Merah.
Warna matanya merah.
Bukan merah lekat seperti darah atau merona pudar seperti batu rubi. Shade-nya ada di antara Jasper, Sunstone dan Carnelian. Mata itu tampak penuh martabat. Terpancar bahwa sang pemilik manik indah itu adalah orang yang berkepribadian tangguh. Karena warnanya yang jarang, manik indah itu terlihat menawan sekaligus membius hanya karena keindahannya.
Shoto tahu, memandangi orang asing itu tidak sopan.
Tetapi, kalau bukan orang asing lagi harusnya tidak apa-apa, kan?
Fajrikyoya, proudly present:
FROST BURNING
Rate: M
Pair: mostly Bakutodo/Todobaku. Might be branching.
Disclaimer: Boku no Hero Academia © -sensei. This fanfiction is purely mine.
Warning: AU. Absolutely OOC. Abal. Alay. Receh. Typo(s). Tidak mengikuti Kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dapat mengandung istilah kurang penjelasan yang mungkin saja disalah-artikan secara tidak sengaja. Roller coaster plot. Dapat menyebabkan gumoh, kesal, gregetan dan kejang berkelanjutan. You have been warned. Further read will become your own risk.
Shoto seringkali melihat pemuda bermata Jasper itu di kereta, setiap berangkat kerja.
Ia pasti pakai headset, sibuk dengan ponselnya. Berdiri dengan punggung bertumpu pada tiang besi bangku kereta. Awalnya tentu saja, Shoto tidak begitu menggubris keberadaan pemuda itu. Lalu, setelah sekitar 4 atau lima kali berada dalam satu kereta yang sama, Shoto mulai tertarik untuk mempelajari gelagat dan perawakan pemuda itu.
Rambutnya jabrik, pirang kusam. Shoto pernah sekali melihat pemuda itu berpegangan pada tiang. Jemarinya bergerak dalam ritmik tertentu, seperti seakan-akan ia tengah memainkan kunci nada dari lagu yang ia dengar. Pakaiannya sederhana, cenderung terlalu cuek. Mungkin usianya masih belasan—paling tua 20 tahun sepertinya kalau dilihat dari bagaimana gayanya bepakaian. Ia selalu naik kereta pagi dari Kamino ke Hosu. Ia akan turun di Hosu, sementara Shoto turun 2 stasiun setelahnya. Kadangkala, ia melihat pemuda itu di stasiun Hosu, pernah juga beberapa kali mereka tidak satu gerbong. Pernah juga Shoto tidak melihat lagi wajah pemuda itu, bahkan ia hampir lupa. Lalu sekonyong-konyong, ia melihatnya lagi.
Begitu saja terus siklusnya.
Shoto pernah menceritakan perihal pemuda itu kepada teman kerjanya, Midoriya Izuku. Berbeda dengan dirinya yang kaku dan dingin seperti balok es, Midoriya adalah pria ramah berperawakan kecil yang disukai semua perempuan karena parasnya yang kawaii. Teman kerjanya itu selalu saja punya jawaban atas pertanyaan aneh-aneh.
"Gimana, ya..." Midoriya menyesap kopinya yang selalu terasa aneh—espresso double yang terlalu banyak bubuhan gula merah dan kayu manis bubuk. "Mungkin karena kau sering bertemu dengannya, jadinya hal itu membuatmu penasaran. Mau warna matanya kayak apapun. Wajahnya familiar. Tapi kau tidak kenal dia. Itu reaksi yang wajar, Sho-chan."
Sudut mata Shoto berkerut. Ia tidak suka panggilan itu. Midoriya merenggangkan jemarinya dan kembali berkutat dengan laptop, mengerjakan proyek yang mengontraknya akhir-akhir ini. "Ah, temanku ada yang mau janjian ditattoo olehmu. Kalau pakai desain sendiri bisa diskon, nggak?"
"Tergantung." Jawab Shoto apa adanya. "Aku harus ketemu orangnya. Menyentuh jenis kulitnya. Lalu mencocokkan desainnya."
"Sasuga pro." Midoriya tertawa kenes. "Nanti kukirimkan kontaknya."
Shoto mengangguk singkat. Ia menyeruput minumannya dengan raut wajah tidak senang. Si kasir perempuan itu bilang kalau thai tea shaken latte rasanya segar dan dapat menaikkan mood. Kenyataannya, minuman yang hampir seharga 900 yen itu terasa seperti susu kental manis berbau vanilla dan jasmine. Nyaris tidak ada bedanya dengan produk waralaba bubble tea di stasiun yang harganya 260 yen. Midoriya dan Shoto, beserta Monoma, Shinso, Yaoyorozu dan Hatsume bekerja di sebuah art firm bernama Columbrayang melayani jasa desain, percetakan dan multimedia grafis. Midoriya memilih memfokuskan dirinya di bidang advertising. Sementara Yaoyorozu dan Hatsume bekerja sama di desain produk kemasan dan konveksi. Shinso adalah manager mereka yang pendiam dan tidak punya banyak pengaruh selain menerima tawaran pekerjaan dan menggaji mereka semua. Monoma adalah fotografer freelance yang sering terlibat kontrak per kampanye dengan media cetak. Shoto sendiri memang seorang artist yang tugasnya lebih fleksibel. Ia membantu pekerjaan semua orang di Columbra, baik dalam proses pengerjaan desain dan negosiasi dengan klien. Sempat menetap selama 6 tahun di Amerika membuat Shoto memiliki skill baru—yakni tattoo art. Dengan setengah hati, ia bekerjasama dengan klinik tattoo milik seorang laki-laki menyebalkan bernama Dabi karena pria bertindik itu memiliki peralatan dan fasilitas yang bahkan lebih terawat dibanding waktu Shoto memulai debutnya di Amerika. Shoto juga menerima jasa desain interior.
"Kayak apa mukanya? Coba gambar."
Shoto menyalakan tab miliknya dan mulai menggambar menggunakan pena digital. Ia menggambar pemuda bermata Jasper itu sebatas pundaknya saja. Rambutnya yang jabrik pirang kusam itu juga ia goreskan dengan detail. Midoriya yang melihat hasilnya hanya mengangguk-angguk.
"Kakkoii..." Midoriya bergumam. "Pantesan Sho-chan ngomongin dia terus. Anak ini tampangnya oke."
"Sonna..." Todoroki berjengit. "Aku nggak bilang begitu! Dan lagi, aku bukan homo."
"Kau menolak Yaoyorozu terang-terangan bulan lalu. Monoma punya teori kalau kau memang belok."
"Kalaupun dia memang cantik, kalau aku nggak suka mau bagaimana? Cinta itu nggak cuma masalah tampang." Todoroki membela diri.
"Kalau kau penasaran, coba saja hampiri dia. Ajak kenalan." Balas Midoriya. Ia meneguk habis kopinya, lalu memesan segelas lagi. "Siapa tahu kalian bisa berteman."
"Bukankah aku terlalu tua untuk berteman dengannya?"
Midoriya tertawa terbahak-bahak. Bahunya berguncang. Kacamata bulatnya bahkan sampai melorot. Todoroki memberengut. Setelah si rambut hijau itu meredakan tawanya, ia menghela nafas dan kembali berujar.
"Umur 26 itu tidak tua. Dan lagi, memangnya dia anak SMP sampai kau bisa bilang begitu?"
Wajah Todoroki masih belum cerah. Midoriya mengucapkan terima kasih pada pramusaji yang mengantarkan kopinya. Racikan ajaib itu kembali tercipta. Todoroki hanya mengerenyit jijik melihat teman kerjanya itu meminum kopinya dengan nikmat.
Pada akhirnya obrolannya dengan Midoriya tempo hari hanya menjadi wacana FOREVER. Shoto tidak punya alasan untuk berkenalan dengan pemuda itu. Tidak mungkin juga ia menghampirinya dengan gamblang dengan mengatakan 'hai, aku suka sekali dengan matamu. Ayo kita kenalan. Namaku Todoroki Shoto, biasa dipanggil Sho-chan biar kawaii'. Tidak, tentu saja tidak! Tentu saja sangat menjijikkan dan mencurigakan. Jadi, balok es berbentuk manusia bernama Todoroki Shoto itu hanya bisa berdiam diri, membungkam rasa penasaran dan memilih tidak memperdengarkan keinginan jahil untuk men-stalking pemuda itu.
BIIIIP BIIIIP
"Moshi-moshi..." jawab Shoto kepada seseorang di sebrang telepon.
"Yo, Todo-san. Masih ingat aku! Sero! Sero Hanta yang pernah minta dibuatkan desain kamar."
"Hai. Ada perlu apa, Sero-san?"
"Aku sudah janji ingin menghubungimu pada temanku. Ia juga ingin dibuatkan desain ruangan. Tetapi ruang tengah. Harus ada kolam di tengahnya. Pakai kaca atau apalah, supaya ada efek ia berjalan diatas air tanpa harus basah."
Shoto diam sejenak. "Aku nggak janji. Sero-san bisa berikan kontak temanmu padaku. Aku harus ngobrol sama yang punya proyek sama harus lihat medan yang bakal kurombak."
"Siap. Apa kira-kira Todo-san bisa mengatasi soal pengadaan barang juga? Temanku agak nyusahin. Aku kurang paham soal pembangunan akuarium."
Shoto berjalan keluar kereta sambil menggepit sebuah map besar di lengan kiri, sebuah sling bag berat berisi tab dan beberapa barang pribadi. Temannya si Sero Hanta ini intinya ingin dibuatkan indoor aquarium dengan lighting dramatis di lantai tengah rumahnya. Dari penjelasan Sero, Shoto sudah mulai bisa membayangkan seperti apa selera si temannya ini. soal akuarium ia juga awam. Namun nampaknya perusahaan konstruksi bisa diajak bicara mengenai hal ini.
BRUK!
"Todo-san? Halo? Kok diam?"
Pandangannya menggelap, lalu perlahan berbayang kembali membentuk pemandangan yang berbeda. Kepalanya berdenging, dan Shoto yakin dadanya menyentuh lantai. Sungguh tolol, ia berjalan sambil menelpon tanpa memperhatikan jalan dan terjerembab dengan cara paling memalukan dan menyakitkan. Ponselnya terlempar, masih dalam keadaan menyala. Beberapa orang yang melihat refleks mendekat. Beberapa hanya berkerumun, namun ada juga yang dengan simpatik menghampiri Shoto dan membangunkannya. Matanya sempat berputar-putar sejenak sebelum pandangannya kembali jelas. Shoto dengan panik meraih kembali ponselnya dan mematikan sambungan teleponnya dengan Sero. Ia merasa hidungnya sakit dan mulutnya asin. Dan tepat, ia mimisan. Map berisi desain gambarnya turut terhempas. Isinya berantakan. Shoto yang limbung dengan hidung berdarah memunguti kertas-kertas desainnya seperti orang idiot dan terhenyak di lantai.
"Pak? Anda baik-baik saja?"
Seorang polisi menjegal ketiak Shoto dan membawanya ke bangku terdekat. Ia didudukkan dengan posisi bersandar, lalu polisi itu memeriksa keadaan Shoto. Lelaki berambut nyentrik ini merogoh kantongnya dan menjejalkan segumpal saputangan di hidungnya. Ia mengerang pelan. Rasanya sakit luar biasa hingga seluruh mukanya terasa kebas.
"Tampaknya ada cedera di hidung Anda, Pak. Sebentar, saya panggilkan tim medis stasiun."
Shoto mengangguk pelan. Polisi itu berbicara di radionya, dan 10 menit kemudian datang 3 orang tim medis dengan sebuah kursi roda. Shoto dibawa di klinik rumah sakit. Posisi jatuhnya kedepan, membuat benturannya langsung berimbas pada wajah. Shoto melihat dari pantulan kaca bahwa bagian hidungnya berubah menjadi ungu. Setelah pemeriksaan dan pertolongan pertama, Shoto merasa sedikit lebih baik. Dokternya bilang ia beruntung, bahwa hidungnya tidak patah karena benturan sekeras tadi. Shoto diberi obat penghilang sakit dan diperbolehkan meninggalkan klinik jika sudah merasa baikan. Pihak medis juga menawarkan rujukan ke rumah sakit jika kondisinya memburuk.
Todoroki Shoto baru keluar dari klinik ketika hari sudah lumayan larut.
Ia berbaring dan tertidur selama dua jam sampai akhirnya terbangun. Setelah mengucapkan terima kasih, Shoto berjalan keluar dengan langkah perlahan. Hidungnya ditempel plester besar, dan rasanya sangat tidak nyaman.
"Hoy, chotto!"
Shoto mengecek ponselnya. Midoriya mengirimkan 2 pesan, urusan pribadi bodoh mengenai apakah lebih bagus pakai kemeja polos dengan lengan digulung biar kelihatan macho atau sweater kebesaran biar kelihatan kawaii karena ia ingin jalan dengan pacarnya malam ini.
"Hoy chotto matte! Hanbun-yaro!"
Hah?
Panggilan macam apa itu?!
Shoto tahu, bahwa rambutnya yang nyentrik itu pasti akan jadi viral. Ia tidak sedikit menerima hujatan dan kritik dan juga komentar lain yang lebih banyak tidak enaknya. Namun, baru kali ini ia dipanggil hanbun-yaro alias si bajingan setengah-setengah. Selain karena kasar, panggilan itu melukai harga dirinya.
"Teme!" desisnya kesal.
Ketika berbalik, Todoroki Shoto terperanjat. Ia merasa waktunya berhenti selama sepersekian detik.
Pemuda itu.
Pemuda berambut pirang kusam dengan iris seindah batu Jasper menyodorkannya map kertas desain Shoto, berikut beberapa lembar yang nampaknya tidak sengaja ikut terhempas saat insiden tadi.
"Aku mau mengembalikannya padamu. Tapi dihadang polisi yang tadi. Jadi aku menunggu." Ungkapnya. Suaranya retak dan lirih. Sulit benar-benar memahami apa yang dia katakan.
"Saat kau pergi, aku lengah. Saat aku mau mengejarmu, si suster itu bilang kau meninggalkan ini. Dan aku bilang kalau aku akan mengejarmu." Lanjut pemuda itu.
Shoto menerima mapnya. Ia memandang map, tangan pemuda itu dan wajahnya secara bergantian. Nada bicaranya ketus, namun ia melakukan tindakan baik. Sangat kontradiktif.
"Kenapa?" tanya Shoto, setengah tidak percaya. "Kenapa kau susah-susah memungut gambarku dan mengejarku? Aku hampir dua jam lewat tidur di klinik."
"Iya. Kau tidak bangun-bangun sampai kupikir kau sudah mati."
"Itu tidak menjawab pertanyaanku."
Pemuda itu menjejalkan tangannya ke dalam saku jaket. Ia mendengus kesal.
"Aku nggak tahu apa kerjaanmu, dan seberapa penting gambar itu untukmu. Tetapi, aku suka gambar itu. Terlihat bukan pekerjaan amatiran. Jadi, kupikir kau akan bunuh diri kalau benda itu hilang."
"Bunuh diri atau tidak juga bukan urusanmu." Balas Shoto gamblang. "Tapi, yah. Benda ini memang penting. Arigatou."
"Hnn."
Pemuda itu berbalik dan pergi begitu saja.
"Matte!"
Pemuda itu menoleh enggan saat Shoto berseru, setengah berteriak.
"Nama..." katanya. "Siapa namamu?"
Pemuda beriris Jasper itu sempat memicing, sebelum akhirnya ia menggedikkan bahunya dengan acuh. "Bakugo."
"Bakugo-kun..." Shoto termenung sejenak. "Bagaimana kalau kutraktir sesuatu sebelum pulang?"
Chapter 1 done.
Minna, kembali lagi dengan saya fajrkyoya! Sebenarnya ini fic yang udah lama ada di kepala, tapi baru bisa direalisasikan sekarang. Anyway, jangan tanya fic-fic berdebu di fandom-fandom lain. Selain saya mager, saya nggak ada waktu bikinnya karena sekarang udah kerja #dilindes
But relax, saat ada waktu saya akan mencoba melanjutkan apa yang sudah saya mulai. Dan fanfic ini bertemakan pair yaoi favoritku di BNHA. Penasaran lanjutannya kek apa? Ditunggu aja updatenannya ya. jangan lupa review ya minna. Byebye~~~~
