya dulu saat ia tengah memegang sebuah gelang di tangannya saat ini. Gelang ini dibuat dari dua buah tali merah sederhana yang mengikat sebuah lempengan logam tipis dan kecil.

"Terimalah hadiah kecil ini sebagai salah satu bentuk rasa terima kasihku karena telah mengantarkanku selama perjalanan ini."

Hinata lalu menerima gelang ini dan mengucapkan terima kasih pada seorang wanita tua yang menjadi kliennya. Ia, Kiba, dan Akamaru mendapatkan sebuah misi untuk mengantar seorang wanita tua dalam perjalannya menuju sebuah kuil yang terletak di sebuah desa kecil yang berada di perbatasan Hi no Kuni.

"Ukirlah nama seseorang yang kau cintai di lempengan logam itu, siapa tahu Kami-sama akan mengikatkan benang merah takdir diantara kalian berdua."

Sosok pemuda berambut kuning dengan mata biru cerahnya langsung terbayang di benak Hinata. Dengan wajah merah merona ia menyimpan gelang ini dan memohon pamit untuk kembali ke Konoha setelah selesai menjalankan misinya.

"Kunoichi-san…" Panggil wanita tua itu yang membuat Hinata menghentikan langkahnya.

Wanita tua itu lalu menghampiri Hinata sambil tersenyum. "Bisakah wanita tua ini mengatakan satu hal lagi untukmu?"

"Te-tentu saja bisa, saya akan mendengarkan perkataan anda." Kata Hinata dengan sopan.

"Terkadang seseorang yang kita cintai belum tentu seseorang yang ditakdirkan untuk kita."

Hinata mematung.

Tak lama kemudian ia kembali bergabung bersama Kiba dan Akamaru untuk kembali pulang. Setelah beberapa kilo berjalan, Kiba memulai pembicaraan dengannya. "Aku tidak menyangka kau menerima gelang pemberian wanita tua itu."

"Tidak ada salahnya menerima hadiah yang telah diberikan." Jawab Hinata perlahan.

"Apa kau akan mengukir nama seseorang di gelang itu?" Goda Kiba sambil tersenyum jahil. "Siapa tahu takdir diantara kalian berdua akan terikat." Akamaru mengeluarkan persetujuannya.

Hinata tidak menjawab pertanyaan Kiba, namun semburat merah diwajahnya sudah mewakili jawabannya.

.

.

Mengukir nama 'Uzumaki Naruto' di sebuah lempengan logam kecil dan tipis bukan hal yang mudah namun Hinata berhasil melakukannya.

Saat mengantarkan wanita tua itu, ia mendengar kembali kisah mengenai benang merah takdir yang diceritakan wanita tua itu untuk mengusir kebosanannya dalam perjalanan. Sama seperti mendiang ibunya, wanita tua itu mempercayai kisah benang merah yang menghubungkan sepasang belahan jiwa. Dengan wajah berseri-seri, wanita tua itu menceritakan kisah asmaranya dengan suaminya yang masih bertahan hingga kini.

Hinata mengelus nama 'Uzumaki Naruto' dengan ujung jari telunjuknya, berharap jika pemuda bermata biru itu adalah belahan jiwanya. Ia sangat mencintai Naruto meskipun pemuda itu masih enggan melihat ke arahnya. Ia tahu Naruto hanya menganggapnya sebatas teman saja namun ia selalu berdoa jika suatu hari nanti Naruto mampu berpaling padanya.

Ia lalu memakai gelang itu di tangan kirinya dan mengikat tali merah itu dengan kencang agar gelang itu tidak mudah terlepas. Gelang ini terlalu mencolok pikir Hinata. Mungkin ia harus memakai baju berlengan panjang setiap kali ia akan keluar rumah.

.

.

Hinata bermimpi.

Ia yakin yang sedang dialaminya saat ini adalah sebuah mimpi.

Di hadapannya nampak sosok Naruto yang berdiri tidak jauh darinya, jarak diantara mereka hanya beberapa langkah saja.

"Naruto-kun…" Panggil Hinata perlahan.

Naruto hanya tersenyum lalu berbalik dan mulai berjalan menjauh. Melihat punggung pemuda itu yang semakin menjauh membuat Hinata berlari mengejarnya. Namun baru beberapa langkah ia berlari, langkahnya terhenti karena sesuatu menahan pergelangan tangan kirinya dan menghentikan usahanya. Hinata lalu mengalihkan perhatiannya pada sesuatu yang menghambatnya ini.

Sebuah benang merah.

Sebuah benang merah melilit pergelangan tangannya dan menahan langkahnya. Hinata berusaha memutus benang itu, namun semua usahanya gagal. Benang itu tidak juga putus meski ia mengerahkan segenap tenaganya.

Hinata lalu menatap benang merah itu dengan perasaan campur aduk. Apa maksud semua ini? Ia lalu mengalihkan perhatiannya ke arah Naruto pergi. Dari tempatnya berdiri, sosok Naruto tidak terlihat lagi karena pemuda itu telah berjalan menjauh.

Hinata terlonjak kaget saat ia merasakan pergelangan tangan kirinya digenggam oleh seseorang. Benang merah itu kini berganti menjadi sebuah tangan yang menggenggamnya erat seolah tidak ingin melepaskannya.

Hangat…

Tangan itu sangat hangat.

Dan nyaman…

Genggaman itu seolah memberinya perlindungan dan kekuatan.

Kini ia mendengar seorang pemuda membisikkan namanya tepat di telinganya.

"Hinata…"

.

.

Hinata terkesiap dari tidurnya dan langsung bangkit duduk. Butuh beberapa saat baginya untuk menenangkan diri.

Setelah tenang, ia menatap benang merah yang melilit pergelangan tangan kirinya. Entah kenapa Hinata masih merasakan jejak kehangatan yang membekas disana. Bukankah yang ia alami barusan hanyalah sebuah mimpi belaka? Namun mengapa kehangatan itu terasa nyata?

Kini ia beralih mengusap-usap cuping telinganya. Seseorang membisikkan namanya tepat di telinganya. Ia merasakan dengan jelas hembusan nafas hangat yang menerpa telinganya. Ia yakin seseorang yang berbisik padanya itu adalah seorang pemuda. Namun ia sama sekali tidak mengenali pemilik suara itu. Pemuda itu membisikkan namanya dengan penuh kelembutan yang membuat hatinya bergetar. Ia sama sekali tidak pernah mengira ada seseorang yang bisa membisikkan namanya dengan penuh damba, kasih dan gairah seperti itu.

Hinata mematung.

Apa yang sedang ia pikirkan saat ini?! Itu hanyalah mimpi! Itu semua tidaklah nyata!

Namun entah mengapa ia tidak mampu menghapuskan memori itu dari benaknya.

.

.

Bulan telah tinggi di langit namun Hinata masih enggan berhenti merajut. Ia ingin merajut sebuah syal merah untuk Naruto dan mengungkapkan perasaannya untuk pemuda berambut kuning itu. Mungkin ia memang seorang yang pemalu, namun kali ini tekad Hinata sudah bulat.

Hinata tersenyum. Ia menuangkan hatinya di dalam syal ini, ia berharap Naruto bisa merasakannya.

"Nee-chan, hari sudah malam namun kau masih belum selesai juga?" Tanya Hanabi sambil mengambil tempat duduk di depannya.

"Belum." Bisik Hinata perlahan.

Sepasang mata Hanabi lalu melirik gelang merah yang ia kenakan. "Heeh… apa itu?"

Hinata lalu meletakkan rajutannya, kini tangannya beralih menurunkan ujung lengan bajunya untuk menutupi gelang itu dari pandangan Hanabi. "Bukan apa-apa."

Hanabi menatap Hinata dengan curiga.

"Sungguh. Ini hanyalah gelang biasa, hadiah dari klien setelah kami selesai menjalankan misi."

Hanabi kini bertopang dagu sambil menatap Hinata dengan serius. "Kau tahu… saat ini Naruto sangat terkenal. Semua orang menganguminya berkat kerja kerasnya saat perang dua tahun lalu. Kini semua orang mengelu-elukannya sebagai seorang pahlawan. Jika nee-chan ingin merebut perhatiannya maka nee-chan harus berusaha lebih giat lagi."

Hinata menundukkan wajahnya. Ia tahu itu…

"Apa nee-chan sudah mendengar kabar terpanas hari ini?" Bisik Hanabi dengan misterius.

Hinata mengerutkan keningnya. "Kabar apa?"

"Uchiha Sasuke kembali lagi ke Konoha."

"Be-benarkah?"

"Mm. Kabarnya ia akan kembali menetap disini untuk membangkitkan kembali klan Uchiha yang nyaris punah. Hokage-sama juga telah mengembalikan seluruh aset-aset yang dimiliki Uchiha dan rencananya Sasuke akan membangun rumah di distrik Uchiha."

"Darimana kau mendengar kabar ini?" Tanya Hinata dengan penuh selidik.

"Ra~ ha~ sia~" Ujar Hanabi sambil tersenyum jahil.

"Sasuke-san adalah bagian dari Konoha, sudah sepantasnya ia kembali ke Konoha." Kata Hinata perlahan. "Terlebih lagi dia juga berjasa dalam peperangan dulu."

"Tapi dia adalah mantan kriminal." Kata Hanabi dengan cemberut.

"Hanabi… tidak baik menilai orang lain seperti itu."

Hanabi mengangkat bahunya dengan cuek. "Itu memang kenyataannya."

Sasuke sudah kembali… pasti Naruto sangat senang.

.

.

Hinata mengusap syal yang telah ia selesaikan dengan perasaan bahagia. Setelah berhari-hari merajut akhirnya syal ini telah selesai. Ia belum memberikannya pada Naruto namun pipinya merona merah. Dengan hati-hati ia melipat syal merah itu dan bangkit berdiri untuk mencari sesuatu yang akan ia jadikan pembungkusnya.

Langkahnya langsung terhenti ketika ia mendengar suara benda jatuh di lantai.

Gelangnya terjatuh.

Hinata lalu memungut gelang yang terjatuh di dekat telapak kakinya.

Tali gelang ini tidak putus, ikatannya juga tidak terurai. Gelang ini terjatuh karena lempengan logam yang bertuliskan nama 'Uzumaki Naruto' terbelah menjadi dua. Bagaimana hal semacam ini bisa terjadi?! Jika dipikir-pikir secara logika, tali merah dan logam jauh lebih kuat logam. Namun mengapa logam yang berukiran nama Naruto justru terbelah menjadi dua sedangkan tali merah di gelang ini masih baik-baik saja?

Tangannya kini gemetar.

.

.

Hinata meringkuk di kamarnya sambil menangis tersedu-sedu. Syal merah yang ia rajut dengan penuh cinta kini basah oleh air matanya.

Impiannya untuk bisa bersanding dengan pemuda pujaan hatinya kini hancur lebur.

Ayahnya, para tetua Hyuuga dan Hokage keenam telah mengambil keputusan untuk menikahkannya dengan pemuda lain.

Sasuke Uchiha…

Dia akan menikahi Uchiha terakhir itu.

Bagaimana mungkin ia sanggup menikahi Sasuke yang tidak lain adalah sahabat karib dari pemuda yang dicintainya?! Dan Sasuke adalah seseorang yang dicintai oleh Sakura, semua orang di Konoha mengetahui fakta ini. Bagaimana bisa ia menghancurkan hati Sakura dengan menikahi Sasuke?! Selama ini Sakura sangat baik padanya, gadis berambut merah muda itu bahkan jauh lebih baik jika dibandingkan dengannya. Mengapa bukan Sakura yang harus menikahi Sasuke?!

Mengapa harus Hinata…

Mengapa harus dia…

.

.

Dengan mata sembab, Hinata berdiri di halaman belakang rumahnya sambil menyaksikan api yang tengah melahap syal merah yang ia rajut dan syal merah usang milik Naruto dulu. Ia lalu melemparkan gelang dengan tali merah ke dalam kobaran api itu.

Semuanya kini hancur tidak bersisa…

Begitupun dengan perasaannya yang kini hancur berkeping-keping.

Ia tidak bisa menentang keputusan ini. Semuanya telah ditetapkan.

Satu bulan lagi ia akan menikah.

Hinata tidak tahu bagaimana komentar Naruto mengenai pernikahan ini. Apakah pemuda itu turut bahagia ketika mendengar kabar jika sahabatnya akan segera menikah? Atau justru merasa tersaingi karena 'rivalnya' lebih dulu menikah? Apakah Naruto pernah memikirkan Hinata meski hanya sekilas saja?

Apakah Naruto tahu perasaan Hinata padanya?

Air matanya mengalir di pipinya tanpa mampu ia cegah. Dalam hati ia berjanji jika ini adalah air mata terakhir yang ia tumpahkan.

Hidup kita telah ditentukan oleh takdir, semua perjuangan dan hambatan yang menghadang bukanlah suatu kebetulan belaka melainkan telah ditetapkan untuk kita

Perkataan ibunya kembali terngiang di benaknya.

"Kaa-san…" Bisik Hinata dengan parau. "Apakah ini semua memanglah takdir yang harus kujalani?"

.

.

Saya tahu jika tema perjodohan SasuHina pasca perang memang sudah umum, namun saya tidak bisa mengenyahkan ide ini dari kepala saya. Jadilah fanfic ini, tada!

Di cerita ini tidak ada Toneri atau kisah The Last.

Jika ada kesamaan ide cerita atau apapun itu saya mohon maaf sebesar-besarnya. Saya menulis ini hanya sekedar menuangkan apa yang ada dalam imajinasi saya, jadi please jangan tuduh saya plagiat atau peniru.

Bagi fans NaruHina atau SasuSaku yang tidak menyukai cerita saya lebih baik kembali, jangan ngeflame cerita orang. Ini hanyalah kisah fiksi belaka, tidak perlu ribet atau ambil pusing jika tidak menyukainya. Saya tidak menuntut anda semua untuk menyukai cerita ini namun setidaknya hargailah karya orang lain.

Saya hanya manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan. Jika ada yang kurang pas atau apapun itu saya mohon maaf.