Aku memperhatikan gadis kecil itu dari kejauhan. Ia sedang bermain di atas pasir, membangun istana pasir dengan wajah polosnya. Aku mendengus pelan melihat tingkah manjanya, tampak kekanak-kanakkan sekali. Kupikir aku akan mendapat pekerjaan yang berhubungan dengan orang dewasa. Tapi ternyata aku berurusan dengan seorang bocah.

"Dia adikku." Perhatianku teralih ketika ada yang menepuk bahuku. Aku menoleh, bertemu pandang dengan wajah yang nyaris mirip dengan bocah yang tadi kuperhatikan. Tetapi mereka berbeda gender, dan lagi orang yang berada di hadapanku ini seumuran denganku.

Seorang pelayan menuangkan teh beraroma bunga sakura ke dalam cangkir milikku, aku meraihnya dan meneguknya pelan. Menatap dia yang duduk dihadapanku. Ia tersenyum manis, senyuman manis yang bagiku tampak menjijikkan.

"Bagaimana? Dia adalah klien yang harus kau jaga," ucapnya.

Aku mendengus. "Apa kedua orang tuamu sudah setuju? Mengingat ini menyangkut putri kesayangan mereka."

Ia mengkibaskan tangannya dengan sikap santai. "Hey mereka sudah tahu masalahmu dan lagi mereka tahu kalau kita berteman akrab. Jadi tidak masalah bagi merea. Saat ini mereka sedang pergi keluar negeri untuk urusan bisnis, dan mereka mempercayakan hal ini sepenuhnya kepadaku." Ia lalu kembali menyunggingkan senyum menyebalkan, kedua lengannya terlipat di depan dada. "Jadi ... aku pun bisa mempercayakan hal ini kepadamu bukan? Sekarang tinggal kau saja mau menerimanya atau tidak."

Aku menghela napas. "Aku tidak punya pilihan bukan? Hanya kau yang mau memperkerjakanku."

"Ya. Bisa gawat kalau orang-orang tahu statusmu. Tapi aku bisa menyembunyikan statusmu selama kau bekerja di sini." Ia berbicara dengan santai. "Tapi ... aku heran kenapa kau repot-repot ingin melakukan hal seperti ini? Apalagi waktunya cukup lama, beberapa tahun."

Aku mengendikkan bahu. "Hanya ini yang bisa kulakukan untuk mendapatkan kepercayaan ayahku." Aku kembali meneguk tehku. Udara dingin di pagi hari membuat teh ini cepat mendingin. "Ini sudah menjadi peraturan keluargaku secara turun menurun. Aku tidak bisa menolaknya."

Pandanganku kembali tertuju kepada gadis mungil yang berada di halaman itu. Ia sudah tidak lagi bermain pasir, dan sekarang ia tengah bermain ayunan. Tubuhnya tampak kotor, ia bersikap tidak peduli saat pelayan yang menjaganya membujuknya untuk membersihkan tubuh.

"Jadi ... siapa namanya?" tanyaku.

"Kagura Yato. Kau harus bisa bersikap sabar terhadapnya. Ia baru berumur 10 tahun."


Little Rabbit

Okikagu Gintama by Hideaki Sorachi

Original Story by Viziela Veronica

Cerita ini sudah pernah saya publish di wattpad. Dan saya mempublishnya ulang di sini. Kedepannya mungkin akan banyak perubahan, karena saya berencana untuk sedikit mengembangkan cerita ini lebih banyak daripada yang di wattpad.

Hope You Like it.


Okita Sougo.

Aku mematut diriku di depan cermin, membenarkan bayangan diriku di depan sana. Aku menghela napas pelan sembari membenarkan letak dasi pelayan yang berada di leherku. Seragam butler, mulai saat ini dan seterusnya aku akan mengenakan pakaian ini selama bekera di rumah keluarga Yato. Seragam yang kukenakan ini ukurannya pas dan terasa nyaman. Kamui, kakak dari Kagura Yato sekaligus teman dekatku ini tahu benar ukuran tubuhku. Aku lalu memakai sarung tangan putih satu pasang dengan seragam yang kukenakan.

'Baiklah siap bekerja,' gumamku malas.

Tepat sebelum aku membalikkan tubuh pendengaranku yang tajam menangkap suara kenop pintu kamarku yang diputar secara hati-hati. Aku menolehkan kepalaku, dan manik merahku menyipit mendapati sosok mungil berkepala jingga yang mengintip di balik celah pintu, memperhatikanku.

Aku hanya diam, tidak memberikan respon apa pun kepadanya. Dan ia kini sedikit menjulurkan kepalanya masuk ke dalam di antara celah pintu. Manik birunya berbinar, menggambarkan perasaan penuh tanya kepadaku, mengamatiku dari atas sampai bawah hingga membuat aku merasa risih sendiri. Kemudian setelah puas mengamatiku, ia tersenyum lengan mungilnya memeluk sebuah boneka kelinci. Pipinya yang seputih salju terlihat sedikit merona ketika ia tersenyum.

"Tu-tuan butler ... a-aniki memanggil anda ke ruang makan," ajaknya ceria.

Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal saat mendengar panggilan yang ia katakan untukku. Manik merahku menatapnya datar. "Nona kenapa anda bersembunyi di balik pintu seperti orang yang ketakutan?" tanyaku.

Bulu matanya yang lentik bergerak menyertai kerjapan matanya. "H-habisnya k-kau tampak menakutkan."

Aku tentu terkejut mendengar ucapan polosnya kali ini. Menurutnya aku menakutkan? Ingatanku lalu berputar ke hari sebelumnya di mana Kamui mengajakku berkenalan dengan Kagura. Memberitahu kepada gadis mungil ini bahwa mulai saat ini aku yang akan menjadi butler diingat-ingat lagi Kamui sempat menegurku karena cara bicaraku terhadap Kagura terkesan dingin.

Aku menepuk kening setelah berhasil mengingat dengan apa yang terjadi kemarin. Mungkinkah akibat sikap dinginku kemarin ia menganggapku menakutkan?

Aku lalu melangkah mendekat membuat pelukan Kagura terhadap boneka kelincinya semakin mengencang. Hati-hati aku berjongkok di hadapannya. Sebisa mungkin aku berusaha menyunggingkan senyum terbaik yang kupunya. Meski pun ini menyebalkan aku tetap harus melakukannya. Bagaimana pun juga ini pekerjaanku, aku harus melakukannya sebaik mungkin. Tidak lucu bukan kalau dihari pertama aku dipecat hanya karena membuat majikanku ketakutan.

"Maaf kalau aku membuatmu ketakutan nona." Aku mengulrukan tanganku , mengusap kepala jingganya. Kagura tang tadinya tampak ketakutan sekarang menjadi sedikit lebih rileks saat aku mengusap kepalanya.

Ia mengangguk pelan.

"Tuan butler ternyata memiliki senyum yang manis."

Aku menahan tawa mendengarnya. Kuakui aku sebenarnya kurang suka dengan anak kecil , tapi mendengar ucapan polosnya tanpa dapat dicegah membuat senyumku melebar. Entahlah ia tampak menggemaskan sekali saat mengucapkan itu. Ia manis, tidak heran Kamui sangat menyayanginya.

"Hei nona. Jangan memanggilku seperti itu."

Ia kembali mengerjapkan kedua matanya dengan bingung.

"Namaku Okita Sougo jadi kau cukup memanggilku Sougo."

Ia menatapku, membiarkan tanganku yang terus mengelus kepalanya. Bibir mungilnya yang berwarna pink cherry terbuka. "Sou ... go?"

Aku mengangguk puas. "Ya. Kau majikanku jadi kau tidak perlu bersikap terlalu formal nona."

"Panggil saja ia sadis, imotou-chan. Dia adalah pangeran sadis dari planet sadis."

Mendadak Kamui muncul masuk ke dalam kamarku dengan langkah santai menyunggingkan senyum manisnya yang terkesan memuakkan bagiku. Ia menyingkirkan tanganku yang berada di atas kepala Kagura. Kemudian dengan mudahnya ia menggendong tubuh mungil Kagura dengan satu tangan, seolah tubuh Kagura ringan seperti bulu. Atau ia memang sangat ringan? Rasanya aku juga ingin menggendongnya.

"Apa kau suka mengajarkan adikmu kata-kata yang tidak pantas?" sinisku.

"Berkata tidak pantas terhadapmu adalah suatu hal yang wajar," balas Kamui ringain. Ia lalu menoleh ke arah Kagura yang memperhatikan kami bingung. Kamui dengan gemas mencium pipi tembam itu. Aku hanya dapat mengernyit melihatnya. Baru kuketahui di balik sisi sadis Kamui ia ternyata mengidap siscon akut.

"Jadi panggil saja ia sadis ya imotou-chan."

Aku hanya dapat menghela napas pasrah melihat Kagura yang mengangguk dengan wajah polosnya. Baiklah, baru saja memulai bekerja di sini aku sudah mendapat panggilan yang menjengkelkan dari majikanku sendiri.

"Sekarang imotou-chan harus sarapan. Persiapkan dirimu sebelum guru privatmu datang ya." Kamui dengan penuh kehati-hatian menurunkan Kagura seolah gadis itu adalah gadis yang rapuh.

Kagura lagi-lagi mengangguk. Manik birunya menatapku dengan binar matanya yang tampak indah.

"Aku pergi dulu eum ... sadis."

Kamui tergelak mendengar ucapan polos Kagura. Anak kecil memang mudah sekali mengikuti perintah orang dewasa. Aku mendengus kesal tetapi gadis mungil itu sudah berlalu dari hadapan kami.

"Kau bilang tadi guru privat?"

Kamui mengangguk. "Iya, kami memakai guru privat untuk pendidikan dasar Kagura," jelas Kamui. "Ia baru akan bersekolah di sekolah umum saat ia sudah SMP. Tetapi tentu saja ia akan dimasukkan ke sekolah khusus para bangsawan."

Aku mengangguk paham mendengar ucapan Kamui. Sebagai keluarga kaya dan berdarah keturunan bangsawan eropa tidak heran keluarga Yato memakai sistem seperti ini untuk pemdidikan anak-anak mereka. Terlebih aku juga mendapati fakta kalau Kagura Yato sangat disayang oleh keluarganya. Ketika sudah berumur belasan tahun dan sudah bisa menjaga diri sendiri barulah mereka bersekolah di luar. Tentu saja dengan adanya penjagaan di dekat mereka.

"Tapi setelah kupikir-pikir kalau kau yang menjadi butler pribadinya imotou-chan. aku tidak perlu terlalu khawatir. Mengingat kau sama kuatnya denganku."

"Lalu ... kenapa kau masih memanggil guru privat untuknya?"

"Karena kami sudah menandatangani kontrak kerja sampai imotou-chan berumur 12 tahun, kami tentu tidak bisa asal mengubahnya begitu saja. Oh iya omong-omong kau sepertinya mengenal guru privatnya imotou-chan."


Okita Sougo.

Beginilah keseharianku, menjadi butler pribadi Kagura Yato. Putri berdarah bangsawan dari keluarga Yato. Atau ada juga yang menyebutku sebagai anjing penjaga Kagura. Mendengar orang-orang menyebutku seperti itu tentu membuatku merasa jengkel. Aku anjing penjaga seorang anak kecil Bocah berumur 10 tahun.

Awalnya kupikir keseharianku akan menjadi menyebalkan. Mengurus seorang anak kecil. Ada rasa menyesal dalam diriku karena sudah menandantangani kontrak perjanjian yang diajukan Kamui. Dalam bayanganku anak kecil itu selalu merepotkan, manja, cengeng. Dan selalu ditemani kemana pun ia pergi. Terlebih dia adalah putri bangsawan tentu kadar menyebalkan untuk anak kecil dari dalam dirinya akan menjadi berkali-kali lipat bukan?

Aku yang berumur 20 tahun. Harus mengurus anak kecil yang beda 10 tahun denganku.

Tetapi itu hanya dugaan awalku. Setelah tahu bagaimana seorang Kagura Yato sedikit rasa bersalah karena sudah menilainya seenaknya sebelum bertemu pun timbul. Ia memang manja seperti anak kecil kebanyakan, tetapi ia tidak cengeng. Dan terkadang ia bisa bersikap mandiri. Ia cukup berbeda tidak seperti putri-putri kecil bangsawan yang sering kutemui.

Setelah mengenal Kagura perasaan ingin melindunginya pun timbul. Dan aku akui tiap gerak-geriknya tampak menggemaskan. Tidak heran kalau Kamui sangat menyayanginya.

"Sadis ..." Kagura berlari-lari kecil menghampiriku. Di puncak kepalanya terdapat jalinan bunga yang membentuk mahkota mungil. Jalinan mahkota bunga itu tampak berantakan.

"Bagaimana? Aku terlihat seperti tuan putri bukan?" Kagura berputar ringan di hadapanku, membuat gaun bagian bawah yang ia kenakan menjadi mengembang saat ia berputar.

'Tanpa mahkota buatan itu pun statusmu di dalam rumah ini seorang tuan pitri,' batinku.

Aku lalu berjongkok di hadapannya agar tinggi kami sejajar. Tanganku terulur mengusap pipi tembamnya untuk menghilangkan noda tanah yang menempel di pipinya, membuat sarung tangan yang kukenakan menjadi kotor.

"Ya, nona tampak cantik sekali seperti ... Snow white,"ucapku memyebut salah satu tokoh Disney dalam cerita Snow white and the 7 dwarf. Salah satu putri dalam dunia disney yang paling disukai Kagura. Anak kecil. Tidak heran kalau mereka menyukai hal seperti itu.

Kagura tersenyum lebar mendengarnya. Ia mengerjapkan kedua matanya saat aku mengambil mahkota bunga yang berada di atas kepalanya.

"Siapa yang mengajari anda membuat ini?" tanyaku. Tanganku bergerak lincah memperbaiki jalinan mahkota bunga itu agar menjadi lebih rapi.

"Soyo oneesan. Sadis ingat bukan? Kemarin sore ia datang kemari dan menemaniku bermain." Lalu wajah cerianya menjadi cemberut. "Itu karena sadis lebih memilih menemani aniki. Saat itu aku tidak punya teman bermain."

Aku terkekeh melihat wajah cemberutnya. Ingin rasanya aku mencubit pipinya tetapi aku berusaha menahannya karena untuk saat ini sarung tangan yang kukenakan kotor terkena tanah.

"Oh iya sadis aku pernah mendengar percakapan mami dan juga papi. Eum ... beberapa maid juga pernah mengatakan ini, mereka bilang Soyo oneesan bertunangan dengan aniki."

Gerakan tanganku menjadi terhenti sejenak saat mendengar ucapan Kagura. Ya, aku tahu hal itu kalau mereka berdua bertunangan. Tetapi untuk apa Kagura menanyakan hal seperti itu? Apa gadis sekecil ini sudah paham urusan orang dewasa?

"Iya." Aku mengangguk pelan. "Mereka bertunangan."

"Apa tunangan itu?"

Kedua mataku melebar dan aku sontak menoleh membuat aku bersitatap dengan Kagura yang menatapku penuh tanya. Aku menghela napas menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Kenapa Kagura menanyakan hal semacam ini kepadaku? Yah tidak heran juga mengingat selama ini aku yang sering menemaninya semenjak menjadi butler pribadinya.

"Eum ... tunangan itu ... bagaimana ya mengatakannya." Kagura terus menatapku lekat menunggu penjelasanku. "Itu dilakukan oleh laki-laki dan perempuan untuk jenjang hubungan mereka ke yang lebih serius sebelum ke pernikahan."

Entah kenapa aku merasa malu sendiri menjelaskan sesuatu yang cukup sakral kepada gadis mungil sepolos Kagura. Membuat aku mengucapkan kalimat yang tidak jelas. Dan benar saja manik biru itu masih menatapku bingung, pertanda tidak mengerti dengan apa yang kukatakan barusan. Kagura tampak ingin mengajukan pertanyaan lagi kepadaku. Secara pelahan aku meletakkan mahkota bunga yang sudah terjalin rapi itu di atas kepalanya.

Ah ... dia terlihat makin menggemaskan dengan mahkota bunga ini.

"Sadis ... aku tidak mengerti." Aku menepuk keningku mendengar ucapannya. "Lalu ... apa itu per ..."

"Nona, sensei sudah datang."

Bibir mungil Kagura kembali menutup saat seorang maid menghampiri kami dengan langkahnya yang tergesa-gesa. Wajah menggemaskan Kagura menjadi berseri-seri saat ia tahu guru privatnya sudah datang. Ia melepaskan mahkota bunga yang bertengger di atas kepalanya.

"Sadis aku mau belajar dulu. Tolong pegang ini."

Aku menurut menerima mahkota bunga itu. Kemudian Kagura berlari-lari kecil mendekati seorang pria dewasa yang baru datang. Ia mengenakan kemeja bergaris berwarna biru muda. Kagura memanggil nama pria itu melambaikan tangannya dengan penuh semangat. Pria tersebut tersenyum lalu ia menggendong tubuh mungil Kagura ketika sepasang lengan mungil Kagura terulur kepadanya. Isyarat ingin digendong.

Aku tersenyum melihatnya. Kagura terlihat manja sekali kepada guru privatnya. Sikap manjanya terhadap guru privatnya nyaris sama seperti sikapnya kepada Kamui. Berbeda denganku, meski pun kami sering bersama sikapnya tidak terlalu manja bila terhadapku. Kesannya ia seperti sedikit menjaga jarak. Apa mungkin ia merasa agak sungkan?"

"Oh Soichiro-kun, kemarilah. Bukankah tugasmu untuk selalu menjaga Kagura-chan?"

Lamunanku buyar saat pria itu memanggilku. Lebih tepatnya memanggil namaku dengan seenaknya. Aku tersenyum kecut melangkah mendekat.

"Namaku Sougo, danna."

Guru privat Kagura adalah Sakata Gintoki. Teman dekat dari tunangan kakak perempuanku. Dunia benar-benar sempit.


Kagura Yato.

Aku mendengarkan penjelasan Gin-san dengan seksama. Saat ini ia menjelaskan mata pelajaran sejarah. Biasanya aku mudah mengantuk saat belajar sejarah. Tetapi entah kenapa semenjak Gin-san menjadi guru privatku aku tidak mudah mengantuk di mata pelajaran manapun. Mungkin karena sistem mengajarnya menyenangkan. Gin-san selalu membawa cerita-cerita menarik di sela pelajaran agar aku tidak mudah bosan. Pokoknya aku ingin Gin-san terus menjadi guru privatku, karena hanya ia lah yang membuatku betah belajar.

"Baiklah Kagura-chan. Saatnya beristirahat."

Aku mengangguk patuh, waktu istirahat adalah waktu yang sangat menyenangkan setelah belajar. Gin-san menuangkan teh ke dalam cangkirku lewat teko cantik yang baru saja di antarkan seorang maid. Aku mengambil kue cokelat yang terhidang dan memakannya. Tiap waktu belajar seorang maid akan selalu mengantarkan dessert ke kamarku sebagai kudapan sekaligus hidangan untuk Gin-san. Aku melirik ke arah pintu kamarku yang tertutup rapat, aku tahu ia berada di luar sana. Berdiri di depan pintu kamarku, menjagaku.

"Kenapa? Apa kau mau memanggil Soichiro-kun untuk ikut bergabung?" Gin-san bertanya sangat tahu dengan isi pikiranku saat ini.

Aku menggeleng pelan. "Sadis selalu menolak tiap kuajak masuk ke dalam kamar di waktu belajar. Ia bilang ia tidak mau mengganggu waktuku bersama Gin-san."

Bibir Gin-san membulat dan ia berkata oh pelan. Memang selama aku belajar bersama guru privat, Sougo akan berjaga di luar ruangan. Katanya agar konsentrasi belajarku tidak terganggu. Tapi rasanya tidak nyaman saja, Sougo berjaga di luar sedangkan aku di sini bersantai dengan Gin-san.

Tiba-tiba aku teringat dengan percakapan kami tadi. Karena kedatangan Gin-san aku urung bertanya kepada Sougo. Aku lalu menatap Gin-san lekat.

Dia seorang guru jadi dia pasti bisa menjelaskan rasa penasaranku dengan sebaik mungkin.

Tidak seperti sadis.

"Gin-san aku ingin bertanya sesuatu." Ia memandangku lembut, menunggu dengan sabar. Ia sudah terbiasa dengan diriku yang suka bertanya dan selalu ingin tahu. "Apa itu pertunangan dan pernikahan?"

Reaksi yang kudapatkan dari Gin-san berbeda dengan Sougo. Ia terkekeh pelan, mengusap puncak kepalaku. Aku mengerucutkan bibir karena ia menertawaiku.

"Kenapa kau bertanya seperti itu?"

"Karena aku mendengar dari mami dan beberapa maid kalau aniki bertunangan dengan Soyo oneesan. Dan sadis bilang pertunangan adalah tahap sebelum pernikahan." Aku menatap Gin-san dengan penuh rasa ingin tahu.

"Eum ... tunangan ya, bagaimana ya cara menjelaskannya." Gin-san menyentuh dagunya, mengambil pose berpikir. "Tunangan itu semacam ikatan sementara atau tanda kepada suatu pasangan. Laki-laki dan perempuan. Tanda bahwa mereka sudah dimiliki seseorang dan akan membentuk sebuah keluarga. Seperti si botak ... eum maksudku papi dan mamimu Kagura-chan. Sebelum menikah mereka bertunangan dan akhirnya setelah menikah mereka memiliki anak. Yaitu kau dan Kamui-kun."

Aku mengangguk-angguk. Sudah kuduga penjelasan Gin-san lebih mudah dipahami. Ia terlihat santai dan tenang sekali menjelaskannya, tidak seperti sadis yang entah kenapa terlihat malu saat aku menanyakan hal semacam ini kepadanya. Aku juga bisa bertanya-tanya lagi kepada Gin-san. Berbeda terhadap Sougo. Entah kenapa aku merasa diriku ini agak menajaga jarak dari Sougo. Sejujurnya aku memang sedikit merasa segan terhadapnya.

Dan lagi ... Kamui bilang, Sougo memang tidak mudah dekat dengan anak kecil.

"Lalu ... bagaimana caranya memiliki anak?" tanyaku lagi.

Gin-san yang tengah meminum tehnya menjadi terbatuk saat mendengar pertanyaanku. Ia mengusap mulutnya dengan tisu lalu ia tergelak sembari mengacak-acak rambutku.

"Itu semacam sihir. Dan kau akan mempelajarinya nanti saat kau sudah dewasa."

Aku menggembungkan pipiku mendengarnya. Menyebalkan banyak sekali hal yang tidak boleh diketahui oleh anak kecil sepertiku. Rasa-rasanya aku ingin menjadi gadis remaja secepatnya. Memasuki kehidupan dewasa yang sepertinya keren.

"Oh iya aku lupa memberitahumu, ada baiknya pertunangan dan pernikahan itu dilakukan bersama orang yang kita cintai. Agar kita bisa terus menjalankannya dengan bahagia."

"Orang yang kita cintai? Apa itu?"

"Hmm misalkan seperti mami dan papimu. Kau nyaman bila berada dekat dengan mereka dan ingin selalu bersama mereka bukan?"

Aku mengangguk.

"Nah begitu juga dengan seseorang yang akan kau nikahi. Perasaan itu sama kuatnya dengan perasaanmu terhadap papi dan mamimu. Hanya saja kalau bersama orang yang kau cintai itu kau selalu merasa gugup bila berada di dekatnya dan juga merasa tidak nyaman ketika berada jauh darinya."

Gin-san terdiam sesaat ia menggaruk pipinya yang tidak gatal. Mungkin ia sadar hal semacam ini cukup sulit untuk dipahami oleh anak kecil sepertiku. Tetapi aku tidak keberatan meski pun aku masih bingung tetap saja ini terdengar menarik bagiku.

"Gawat ... aku terlalu banyak bicara." Gin-san menghela napas, mengusap keningnya yang sedikit berkeringat."Intinya seperti itulah Kagura-chan. Kau nanti akan tahu dengan sendirinya saat kau dewasa."

Aku mengerucutkan bibirku. Lagi-lagi karena faktor umur. Aku ingin cepat dewasa.

"Kalau begitu hey Gin-san kalau aku sudah dewasa nanti kau mau menjadi tunanganku?" tanyaku lugu.

Gin-san membelalakkan kedua matanya lalu ia tergelak lagi.

"Kenapa kau ingin bertunangan denganku, Kagura-chan?"

"Karena aku sayang dengan Gin-san, sama seperti dengan mami dan papi." Aku terdiam sejenak, tampak berpikir sesuatu. Gin-san masih saja tertawa entah kenapa, aku tidak mengerti sama sekali.

"Atau aku bisa bertunangan dengan Kamui?"

"Kalian bersaudara. Itu tidak bisa, Kagura-chan." Gin-san mencubit pipiku gemas. Hingga aku memgaduh sakit. Kenapa orang-orang suka sekali mencubit pipiku?

"Perasaan sayangmu terhadap kami itu berbeda. Suatu saat kau akan paham sendiri," jelasnya sabar. "Lagipula Gin-sanmu ini sudah memiliki tunangan."

Ia menunjukkan cincin yang melingkar di jari manis tangan kirinya. Aku terperangan melihatnya, cincin itu tampak indah sekali cocok dikenakan olehnya. Ada ukiran di cincin itu. G&T.

"Cincin bisa menjadi salah satu tanda pertunangan seseorang," jelasnya lagi.

"Siapa? Siapa wanita yang Gin-san sayangi?" tanyaku antusias.

Ia tersenyum lalu ia merendahkan wajahnya ke telingaku, berbisik lembut."Guru musikmu."

"Anego?"

"Gin-san mengangguk. Aku terdiam sejenak, lalu kuperhatikan reaksi Gin-san ia tampak berbeda sekali. Wajahnya berseri, terlihat sangat bahagia. Baru pertama kali ini aku melihat Gin-san seperti ini. Apa begitu rasanya bertunangan dengan orang yang kau sayangi?

Aku tidak tahu sama sekali. Dan aku merasa penasaran.

Aku ingin cepat dewasa. Dan merasakan kebahagiaan memiliki tunangan.

"Bagaimana ceritanya Gin-san?" tanyaku lagi dengan penuh semangat.

Gin-san tidak langsung menjawab ia menyingsingkan lengan kemejanya melihat arlojinya yang melingkar gagah di sana. "Bagaimana kalau kita mengobrol di taman saja?"


Okita Sougo.

Aku melangkah terburu-buru menyusuri lorong kediaman keluarga Yato. Rambut dan wajahku terlihat berantakan, perasaan panik menyergap diriku. Sialan danna itu ... Berani-beraninya ia membawa Kagura jauh dari jangkauan pengawasanku. Walau pun Kagura masih berada dalam lingkup rumah ini aku tetap merasa panik kalau ia jauh dalam pengawasanku. Aku tahu ini mungkin terdengar berlebihan. Bahkan tadi ada beberapa maid yang berusaha menenangkanku. Karena pada kenyataannya Sakata Gintoki tentu tidak akan pernah melukai Kagura.

Pria itu sangat menyayangi Kagura.

Tetapi entahlah ... mendapati kenyataan Kagura tidak lagi berada di kamarnya dan lepas dari pengawasanku tanpa kuketahui membuat aku diserang perasaan panik yang berlebihan. Danna telah membawa gadis mungil itu keluar lewat jendela kamar. Sehingga aku yang sedari tadi berada di depan pintu tentu tidak menyadarinya.

"Ahahaha Gin-san wajah memerahmu lucu sekali."

Langkahku terhenti saat mendengar suara tawa di balik pepohonan di taman yang kulewati. Aku bergegas mendekati sumber suara itu. Dan benar saja tampak Kagura bersama danna. Mereka terlihat asyik berbincang.

Aku mendecak kesal, melangkah mendekati mereka.

"Oh hallo Soichiro-kun." Dannalah yang pertama kali menyadari kehadiranku. Ia melambaikan tangannya menyapaku dengan santai. Bersikap tidak menyadari raut kesal di wajahku atau ia memang tidak menyadarinya? Kagura pun menoleh tersenyum manis melihat kehadiranku.

Mengabaikan Kagura yang memperhatikanku aku mencengkram kerah kemeja danna dengan gerakan cepat, menatap tajam pria itu. Melupakan pesan Kamui untuk tidak pernah berbuat kasar bila di hadapan Kagura. Dan juga aku melupakan bagaimana sikapku selama ini bila terhadap danna. Sakata Gintoki adalah satu dari beberapa orang yang kusegani. Danna tampak terkejut atas tindakan yang kulakukan, dan Kagura hanya memperhatikan kami dengan pandangan polosnya.

"Kenapa danna membawanya pergi tanpa pengawasan dariku?" tanyaku tajam.

Pria itu sedikit melebarkan kedua matanya, terkejut dengan pertanyaan yang kuberikan lalu terkekeh pelan, berusaha melepaskan cengkramanku. "Sebelum aku menjawab ada baiknya kau melepaskan cengkramanmu. Kita tidak ingin mencontohkan hal yang tidak baik kepada Kagura-chan bukan?"

Aku tersentak mendengarnya, sudut mataku melirik ke arah Kagura. Gadis mungil itu memandangi kami dengan binar matanya yang kini tampak kebingungan. Perlahan aku melepaskan cengkramanku.

"Soichiro-kun aku tadi hanya mengajaknya ke taman. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kalau aku membawanya keluar dari rumah ini? Sepertinya kau akan membunuhku."

"Danna aku tidak sedang bercanda. Kau tidak tahu? Aku benar-benar merasa panik saat aku sadar Kagura sudah tidak ada di kamar."

"Baiklah baiklah. Maafkan aku. Aku tidak akan mengulanginya lagi."

Danna lalu mengalihkan pandangannya. Tersenyum ke arah Kagura."Lain kali kita akan bercerita lagi Kagura-chan. Saat ini aku harus pulang."

Kagura sempat berseru protes, padahal waktu belajarnya memang sudah habis setengah jam yang lalu. Pria itu lalu pamit pulang. Sebelumnya ia mengatakan kalimat yang tidak kumengerti.

"Hati-hati Soicihiro-kun jangan sampai sikap posesifmu membawa perasaan lain Kagura memang sangat manis. Tapi kau bukan pedofil bukan?"

Aku kembali ke taman keluarga Yato setelah mengantar danna sampai ke gerbang. Kepalau sekarang ini dipenuhi dengan perkataan danna barusan. Aku mendecak kasar, apa-apaan itu? Aku hanya melaksanakan tugasku, sikap posesif yang tadi itu wajar karena aku adalah butler pribadinya. Lalu ... ya tuhan! Mana mungkin aku terarik dengannya. Umurku sudah dua puluh tahun dan ia baru berumur sepuluh tahun.

Aku berhenti mengumpat dalam hati saat aku sampai di taman dan melihat Kagura yang tengah duduk di atas rumpun bunga. Mahkota yang tadi kubuatkan untuknya sudah tersangga anggun di kepala jingganya. Bibir mungilnya bergerak-gerak mengeluarkan senandung indah yang terdengar lucu. Tangan-tangan mungilnya sibuk memetik kuntum bunga.

Tanpa sadar aku tersenyum melihat sosoknya yang sekarang ini. Ia terlihat seperti peri bunga bertubuh mungil yang manis. Kakiku melangkah perlahan, mendekatinya.

"Sadis." Senyumnya tersungging saat melihatku.

Aku membalas senyumnya. "Nona lain kali kalau anda pergi anda harus memberitahuku terlebih dahulu. Meskipun anda pergi bersama Sakata Gintoki sekali pun,"peringatku lembut.

Mana mungkin aku tega memarahi gadis mungil yang semanis ini bukan?

Kagura tertegun sejenak, lalu ia menganggukkan kepalanya dengan patuh. "Maaf kalau aku membuat sadis marah dan kami hanya membicarakan anego, tunangannya Gin-san."

Aku menghela napas melihat wajah bersalahnya. Perlahan aku mengusap-usap puncak kepalanya dengan lembut."Tenang aku tidak marah."

"Sungguh?" tanyanya dengan manik birunya yang tampak berkaca. Sialan ia terlihat semakin menggemaskan.

Aku mengangguk mantap.

Gadis mungil itu lalu tertawa terdengar riang sekali. Ia memeluk lenganku dengan wajah lega, membuat aku mau tidak mau turut tersenyum. Gadis ini ... ia pandai sekali menularkan perasaan senangnya kepada orang lain.

"Sadis ... kemarikan tangan kirimu," perintahnya.

Sedikit heran dengan perintahnya kali ini aku tentu tetap saja mengulurkan tangan kiriku kepadanya. Kagura tampak tersipu sesaat entah karena apa. Ia lalu memakaikan cincin yang terbuat dari jalinan bunga ke jari manisku. Aku mengerutkan kening melihat cincin buatan itu.

"Mulai sekarang kita bertunangan."

"HAH?" Tentu saja aku merasa terkejut bukan main mendengar ucapannya. Tunangan? Apa-apaan itu?Kenapa gadis kecil ini bisa berpikir ke arah sana? Bahkan menunjukku sebagai tunangannya.

"Gin-san bilang tunangan dilakukan bersama seseorang yang kita sayangi dan dekat dengan kita. Aku dekat dengan sadis dan aku juga menyayangi sadis jadi aku mau kita bertunangan," jelasnya panjang lebar. Cara menjelaskannya seperti sikap seorang guru yang sedang mengajari muridnya.

Aku menghela napas menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Ingin rasanya aku menginterogasi danna mengenai apa saja yang telah ia katakan kepada gadis sepolos Kagura.

'Sayang yang ia maksud pastilah bukan sayang sebagai lawan jenis. Ia tentu belum paham akan hal ini.'

"Lalu ..."

Belum hilang rasa terkejutku gadis mungil itu mencium pipiku secara tiba-tiba. Kedua mataku membulat sempurna. Kagura menunjukkan cengiran polosnya saat melihat ekspresi terkejutku.

"Gin-san juga bilang hal biasa mencium pipi tunangannya. Sadis ... saat aku sudah dewasa nanti kita menikah ya."

Baiklah ... sepertinya tidak cukup dengan hanya menginterogasi danna sendirian. Kamui juga harus tahu kalau danna sudah sedikit mengotori pikiran polos Kagura dengan hal sakral tentang pernikahan.

"Nona ... anda harus tumbuh dewasa terlebih dahulu untuk memahami kata-kata anda sendiri."


Okita Sougo.

Seperti dugaanku Kamui terkejut bukan main saat aku menceritakan kejadian hari ini. Ia bahkan memuncratkan kopi yang sedang yang biasanya terlihat kalem sekarang tampak kesal. Ia lalu menyusun rencana bersamaku untuk menemui danna.

"Lalu ... imotou-chan tadi hanya memakaikan cinci buatanmu ke jarimu bukan?" tanya Kamui, dan aku hanya mengangguk."Tidak ada yang lain?'

"Kau tidak percaya padaku? Terserahlah."

Aku tentu tidak mengatakan kepada Kamui kalau Kagura tadi sempat mencium pipiku. Melihat kadar protektif Kamui dan sisi siconnya tentu akan gawat seandainya Kamui tahu Kagura tadi mencium pipiku.

Kamui meghembuskan napas dengan lega. Ia mengambil sekeping biskuit dan memakannya.

"Tapi Sougo, kau hanya menganggap ucapan imotou-chan sebagai angin lalu bukan?"

"Maksudmu?"

"Yah tidak selamanya Kagura menjadi seorang bocah. Seiring waktu ia tentu akan menjadi gadis remaja. Apalagi kontrakmu bekerja disini itu selama beberapa tahun. Kau akan terus berada disisinya selama masa pertumbuhannya."

Aku tergelak mendengar ucapan Kamui. Aku lalu menatap pria itu dengan pandangan meremehkan. "Dengar mustahil aku tertarik dengan perempuan yang jarak umurnya jauh denganku."

Kamui menatapku tidak percaya. Tapi ia tetap membalas ucapanku. "Baiklah kupegang kata-katamu."

Aku tersenyum kecut. Tapi ... kenapa aku merasa ragu sendiri dengan ucapanku? Dengan bingung aku memperhatikan cincin buatan yang diberikan Kagura kepadaku. Cincin itu mulai layu.

Tentu saja, itu terbuat dari bunga.

'Konyol.'

_TBC_