Asap kelabu masih teringat jelas diingatanku, hangatnya api masih membekas di wajahku—merah menyala, melalap semua yang bisa dihanguskan, awan hitam membumbung tinggi di langit saja. Kemudian hujan turun deras bersamaan dengan selesainya proses kremasi nenek pemilik apartemen yang kutinggali sampai saat ini. Para pelayat berbaju hitam berduyun-duyun memasuki rumah duka, duduk bersila menatap altar penghormatan bagi nenek pemilik apartemen. Bergantian, berdoa juga menangis dirundung duka.

Aku di sini, di hadapan foto nenek pemilik apartemen yang diberi pita hitam tanda kalau dirinya telah tiada. Bersimpuh dengan kedua kaki dilipat, kemudian membungkuk agak dalam, hampir menyentuhkan ujung hidungku ke lantai. Berusaha memberi penghoramatan terakhir untuk wanita yang telah tiada. Tak ada tangis, tak ada air mata. Hanya duka mendalam yang kuwujudkan dengan penghormatan padanya.

Yeah… walaupun demikian… walaupun aku sama sekali tak berhubungan darah dengan beliau, namun nenek telah kuanggap sebagai orang tuaku sendiri karena aku tinggal sendirian di kota besar Konoha. Dan kematiannya membuatku sedih. Amat sedih hingga aku tak ingin meninggalkan air mata barang setitik pun. Tak ingin memperlihatkan kalau aku begitu lemah di hadapan nenek yang telah tiada.

Aku berdiri, kemudian berbalik dan saat itu… aku cukup terkejut melihat iris jade itu menatap ke dalam mataku dengan intens bersamaan air mata yang perlahan meluap di sudut matanya. Kemudian dengan cepat dia mengusap matanya sambil menggumam, 'mendokusai' atau sejenisnya lalu membungkuk sekali padaku. Otomatis aku membalas sapaannya dengan ikut membungkuk ke arahnya.

"Anda salah seorang yang tinggal di apartemen nenek?" Baritonnya mengagetkanku, yeah… cukup untuk membuatku menggaruk rambut pirangku yang tak gatal sambil mengangguk janggal, "Perkenalkan…," dan dapat kudengar kalau pria itu menghembuskan napas sambil mendumel layaknya perkenalan ini adalah sebuah pekerjaan yang merepotkan.

"Ah… mari skip intro tidak pentingnya," lanjut pria dengan surai kemerahan dengan tato aneh di keningnya yang kemudian menjulurkan lengannya ke arahku, "Aku cucu nenek pemilik apartemen di tempat tinggalmu sekarang, Gaara Sabaku, dan mulai saat ini apartemen tersebut dibawah kepemilikanku."

"O—oh… pemilik baru, ya," aku tersenyum sekilas kemudian menyambut uluran tangannya, "kalau kau cucu Nenek Chiyo sepertinya aku tak perlu khawatir untuk ke depannya," terkekeh sejenak sebelum melepaskan genggaman tanganku, "apartemen tersebut sudah seperti rumahku sendiri jadi aku amat senang kalau apartemen itu diurus oleh or—"

"Dan aku akan menjual apartemen itu dalam waktu enam bulan dari sekarang, permisi." Tanpa menunggu aku selesai bicara, pria bermarga Sabaku itu langsung membungkuk lagi lalu berbalik tanpa mengatakan apapun setelahnya. Dan aku di sini dengan mulut setengah terbuka dan kata-kata yang masih tertinggal di ujung lidahku. Membeku seperti baru saja disihir jadi patung.

HEEEEHHH? APA-APAAN DIA?!


.

.

Mangaka-kun to Karinin-san © Me

Naruto © Masashi Kishimoto

Enjoy, RnR yah ^^~

.

.


Biru gelap dengan aksen oranye kemerahan mulai merambat perlahan di angkasa, menandakan waktu berjaya matahari sebentar lagi akan usai dan mungkin akan digantikan oleh rembulan. Suara bising mobil sahut menyahut di daerah ini. Jam-jam sibuk pulang kerja, bising tak tertandingi, membuatku kadang ingin punya kekuatan mistis untuk membuat semua klakson kendaraan bermotor itu lenyap untuk beberapa saat agar ketenanganku kembali. Di sini aku duduk sendirian, di dalam sebuah café yang lumayan besar namun nampak sepi pengunjung sore ini. Lumayanlah sedikit ketenangan bisa kudapat walaupun di luar sana bisingnya minta ampun.

Awan di langit terlihat seperti gula-gula kapas pink ke merahan yang menggumpal, nampak indah dengan latar belakang bulatan matahari yang hampir tenggelam dari penglihatanku. Belum, matahari belum tenggelam sepenuhnya, hanya saja pandanganku terhalangi oleh sebuah gedung pencakar langit yang di depan café ini.

Hah… bising. Suasana kota belakangan ini membuatku tak nyaman. Aku kangen rumah ku di desa, namun apa boleh buat, demi menghidupi keluargaku di sana aku harus bertahan dengan stress kota besar yang memberikan tekanan berlebih.

"Hah…,"

Aku Naruto Uzumaki. Dua puluh lima tahun, mangaka pemula dengan pengalaman minim, tahun ini memulai debutku sebagai Shoujo Mangaka. Mengeluh pun tak ada gunanya, walaupun aku hampir tak pernah membaca serial cantik selama hidupku, namun karena penerbit dan editorku bilang kalau tipe gambarku ini adalah tipe yang bakal laris di dunia Shoujo Manga, jadi sekarang… aku berakhir di tempat ini. Di café tempatku biasa brainstorming mencari ide baru.

Namun ide yang muncul di kepalaku malah adegan action, bunuh-bunuhan, misteri, dan lain sebagainya yang lebih menyimpang ke arah Manga Shounen.

Ah… dunia.

Sejak kecil aku ingin sekali menjadi mangaka dengan spesifikasi shounen yang bisa menerbitkan komik di majalah mingguan. Namun sayangnya impian hanya tinggal impian. Yeah, aku tak bisa terus terpuruk dalam ketidak berdayaanku dalam membuat manga shoujo karena aku juga perlu uang untuk menyambung hidup. Selama lima tahun terakhir ini aku mengabdikan diri menjadi asisten seorang shounen mangaka dan bisa hidup di kota ini walau dengan pas-pasan. Namun sekarang aku berdiri sendiri, membuat mangaku sendiri, dan hal ini cukup berat untuk pemula sepertiku.

Menjadi mangaka itu merupakan pekerjaan yang tidak mudah.

"Argghhh!" Kucoret-coret naskah yang sudah kutulis semalam suntuk sambil baca lusinan manga shoujo, namun tetap saja aku tak bisa membuat cerita cinta yang khas cewek. Walaupun menurut editorku, untuk menerbitkan cerita perdana aku hanya perlu membuat cerita cinta klise untuk remaja cewek. Namun tetap saja, yang ada dipikiranku malah pemeran utama cewek berotot dengan kekuatan super power.

Hah…

Aku benar-benar tak ada harapan, kalau begini terus aku tak akan bisa dapat bayaran… terlebih enam bulan lagi aku harus pindah ke apartemen lain.

"AHHH!" Kuacak-acak rambutku yang sudah berdiri seperti durian dengan gemas ketika teringat perkataan Gaara Sabaku yang mulai sekarang menjadi Karinin (pemilik apartemen) di apartemen tempatku tinggal. Padahal apartemen yang kutempati sekarang adalah apartemen yang benar-benar enak, murah, lingkungannya menyenangkan karena para tetangga yang ramah, dan dekat dari mana-mana. Ugh… aku harus cepat-cepat menulis manga kalau tak mau tinggal di jalanan.

"Kenapa aku disuruh membuat cerita cinta… padahal pacaran pun belum pernah…," menggerutu, kemudian menempelkan pipiku di lembaran naskah yang hancur lebur. Perlahan kelopak mataku makin berat. Dan ketika kubuka kembali kelopak mataku secara perlahan, langit senja berbuah menjadi kelam, lampu jalan sudah menyala, dan gedung pencakar langit benderang dengan megahnya.

Ah… sudah berapa jam aku tertidur di café ini?


.

.

Sepertinya aku berhalusinasi, atau memang di langit terdengar suara gagak berkoak? Nampaknya tingkat stress-ku sudah terlalu tinggi hingga tak dapat membedakan suara-suara di sekitar. Jalanan penuh kendaraan, lampu-lampu kendaraan bermotor menyala seperti kunang-kunang di mataku. Ah… pandanganku pun mulai buruk. Ada apa dengan tubuhku akhir-akhir ini?

Kutelusuri gang yang merupakan jalan pintas menuju apartemenku, setidaknya sekarang bising kendaraan di jalan utama tak begitu terdengar dan digantikan dengan suara jangkrik juga serangga-serangga lain yang memulai ronda malamnya. Berjalan dengan agak terseok, aku keluar dari jalan gang menuju jalan kompleks perumahan yang minim dilewati kendaraan. Lampu jalan bersinar kekuningan, ada yang mati, ada pula yang berkedip-kedip genit karena sudah waktunya diganti dengan lampu baru. Kucing-kucing saling kejar di atas pagar rumah seseorang, sepertinya mau kawin atau semacamnya, dan kenapa aku harus repot-repot mengurusi hal seperti kucing kawin?

Aku mendongak sedikit ke atas dan atap apartemenku sudah mulai kelihatan. Aroma kari nenek Chiyo mulai tercium dari jarak sejauh ini. Ah… membuat lambungku memulai aksi orkestranya padahal tadi aku sudah makan camilan di café.

Tapi masakan Nenek Chiyo memang yang terbaik…

Tunggu dulu… nenek Chiyo kan sudah meninggal.

Aku berhenti mendadak kemudian mengendus-endus udara, mencoba mengklarifikasi. Namun aroma ini… tidak salah lagi ini adalah aroma khas kari dahsyat yang buatan nenek Chiyo. Aku yakin seratus persen, aku bisa membedakannya dengan aroma masakan penghuni apartemen yang lain atau masakan dari tetangga. Soalnya sudah lima tahun aku tinggal di sini dan aku sudah hafal dengan aroma masakan nenek Chiyo.

Tapi… ini tak mungkin terjadi kan? Masa iya yang memasak itu roh nenek Chiyo. Menurut mitos, 49 hari setelah seseorang meninggal rohnya masih beredar di dunia. Mendadak, bulu romaku berdiri semua hingga angin sepoi yang berhembus membelai tengkukku terasa amat menakutkan.

Kutepuk-tepuk pipiku kuat-kuat hingga aku yakin akan meninggalkan bekas memerah di sana. Kemudian kulanjutkan langkahku dengan perlahan tanpa berani menarik napas terlalu panjang, tak mau terlalu sering mencium aroma kari Nenek Chiyo yang menguar seperti parfum tumpah.

"Gaara! Dengarkan perkataanku!"

Ngek!

Hampir saja aku terperanjat sambil berteriak karena suara hardikan itu datang secara mendadak, serasa aku yang dihardik jadinya. Uh, siapa tadi yang dihardik? Gaara? Asal suaranya dari tikungan menuju apartemen…

Mendadak rasa penasaranku timbul. Yeah… tak ada dosanya juga kan kalau mengintip sedikit perbincangan itu, toh salah sendiri bicara di tempat umum. Aku menempelkan punggungku ke tembok kemudian dengan perlahan mengintip dari tikungan secara hati-hati agar tak terlihat. Lalu di sana, ada dua orang tengah beradu argumen. Yeah, sudah kuduga salah satu diantara mereka adalah Gaara Sabaku. Hm… satu orang yang lain sama sekali tidak kukenal, bukan dari daerah sini, sepertinya.

"Urusan kita sudah selesai, Kiba-senpai," Gaara menepis tangan pria yang dipanggil Kiba olehnya, "nah, maafkan ketidak sopananku, tapi aku ada urusan lain."

"Kubilang tunggu! Lihat mataku, Gaara! Jawab dengan jujur, apa kau punya seseorang sekarang, hah?!"

Namun nampaknya pria yang bernama Kiba tersebut sama sekali tak punya intensi untuk melepaskan Gaara semudah itu. Sekarang dia menarik lengan Gaara dengan begitu kuat, bahkan aku yang mengintip dari jarak yang cukup jauh ini pun seakan dapat merasakan rasa sakit hanya dengan melihat ekspresi wajah Gaara yang terlihat meringis. Aku tak tahu harus berbuat apa, namun aku ingin melihat lebih jelas. Maka dari itu kujulurkan sedikit lagi kepalaku ke depan dengan kedua tangan bertumpu pada tutup tong sampah yang mulai bergetar tak seimbang.

"Lepaskan tanganku, Kiba-senpai!"

"Tak akan! Aku akan membuat jelas masalah ini sekarang juga, masuk ke mobil sekarang!"

Uwahhh… aku yang mengintip ini pun merasa agak tegang melihat adegan tarik-tarikan dari kedua pria dewasa itu. Tingkah mereka sekarang seperti anak kecil, terlebih pria yang bernama Kiba tadi.

"Kubilang lepaskan! Tanganku sakit!"

Dan yang kutahu selanjutnya adalah aku terkejut ketika melihat Gaara menendang pria bernama Kiba itu hingga tersungkur di jalan dan diriku yang terjengkang ke depan gara-gara tempat sampah yang menjadi tumpuanku oleng gara-gara tubuhku yang tidak seimbang. Hingga keributan kecil tempat sampah yang tumpah ini menarik perhatian dua orang yang tengah bertikai itu.

Ah… mampus!

Tertangkap basah ngintip pertengkaran mereka. Awawawa… bagaimana ini…

"Ahaha… ettoo… aku sedang mencari kucingku yang hilang…," ucapku sambil cengengesan.

ALASAN TOLOL MACAM APA YANG KAU UCAPKAN, NARUTO!

Aku bergidik, rasanya seperti dimarahi oleh inner-ku sendiri.

Kedua orang itu masih terdiam sambil menatapku dengan tajam. Aku hanya bisa beringsut mundur sambil cengengesan kikuk sampai punggungku menabrak tong sampah lain yang kemudian menimbulkan keributan babak dua.

"Cih, kita lanjutkan nanti, Gaara," pria bernama Kiba itu kemudian beranjak pergi dan aku pun merasa amat lega, namun sesaat sebelum pria itu masuk ke dalam mobilnya, dapat kurasakan aura membunuh dari tatapan sinisnya yang diarahkan padaku, seakan aku telah menghancurkan rencana sempurnanya.

Aku masih terduduk di jalan ketika mobil itu telah berlalu dan hilang dari pandangan. Dadaku masih berdebar dengan kencang karena kejadian tadi benar-benar memacu adrenalin—terlebih ketika ditatap sinis oleh pria yang sudah pergi itu. Hii… seperti kata istilah: Rasa penasaran bisa membunuhmu. Dan hal itu terjadi padaku sekarang.

Stareeeee…

Aku merasa ditatap lekat-lekat. Perlahan kutelengkan kepalaku ke arah Gaara, agak tersendat-sendat seakan leherku mendadak berubah menjadi leher robot karatan. Lalu saat tatapan kami bertemu, aku hanya menunjukkan senyum tiga jariku yang biasa sambil garuk-garuk pipi namun sayangnya pria yang kini menjadi pemilik apartemen tempatku tinggal itu tak memberi reaksi apapun. Dia hanya menatapku, dengan intens.

"A—ano ne Karinin-san, maaf… aku tak sengaja mendengar…," dan akhirnya aku mengakui kejahatanku setidaknya aku bilang kau aku tak sengaja, padahal jelas-jelas aku sengaja nguping, tapi tentunya aku tak mungkin bilang begitu, kan?

"Tak apa," ujarnya singkat dengan nada yang amat datar, hingga aku sangsi kalau Gaara Sabaku ini tengah menyembunyikan rasa marahnya atau memang benar-benar tak marah sama sekali, "baru pulang?" Ucapnya kemudian mendekatiku sambil mengulurkan tangannya padaku, butuh beberapa jenak untuk membuatku menyambut uluran tangannya. Aku segera berdiri kemudian menepuk kedua tangan dan bokongku karena kotor terkena debu jalan.

"Sudah makan?" Tanyanya tanpa adanya perubahan nada dari yang sebelumnya.

"Eem," gumamku pelan sambil mengangguk sekali, "Err… tapi sepertinya di dalam ada yang masak kari, ya," ujarku mendadak ingat karena aroma kari Nenek Chiyo kembali tercium, kemudian tubuhku kembali merinding.

"Oh, itu aku yang masak," jawab Gaara sambil membuka pagar apartemen dan gestur tubuhnya seakan mempersialakan aku masuk ke dalam terlebih dahulu. Err… sopan sekali, sama sekali tak mirip dengan Gaara yang kutemui pertama kali di rumah duka. Eh, tunggu dulu… tadi dia bilang kalau dia yang masak kari itu? Aku menelengkan kepala ke arah Gaara dengan tatapan bertanya dan seakan mengerti, pemilik apartemen yang baru itu menjawab.

"Aku sering makan masakan Nenek Chiyo dan diajarinya masak sejak kecil, lalu sebelum aku jadi Karinin tempat ini aku tinggal sendirian jadi aku bisa masak sedikit-sedikit," ucapnya panjang lebar, dan setelah mengucapkan itu Gaara nampak kelelahan. Ehhh, nggak mungkin kan hanya karena mengucapkan kalimat yang cukup panjang dia jadi capai?

"O—oh, pantas… kukira roh Nenek Chiyo yang memasak," ucapku sambil merinding.

"Jangan membicarakan orang yang sudah meninggal seperti itu," ucap Gaara sambil mementungkan sendok pengaduk ke kepalaku. Eh… jadi sedari tadi dia bawa sendok itu kemana-mana? Bahkan saat dia bertengkar dengan pria bernama Kiba tadi? Ah… omong-omong aku jadi agak penasaran dengan orang tadi. Perbincangan antara Gaara dan Kiba tadi nampak bukan seperti pertikaian biasa, lebih mirip ke arah pertengkaran sepasang keka—ah tapi tidak mungkin.

Namun aku masih penasaran, walaupun aku harusnya belajar dari pengalaman sebelumnya. Ingat, rasa penasaran bisa membunuhmu. Tapi kata-kata diujung lidahnya seperti meluncur begitu saja.

"Karinin-san, maaf kalau aku lancang, tapi… tadi itu siapa?"

Gaara berhenti melangkah tepat di depan pintu apartemen lengannya hendak menarik gagang pintu, namun dirinya seperti membeku.

"A—ano ne, maaf tidak usah dijawa—,"

"Dia senpai-ku di universitas dulu," jawabnya langsung memotong ucapanku dan aku langsung bungkam, "dia punya sedikit urusan denganku… orang menyebalkan itu… sigh."

"O—oh…,"

"Kau tadi pasti lihat kan kelakuannya?"

Bulls eye. Seperti kena tembak di kepala, kata-kata Gaara barusan seakan mengonformasi kalau dia tahu aku nguping pertikaian mereka.

"Erm… iya, sedikit," tidak bisa dibilang sedikit, sih, tapi masa mau bilang 'Ah iya tadi aku lihat semuanya, Kiba itu agak brengsek, ya?' itu sih cari mati namanya.

"Dia memang begitu... bahkan dari awal kami jadian."

"Oh… dia pacar yang posesif, ya?" Tanyaku spontan, namun kemudian aku ikut membatu setelah mengucapkan kata itu. Apa tadi yang kuucapkan? 'Pacar'? Hah? Apa aku keceplosan mengucapkan sesuatu yang salah? Namun ketika kulihat ke dalam iris jade milik Gaara, dapat kupastikan kalau ucapanku sama sekali tidak melenceng.

"Ya, dia mantanku."

"E—eh?"

.

.

.

"Aku homo," ucapnya santai seakan kata itu adalah kata biasa yang sering dipakai sehari-hari, "ah… aku tak bermaksud terlalu jujur, tapi kau sudah terlanjur lihat tadi," lanjutnya kemudian memutar gagang pintu dan sekali lagi dia memberikan gestur tubuh mempersilakan aku masuk duluan ke dalam apartemen.

"Namun, aku akan senang kalau kau menjaga ini dari penghuni apartemen lain," lanjutnya lagi sedangkan aku hanya bisa jalan dengan tatapan lurus ke depan. "Rahasia kita," ucapannya yang terakhir membuatku sedikit merinding, namun kulihat dia tersenyum samar sebelum menutup pintu. Seakan ekspresinya berkata 'kumohon, jaga rahasia ya'. Dan aku hanya mengangguk sekali.

Setidaknya aku bisa menyimpan rahasia ini, toh kami hanya akan bertemu selama enam bulan ini saja. Lagipula…

Perlahan kutolehkan ke belakang melihat Gaara yang tertunduk dan berjalan perlahan mengikutiku.

Yeah, lagipula… aku tak melihat ada yang salah dengan Gaara.

"Ini rahasia kita, kan?" Ucapku pelan bersamaan dengan Gaara mendongakkan kepalanya dan lagi-lagi jade itu menatap ke arah mataku kemudian dia mengangguk, pelan tanpa suara.

Fuh…

"Kau mau janji yang lebih kuat?" Ucapku dengan agak riang, nampaknya pernyataan preferensi seksual Gaara ini membuat pemuda bersurai merah itu agak down, aku jadi merasa tidak enak dibuatnya karena aku yang memancing itu semua, "kau tahu janji kelingking, kan?"

Dia mengangguk. Kemudian aku tersenyum lagi, mencoba untuk membuat atmosfir suasana menjadi lebih rileks kemudian kusodorkan kelingkingku.

"Nih," ucapku pelan, memberi isyarat pada Gaara agar mengaitkan kelingkingnya namun nampaknya pemuda dengan tato Ai di keningnya itu terlihat masih bingung, jadi dengan cepat kutarik tangannya dan kukaitkan jari kelingkingku dan kelingkingnnya.

"Janji kelingking, janji kelingking, kau harus bersumpah tak akan membocorkan rahasia, yang berkhianat mulutnya ditusuk seribu jarum…," aku bernyanyi dengan agak sumbang, nada nyanyian janji kelingking yang kuingat sepertinya tidak seperti ini.

"Umurmu berapa, Uzumaki-san?" Tanya Gaara dengan tatapan tanya padaku seakan dia tengah melihat anak kecil dalam bentuk tubuh orang dewasa, "Dan lirik yang kau nyanyikan salah semua…," lanjutnnya tanpa ampun.

"Ahaha… begitukah?" Ucapku sambil melepaskan kaitan jari kelingking kami.

"Kau aneh," ujarnya sambil mengusap-usap jari kelingkingnya.

"Banyak orang yang bilang aku aneh, kau mungkin orang ke seratus yang bilang begitu."

"Begitukah?" Ucapnya pelan dengan tatapan yang tak bisa ditebak, campuran antara tatapan merendahkan, takjub, tak percaya, dan lainnya. Namun satu yang membuatku makin melebarkan senyumanku adalah ketika melihatnya tersenyum sekilas, samar namun cukup untuk membuat ekspresinya yang kaku sedikit melunak.

Aku menepuk kedua tanganku sekali, kemudian tersenyum riang.

"Karinya sudah matang kan? Ayo makan!"

TBC

.

.

Hauu… lagi-lagi bikin cerita multi chapter OTL…

tapi setidaknya cerita yang ini saya udah kebayang endingnya jadi kayaknya yang ini gak akan terbengkalai (semoga)

Yosh! Minna, mind to riview? :3