MinYoon

Bultaereunae

Rate : M

Disclaimer : saya hanya mepunyai alur, BTS murni milik Bighit.

Jimin dan Yoongi merupakan milik mereka sendiri, dan orang tua mereka.

"Hal yang aku tau, Park Jimin itu jahil—dan sudah mempunyai istri."

.

.

.

Ketukan di pintu depan berbunyi setelah bel rumah menggema, Yoongi yang kala itu sedang menunggu di meja makan untuk sarapan sempat tersentak. Ini masih pagi—terlampau pagi untuk bertamu Yoongi kira. Oh ayolah, ini masih jam lima. Tak mungkin pengantar koran yang bertandang bukan? Mereka kan hanya menaruh Koran didepan rumah lalu pergi.

"Yoon, buka pintunya."

Sendok yang ia pegang diletakkan di atas meja, sedikit mendengus kala ibunya memerintah—tipe anak pemalas dan tak penurut. Tapi pagi ini Yoongi memilih menurut membukakan pintu. Toh, hanya membuka pintu. Kecuali jika ibunya memerintah untuk keluar dan pergi ke mart seberang seperti semalam mungkin ia akan berteriak tak mau.

"Oh—anda siapa?" pintu dibuka melebar. Seorang wanita dewasa dan lelaki dewasa berdiri didepan pintu tersebut—ugh, tapi melihat dari perawakan, sepertinya wanita tersebut lebih tua dari si lelaki.

Wanita tersebut tersenyum cerah, mata lebarnya menyempit dengan tangan terulur, "Ini kue jahe buatanku. Hanya sebagai ucapan selamat datang kepada kepada tetangga baru,"

Yoongi menggaruk tengkuknya kikuk, ia dan keluarganya memang baru pindah kemarin, "Ugh, terima kasih ahjumma. Kalian mau masuk terlebih dahulu?"

Netra Yoongi bergantian melihat dari kue jahe yang diwadahi wadah bekal makan berwarna kuning tersebut yang kini beralih ke tangannya, lalu ke wanita tersebut yang masih sama tersenyum, dan ke lelaki yang dibelakangnya—yang melihatnya tajam dengan tatapan sedikit menunduk karena Yoongi lebih pendek.

"Bolehkah? Aku ingin menyapa ibumu. Siapa tau kita akan akrab, ya kan sayang?"

Oh—dia suaminya.

Lelaki tersebut berdehem begitu tatapan intens Yoongi kembali kepada lelaki itu, ia mengalihkan penglihatan ke pohon di halaman rumah Yoongi, "Iya."

Yoongi manggut manggut. Ia meminggir agar tidak menghalangi pintu dan membiarkan mereka masuk. Penciumannya begitu terkontaminasi dengan bau bauan yang kedua orang itu pakai karena melewatinya—tapi bau kopi (seperti parfum tapi baunya kopi) lah yang lebih kentara. Terutama saat si suami wanita tersebut berjalan didepannya.

Yoongi suka kopi—dan bau orang tersebut seperti menuntunnya untuk terus berjalan dibelakangnya bahkan untuk mendekapnya jika ia tak tau malu. Ia candu dengan kopi dan segala tentang kopi—walau disayangkan ia tak bisa meminumnya dirumah karena ibunya akan menegur.

"Siapa yoon? Eh—kalian?" ibunya membawa dua piring penuh lauk, ia menaruhnya sembari bertanya tentang siapa dan ada apa mereka kemari.

"Saya Hyun Ji. Dan ini Park Jimin, dia suamiku. Saya mendengar ada tetangga baru di seberang rumah jadi saya kemari. Maaf mengganggu anda pagi pagi, karena jika siang atau malam kami biasanya tak sempat."

Ibu Yoongi mengangguk angguk dengan senyum paham, ia bahkan mengajak kedua orang tersebut untuk makan setelah menanyakan apa mereka sudah sarapan dan dijawab jika mereka tak biasa sarapan karena kesibukan. Tapi akhirnya mereka menerima ajakan tersebut dengan sedikit tak enak hati setelah Ibunya mengajak dalam kali ketiga.

"Rumah ini cukup nyaman?"

Ibu Yoongi lagi lagi tersenyum, "Iya, cukup nyaman untuk kami."

Lalu mereka berdua benar benar tenggelam dalam cerita mereka, menghiraukan Yoongi yang terdiam sembari terus melirik jam yang kini kian menunjuk angka enam yang berarti ia harus berangkat ke sekolah. Ia niatnya akan menggunakan bus, dan itu pasti akan membutuhkan waktu sedikit lebih lama.

Mereka bercerita tentang pekerjaan masing masing, lalu Ibunya membanggakan Yoongi yang sebentar lagi akan lulus menengah atas –padahal hal tersebut sangat awam—lalu tentang kakaknya yang kini membangun usaha rumah makan kecil kecilan.

Begitu pula dengan Hyun Ji yang bercerita tentang sebenarnya Jimin lebih muda tujuh tahun darinya—ia wanita berusia 41 tahun, dan itu berarti Jimin berusia 34 tahun—akan tetapi kemalangan menghampiri mereka. Hyun Ji dan Jimin tak akan pernah mempunyai anak karena rahim Ji Hyun yang diangkat setelah mengalami pendarahan hebat dan membuatnya keguguran dulu. Waktu dua puluh menit benar benar digunakan dengan baik oleh mereka

Dan suami wanita tersebut—Park Jimin yang tengah memandang sekeliling didepan Yoongi membuatnya agak canggung.

Pada setelah suapan terakhirnya, Yoongi berbicara dengan mulut penuh, "Ibwu, aku pwergi." Tas yang ia sampirkan di bahu kursi ditariknya.

"Eh, kau sudah tau mau naik apa?"

Yoongi mengangguk dengan menelan apa yang dikunyahnya, ia meminum susunya lalu menjawab setelah menandaskannya, "Bus."

"Kau sekolah dimana?" kini Hyun Ji yang bertanya.

"Jeotdam High School," tas nya disampirkan di bahu. Dasi yang hanya dikalungkan di lehernya belum terpakai—sengaja karena akan memakainya nanti jika sedang dibus atau dimanapun, karena ia sangat tak menyukai dasi yang melilit lehernya. Menurutnya itu membuatnya agak tercekik dan tak bebas.

"Oh, kalau begitu ikutlah dengan Jimin. Kau searah dengannya." Wanita itu menawarkan dengan sopan, Yoongi berpikir sejenak. Kedua matanya melirik Jimin yang kini menatapnya sama tajam dengan tadi—seakan memakunya dan mendorongnya untuk berkata iya.

"Oke."

.

.

.

.

Tak ada percakapan diantaranya semenjak mobil Jimin melaju keluar garasi sampai setengah perjalanan tersebut menuju sekolahnya. Yang ada hanyalah hembusan napas gugup Yoongi dengan kedua kaki naik turun dengan cepat.

"Kau kelas tiga?"

— sampai Jimin bertanya membuka suara.

"Iya."

— walau pertanyaan tersebut amat retorik karena ibunya sudah menjelaskannya diruang makan.

"Sudah cukup dewasa kalau begitu."

Entah apa yang salah pada penglihatan Yoongi. Tapi Yoongi jelas jelas melihat seringaian yang menyungging di sisi kanan bibir Jimin walau agak tak jelas—ah oke, penjelasan ini cukup membingungkan.

Yoongi meneleng berpikir artinya, tapi sebelum otak selesai mencernanya bibirnya tetap menjawab lebih cepat, "Iya, begitulah."

Jimin menaik turunkan kepalanya, lalu menoleh melihat pria muda tersebut disebelahnya yang mengeryitkan dahi—masih berpikir tentang arti kata Jimin.

"Berapa usiamu?" jimin kembali bertanya setelah kembali fokus pada jalan dan setirnya.

"Ugh—sembilan belas." Yoongi sedikit berpikir disini, "Tapi akan dua puluh lima bulan lagi." Yoongi mengangguk angguk seraya tersenyum, ia melihat kearah Jimin yang juga melihatnya.

Mereka terpaku untuk beberapa detik—sebelum Yoongi berdehem dan menoleh melihat jalanan di luar jendela.

Benar benar canggung.

"Kau cukup manis,"

Ya, perkataan tersebut keluar dari mulut Jimin.

"Sudah punya pacar?"

Dan Yoongi yang membuka kedua matanya lebar dihadapan Jimin dengan masih dalam mode berpikir-tapi-tetap-menjawab, langsung menggeleng menanggapi.

.

.

.

.

Ini hampir sebulan dari kepindahannya. Yang berarti hampir sebulan Yoongi berhadapan dengan Jimin sebagai tetangga—dan Ayah kedua.

Ya, semenjak kedatangan pasangan suami istri tersebut pertama kalinya, Hyun Ji jadi semakin sering bertandang ke rumah Yoongi untuk menemui ibunya jika mempunyai waktu luang di pagi atau sorenya.

Bercerita ini itu—seakan cerita yang mereka bagi tak pernah habis.

Dan Yoongi semakin kesini semakin turut disayang oleh Hyun Ji, beliau menganggap Yoongi adalah anaknya juga. Sayang yang tak bisa diturunkan kepada anak kandungnya ia luapkan kepada Yoongi.

Tiap minggunya ia akan diberi roti buatannya. Jika Hyun Ji pulang sore dari pekerjaannya ia kerumhnya untuk menemui Ibu sekaligus untuk melihat dirinya.

Dan—setiap paginya ia akan dipaksa untuk ikut Park Jimin. Ia diantar sampai gerbang sekolah. Benar benar seperti anak kecil kembali—tetapi Yoongi tak bisa melihat senyum Hyun Ji meluntur karena penolakannya.

Hyun Ji benar benar menyayanginya walau terhitung dalam waktu sebentar. Senyuman manisnya yang tersungging setiap menemuinya begitu mematri Yoongi untuk turut tersenyum. Ia tak bisa merusak hal itu, ia tak bisa.

"Yoon."

Suara halus terdengar dari samping kirinya, alisnya menaik begitu menyadari ia melamun sedari tadi.

"Ugh—iya?" Yoongi menurunkan tangan yang ia topang ke kaca sebelahnya, ia bawa genggan dengan tangan yang lain.

"Sedang memikirkan sesuatu?" Jimin tersenyum dengan menoleh kepadanya. Jika Hyun Ji memiliki mata lebar yang menyipit saat tersenyum maka Jimin justru memiliki mata sipit yang semakin menyipit—seperti garis saat tersenyum.

"Kau selalu bertanya hal retoris," bahunya diturunkan, malas menjawab Jimin.

Semakin kesini dirinya dengan Jimin memang semakin akrab—layaknya Ayah dengan anaknya, mungkin?

Jimin terkekeh, lengan yang memegang setir itu bergetar, "Iyakah? Maafkan aku, sayang."

Dan panggilan sayang itu, juga panggilan Ayah untuk anaknya bukan?

Bbibirnya mengerucut lucu, kepalanya ia senderkan ke kursi mobil, "Iya, iya."

Jimin melepaskan satu tangannya dari setir, menggapai bibir Yoongi yang semakin maju dan menariknya, "Jangan begitu,"

Lalu pekikan Yoongi dengan kedua tangannya yang mencoba melepaskannya menjadi lawan Jimin. Dilanjut Yoongi yang menggerutu ini itu sebagai pengisi suara di perjalanan mereka menuju sekolahnya.

"Sudahi marahmu, sudah sampai."

Tatapannya manisnya mencoba mematikan Jimin—iya, mematikan segala keseriusan membuat Jimin ingin kembali tertawa.

Tangan Yoongi yang akan mendorong pintu mobil ditarik, membuat Yoongi kembali berhdapan dengan Jimin.

"Apa lagi?!"

Jimin terkikik, ia meletakan tangannya dikedua bahu Yoongi lalu mendekatkannya ke dirinya, "Tak ada apa Yoon, hanya ingin memasangkan dasimu. Kebiasaan sekali tak dipasang, hm?"

Waktu saat pertama kali ia ditarik lalu dipasangkan dasinya ia begitu malu—mukanya memerah sampai perpotongan lehernya. Tapi kini saat ia terbiasa ia hanya diam—menikmati bau kopi yang menyeruak di hidungnya dengan hembusan napas Jimin yang juga sama berbau kopi—kopi hitam yang menjadi peneman baca korannya tadi pagi.

"Nah sudah,"

Yoongi melirk dasinya dengan sedikit mengeryit, mencoba meneliti lalu saat ia merasa benar ia kembali berbalik—dan kembali ditahan juga oleh Jimin, kepalanya meneleng menanyakan apa lagi kepada Jimin.

Cup

"Sekolah yang benar ya. Jangan mengingatku terus."

Ciuman di bibir, dan ia bilang untuk jangan mengingatnya?

Oh—semu merah itu kembali. Dan anggukan kosong karena kebiasaan 'berpikir-tapi-menanggapi' dari Yoongi yang turut diikuti dirinya yang keluar begitu saja menjadi akhir yang Jimin lihat sebelum melajukan mobilnya.

"Eh?! Tadi kenapa dia menciumku?!"

.

.

.

.

Mobil hitam didepan gerbang sekolah Yoongi menjadi pusat perhatiannya, apa iya?

"Kenapa kau menjemputku? Aku bukan anak kecil!"

Orang yang ia duga ternyata benar adanya, Jimin dibalik setir itu hanya tersenyum dengan menampilkan giginya kepada Yoongi. Dan Yoongi yang memaki juga malah memutari mobil Jimin dan duduk di sisi Jimin. Iya, marahnya Yoongi memang entah untuk apa.

"Kau sudah makan?"

Yoongi mengangguk tanpa menjawab.

"Kita pulang sekarang? Kau tak ada ingin pergi kemana dulu?"

Dan Yoongi kembali mengangguk.

Jimin menghela napasnya dengan menggeleng kecil, "Baiklah kita pulang."

Jalanan yang lenggang itu semakin sepi karena Yoongi yang terdiam—terlampau diam dan membuatnya mengantuk dan tertidur dengan pulasnya.

Jimin meliriknya saat Yoongi menggeliat dengan sedikit mendengungkan hal entah apa.

Dasinya yang ia lepas ia genggam di tangan—dan jatuh begitu tangannya melonggar. Kedua kancing atasnya yang Yoongi lepas semakin terbuka saat Yoongi menggaruk dadanya gatal.

Semua itu—tak lepas dar pandangan Jimin.

Torso bagian ats Yoongi yang terpampang, bibirnya yang semakin merekah ranum kala Yoongi mengulumnya dalam tidur, dan kleher jenjang Yoongi yang kian terlihat karena Yoongi mendongak dengan tak nyamannya.

Yoongi bagi Jimin—bukanlah sekedar anak.

Tapi juga seorang yang dapat merebut segala perhatiannya bahkan sejak pertama kali ia melihat Yoongi.

Tubuhnya yang kecil seakan meminta Jimin untuk merengkuhnya. Senyumnya yang tertarik dari sisi bibirnya seakan meminta Jimin untuk terus berada di sisinya.

Jimin menghentikan mobilnya sebelum didepan suatu taman. Ia terdiam cukup lama hanya untuk mengamati Yoongi.

Hari ini, sudah sekira jam enam sore.

Badan kecil dambaan Jimin itu ia rengkuh. Membawanya pelan ke gendongannya dengan mudah walau Yoongi menggeliat.

Ia memeluknya tak erat—takut mengganggu. Kepalanya ia jatuhkan di lehernya, pun sama dengan dirinya yang menjatuhkan kepala sendiri di perpotongan leher. Tak ada bau khusus dari Min Yoongi—kecuali bau caramel yang samar tercium yang mungkin agak menghilang karena kegiatan seharian penuhnya.

Beberapa menit terdiam—sampai Jimin benar benar tak dapat menahannya ketika Yoongi bergerak tak nyaman, tanda ia akan terbangun. Dan Yoongi benar benar terbangun dengan alis yang menyatu bingung—

—sampai jilatan dan gigitan di lehernya membuatnya mengerang.

'Angh—ugh? J-jimin?'

Kebiasaan Yoongi yang tak pernah memanggil Jimin dengan embel embel ahjussi semenjak Jimin suka menjahilnya itu terkuak dari bibirnya. Tangan yang terkulai tadinya ia bawa menuju ke kepala Jimin yang semakin menyeruk dan menggigiti kulit putihnya.

'Jiminh—apa-apaan—ah—'

Tangan satunya dengan kuat mendorong kepala Jimin, dan tangan lain yang berada di dada bidang Jimin juga turut membantu—tetapi tak ada pergerakan berarti karena hal itu.

Ia mendongak, kala dagunya didorong ke atas dengan kuat oleh Jimin. Membuat Jimin semakin gencar melakukan aksi.

'J—jiminie—'

"Iya, sayang. Hm, Jiminie? Lucu juga."

Kepala Yoongi menggeleng, meraih kesempatan saat Jimin mengangkat kepalanya untuk berbicara—dan kesempatan beralih gagal saat Jimin berpindah ke lehernya yang satunya.

'jimin—ani—'

Rambutnya dijambak oleh Jimin, membjuat perih di kepalanya. Tangisnya seakan bukan penghalang untuk Jimin yang kini melepas kancing yang tersisa dan menyelusup ke perutnya merembet ke dada sempit Yoongi.

'ani—'

Tubuhnya menggelinjang responsif saat ujung dadanya dipelintir kuat oleh Jimin.

Pemberontakannya semakin melemah kala tangan Jimin yang satunya benar benar membuang seragamnya dan menggenggam pinggangnya. Ia memijit pelan pinggang itu dengan tangan satunya yang memberi penekanan di salah satu dada Yoongi lalu bergantian ke pucuk dada lain.

"Yoon, aku menginginkanmu."

Okay, sebenarnya saya membuat ini sekaligus sebagai notif. Aku lagi bingung sama work ku yang lain yaitu 'Pervert Kim'. Aduh, otak aku tahan idenya selama seminggu malah buat aku jadi bener benr lupa. Akutuh pelupa banget, bahkan kadang aku bisa lupa dalam satu kali menguap (wkwk)

ps. inosen Yoongi? kenapa ngga :p

bultaereunae