WARNING: all that gay shit and a hint of dark theme here and there (overall, mature content).


Hari itu panas luar biasa. Langit cerah tak berawan, matahari tepat berada di atas kepala, dan udara tak berangin. Levi berselonjor di atas kursi di beranda belakang, mengibas-ibaskan koran yang ia temukan di meja dapur untuk menyejukkan diri. Punggung dan bokongnya sakit karena material kayu kursi tua yang menusuk tepat ke tulang, tetapi Levi terlalu malas untuk bergerak jadi ia hanya memposisikan tubuhnya beberapa kali ketika merasa tak nyaman. Ia berada di rumah/ladang/ milik pamannya, Kenny, di suatu tempat agak terpencil di Georgia di mana tak ada rumah yang saling berdekatan melainkan hanya tanah atau ladang dalam beberapa radius meter. Ma menghabiskan musim panas dengan suami barunya ke Utah; berencana untuk melihat gereja LDS yang terkenal di Salt Lake City sekaligus bertemu dengan keluarga barunya. Levi merasa itu akan menjadi liburan yang sangat membosankan dan menolak untuk ikut, jadi Ma menyuruhnya untuk pergi ke Georgia dan tinggal beberapa saat bersama Kenny. Tetapi Levi tak tahu kalau musim panas di Georgia akan sepanas ini. Dan, jaringan internetnya buruk di daerah di mana Kenny tinggal.

Levi mengenakan oversized Tee dan sweatpants yang ia gulung sampai ke lutut, memerkan kulit pucat dan bulu kakinya kepada dunia. Sebenarnya ia ingin bertelanjang saja di kamar, tetapi di dalam serasa seperti di sauna dan Levi tak tahan. Dari tempatnya duduk ia bisa melihat Kenny dan beberapa krunya bekerja memetik buah persik. Mereka sudah bekerja sejak pagi tadi, hampir empat jam berlalu dan hanya beristirahat sepuluh menit di tiap jamnya. Levi tak tahu apakah mereka akan memanen seluruh buah persik hanya dengan sepuluh orang kru, tanpa mesin, yang terdengar gila. Dan sedari tadi, tak ada seorang pun yang terlihat lelah atau malas. Mereka semua seperti sedang melakukan permainan 'siapa yang memetik buah persik terbanyak dialah yang menang'. Tak ada keterpaksaan. Tak masuk akal bagi Levi.

"Bukannya ini membosankan?" Levi berdiri di samping Kenny yang memantau para kru memindahkan buah persik dari keranjang ke dalam mesin hydro-cooler. Dari jarak sedekat ini, ia bisa menangkap bau keringat dan matahari dari Kenny.

"Bosan? Nak, seluruh hidupku kuhabiskan di sini. Fase bosan itu sudah lama mati buatku. Kau tak akan mengerti bagaimana kepuasan yang kau dapat dengan semua ini, maksudku, menuai benih, memanen, oh, kau tak akan pernah bisa mengerti."

Balasan Kenny membuat Levi mengangguk-angguk. Ya, ia tak akan pernah mengerti karena dia begitu terbiasa dengan kehidupan di kota. Dia lebih senang menonton Youtube sepanjang hari atau bermain game atau nongkrong dengan teman-temannya. "Oh, oke."

"Oke?" Kenny menoleh dan menaikkan sebelah alisnya, memberikan perhatian penuh kepada keponakannya.

Levi mengangguk. "Umm... yeah? Kenapa?"

Jawaban Levi membuat Kenny mendengus dari hidung. "Pergi dan lakukanlah sesuatu."

"Apa itu berarti aku boleh pergi mencari udara segar dengan mobilmu?"

"Uh, terserah. Tapi ingatlah untuk pulang sebelum makan malam."

"Sebelum makan malam." ulang Levi. "Janji. Sebelum makan malam."

Ketika ia berlari ke rumah, Kenny meneriakinya untuk tidak terlibat masalah dan bersikap sopan.


Levi sengaja membuka jendela, membiarkan angin musim panas yang kering menyapu kulit dan mengacaukan rambutnya. Sunsetz dari Cigarettes After Sex mengiringi perjalanannya menuju... entahlah, kemanapun ujung dari jalan lurus yang membentang di hadapannya. Sejauh ini ia tak berselisih dengan mobil apa pun selain truk pembawa hewan atau jerami yang memotongnya dengan kecepatan lambat. Tempat ini seperti perbatasan kota mati. Tetapi pemandangan alam yang disuguhkan untuknya benar-benar mengagumkan sehingga sesekali Levi melambat untuk mengambil gambar atau video dengan ponselnya. Terdengar berbahaya, Levi harap tak ada yang mengikuti tindakan bodohnya ini.

Jalan lurus itu membawanya ke sebuah kota kecil. Pada dasarnya, semacam plaza dengan bangunan yang lebih kuno dan pilihan yang terbatas dan minus para remaja. Levi melajukan mobil dengan lambat supaya dapat melihat-lihat toko mana yang menarik untuk ia datangi. Pilihannya jatuh ke sebuah toko kecil dengan dinding bata yang dirambati ivy di persimpangan jalan. Toko barang antik. Dari etalase Levi bisa melihat tanaman indoor dan benda-benda antik seperti Grandfather Clock, lukisan-lukisan renaissance dan guci-guci di sana. Mungkin dia bisa menemukan beberapa barang yang menarik untuk kamarnya di Colorado.

Levi tak tahu apakah ia boleh memarkir mobilnya di depan toko karena ia tak melihat kendaraan apa pun selain sepeda yang disandarkan ke dinding, jadi... meh.

Begitu berada di dalam, Levi langsung mencintai toko ini karena, 1) lagu yang diputar adalah lagu-lagu indie yang pernah ia dengar dari playlist Spotifynya dan Youtube, 2) tempat ini wangi lemon, tak seperti toko barang antik biasa yang bau rokok, debu atau lumut lembab, 3) A/C. FUCK! AKHIRNYA PENDINGIN RUANGAN!1! Hal pertama yang Levi lakukan kemudian adalah mengecek rak vinyl records. Cuma melihat-lihat karena ia tak punya phonograph. Kemudian ia mengecek lukisan, keren, benda-benda pajangan, dan rak bertingkat penuh kaktus dan succulents di dekat kasir menarik perhatiannya.

"Kau menjual mereka?" tanya Levi masih tak percaya. Pegawai yang sedari tadi membaca buku di balik meja kasir seolah tersadar dan nyaris terjatuh dari kursinya. Levi tak tahu seseorang bisa begitu serius melakukan sesuatu sampai tak sadar dengan sekelilingnya.

"Astaga, maafkan aku! Aku tak sadar kalau ada pelanggan karena biasanya toko ini jarang sekali kedatangan satu!" jelasnya tergesa-gesa. "Dan, ya. Bayi-bayi manis itu dijual." lanjutnya kemudian, menaikkan kacamatanya dengan jari tengah sambil tersenyum kikuk.

Bayi? Batin Levi. Tetapi ia mengabaikan komentar wanita paruh baya itu. "Kalau begitu aku mau kaktus yang ada bunganya itu."

"Oh. Well," wanita itu mendekat dan mengambil kaktus yang diinginkan Levi ke tangannya. "Yang satu ini agak mahal dari yang lainnya karena umurnya sudah tua dan berbunga."

"Tak masalah. Karena itulah aku mau membelinya."

Dan Levi mendapatkan kaktus itu di dalam paper bag. Ia bahkan meletakkannya di kursi penumpang dan memakaikan seat belt untuk kaktus itu. Bayi. Ya, sekarang kaktus itu bayinya.

Levi mampir ke sebuah Diner untuk membeli kentang goreng dan burger dan cola sebelum kembali. Setelah Burger King, burger di Diner ini adalah kesukaannya. Ia makan sampai menjilat setiap jari tangannya. Levi memutuskan untuk membeli dua burger lagi untuk dibawanya pulang sebagai makan malam. Dan bagian terbaiknya, ia mendapat diskon karena paman pemilik Diner sadar kemiripannya dengan Kenny—Levi tak yakin dari segi mana—dan menitipkan salam untuknya.

Kenny melambaikan tangan kepada kru terakhir yang meninggalkan kebun senja itu ketika Levi memasuki pelataran dengan membuat manuver tajam untuk mengelak dari truk. Ia bisa melihat bibir Kenny melengkung ke bawah dengan sorot mata tajam begitu menyaksikan kejadian itu terjadi. Levi sendiri buru-buru membuka kaca penumpang dan berteriak, "Maafkan aku!", berharap dengan begitu Kenny akan meninggalkan masalah itu di sini.

"O...ke, ayo berharap supaya paman tak membesar-besarkan masalah ini, Isabel." bisiknya seraya melepaskan seat belt kaktusnya. Ya. Dia baru saja memanggil kaktusnya I-S-A-B-E-L dan ia tak menyesal. Nama itu muncul begitu saja di benaknya.

"Well, kau nyaris saja membunuh seluruh kruku. Hebat sekali." sindir Kenny ketika Levi turun dari mobil dengan paper bag di pelukannya dan kantong plastik di salah satu tangannya yang kosong. "Dan apa yang kau bawa itu?"

Mereka berjalan masuk ke dalam rumah. Kenny melepas topi dan menggantungnya di gantungan mantel di mud room, melepas bootsnya yang penuh lumpur dengan bersender pada dinding sambil mendengar Levi menjelaskan apa yang ia beli dan lakukan di kota.

"Yeah? Kau bersikap sopan, kan?" helaian rambutnya mulai keluar dari gel yang ia berikan pagi ini.

Levi berdecak, mengganti tumpuan kakinya seraya berkacak pinggang. "Kau bisa tanya paman di Diner itu kalau kau tak percaya padaku. Memangnya ada apa dengan kesopanan? Maksudku, tak ada yang salah untuk bersikap sopan, tapi, kau terus memperingatiku untuk bersikap sopan dan sumpah, itu jadi kedengaran mencurigakan."

Perhatian Kenny sepenuhnya kepada Levi setelah itu. Tapi ia tak memberikan respon apa pun selain melempar salah satu bootsnya terlalu keras ke lantai, membuat Levi tersentak, kemudian mengambil kantong plastik dari tangan Levi seraya menyisir rambutnya yang berminyak ke belakang.

"Ayo makan."

Mereka makan di ruang santai sambil menonton acara komedi yang disiarkan di TV nasional. Awalnya Levi tak mengerti humor garing yang disajikan di acara itu, tetapi karena hampir setiap hari Kenny menontonnya, perlahan ia pun ikut menikmatinya. Saat itu, burger dan lelucon berhasil menyatukan dua orang keras kepala.


"Pagi yang telat?" Levi memasuki dapur setelah melakukan rutinitas pagi. Biasanya, Kenny sudah berada di kebun dengan para krunya, tetapi pagi ini pria itu berada di depan kompor memasak sarapan pagi.

"Yeah... toh aku tak perlu terus memantau mereka seperti supervisor keparat yang akan memaki jika melihat kesalahan kecil. Mereka orang-orang loyal, aku percaya mereka."

"Hmm, aku bisa lihat." gumam Levi menarik salah satu gelas dari kabinet dan menuangkan susu. Ia berjinjit untuk mengintip dari balik bahu Kenny apa yang berada dalam penggorengan dan melihat telur orak-arik di sana. Di atas konter, sosis dan bacon dan potongan buah peach tersusun di atas piring besar. "Kau memasak sarapan untuk kita? Tumben."

Suara Kenny terdengar lebih serak, "Anggap saja moodku sedang baik.". Ia menjernihkan tenggorokannya kemudian menyuruh Levi untuk duduk di meja makan dan berhenti bernapas di sampingnya sebelum ia meledak.

Meski baru mandi, badan Levi sudah kembali berkeringat walaupun ia tak banyak melakukan apa pun. Ketika mereka selesai makan, tubuhnya dibanjiri peluh sehingga ia mengeluh kepada Kenny untuk dibelikan A/C.

"Kau bercanda? Lupakan A/C. Pergilah ke danau atau sungai—mereka banyak di wilayah ini—bukankah begitu caramu menikmati musim panas? Aku tak mengerti kenapa anak-anak sekarang lebih senang berdiam diri di dalam rumah. Dulu kami sampai memohon bahkan mengendap-endap supaya bisa bermain ke luar."

Levi berbohong kalau ia ingin buang air besar supaya bisa pergi karena Kenny mulai mencermahinya macam-macam hal.

Nyatanya, Levi tak tahu di mana sungai dan danau yang Kenny sebut tadi pagi atau lebih tepatnya ia tak berani berkendara ke dalam hutan sendirian karena hei, realistis saja, setiap hutan memiliki rahasia. Pasti, entah binatang buas atau mungkin jasad yang terkubur enam kaki di bawahnya atau apalah, Levi yakin itu. Jadi ia kembali ke kota, tetapi kali ini berhenti ke sebuah Laundromat untuk sekedar melihat bagaimana tempat itu beroperasi.

Tempat itu kecil, padat oleh mesin cuci tetapi hanya empat orang termasuk dirinya dan bibi penjaga toko yang berada di sana. Wangi floral yang lembut memenuhi ruangan dan dengung mesin yang bekerja malah membuat Levi tenang. Ia suka tempat ini terlebih lagi ada Wifi dan juga A/C-nya menyelimuti seluruh sudut ruangan. Levi mengambil tempat paling ujung di bawah A/C, ia nyaris mendesah begitu merasakan angin dingin menerpanya, kemudian bersandar ke kursi untuk menikmati momen-momen itu. Tak jauh darinya seorang pria super keren yang pernah Levi lihat duduk dengan kepala tertunduk bersilang dada. Semua tentang pria itu benar-benar membuat Levi iri karena ia tahu tak akan pernah bisa menjadi semaskulin dan sememesona itu.

Apa kau bersikap sopan?

Tiba-tiba saja doktrin Kenny terlintas di benaknya sehingga ia langsung membuang muka, membenarkan posisi tubuh dan memilih untuk menyibukkan diri dengan ponselnya. Puluhan notifikasi muncul yang didominasi oleh Snapchat, Youtube, dan Reddit. Ia mengecek Snapchat terlebih dahulu untuk mendapati Snap Streaks-nya dengan Erwin hilang. Damn, padahal sudah jalan 457 hari—yeah, mereka berdua kecanduan aplikasi ini—. Ada beberapa chat dan snap yang ia terima tetapi ia memilih untuk mengecek snap dari mamanya terlebih dahulu. Foto Ma dan Ryan di depan gereja LDS yang megah seperti kastil Hogwarts, saling merangkul. Kemudian foto makanan dan beberapa video singkat tentang kegiatan Ma dan Ryan dan keluarganya ketika berkumpul. Kemudian beberapa chat.

Di sini sangat menyenangkan, kau menyesal tak ikut bersama kami.

Adiknya Ryan punya anjing beagle kesukaanmu namanya Croissant.

Bagaimana musim panasmu, dear? Kalian masih hidup, kan? ;)

Levi dibuat menyengir. Ia kemudian membalas satu persatu chat mamanya kemudian mengecek chat dari Erwin. Ia ingat kalau Erwin berniat akan memanfaatkan musim panas untuk melakukan kerja sambilan untuk pengalaman dan uang jajan tambahan. Mungkin ia harus tanya soal kerja sambilannya nanti karena sekarang, sosok dua bangku darinya terbangun ketika mesin cucinya berbunyi tanda selesai. Perhatian Levi sepenuhnya kembali kepada sosok yang—o..kay, tinggi itu—tak Levi sangka ia setinggi dan semengancam itu. Hoodienya turun ketika ia berdiri, memamerkan surai dirty blondnya yang kusut. Ia memakai pakaian serba hitam—hooide ripped jeans—dan combat boots. Kemudian ia membungkuk untuk mengambil pakaiannya dari mesin pengering dan Levi merasa bersalah karena mengecek pahanya yang kokoh terpahat sempurna. Sial. Apa pekerjaannya? Apa yang ia lakukan untuk mendapatkan tubuh seatelitis dan sebagus itu? Levi yakin di balik hoodie itu tubuhnya tak kalah sempurna. Sebelumnya, ia selalu berpikir kalau Erwin punya badan yang bagus tetapi begitu melihat pria ini, oh boi, Levi dibuat berubah pikiran.

Jadi ia tak tahu apa yang membuatnya bisa berani hari itu tetapi setelah dipikir-pikir, ia begitu bodoh dan terdengar mengerikan ketika berkata, "Hei, apa kau semacam eks-militer atau semacamnya? Badanmu keren!"

Ya, benar-benar memalukan. Di kepalanya kalimat itu terdengar normal, tetapi ketika dikatakannya keras-keras jadi terdengar mesum. Levi siap bangkit dan berlari keluar saat itu juga ketika pria tadi dengan santai dan tenangnya menatap ke arahnya dan suaranya terdengar kasar dan parau. "Yeah. Yeah, dua tahun lalu. Terima kasih."

Satu kalimat yang membuat jari kaki Levi mengeriting di balik sepatunya.


"Kenny." panggil Levi. "Kenny!" panggilnya lagi ketika Kenny tak melepas mata dari layar TV. Malam itu mereka makan pizza.

"Astaga, inilah kenapa aku tak menikah. Ada apa?"

Levi menyipit. "Kau kenal hampir seluruh orang di kota ini, kan?" tanyanya menjilat bibir.

"Umm, yeah? Kenapa? Ada seseorang yang mengganggumu?"

"Bukan!" geleng Levi. Ia menggigit bibirnya, ragu untuk bertanya. "Apa mungkin kau kenal seseorang dari eks-militer? Badannya tinggi, nyaris dua kaki kurasa, berjanggut dan kumis tipis dan berpotongan rambut undercut...? Shaggy? Oh, dia juga super atletis."

"Eks-militer?" Kenny diam sejenak untuk memikirkan orang setinggi dua meter yang mungkin ia kenal. Ada beberapa. Tapi ia tak yakin mereka yang Levi maksud karena mereka tak muda lagi. "Entahlah. Nanti kupikirkan lagi. Memangnya kenapa? Dia mengganggumu?"

Levi memutar mata. "Sudah kubilang bukan!" erangnya, kembali menatap layar TV. "Oke, terima kasih sudah mau menjawab pertanyaanku. Oh, Ma juga kirim salam."

"Yeah? Sampaikan salamku kembali untuknya."

Pepperoni basil pizza di tangannya tak lagi terasa enak dan Levi tak bisa fokus menonton TV.


Dua minggu berlalu sejak pertemuannya dengan pria Laundromat. Levi masih berkunjung ke kota untuk mengecek toko-toko yang ada di sana dan selalu makan siang di Diner. Paman Grizzly juga mengajaknya berbicara setiap ia tak sibuk dan pembicaraan mereka selalu menarik sehingga Levi menyukai pria itu. Suatu hari ia pernah bertanya soal pria Laundromat kepada Paman Grizzly dan jawaban dari pria gempal itu membuat Levi tak percaya.

"Kalau orang yang kaumaksud benar dia orangnya, aku cuma bisa bilang kalau dia bukan eks-militer. Dia punya semacam pack ini bersama orang-orangnya yang bermarkas di selatan dan mereka bukan orang-orang baik. Kau tak akan mau berurusan dengan mereka, Nak. Kau tak akan mau.".

Sejak saat itu, Levi berhenti memikirkan pria yang sempat muncul dalam mimpinya dua hari setelah pertemuan mereka.


i know. Saya sempat hapus fic sebelumnya. Sebagai ganti, saya langsung upload 2 chapter sekaligus untuk fic kali ini. also, semoga horizontal line-nya muncul *sighs*

Thanks for your support.

Stay hydrated fam!

-xoxo