Konoha Gakuen, adalah sekolah yang sebagian orang mengatakan bahwa itu adalah sekolah yang istimewa. Kebanyakan yang bersekolah disana adalah anak-anak dari golongan atas. Kalaupun ada anak dari golongan biasa bisa bersekolah disana, pastilah karena mereka memang cerdas.
Kelas di Konoha Gakuen terbagi berdasar kepandaian siswa-siswanya. Kelas A yang biasanya dihuni oleh siswa berprestasi dengan peringkat satu sampai dengan dua puluh. Begitu pula dengan kelas selanjutnya. Setiap kelas hanya dibatasi dua puluh murid saja.
Karena sekolah ini termasuk sekolah golongan atas, maka setiap setelah upacara kelulusan, mereka pasti mengadakan pesta kelulusan di puncak dengan menyewa villa dan mengadakan pesta kembang api.
Dan siapa sangka, kalau sekolah sebesar itu memiliki sebuah legenda tersembunyi…
Cake Factory Present
A SasuSaku and SaIno Fic
Untuk hari persahabatan author yang telat berhari-hari
Warning(s): OOC, AU, cacadness, abalness, fluff—maybe
Pairing(s): SasuSaku (manor)
SaIno (minor)
Disclaimer
Naruto © Masashi Kishimoto
Underneath The Sky © Kue
Enjoy!
Sai, yang saat ini sedang menikmati makan malamnya dengan ayah dan ibunya, terlihat sedikit murung. Makanannya hanya dimainkannya, dan sesekali ia memakannya sedikit, lalu memainkannya lagi. Membuat ibunya sedikit heran.
"Sai, jangan mainkan makanan seperti itu. Kau seperti tidak menghargai ibu yang sudah susah payah memasakkannya untukmu," kata ibunya seraya membereskan piring-piring yang sudah kosong.
Sai hanya menatap ibunya sejenak, lalu kembali diam. Beberapa saat kemudian, ia bangkit dari kursinya dan beranjak pergi. Ibunya hanya menatap punggungnya yang semakin menghilang menuju lantai dua.
Sai masuk ke kamarnya, lalu menjatuhkan tubuhnya di atas kasurnya yang berukuran queen size. Ia menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan kosong. Pikirannya melayang.
Satu minggu lagi, ia sekeluarga akan pindah ke London karena tuntutan pekerjaan ayahnya. Dan beberapa hari lagi, ia akan melaksanakan pesta kelulusan di puncak. Seharusnya dia senang karena ia adalah siswa terbaik se-Konoha Gakuen tingkat SMP. Namun wajahnya tidak menyiratkan seperti itu. Justru terlihat seperti orang putus asa.
Sai memiringkan tubuhnya, lalu mendesah pelan. Pikirannya berkecamuk. Ia memejamkan mata sejenak. Barangkali bisa sedikit melepaskan diri dari segala pikiran yang membuatnya pusing sedari tadi—walau hanya sejenak.
Ia memejamkan mata. Berusaha menghapus segala bayangan itu dari pikirannya, otaknya. Namun, semakin ia berusaha menghapusnya, semakin susah bayangan itu menghilang dari pikirannya. Membuatnya frustasi sendiri.
Kemudian ia mendengar pintu kamarnya diketuk dari luar. Sai langsung bangkit dan beranjak untuk membukakan pintu. Dan ia melihat ibunya tengah berdiri di depan pintunya. Sai tahu, makanya ia lalu masuk kembali ke dalam kamarnya dan membiarkan ibunya turut masuk yang kemudian ikut duduk di atas kasurnya.
"Kau ada masalah apa, sayang?" tanya ibunya.
Sai hanya memandang pada lantai dan menghembuskan napas berat. Ia tak mau menjawab.
"Soal Yamanaka lagi?" tebak ibunya—yang sepertinya memang tepat.
Sai menoleh pada ibunya. Menatapnya sejenak, lalu memalingkan mukanya lagi. ia kembali memandang lantai sambil mengayunkan kakinya seperti anak kecil.
"Seperti yang ibu katakan," ucapnya pelan.
Ibunya hanya tersenyum lembut. Diraihnya tangan putranya yang ada di sampingnya. Diusapnya dengan lembut. Sai juga tidak merasa risih seperti anak lelaki kebanyakan. Karena memang dasarnya, ia dekat dengan ibunya jika di rumah.
"Kau mau cerita?" tawar ibunya.
Lagi-lagi Sai mendesah pelan. Pandangannya beralih pada sebuah kanvas yang digantungnya di dinding kamarnya. Terlihat seorang gadis pirang dengan iris berwarna biru langit cerah sedang tersenyum ceria. Itulah lukisan pertamanya.
"Aku… benar-benar bingung bagaimana mengatakannya padanya, bu," katanya. "Sementara seminggu lagi, kita akan berangkat ke London—yang berarti aku akan berpisah dengannya. Tapi aku masih belum bisa," lanjutnya.
"Dan kesempatan terakhirmu adalah saat pesta kelulusan nanti, kan?" tebak ibunya yang disambut dengan anggukan lemah dari Sai. "Dengar, kau hanya perlu mengumpulkan keberanianmu. Kau sudah bersahabat lama dengannya, harusnya itu bukanlah hal yang sulit kan?"
"Aku sudah mencoba, Bu. Tapi rasanya susah. Seperti menyangkut di tenggorokan."
Ibunya hanya tersenyum. Sebuah memori lama terlintas di ingatannya. Ingatan tentang hari itu. Tentang hal serupa dengan yang sedang dialami oleh putranya sekarang. Yah, seandainya ia bisa memutar balik waktu, mungkin ia akan kembali ke masa itu. Mengenang masa bahagianya dulu.
"Ada sebuah bukit yang indah di dekat villa di puncak. Bawalah dia ke sana saat pesta kembang api dimulai. Kurasa itu bisa membantu," kata ibunya menyarankan.
Sai menautkan alisnya, menatap ibunya heran. Bagaimana ia bisa tahu tempat itu?, pikirnya dalam hati.
Seakan bisa membaca apa yang ada di pikiran putranya, ibunya tersenyum lalu menepuk pelan kepala Sai lalu mengusapnya.
"Percayalah pada ibu. Konon, katanya tempat itu merupakan sebuah legenda di kalangan pelajar di Konoha Gakuen," kata ibunya sambil tersenyum.
Ibunya kemudian bangkit dari duduknya dan beranjak untuk pergi. Namun sebelum ia benar-benar keluar dari kamar putranya, beliau menoleh pada Said an mengatakan, "Ibu tak mau mendengar kata gagal nanti, oke?" ia mengedipkan sebelah matanya pada Sai, lalu pergi meninggalkan anaknya yang masih diliputi penuh tanda tanya.
-
-
"Selamat ya, Sakura. Kau meraih peringkat kedua. Kau memang hebat!" kata Shion senang sambil meninju lengan Sakura pelan.
"Iya, terima kasih Shion. Tapi aku masih kalah dengannya."
"Oh, pangeran sekolah incaranmu itu?" kata Shion to the point yang langsung membuat wajah Sakura merah padam.
Memang benar kalau Sakura menyukai Uchiha Sasuke, pangeran sekolah kala itu. Selain karena wajahnya tampan, berwibawa, ia juga putra dari pendonor dana terbesar di Konoha Gakuen. Dan hampir semua gadis-gadis tergila-gila padanya. Namun jarang ada yang bisa mendekatinya. Dan sejauh ini, hanya Sakura yang bisa berada dekat dengannya. Karena jabatannya dulu sebagai wakil ketua osis yang mendampinginya—yang merupakan ketua osis.
"Saat pesta nanti, coba saja tembak dia Sakura! Mungkin saja dia akan menerima—mengingat hubungan kalian yang cukup akrab itu," kata Shion setengah berbisik, karena takut didengar oleh yang lain. Bagaimanapun, Sakura sering dicemooh karena kedekatannya dengan sang ketua osis, yang merupakan pujaan semua gadis, hanya karena Sakura adalah anak dari golongan biasa yang bisa dibilang cukup mampu untuk menhidupi kebutuhan hariannya. Ia beruntung bisa masuk ke sekolah elit itu karena mendapatkan beasiswa.
Sakura dan Shion berpisah di gerbang depan. Karena arah menuju rumah mereka masing-masing berbeda. Shion naik bus karena rumahnya yang jaraknya cukup jauh dari sekolahnya. Sementara Sakura hanya berjalan, karena cukup dekat jika ditempuh dengan jalan kaki.
Karena jalan di depannya sedikit berjubel—para gadis bergerombol hanya untuk melihat Uchiha Sasuke yang lewat. Sebenarnya Sakura juga ingin ikut bergerombol dengan mereka hanya sekedar melihat wajah tampannya itu. Tapi, sepertinya ia harus berpikir tiga kali jika ingin melakukan hal yang sama dengan mereka.
Menghela napas pelan, akhirnya ia berjalan sedikit mepet dengan jalanan. Ia berusaha menghindari desakan pada fangirl Sasuke yang mulai histeris karena sang pangeran berjalan mendekat ke mobil pribadinya. Sakura—yang tidak melihat—terdorong ke samping—pada jalanan yang saat itu sedang ramai oleh kendaraan. Tubuhnya oleng, keseimbangannya hilang. Dan saat itu terdengar bunyi klakson mobil. Sakura memejamkan matanya, mengira ia akan tertabrak. Namun sebuah tangan menarik lengannya agar ia tak jadi jatuh dan tertabrak.
Sakura menoleh pada orang yang menariknya barusan. Seketika, rona merah menjalar pada pipinya. Wajahnya menghangat.
"Daijoubu ka, fuku-taichou?" tanya Sasuke.
"I- iya. Terima kasih banyak telah menolongku," kata Sakura tergagap lalu membungkukkan badannya.
"Bukan masalah," katanya singkat.
Sakura menundukkan badannya lagi, dan langsung berjalan untuk pulang. Baru beberapa langkah, Sasuke memanggilnya.
"Naiklah ke mobil. Aku akan mengantarmu," katanya dengan nada datar. Sakura terkejut.
"A- aa… tidak usah. Aku jalan saja sudah cukup kok—"
"Tidak baik menolak tawaran orang. Masuklah," potong Sasuke yang membuat Sakura tidak bisa berkata-kata lagi.
Sakura terpaksa masuk ke dalam mobilnya—walau dalam hatinya ia senang bukan main.
"Apa kau ikut pesta kelulusan besok, fuku-taichou?" tanya Sasuke saat di perjalanan.
"Mungkin tidak. Aku tidak mempunyai gaun yang cocok dan pantas untuk dipakai pada acara itu. Dan, berhentilah memanggilku fuku-taichou. Aku sudah bukan wakil ketua osis lagi," jawab Sakura panjang lebar.
Sasuke terdiam. Ia menatap Sakura agak lama—yang membuat Sakura memerah dengan sukses.
"Hn, baiklah, Sakura," kata Sasuke kemudian.
-
"Sa- Sasuke-kun, ini dimana?" tanya Sakura heran.
"Butik."
"Aku tahu kalau ini butik. Maksudku, untuk apa kita kemari?" tanya Sakura lagi.
"Untuk memilihkanmu gaun untuk besok."
Sakura tercekat. Tidak mungkin, pikirnya. Kenapa tiba-tiba Sasuke berbaik hati membelikannya sebuah gaun untuk pesta kelulusan besok?
"Untuk apa?" tanya Sakura ragu-ragu.
"Bukankah mantan ketua dan wakil ketua osis wajib datang? Kau pasti tidak memperhatikan," jawab Sasuke tanpa memandang pada Sakura.
Sasuke berjalan terus dan di belakangnya diikuti oleh Sakura. Hingga seorang wanita—sekitar umur dua puluh lima—menghampiri mereka. Wanita itu berbicara dengan Sasuke seperti sudah saling kenal. Sakura hanya melihat-lihat sekitarnya dengan takjub. Dia tidak mungkin bisa membelinya jika disuruh membeli.
Wanita itu kemudian membawakan Sakura sebuah gaun berwarna kuning muda. Dengan model V neck yang cukup panjang, hingga memperlihatkan belahan dadanya. Sakura menolak, karena kurang menyukai model yang seperti itu.
Beberapa model sudah dicoba oleh Sakura, yang ujung-ujungnya membuat wanita itu berbalik dan mengambil model baru.
Sasuke menguap bosan. Hingga akhirnya, ia ikut memilih sebuah gaun untuk Sakura. Setelah menemukannya, ia langsung memberikannya pada Sakura. Sakura menuju kamar ganti untuk mencobanya dengan dibantu wanita lain.
Sakura keluar dari kemar ganti dengan sedikit malu-malu. Ia masih memakai baju yang tadi dipilih oleh Sasuke. Sasuke yang melihatnya, menjadi sedikit tercengang juga. Gaun yang dikenakan Sakura berwarna putih—mendukung dengan warna rambutnya yang pink itu. Kerahnya panjang. Bagian lengannya mengembang lalu berkerut kemudian menjadi terusan sampai pergelangan tangannya. Bagian bawahnya, dibuat panjang sampai ke mata kaki—bagian belakangnya. Pada bagian depan, dibuat pendek sekitar lima senti di atas lutut. Di kerahnya, disematkan sebuah pita merah. Sungguh serasi.
Dan dibagian sepatunya, pelayan itu menyarankan sebuah sepatu hak tinggi yang transparan—seperti sepatu kaca. Dan Sasuke pun menyetujuinya.
"Sasuke-kun, terima kasih gaun dan sepatunya."
"Hn."
-
-
"Shion, aku benar-benar tidak enak dipandangi seperti itu," kata Sakura sambil menyikut Shion pelan.
Mereka berdua berjalan melewati karpet merah di aula yang akan diunakan untuk pesta kelulusan. Dan semua mata kebanyakan tertuju pada Sakura—meskipun di ruangan itu hanya ada gadis-gadis semua, karena para siswa berada di sisi lain villa itu.
Tiba-tiba, ponsel di dalam tas Sakura berbunyi. Ia melihat nama "Sasuke-kun" di layar ponselnya. Cepat-cepat, ia mengangkat telponnya.
Mereka terlibat beberapa pembicaraan. Dan akhirnya, Sasuke mengatakan ingin bertemu dengan Sakura. Sakura ngotot tidak mau, karena mereka tidak diperbolehkan keluar villa, ataupun menuju villa bagian siswa.
"Tidak apa! cobalah untuk mengendap-endap dan keluar. Aku juga akan keluar," paksa Sasuke di seberang sana.
"Aku benar-benar tidak berani, Sasuke-kun," jawab Sakura dengan nada sedikit takut.
"Tidak apa! Percayalah! Jika kau tertangkap, nanti aku yang akan bertanggung jawab. Sekarang, keluarlah, dan berjalanlah menuju sisi villa untuk para siswa. Aku juga akan berjalan ke sana. Jadi, kita akan bertemu di tengah jalan. Mengerti?" paksa Sasuke yang akhirnya di-iyakan oleh Sakura.
Dengan segera, Sakura mengendap-endap, dan ia berhasil keluar tanpa diketahui oleh penjaga. Dan ternyata keadaan di luar gelap. Sakura takut berada dalam gelap seperti itu. Akhirnya, ia memutuskan untuk cepat-cepat menuju sisil villa bagian siswa. Karena ia mendengar suara-suara aneh, Sakura memutuskan untuk berlari.
Karena villanya berada di puncak, jalan menuju sisi villa yang lain harus memutar, dan jalannya benar-benar curam—walau memutarnya tidak terlalu jauh.
Sakura mulai berlari. Pada jalan turunan, tiba-tiba kakiknya tersandung, dan terjatuh ke depan. Ia benar-benar berpikir akan mati, sampai ia melihat bayangan hitam di depannya yang langsung menangkap tubuhnya.
"Apa yang kau lakukan?! Bahaya kan?!" bentak Sasuke yang membuat Sakura mengkeret.
"Ma- maaf. Aku hanya takut karena gelap," suaranya sedikit bergetar, membuat Sasuke sedikit merasa tidak enak juga telah membentaknya.
"Sudahlah, ayo," kata Sasuke yang langsung berdiri dan menarik tangan Sakura.
"Mau kemana?"
"Kutunjukkan tempat yang bagus untuk nonton kembang api," jawab Sasuke.
Sakura hanya menurut saja tangannya ditarik begitu. Dan setelah berjalan sekitar seratus meter, mereka tiba di sebuah tanah lapang, dan tempatnya tinggi.
Sasuke dan Sakura saling diam. Sakura diam melihat apa yang dilihatnya. Senyumnya mengembang saat melihat bintang-bintang yang begitu indah. Seakan langit yang menjadi tempat bernaung bintang itu tak cukup untuk menampung semua bintang malam itu. Begitu indah dan menyenangkan.
"Itu namanya Altair, yang satunya Vega," kata Sasuke tiba-tiba sambil menunjuk bintang yang ada di atasnya.
"Cantik," kata Sakura. Matanya berbinar-binar.
Mereka terdiam lagi. Tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing.
Jantung Sakura berdebar kencang. Entah mengapa, sepertinya ia merasa rasa sukanya pada Sasuke semakin besar, seperti begitu meletup-letup. Dan ia seakan tak bisa menahannya lebih lama.
"Ano… Sasuke-kun—"
"Sakura—" panggil mereka bersamaan.
"Kau duluan—"
"Tidak. Ladies first," potong Sasuke yang langsung membuat Sakura tediam.
"Ano… aku…" kata Sakura tergagap. Dan sekarang wajahnya sudah semerah kepiting rebus. Karena gelap, Sasuke tidak terlalu melihat perubahan warna pada muka Sakura.
"Aku…"
PSIUU! BYAR!
Kembang api diluncurkan dan meledak di angkasa. Membentuk seperti kelopka bunga yang jatuh dari langit. Ada yang berwarna merah, ungu, hijau, dan kuning. Cahayanya benar-benar indah—selain karena tempatnya yang bagus karena tidak ada apapun yang dapat menghalangi penglihatan mereka di tempat itu.
Lama mereka terdiam, menikmati indahnya kembang api yang meletup-letup di langit.
"Sakura, hari ini kau… cantik sekali," kata Sasuke pelan, namun Sakura mendengarnya.
Wajah Sakura kembali memanas. "Terima kasih."
"Entah mengapa, kalau berasa di sampingmu, aku merasa nyaman. Kau berbeda dengan gadis-gadis lain," kata Sasuke tiba-tiba.
Sakura kini benar-benar terkejut. Ia langsung menoleh pada Sasuke yang duduk di sebelahnya.
"Maksudnya?"
"Entahlah. Akhir-akhir ini, dirimu benar-benar memenuhi pikiranku. Bagaimanapun aku mencoba untuk menghapusnya, bayanganmu selalu hadir dan seakan menghantuiku. Tapi, aku senang memikirkanmu. Dan aku tak mampu untuk menahannya lagi."
Diam. Mereka berdua terdiam cukup lama. Sinar dari kembang api yang meletup, menyinari mereka berdua.
"Mungkin ini terdengar aneh, tapi inilah kebenarannya. Sakura, omae ga daisuki," kata Sasuke tenang. Ia menoleh, menatap Sakura dalam.
Sakura terpaku menatap mata Sasuke. Seakan terhipnotis oleh kedua iris onyx itu. Tatapan mata itu, belum pernah dilihatnya selembut itu sebelumnya. Dan ia benar-benar tercengang melihat orang yang disayanginya itu tersenyum!
"Aku juga, Sasuke-kun," jawab Sakura.
Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya dan bergulir perlahan. Tangan Sasuke terjulur untuk menghapusnya. Sekarang, wajah mereka berdua begitu dekat. Entah apa yang mempengaruhi mereka, hingga mereka saling mendekatkan wajah dan perlahan, bibir mereka saling bersentuhan.
-
-
-
-
"Sai? Kenapa kau ada di sini?"
"Ino?" Sai menoleh pada suara yang memanggilnya. "Aku tahu tempat ini dari ibuku," lanjutnya.
"Tempat yang indah, bukan? Aku sering kemari, saat ibu mengajakku ke villa waktu aku kecil," Ino berjalan menghampiri Sai, dan berdiri di sebelahnya.
Beberapa lama mereka terdiam. Lalu terdengar suara yang cukup keras. Benda itu meluncur di udara, dan meledak di langit. Menampakkan pemandangan yang indah. Tetes-tetes api yang turun dari langit, namun sangat indah.
"Kembang apinya cantik," kata Ino.
"Tapi tidak secantik dirimu," sahut Sai.
"Eh?" Ino menoleh.
"Aku senang kau berada di sisiku sejak lama. Aku senang bisa mengenalmu sejak kita kecil."
"Aku juga, Sai," Ino tersenyum padanya.
"Beberapa hari lagi, aku akan pergi ke London—"
"Apa? London?" potong Ino dengan setengah berteriak.
"Ya. Ayah ditugaskan untuk memimpin perusahaan baru di sana. Jadi, kita akan terpisah jauh. Sebenarnya, aku tidak ingin, tapi keadaan mengharuskan," lanjut Sai. Nada bicaranya datar seperti biasa.
"Aku tidak mau kalau kita berpisah, Sai. Tidak bisakah kau meminta untuk tinggal?" mohon Ino.
Sai menggeleng lemah. Wajah Ino berubah sedih.
"Tapi, walaupun kita terpisah, kau selalu ada di sini dan di sini," Sai menunjuk dadanya dan kepalanya. Ino menatapnya bingung. "Karena aku menyayangimu."
Ino mulai menangis. Dalam sekejap, air mata sudah terkumpul dan tumpah. Ia langsung memeluk Sai. Rambut pirangnya yang dikuncir kuda berkibar.
"Aku juga sangatsangatsangat menyayangimu, Sai," kata Ino di sela tangisnya.
Sai tersenyum lalu kemudian membelai rambut Ino.
"Pastikan kau cepat kembali. Jika tidak, aku yang akan menyusul ke sana!" teriaknya tertahan.
Sai tersenyum lagi. Ia senang. Dan ini berkat ibunya.
Tanpa mereka ketahui, dua pasang mata mengawasi mereka dari kejauhan.
"Nee, Sasuke-kun. Anakmu sudah besar sekarang," kata orang itu sambil terkikik pelan.
"Anakmu juga kan?"
"Ya. Dan aku jadi ingat waktu itu," wanita itu kini bersandar pada bahu pria di sampingnya.
"Hn. Aku mencintaimu, Sakura."
"Aku juga," jawab wanita itu yang langsung meraih kepala pria di sampingnya, lalu mencium lembut pipinya.
"Dan sepertinya, bualanmu mengenai legenda itu benar-benar terjadi sekarang."
"Apa sih? Kau tidak senang kalau anakmu mengikuti jejakmu?" kata Sakura cemberut sambil menyikut pelan pinggang Sasuke yang ada di sampingnya.
Pria di sebelahnya mengaduh pelan, lalu terkikik.
"Ayo. Jangan ganggu kesenangan mereka."
"Hn."
Dan buah memang selalu jatuh tidak jauh dari pohonnya, kan?
O W A R I
Shinen akemashite omedettou, minna! *niup terompet*. Gimana libur tahun baru kalian? Asik gak?
Fic ini terinspirasi saat saya lagi liburan di luar kota. Waktu itu malam taun baru, dan ngelihat kembang api disana sini. Rasanya keren, dan romatis *plak*. Jadi, kepikir aja dibuat fic kaya gini. Dan hasilnya? Abaaaaal DX
Dan maaf, jadi telat publish buat hari persahabatan author *digebuk rame-rame*. Habisnya, saya lagi UAS, dan baru pegang laptop lagi tanggal satu kemarin.
Tahun 2010 ya, hmm. Resolusi! Semoga tahun ini, fandom Pandora Hearts bisa jadi fandom mainstream! XD Mari bersama ramaikan fandom Pandora! *tebar confetti*
Jack: Sudah cukup curcolnya.
Kue: Jahat ih. *mewek*
Gil: Hei, tanggung jawab kau, sudah bikin dia nangis!
Kue: Huee, Giiiiil~ *ngacir ke pelukan Gil*
Jack: Yah. Kalian semua, bantu saya untuk menenangkan tangisnya. Cukup review kok. Ya?
Gil: Yap! Review supaya dia berhenti nangis.
Jack: Jya! Shinnen akemashite omedettou minna!
.Cake Nightray Vessalius.
