"Bagaimana keadaan Anda?"
Pertanyaan itu menghambur begitu saja. Nyaris habis tertelan udara dingin yang menusuk.
Gaara menghembuskan napas pendek. Uap putih pucat menyembul dari mulutnya. Jemarinya saling mengepal di balik saku mantelnya. Menepis beku yang perlahan-lahan mulai menggerogoti aliran darahnya.
"Aku baik." Gaara menjawab pendek. Menekan semua syaraf dalam lidahnya yang berusaha membobol dinding dari benteng harga dirinya. Sejuta umpatan juga teriakan protes tertahan di ujung lidahnya, menyisakan rasa pahit yang terpaksa ia telan bulat-bulat.
"Yokatta, ne." Sosok itu tersenyum. Tipe senyum sopan penuh hormat yang membuat Gaara muak. Senyum penuh batas yang ingin Gaara hancurkan hingga remuk berkeping-keping.
"Kelihatannya Anda menjalani hidup dengan baik selama lima tahun ini." Ia melanjutkan. Sebuah kalimat bernada lega yang sukses menghantam jantung Gaara. Ia menatap Gaara tepat di manik mata. Tatapan polos, yang nyatanya menyimpan banyak rahasia kebohongan juga penkhianatan yang berhasil membuat Gaara kehilangan selera terhadap hidupnya.
Gaara mendengus kasar. Menyilang kedua kakinya dengan gestur angkuh. Ia ingin menunjukkan penolakan mutlak, kebencian, dan pengusiran tegas kepada sosok gadis yang kini duduk di hadapannya.
"Seperti yang kau lihat, Matsuri." Gaara memberi jeda sejenak, meresakan jantungnya berhenti ketika lidahnya secara nyata melafalkan nama itu setelah bertahun-tahun berusaha menghapusnya dari setiap pembendaharaan kata dalam kamus hidupnya. "Aku baik-baik saja. Masih hidup, sehat, dan kaya raya." Ia mengambil napas susah payah. "Jadi bisakah kau menyingkir dari hadapanku sekarang? Karena aku masih hidup, dan tidak seharusnya yang masih hidup berhadapan dengan kau yang sudah mati."
.
.
"HEAL"
.
—NARUTO —
belong's to
Kishimoto Masashi
.
HEAL (c) Aiko Blue
.
"I love only myself. I fight solely for myself."
(Gaara — NARUTO)
―x―
.
.
Sepanjang Sembilan belas tahun kehidupannya, Gaara tidak pernah menaruh rasa percaya pada siapapun.
Tidak pada ibunya yang terbang ke surga setelah dua jam kelahirannya. Tidak pada ayahnya yang lebih mencintai tumpukan dokumen dibanding anak-anaknya. Tidak pada kedua kakanya yang membencinya. Tidak juga pada pamannya yang berusaha membunuhnya saat usianya tujuh tahun. Gaara tidak memercayai siapapun. Tidak bisa.
Sejak keci ia hidup dalam benteng kokoh aristrokrat sang ayah. Terbiasa melihat perilaku licin dari manusia-manusia bertopeng tebal yang menggilai kemilau harta. Setiap orang yang mendekatinya selalu punya misi tersendiri. Mereka melihatnya bukan sebagai manusia, melainkan manifestasi emas yang harus dimanfaatkan secara maksimal demi menumpuk pundi-pundi kekayaan. Gaara tidak mengenal tatapan mata yang penuh afeksi, hanya ada kelaparan dan rasa haus serakah harta dalam tiap pasang mata yang menatapnya. Gaara bisa membacanya, setiap pikiran dari orang-orang yang menunduk dan tersenyum mengusap keplanya ketika ia kecil. Mereka bukan berpikir tentang bagaimna cara membuat bocah ini tersenyum, tapi bagaimna caranya agar bocah ini ada di bawah kendalinnya.
Gaara ibarat sebuah gelas kosong yang retak tak karuan. Hampa dan begitu mudah hancur. Dan semua orang hanya berusaha membuatnya pecah menjadi kepingan tajam untuk melukai satu sama lain. Gaara mempertahankan keadaannya sendiri agar tetap utuh. Menelusiri inci demi inci keretakannya dengan sikap tak acuh dan penolakan terhadap siapapun yang berusaha mendekat. Gaara ingin menjaga gelas itu tetap utuh, tak ingin dimanfaatkan untuk melukai orang lain, ia ingin hidup dengan ketentuannya sendiri. Menjaga satu demi satu partikel gelas kosongnya. Mengisinya dengan kekuatan tekad dan kebencian. Dengan sengaja mengoles racun pada tiap permukaan gelasnya yang retak tak terkendali. Membuat siapapun yang berani mendekat berakhir mati mengenaskan akibat racun yang ia semburkan.
Gaara ingin menjadi gelas kosong yang berbahaya. Yang mematikan bagi siapapun ketika berusaha menyentuhnya. Gelas kosongnya ia olesi penuh dengan kebencian.
Sampai suatu hari, Matsuri datang menyentuh retakan demi retakan pada gelasnya dengan cara yang asing.
Hari itu, awal musim semi ketika kuliahnya menginjak semester empat. Gaara memacu mobilnya dengan kecepatan normal di jalan kota Tokyo yang sibuk. Mengambil haluan ke arah kiri begitu menjumpai persimpangan. Melaju terus hingga persimpangan berikutnya. Menghentikan mobil ketika lampu merah menyala. Lalu kembali menginjak pedal gas ketika lampu berubah hijau. Baru lima puluh meter melaju mulus, seseorang melintas tanpa sopan santun tepat di hadapan laju mobilnya. Gaara tersentak, otomatis menginjak rem sekuat tenaga. Namun pekikan dan suara tabrakan itu terlanjur keluar.
"Sialan."
Pemuda itu mengumpat jengkel, melepas sabuk pengamannya dengan terburu-buru, dan bergegas keluar dari mobil untuk melihat orang sinting yang baru saja menabrakkan diri dengan bagian depan mobilnya.
"Hei—"
"Aduh, sial benar aku ini sih!"
Gaara mengernyitkan kening. Mengamati seorang gadis berambut coklat sebahu dan berseragam SMA yang kini sibuk bangkit —dari posisi tersungkur sebelumnya—dan mengumpulkan brosur-brosur yang berserakan di dekat tempatnya terjatuh.
" Kami-sama, apa dosaku di masa lalu, hah? Apa aku pernah meracuni raja? Berselingkuh dengan musuh suamiku? Menyembunyikan buronan Negara? Korupsi? Kenapa hidupku di masa ini benar-benar malang, hisk."
Mata Gaara menyipit intens menatap punggung kecil gadis itu. Jelas ia tidak sadar kalau ada yang mengamatinya sementara tengah disibukkan dengan ocehan panjangnya juga jemarinya yang lecet sana-sini mengais sisa-sisa brousr restoran ramen di aspal yang panas.
"Hei,"
Panggil Gaara lagi. Kali ini mencoba lebih keras, menghapkan perhatian gadis itu berbalik padanya. Dan Gaara bisa melihat punggung gadis itu menegang sesaat sebelum akhirnya berbalik dengan gerakan patah-patah untuk menghadapnya.
Gaara bisa menangkap langsung sepasang manik mata hitam pekat yang dibingkai dalam bentuk kacang almond ketika pandangan mereka saling bertemu. Sebagian poni gadis itu sudah kelewat panjang dan menghalangi hampir sepertiga bagian wajahnya. Wajahnya pucat, dan kusam, ada plester di tulang pipi kirinya. Bibirnya terlihat pecah-pecah. Seragamnya kotor, dan darah segar merembes keluar dari luka di siku dan lututnya. Atau dengan kata lain, ia luar biasa berantakan.
Gadis itu menatapnya degan raut gelisah dan tak nyaman. Memejamkan mata sejenak, dan bangkit berdiri. Gaara masih mengamati dengan sabar bagaimana gadis itu menggigit bibir bawahnya, lalu memoles senyum penuh rasa bersalah. "Maaf." Satu kata meluncur dari bibirnya. Terdengar begitu tulus namun juga berat akan rasa takut.
Gaara diam mengamati. Menyortir keadaan sang gadis dari ujung kaki hingga rambutnya. Memeriksa apa ada luka yang cukup berarti untuk ia pertanggung jawabkan akibat kejadian beberapa saat yang lalu. Gaara menghela napas lega setelahnya, matanya tak menemukan hal-hal mengerikan dalam sosok di hadapannya selain beberapa luka kecil dan kondisinya yang berantakan. Meski begitu, rasanya tidak sopan jika Gaara tidak bertanya, jadi pemuda itu kembali membuka mulutnya untuk mamastikan bahwa gadis di hadapannya baik-baik saja.
"Apa kau—"
"MAAF!"
Gaara tersentak kaget. Gadis itu tiba-tiba memotong ucapannya dengan sebuah teriakan nyaring, membungkukkan tubuhnya sembilan puluh derajat kea rah Gaara yang secara otomatis mengambil satu langkah mundur.
"MAAFKAN AKU! Salahku, semua salahku! Aku yang tidak melihat sekeliling saat menyebrang. Aku mohon maafkan aku! Jangan memintaku mengganti rugi lecet pada mobil mewahmu. Aku masih SMA, aku yatim piatu, dan aku miskin sekali. Aku mohon ampuni aku, Paman!"
Paman?
Gaara mengerjapkan mata, berkedip –kedip secara impulsif begitu mendengar kalimat panjang dari gadis yang membungkuk di hadapannya saati ini. Semua kata dalam kalimat yang baru saja diluncurkannya benar-benar tak ada yang ingin Gaara ketahui. Kenapa juga pentimg baginya mendengar cerita pilu si gadis SMA yatim piatu yang sangat miskin? Cih, bukan urusannya. Tapi..Paman? Sial, apa dia setua itu?
Gaara mendengus gusar, melipat kedua tangannya di depan dada. "Angkat kepalamu."
"Baik!"
Dia patuh seperti anjing.
Mata mereka kembali bertemu dan terhubung dalam garis udara yang tak kasat mata. Gaara menyempatkan diri untuk melirik nametag yang tersemat di kemeja seragam gadis di hadapannya dan melafalkan nama Ishida Matsuri dalam benak pribadi ketika berhasil membaca.
"Kau baik-baik saja?" Tanya Gaara akhirnya, lengkap dengan tatapan mata tajam juga ekspresi wajah dingin mengintimidasi. Pesona seseorang berdarah Sabaku sedang berusaha keras ia keluarkan saat ini. Meski relung hatinya membisik tak tega begitu melihat sepasang bola mata di dapannya bergetar ketakutan dan mulai berkaca-kaca. Tapi Gaara harus melakukan ini, ia tidak boleh memberi akses kepada Ishida di hadapannya untuk melakukan aksi penipuan dan juga gencat ancaman yang disertai dengan tuntutan macam-macam atas biaya pengobatan rumah sakit yang mahal akibat bertabrakan dengan mobilnya. Jahat? Ini Tokyo, orang baik itu hanya mitos.
Ishida Matsuri menelan ludah, bersusah payah untuk menatap mata jade di hadapannya tanpa menangis. "Aku tidak apa-apa, Paman." Ia menjawab sopan, disertai satu anggukan tipis di ujung kalimatnya.
Paman lagi, Gaara berusaha keras menahan decakannnya agar tidak keluar. Demi Tuhan, usianya baru sembilan belas! Salahkan saja tugas yang diberikan untuk seorang mahasiswa fakultas kedokteran seperti dirinya. Ia tak punya waktu memerhatikan penampilan, bahkan sudah lima minggu terhitung tepat sejak kali terakhir ia bercukur.
"Kenapa kau berlari di tengah jalan? Kau tahu ini bukan tempat untuk menyebrang, kan?"
Matsuri menghela napas berat, kedua bahu kecilnya turun secara kompak. "Aku sedang buru-buru untuk mengejar bus. Dan aku tidak memerhatikan jalan kerena sedang dimarahi bosku lewat—ASTAGA! Dimana ponselku?"
Gaara mengernyit, ngilu merambat di jalur pendengarannya ketika gadis itu tiba-tiba memekik histeris dan membungkuk cepat untuk mengamati aspal di sekitarnya. Mencari-cari ponselnya dengan cara bodoh, yakni dengan menggumamkan panggilan 'ponselku sayang, milikku satu-satunya di dunia yang luas ini.. kau dimana?'.
"Oh, tidak. Tidak. Tidak. Tidak."
Gadis itu meancau panik, mengambil kepingan ponselnya yang berserakan di atas aspal. Keping baterai, cassing belakang, papan tombol, layar kecil, juga slot kartu diraihnya dengan terburu-buru. Tunggu, komponen-komponen itu... Polifonik? Anak SMA jenis apa yang jaman sekarang masih menggunakan tipe handphone yang berada di ambang garis kepunahan semacam itu?
"Jangan panik.. tenanglah, sayangku. Kau pasti bisa diperbaiki."
Gadis itu mulai mencoba merakit kepingan ponselnya yang menyedihkan. Gaara memijat pelipisnya, merasa lelah luar biasa. Ia hurus egera menyelesaikan masalah tak penting ini. "Hei, dengar." Ia memanggil, membuat gadis di hadapanya mendongak menatapnya. "Akan ku perbaiki ponselmu, oke? Sekerang pergilah ke klinik terdekat, obati luka-lukamu, nanti infeksi." Daripada bentuk ungkapan perhatian, kata-katanya lebih mirip ultimatum yang mutlak dipatuhi.
Matsuri mengernyit, menatap pria di depannya dengan alis saling bertaut heran. Siapa orang ini? Kenapa kelakarnya penuh kuasa dan kekuatan elite?
"Kau dengar aku?"
Matsuri mengerjap cepat, menggelengkan kepala untuk mengusir pemikiran-pemikiran tak penting yang berputar di kepalanya. Ia mengangguk satu kali. Memaksakan seulas senyum sopan sambil menatap sosok di depannya khidmat. "Ya, saya mengerti." Iya menjawab tenang, lalu sejurus kemudian kembali melambung panik sambil menepuk darinya keras. "Ya ampun! Jam berapa sekarang?" ia melotot menatap Gaara dengan horror.
Gaara mendengus secil, pelipisnya berkerut heran, tapi segera melirik jam yang melingkar elegan di pergelangan tangan kirinya. "Empat lewat dua puluh." Ia menjawab akurat sesuai dengan petunjuk yang disajikan jarum-jarum dalam pergerakan waktunya.
"Ah!" Matsuri terlonjak panik. "Aku terlambat! Mati aku. Bagaimana ini? Aku pasti dipecat!"
Cukup. Gaara mengatupkan rahangnya geram, menahan letupan emosi yang bergejolak. Gadis ini terlalu suka berteriak dan memekik. Telinganya nyaris pecah dalam beberapa menit terakhir.
"Berhentilah berteriak seperti itu!" Gaara membentak tanpa sadar, membuat gadis yang adadi depannya menatapnya dengan mata membola sempurna.
Helaan napas keluar. "Aku akan mengantarmu ke tempat kerja. Aku akan menjelaskan pada bosmu mengapa kau terlambat. Jadi, berhentilah berteriak seperti itu, masuklah ke mobilku. Dan berhenti memanggilku paman. Aku baru sembilan belas tahun." Rekor, ini adalah kalimat terpanjang yang berhasil Gaara ucapkan dalam percakapan langsung dengan seseorang selama beberapa tahun terakhir.
Dan kerusuhan hari itu ditamatkan dengan paragraf berisi penjelasan bahwa Gaara mengantar Matsuri ke tempat kerjanya. Sebuah restoran kecil dengan menu utama ramen di dekat Persimpangn Shibuya. Gaara meminta Matsuri memberikan ponselnya untuk ia perbaiki sesuai janjinya. Gadis itu menolak, namun Gaara berhasil membuatnya kembali menjadi patuh seperti anjing.
.
.
Sepanjang hidupnya, Matsuri terus berlari. Ia berlari untuk mengejar waktunya yang sempit dan dipadati kesibukkan melelahkan. Ia berlari mengejar keping-keping yen demi menunjang kelangsungan hidupnya. Ia berlari dari pandangan orang-oarang di sekitarnya yang menghakimi hidupnya dengan kejam. Ia berlari dari kesedihannya perihal kematian kedua orang tuanya yang tragis. Matsuri selalu berlari. Ia merasa berlari adalah takdir yang tak dapat ia lepaskan lagi dari tiap deru napasnya. Ia harus terus berlari. Ia butuh berlari dari kenyataan yang menyedihkan. Ia hanya bisa berlari sebelum kepedihan itu merenggut hidupnya bersama rasa putus asa yang mengerikan.
Lalu hari itu, untuk pertama kalinya, Matsuri berhenti. Laju larinya terhenti ketika Gaara menabraknya dengan mobil mewahnya. Benturan itu cukup kuat. Membuat Matsuri sempat merasa dunianya melambat dan berhenti tiba-tiba. Jantungnya tak berdetak. Telinganya tuli, dan semua brosur di tangannya yang berhamburan di udara terhenti dalam kebekuan selama beberapa misisekon. Itu aneh, namun juga terasa indah.
Matsuri merasa, meski hanya dalam kurun beberapa persekian sekon lamanya, dunianya berhenti. Ia tak perlu berlari. Derapnya menetap di satu pijakan yang terkunci. Waktu yang berhenti bergulir adalah momen paling indah dalam hidupnya. Ia bisa bernapas untuk dirinya sendiri, menikmati detak jantungnya yang melambat, dan meneriakkan keluahan hebat sepuasnya.
Lalu ia segera tersadar pada detik selanjutnya. Semua yang berada di sekelilingnya kembali bergerak. Brosur-brosurnya jatuh berhamburan menghantam aspal, kulitnya yang tergores sobek mengeluarkan rembesan darah segar yang terasa perih, jantungnya kembali berpacu, dan Matsuri harus kembali berlari.
"Komponennya benar-benar sudah langka. Akan membutuhkan banyak waktu untuk mencari pengganti obderdilnya yang rusak."
Matsuri membuang napas panjang. Ia menundukkan kepala dalam-dalam. Merutuki nasib buruk yang selalu menempeli tiap langkahnya. Sekarang, ia ingin sekali berlari dari kenyataan keji bahwa ponselnya nyaris mustahil diperbaiki.
"Tidak apa-apa." Akhirnya ia berujar, berusaha terdengar tegar namun gagal total. "Harusnya kau tidak perlu repot-repot mencarikan tempat service segala."
Gaara melirik gadis mungil yang duduk di sampingnya dengan ekor mata. Gadis itu kelihatan luar biasa sedih dan menderita. Tubuhnya kurus dan kantung matanya benar-benar mengerikan. Dan keadaanya jadi makin terasa menyedihkan begitu Gaara selesai mengungkapkan kenyatan bahwa ponselnya tidak bisa diperbaiki dalam waktu dekat.
"Aku bisa menggantinya dengan yang baru. Model canggih seperti teman-temanmu. Anggap saja sebagai wujud permintaan maaf karena aku sudah menabrakmu."
Gaara secara pribadi terkejut dengan ucapannya. Ia bukan tipe orang baik yang sok bertanggung jawab begini. Mana sudi ia mengeluarkan nominal dari saldo tabungannya untuk seorang gadis asing yang baru ditemuinya kurang dari 24 jam. Tapi Matsuri sepertinya menempatkan diri sebagai pengecualian yang sulit ditepik. Gadis itu langsung menjabarkan keadaannya yang yatim piatu dan sangat miskin dalam teriakan lantang saat interfal pertemuan pertama mereka. Dan tidak ada yang pernah memperkenalkan diri pada Gaara dengan cara yang sebegitu memilukan selama ini.
Matsuri balas menatapnya, dan tersenyum sopan. "Terima kasih, Paman. Tapi tidak usah repot-repot, aku tidak—"
"Paman?" Gaara memberi penekanan dengan nada tak suka dalam kalimat pendeknya. Matanya mendelik tajam penuh peringatan tegas bahwa Matsuri baru saja melakukan kesalahan.
"Ah!" Matsuri tersentak kecil, buru-buru menggelengkan kepala dan menatap Gaara dengan raut penyesalan. "Maaf, maksudku Sabaku-san."
"Panggil saja Gaara."Gaara mengoreksi dengan ringan. Merasa tak pernah tahan jika ada yang memanggilnya dengan nama marga berat yang meggantung di awal namanya.
"Oh," Matsuri menyahut pendek, mengerutkan kening dan bergumam kecil tentang memangnya boleh memanggil nama dengan cara seperti itu padahal baru kenal? lalu menggeleng singkat dan menyahut "Oke, Gaara. Kalau begitu panggil saja aku Matsuri." Ia memperkenalkan diri diiringin seulas senyum yang sedikit dipaksakan karena biar bagaimanapun, sulit rasanya tersenyum tulus ketika harinya benar-benar buruk.
"Sungguh tidak ingin kubelikan yang baru?"
"Um-hum!" Matsuri menangguk tanpa ragu. "Tidak perlu." Ia menjawab yakin lalu melakukan gerakan ringan untuk menyelipkan helaian poninya yang kelewat panjang ke belakang telinga. "Mungkin memang harus begini jalannya. Kalau ponselku rusak, aku akan punya keinginan kuat untuk memperbaikinya atau membeli yang baru. Dengan keinginan kuat yang harus dicapai itu, aku akan bekerja lebih giat lagi. Semangat kerjaku akan bertambah karena aku punya tujuan yang hendak dicapai. Itu hal yang positif, apalagi akhir-akhir ini aku mulai kehilangan gairah untuk bekerja."
Gaara mendengus kecil. "Kau positif thingking sekali."
Matsuri tersenyum kecut, mengayunkan kedua kakinya dengan gerak monoton. "Hidupku sudah dipenuhi dengan hal-hal negatif, tau. Kalau pikiranku ikut negatif juga, bisa-bisa aku menarik petir untuk menyambarku tiap kali aku berjalan. Sekumpulan partikel negatif pasti objek yang bagus untuk disambar."
Gaara menahan senyumnya di ujung bibir. Gadis bernama Matsuri ini punya bakat untuk membicarakan kepedihan hidup dengan cara yang menarik dan terkesan lucu.
"Tapi..serius kau baru sembilan belas tahun?" Matsuri menatap Gara tanpa cela. Mengamati tiap garis lekukan wajah pria berambut merah di sampingnya dengan kecermatan seribu satu persen.
Gaara mendengus. Jelas terlihat jengah, namun tetap mekasakan diri untuk bersikap baik hati dan tidak melayangkan satu hantaman telak di wajah pucat yang kini menatapnya sok polos. "Iya. Aku baru sembilan belas tahun Januari lalu."
Matsuri menyerukan Whoa! Dengan gerak bibir dramatis tanpa suara. "Senpai mahasiswa?"
Mata Gaara menyipit defensif, kenapa tiba-tiba jadi senpai? Ia memberi anggukan tanda pembenaran. "Semsester empat."
Matsuri menggigit pipi bagian dalamnya. Menahan segenap pertanyaan yang melayang-layang tak sopan dalam kepalanya untuk diajukan kepada Gaara semacam; kenapa kau berewokan seperti itu? Kumismu, astaga! Kau teroris atau bagaimana?
"Aku cuma belum bercukur, oke? Belakangan ini tugas kampus banyak sekali, tidak sempat cukur."
Matsuri spontan membelalak kaget. "Senpai bisa baca pikiranku?" Ia bertanya takjub, mata membulat penuh, dan kedua belah bibir terbuka membentuk vocal O semperurna penuh tanya.
"Otakmu trasparan."
Matsuri mendengus kasar, namun kembali menatap Gaara dengan antusias. "Universitas apa?"
"Konoha University."
"Golongan?"
"A."
"Fakultas?"
"Kedokteran."
"Daebak!"
Gaara mengernyit, bingung total. "Daebak?"
Matsuri memasang cengiran lebar. "Itu bahasa Korea, artinya sama seperti sugoii dalam bahasa Jepang atau amazing dalam bahasa Inggris, atau mirable dalam bahasa Latin jiingrѐ dalam bahasa China, atau mar—"
"Oke! Oke! Cukup!" Gaara mengangkat kedua tangannya ke udara dengan panik, juga jengah yang mendominasi. Matsuri ternyata suka sekali bicara panjang tetang hal-hal tidak penting, dan Demi Tuhan! Ia tidak mau dengar semua itu. Ia bisa gila!
Matsuri meringis ditempatnya, mendadak kikuk dan salah tingkah karena mungkin ia barusaja membangkitkan kemarahan seorang mahasiswa tampan fakultas kedokteran yang sebelumnya ia kira sebagai seorang paman.
"Maaf.." Ia berujar pelan, mengulum satu senyum yang berbeda dari sebelum -sebemumnya. Lebih terasa ringan dan lepas. "Hanya saja..um, sudah lama sekali tidak ada yang mengajakku bicara. Jadi aku malah mengucapkan banyak hal tidak penting begini." Gadis itu tertawa, tawa kecil yang renyah namun terkesan monoton dan pilu.
Gaara mengamati Mtasuri dengan seksama, merasakan emosi asing yang merambat dalam aterinya kala mendengar penuturan gadis itu. Tidak secara lisan maupun tersurat, namun ia bisa merasakan sebuah pesan kesepian yang terselip dalam tutur katanya.
Gaara menghela napas, mendongak menatap langit malam di atas kepalanya. Kelopak bunga sakura jatuh berguguran digoyang angin musim semi. Menjadikan jalanan tampak beratakan dengan warna merah muda lembut, namun anehnya juga terasa indah dan mendamaikan dengan cara tersendiri. Rasanya juga sudah lama Gaara tidak memerhatikan sekeliling, tidak berbicara dengan orang lain, bahkan berteriak dan membentak galak. Pemuda itu mengengus geli. Matanya terpejam damai, merasakan semilir angin yang membawa harum samar kelopak sakura menerpa kulitnya yang terasa dingin.
"Aku juga." Gaara bergumam. "Sudah lama tidak ada yang mengajakku bicara."
.
.
"Aku bilang kan tidak usah! Kenapa senpai keras kepala sekali, sih?"
Gaara memutar bola matanya jengah. Terhitung sudah lewat satu minggu sejak pertemuan pertamanya dengan Matsuri dan entah kehendak dewa sinting mana hingga mereka jadi punya kebiasaan mengobrol tidak penting di belakang restoran tempat Matsuri bekerja paruh waktu ketika Matsuri selesai dengan shiftnya.
"Aku tidak beli, oke?" Gaara menggeram tertahan. Hanya butuh satu minggu bagi Matsuri untuk merasa kebal dengan tekanan sadis ala Sabaku. Kini gadis itu murni tidak mempan digilas dengan tatapan galak, maupun kalimat tajam Gaara. "Sudah kubilang, ini ponsel lamaku. Sudah tidak dipakai lagi. Jadi daripada menganggur, lebih baik kau pakai dulu."
Matsuri menundukkan kepala khidmat. Mendadak jadi tertarik sekali dengan ujung sepatunya yang kusam. Berusaha memikirkan siapa yang awalnya mempunyai ide untuk merancang sepatu kets? Kenapa lubang talinya didesain secara simetris dan berbaris begitu? Apakah di masa depan sepatu kets akan punah? Bisakah dia melihat peluang keuntungan yang besar jika berbisnis di dunia sepatu? Apapun, Matsuri berusaha memikirkan apapun agar tidak berfokus pada tawaran bernuasa kebaikan Gaara yang membuatnya takut.
"Hei, jangan pura-pura tidak dengar."
Matsuri menggingiti bibirnya. Ia tidak suka situasi macam ini. Ia takut akan kebaikan orang lain terhadap dirinya. Ia takut untuk bergantung kepada orang lain dan menjadi malas setelahnya. Terlebih lagi, ia takut suatu hari kelak ia akan membuat orang itu kecewa padanya, dan memintanya mengembalikan semua yang telah diberikan. Kalalu sudah begitu, ia pasti mati sengsara dililit hutang budi.
"Maaf." Akhirnya Matsuri berujar lemah. "Aku tidak terbiasa menerima kebaikan dari orang lain, senpai."
Gaara mengusap wajahnya kasar. Bingung harus dengan cara macam apa berbicara kepada Matsuri tanpa membuatnya naik darah atau emosinya meledak. Karena, sungguh, keperibadian gadis SMA itu berubah sepanjang waktu.
"Pakai saja. Anggap aku meminjamimu. Kau boleh mengembalikannya ketika sudah berhasil membeli ponsel baru." Gaara memberi jeda sejenak untuk mengamati respon Matsuri. Gadis itu hanya mengangguk patuh, dan itu jauh lebih baik. "lagi pula kau butuh menghubungi nenekmu yang tinggal di Kyoto."
Matsuri mendadak mengeratkan cengkramannya pada benda metalik berlayar datar yang sejak tadi berada dalam kuasa tangannya. Gaara benar, ia perlu mengabari neneknya yang tinggal sendirian di kota lain. Ia butuh ponsel itu.
"Baiklah. Aku pinjam dulu ponselmu, senpai."
Gaara mengangguk kecil. Menghembuskan napas lega karena berhasil mengarahkan Matsuri sesuai dengan kehendaknya. Dan tolong jangan salah paham, ia tidak bermaksud otoriter, tapi sel-sel Sabaku mengalir kental dalam darahnya, dan itu bukan salah Gaara.
"Tapi ponsel ini masih sangat bagus. Kenpa tidak dipakai lagi?" Matsuri mengamati ponsel canggih di tangannya dengan seksama. Tidak melihat setitik pun cacat pada benda itu, juga tak ada kerusakan segarispun ketika menyalakan layarnya.
Gaara diam selama beberapa detik. Mencoba mengulang kembali partikel memorinya mengenai ponsel yang kini tengah diteliti oleh Matsuri. Benar, ponsel itu masih sangat bagus, mulus tanpa ada kerusakan maupun satu gores cacat. Tapi ada kenangan yang tidak ingin Gaara dekati di sana. Yang melekat bersama ponsel itu.
"Itu hadiah ulang tahunku yang ke tujuh belas." Gaara memulai ceritanya tanpa repot memikirkan mengapa ia jadi bicara lebih banyak jika sudah bersama Matsuri. "Dari kakak perempuanku." Gaara menambahkan, tersenyum kecut di ujung kalimatnya. "Saat itu aku kabur dari rumah. Dan tanpa aku tahu, ternyata kakakku memasang alat khusus pada ponsel itu untuk mamata-mataiku. Dia menyadap semua percakapan teleponku untuk mencari tahu informasi sebanyak-banyaknya. Kemudian ketika berhasil mendapatkan lokasi tempatku tinggal selama kabur, dia membakar tempat itu. Seseorang tewas dalam kecelakaan rekayasa yang dibuatnya. Dia adalah bibi pemilik kamar sewa yang sangat baik padaku. Tapi kau tenang saja, alat sialan itu sudah aku lenyapkan dari ponselnya."
Matsuri terkesiap di tempatnya. Gaara menceritakan kisah itu dengan tenang dan nada suara yang datar seolah membaca teks tak berarti. Dan entah mengapa hal itu justru membuatnya kian meringis gelisah. Ia memang tisdak tahu apa-apa tentang Gaara dan kehidupannya. Lagi pula mereka belum cukup lama saling memgenal. Dan Matsuri hanya menggambarkan Gaara sebagai seorang mahasiswa tampan jurusan kedokteran yang kaya raya. Benar-benar tipe pacar-able yang menjanjikan. Tapi, mendengar cerita yang disampaikan Gaara yang terbilang cukup payah jika dikutsertakan dalam lomba membaca dongeng barusan, entah mengapa Matsuri merasa ada ngilu yang merambat di sepanjang jalur laju napasnya. Rasa ngilu itu seolah menamparnya telak bahwa Gaara tidak se-super yang selama ini ia ekspetasikan.
"Err.. kenapa senpai kabur dari rumah?" Ia bertanya ragu-ragu. Menyelipkan harapan kosong dan rasa ingin tahu penuh dalam kalimatnya.
Gaara mendengus, meliliknya sinis. "Kenapa juga aku harus memberi tahumu?"
Matsuri berdecak sebal, balas melotot. "Dasar labil." Kelekarnya tanpa ragu, mengundang satu jitakan telak tepat di ubun-ubunnya. Matsuri mengaduh sakit yang tentu saja tidak ditannggapi secara serius oleh sang lawan bicara.
"Ne, senpai! Coba lihat ke sini sebentar!"
Gaara refleks menoleh, dan—
Cekrek.
Satu jepretan manis, menangkap figurnya yang menoleh sempurna. Matsuri tersenyum puas menatap haris bidikannya di layar ponsel yang baru Gaara berikan.
"Whoa! Ternyata hasilnya bagus, kameranya jernih sekali, senpai! Lihat ini!" Matsuri membalikkan layar ponselnya hingga menghadap wajah Gaara. Gaara bisa meliat wajahnya di sana, sedang menoleh dengan ekpresi datar. Wajahnya bersih sehabis bercukur, rambut merahnya sedikit berantakan terusik angin. Matsuri benar, kualitas bidikan kameera ponsel itu mamang bagus, karena Gaara jelas bila melihat beberapa kelopak sakura yang berguguran di sekitarnya tertangkap dengan sempurna di sana. Fokusnya luar biasa untuk ukuran kamera ponsel.
"Kenapa kau memotretku?"
"Aku takut melupakan wajahmu."
"Tch,"
"Bohong deng, aku berencana menggunakan fotomu untuk marah-marah ketika aku kesal."
"Omong kosong."
"Baiklah, karena senpai tampan, oke? Puas?"
"Matsuri,"
"Hm?"
"Berhenti memanggiku senpai. Kau sama sekali tidak cocok berperilaku sok imut seperti itu."
.
.
Mereka berdua sungguh perpaduan yang ganjil.
Gaara kehabisan ide tentang bagaimana cara menjabarkan hubungan sebab-akibat mengapa dirinya bisa terlibat dalam perihal yang sedikit tidak biasa bersama Matsuri. Yang jelas bagi Gaara, Matsuri punya nilai tersendiri karena tidak paham seberapa kuatnya marga Sabaku yang bertengger pada namanya. Ketidak tahuan itu adalah poin pertama mengapa Gaara merasa leluasa ketika bersamanya. Selanjutnya, Gaara tak pernah sekalipun melihat mata lapar dan haus harta di sepasang manik gelap Matsuri tiap kali mata mereka bertemu. Gadis itu mamang sering sekali menyiratkan kelaparan dalam pancaran matanya, tapi itu benar benar lapar—yang secaraharfiah— hasrat ingin mengkkonsumsi makanan sebanyak-banyaknya sebagai pasokan gizi dan energy untuk menunjang hidup, bukan lapar-lapar lain yang membuatnya muak.
Gaara juga tidak paham sejak kapan mereka mulai saling terbiasa terhadap kehadiran satu sama lain. Bertemu menjadi kebiasaan yang kian rutin. Bercerita dan membahas segala hal random di sembarang waktu, serta serangkaian hal-hal tidak masuk akal lainnya. Hingga kemudian naik menjadi keberanian untuk saling mengungkapkan isi pikiran terhadap sau sama lain tanpa tendeng aling-aling.
Seperti sekarang.
"Rambutmu menyedihkan."
Itu adalah sebuah gaya mencibir yang tajam maha kejam dan baru saja dihadiahkan oleh Gaara kepada Maturi. Oh, tentu lengkap dengan pandangan mata menyipit sinis, pongah, dan merendahkan. Menyebalkan. Bahkan di saat-saat terjahatnya seprti ini pun, Gaara tetap terlihat tampan.
"Lalu aku harus apa? Cukur sampai botak agar rambutku bisa kembali tumbuh dengan sehat dan lebih baik?"
"Berapa kali kau keramas dalam satu minggu?" Gaara memberinya delikkan keji. Menyortir satu demi satu helaian rambut coklat Matsuri yang terlihat pecah bercabang di bawah sinar matahari.
"Satu sampai dua kali."
"Kau jarang sisiran, ya?"
Matsuri terbatuk keras. Kalimat itu sukses menohoknya. Hell, apa-apaan Sabaku yang satu ini? Mengapa mendadak dia punya obsesi aneh pada rambut Matsuri?
"Kenapa tanya-tanya, sih?"
Gaara mengabaikan pertanyaan juga pandangan tajam yang Matsuri berikan padanya. Lebih dari itu, Gaara justru menghembuskan napas cepat dan bangkit berdiri dari posisinya.
"Ayo perbaiki."
Satu alis Matsuri terangkat tinggi, ia mendongak dan memincingkan mata untuk menatap sosok Gaara yang berdiri tinggi pongah di depannya.
"Perbaiki? Apanya yang—WHOA! Hey, kenapa tiba-tiba menarik tanganku! Kita mau kemana?"
.
.
Matsuri tidak percaya bahwa dirinya akan berakhir—dipaksa—duduk manis di sebuah salon elit. Matanya sesekali melirik Gaara melalui cermin besar di depannya, mahasiswa fakultas kedokteran itu kini tengah duduk di sofa panjang di belakangnya sambil membaca buku anatomi. Tampak begitu menikati bacaan beratnya yang seratus persen berbahasa Inggris dan dipenuhi kosa kata medis yang asing di telinga bodoh seorang Matsuri. Dasar sombong, Matsuri mencibir dongkol, berharap tatapan mata galaknya pada pantulan wajah Gaara di cermin dapat membakar buku Gaara secara tiba-tiba.
"Kau kelihatan tegang."
Komentar itu membuat Matsuri menoleh. Mendapati seorang wanita berusia awal tiga puluhan berdiri tepat di belakangnya dengan senyum hangat yang menenangkan. Matsuri menunduk canggung, memoles senyum kaku yang terasa aneh di wajahnya.
"Ne, siapa namamu?" Wanita itu bertanya, suaranya lembut dan menyenangkan.
"Matsuri. Ishida Matsuri." Matsuri menjawab, mencoba untuk terdengar rileks.
"Hai, Matsuri-chan desu ne? Kau boleh mamanggilku Risa." Wanita itu tersenyum simpul. Bergerak secara naluriah dan meletakkan kedua tangannya di masing-masing bahu Matsuri, memberi pijatan ringan yang menenangkan. "Rilekslah sedikit, Matsuri-chan. Aku tidak akan memotong daun telingamu, oke?" Wanita itu tertawa lembut. "Aku hanya ingin merapikan rambutmu sedikit."
Matsuri menghela napas panjang. Ia memang tegang luar biasa. Pasalnya seumur hidupnya yang memilukan ini, tak pernah satu kalipun Matsuri menginjakkan kakinya di salon. Tidak pernah ada yang memotong rambutnya selain neneknya di Kyoto dan dirinya sendiri. Ini memang berlebihan dan konyol, tapi jujur saja Matsuri merasa sedikit canggung juga takut.
Gadis itu memejamkan mata. Mencoba untuk tenang, ia menarik napas dalam-dalam, dan menghitung sampai tiga lalu menghembuskannya perlahan seraya membuka mata. Matsuri tersenyum pada Risa. Memberi anggukan kecil sebagai pertanda bahwa ia siap menerima segala kehormatan untuk ditata rambutnya.
Dan Matsuri berusaha menikmati setiap momennya. Kala helai demi helai rambutnya diperlakukan secara khusuk dan penuh perhatian oleh jemari-jemari terampil Risa. Matsuri mengukir momen ketika rambutnya disisir dengan cara yang baik dan benar, menaruh keping demi keping rekapan memori ketika dinginnya air menyentuh permukaan kulit kepalanya. Harum shampo dan conditioner yang membelai lembut rambutnya. Semuanya, hingga detik demi detik ketika halaian rambutnya berjatuhan ke lantai bersamaan dengan suara gunting Risa yang memotong rambutnya menjadi tatanan yang lebih baik.
Waktu Matsuri lagi-lagi melambat. Dunianya berhenti beberapa kali pada setiap momen yang dilewatinya selama berada di salon. Lagi-lagi Gaara membuatnya berhenti. Gaara berhasil menghentikan pelariannya yang tak pernah usai. Meski hanya untuk beberapa saat, namun Matsuri benar-benar merasa tenang kali ini. Karena ia berhenti. Karena ia tak harus berlari. Kakinya diam memijak satu tempat dalam waktu yang konstan, dan hal yang menurut orang lain sepele itu, adalah hal luar biasa baginya. Matsuri merasa hidup sebagai seorang manusia, bukan Alice yang terus berlarian dalam dunia yang asing untuk mempertahankan diri.
.
.
Sudah tiga menit, Matsuri menghitung. Dia hanya terus saling adu pandangan mata dengan sepasang jade kembar milik Sabaku Gaara tanpa ada satupun yang berinisiatif untuk membuka percakapan dengan mengeluarkan suara. Matsuri mendengus jengkel, melipat kedua tangannya di depan dada, dan mengangkat dagu dengan pongah ke arah Gaara. Sejak rambutnya selesai deperbaiki oleh Risa, Gaara hanya berdiri diam menatapnya dengan pandangan datar, kedua tanggannya tersimpan di dalam saku celana jeansnya, dan matanya tak menyiratkan emosi macam apapun, bibirnya terkatup rapat seolah baru saja dilumuri lem-khusus-agar-seseorang-jadi-bisu-dan-menyebalkan.
"Kau cantik."
Matsuri membuka suara, berkata secara lugas, dan disusul dengan dengus sebal setelahnya. Ia memberi senyum terpaksa, mendelik sinis ke arah Gaara yang sepertinya sedang menerapkan mode silent. "Harusnya kau bilang begitu, kan?" ia menghardik, astaga. " Puji aku cantik. Bilang kalau kau suka rambut baruku. Oi, Gaara!"
Gaara balas menatapnya dengan kening berkerut. Sengaja tidak langsung beralih ke mode ring. "Aku rasa..." Memberi jeda lagi, menyelipkan satu decak kecil yang lolos melalui pergerakan lidahnya. "Risa-san memang berbakat." Satu helaan napas, lalu kelima jemarinya bergerak keluar dari dalam saku, naik sampai ke bagian tengkuknya, mengusapnya secara asal . "Baguslah, sekarang itu kelihatan seperti rambut, bukan bulu singa sekarat. Kita pergi sekarang. Dan kau tidak cantik."
Lalu pemuda berambut merah itu mendelikkan bahu ringan dan membalikkan tubuhnya. Sayangnya, hanya untuk mendapati satu langkah berselang sampai Gaara limbung dan harus berusaha sekuat tenaga menjaga keseimbangannya agar tidak terjatuh ke lantai ketika Matsuri dengan begitu semberono meloncat ke balik punggungnya, melingkarkan kedua lengan kurusnya di sekitar leher Gaara, berusaha mencekiknya bambil berbisik mengerikan tepat di telinganya.
"Mati saja kau, Sabaku Gaara!"
"H—HEI! Apa-apaan kau?! Turun, bodoh!"
"Cantik. Bilang aku cantik dulu!"
"OGAH! Lepaskan! Kau mencekikku, Matsuri!"
"CANTIK DULU!"
"TID—AGRH! AKU TIDAK BISA BERNAPAS! DASAR GADIS BARBAR!"
.
.
Gaara benci menjadi lelah.
Sendi-sendinya ngilu. Kakinya gemetaran, matanya terasa panas nyaris melepuh, paru-parunya menderu menyedihkan.
Dan yang paling Gaara benci dari semua itu adalah, ia tidak bisa lantas terlelap begitu saja meski tubuhnya memberontak protes kelelahan. Insomnia akut yang menempel padanya selalu saja menjadi tembok besi yang membatasi Gaara dengan istilah istirahat dengan baik.
Pemuda berambut merah itu menghela napas, meraih kaleng kopi yang tersimpan dingin di dekat porseneling. Meneguknya dengan rakus. Setidaknya kopi bisa sedikit membantu matanya untuk tetap fokus dan tidak memburam tiba-tiba ketika dalam situsai menyetir seperti sekarang. Ia harus sampai di kamar apartemennya dengan selamat, dan meneguk pil-pil obat tidurnya agar bisa merasakan apa yang disebut orag lain dengan tidur.
Sedikit lagi, Gaara membatin, bersusah payah menjaga semangatnya untuk terus memacu mobilnya. Hanya tinggal dua kilometer sampai persimpangan berikutnya, setelahnya berbelok ke kanan, kemudian melewati jalan menanjak, dan ia akan segera tiba.
Sayangnya, kalimat sedikit lagi itu meski kandas ketika mata jadenya mengerling sekilas ke trotoar menangkap sesuatu. Pupilnya melebar, pandanganya mendadak menjadi segar, dan tanpa banyak berpikir, Gaara segera memutar setir ke kiri. Melenceng berlawanan dari arah yang seharusnya ia tuju.
"Shit!"
Gaara menepikan mobil dengan tergesa, melepas safety belt tidak sabaran, dan membanting pintu denga terlalu keras sebelum berlari kesetanan menuju satu titik yang menjadi tempat berkumpulnya enam remaja berseragam SMA.
"HEI!"
Ia berteriak tepat tiga langkah sebelum mencapai mereka. Mengabaikan pandangan terkejut dan bingung yang lima pasang mata berikan padanya, juga menghiraukan napasnya yang meletup kian pendek dan putus-putus. Gaara bergerak cepat untuk meraih pergelangan tangan Mastsuri yang kurus dan menariknya dari kepungan lima gadis remaja lainnya.
Gaara lupa caranya berpikir bijak. Ia bahkan mengabaikan cegkramannya yang terlalu kuat pada pergelangan tangan Matsuri hingga gadis itu meringis kesakitan. Yang dilakukannya hanya memelototi satu demi satu lima remaja lain yang sebelumnya mengeroyok dan menganiaya Matsuri dengan pandangan murka.
"Dimana otak kalian, idiot!"
Bentakan murka itu membuat Matsuri tersentak kaget. Ia tak bisa melihat wajah Gaara karena pemuda itu kini telah memunggunginya, tapi bahkan hanya sebatas punggung pun, Matsuri tetap bisa merasakan amarah mengerikan yang kini menguasai Gaara. Punggung tegap itu menegang, begitu nyata sampai urat-urat pada lehernya menonjol seolah ada arus sungai maha deras yang mendidih hendak menyembul dari sana.
"Biadab! Kalian pelajar atau iblis? Bisa-bisanya—"
Matsuri memajamkan mata, merasakan nyeri pada pergelangan tanggannya yang digenggam Gaara terlalu erat. Suara tajam Gaara itu penuh kemarahan menghampirinya dalam bentuk gelombang-gelombang samar yang sulit ia raih.
"Gaara.."
Matsuri mencoba memanggil, dalam desau suara yang menggigil tak terkendali. Ia mencoba membuka matanya perlahan, dan menatap punggung Gaara yang menegang. Matsuri memaksa kesadarannya untuk pulih seratus persen. Mengabaikan ngilu di sekujur tubuhnya, juga rasa perih akan luka-luka sayatan dan lebam di permukaan kulitnya. Ia tidak pernah melihat Gaara marah, tapi Matsuri sekarang yakin bahwa kenyataan akan Gaara yang sedang marah adalah hal yang tidak bagus.
"BERENGSEK!"
Tangan Gaara yang bebas mengepal kuat, melayang sebagai bentuk ancaman nyata ke arah lima gadis berseragam yang kini berdiri mematung ketakutan. Ini salah, Matsuri memerintahkan otaknya untuk cepat bekerja. Mengumpulkan segenap tenaganya yang tersisa untuk menarik tangan Gaara dan menyentaknya dalam satu gerakkan terfokus ke belakang.
"JANGAN!"
Jeritan Matsuri berhasil membuat Gaara tersentak. Matanya berkedip beberapa kali, dan perhatiannya kini berfokus pada Matsuri yang berdiri di sebelahnya dengan tubuh gemetar. Gaara merasa jantungnya berhenti memompa ketika mendapati kondisi Matsuri saat ini. Gadis itu terlihat luar biasa ketakutan, geratan pada sekujur tubuhnya menyiratkan rasa takut dan sakit yang begitu dalam. Gaara terenyak. Secara mendadak tubuhnya mati rasa.
"..gi saja.."
Susah payah. Matsuri membuka mulutnya, suaranya serak seolah lehernya sedang dicekik kuat. Bibirnya bergetar, pucat pasi.
"Kita.. pergi.. saja.. Gaara.."
Dan air matanya langka itu jatuh bergulir membahasi tulang pipinya. Merembes jauh hingga ke tenggorokan Gaara, terasa pahit dan memilukan.
.
.
tbc
A/N: Haiiiiiiii~
Aiko kembali lagi bersama Gaamatsu! Yeay! Untuk sementara ratenya ada pada batas aman T, namun tidak menutup kemungkinan naik ke M (senyum modus). Dan, hmm..doakan ini bisa tamat. Rencananya pendek kok, hanya twoshoot atau paling banyak 3 chapter, hehe.
Maksih buat yag udah terlanjur baca :****
Review, oke?
P.S. ngebayangin Gaara adakumis dan brewok tipisnya kok seksi yaa/mimisan
