Warnings: gore, slight yaoi, horror, don't like don't read
Pairings: RoChu (Russia x China) dan sedikit crack (Lithuania x China, China x Latvia) dan DarkChina x China (emang ada pairing ini..?)
Disclaimer: Mo sampe kapan pun tetep Hikadez Himaruya
Memories in the flower garden
"Itu tak mungkin terjadi Russia...,"
"Kalau tidak dicoba, mana bisa kita tahu?,"
"Hihi... kubilang tidak akan... karena bukan kita yang menciptakan kupu-kupu itu...,"
"Benarkah?,"
"Tentu saja... yang mencitakannya adalah Tuhan,"
"China, da... maukah kau mengajariku tentang kebahagiaan?,"
"Dengan senang hati".
Kejadian itu tak dapat kulupakan dari pikiranku. Kesempatan terakhirku untuk bertemu dengannya. Aku ingin sekali bertemu dengannya meski hanya sekali. Tapi, sejak kejadian di taman bunga itu, aku tak berani keluar rumah. Setiap hari, Korea berkunjung ke rumah untuk menemaniku. Dialah satu-satunya keluargaku. Yang lain mungkin sudah bergembira di surga sana. Aku tak mau kehilangan lagi entah itu hanya hewan peliharaan atau apa pun yang dapat membuatku gembira. Aku tidak mau kehilangan Korea atau teman-temanku. Untung saja dia sudah mati. Tapi... apakah kematiannya... bisa membuatku bahagia? Ya... mungkin dia sudah merebut semua apa yang seharusnya jadi milikku. Tetapi, tanpanya... aku kesepian. Temanku yang paling berharga. Yang sudah kuanggap sebagai keluargaku sendiri. Tetapi.. selain rasa kasih sayang, ada rasa dendam dan rasa benci yang membara di dalam diriku. Russia... apa kau bisa mengembalikan semuanya seperti pertama kali kita bertemu?
"Aniki! Aku datang, da ze!,"
"Silahkan masuk, aru,"
Korea datang sekitar jam setengah delapan. Dia selalu saja membawa makanan aneh dan rasanya amat pedas. Dia bilang itu demi kesehatanku. Yaah.. memang.. sejak Kiku, Taiwan, dan Hongkong meninggal, daya tahan tubuhku melemah. Entah bagaimana Korea bisa lolos dari serangan-serangan Russia yang begitu kejam. Hanya ada luka kecil di bagian kakinya. Itu pu sudah membuatku amat sangat khawatir. Sejak saat itu, aku melarangnya untuk tinggal di rumahnya sendirian. Dia tinggal bersama Thailand di kos-kossan Hetalia Gakuen.
"Aniki, hari ini kubawakan kimchi, tidak pedas kok!,"
"Apa aku bisa percaya kata-katamu? Biasanya kau memasukkan 7 buah cabe ke dalam kimchi ini,"
"Sudahlah! Makan saja! Cabenya Cuma 3 kok!,"
"Hhh... baiklah jika itu maumu..,"
Lalu aku mulai menyantap makanan pedas itu mulai jam sembilan lewat emat puluh lima menit. Aku pun tersenyum. Hatiku berkata "Kau sudah membuatkanku makanan yang sempurna". Lalu aku menghabiskan kimchi itu.
"Enak sekali...,"
"Tuh kan! Kubilang masakanku enak!,"
"Hmm... lain kali bawa yang seperti itu lagi, ya...,"
"Tentu! Baiklah.. aku pulang dulu Aniki!,"
Dia melambaikan tangan sekitar jam setengah satu. Aku membalasnya dengan sedikit senyuman. Lalu dimulailah aktivitas-aktivitasku yang mebosankan
"Thailand-san! Aku pulang!,"
Tak ada jawaban.
"Thailand-san? Dimana kau?,"
Tak ada jawaban.
"Hey! Kau mau main petak umpet ya?,"
Tetap tak ada jawaban.
"Heyyy! Jawab aku don- A-A-A-ARGHHHH! GWAAAA! ,"
Korea menjerit ketika melihat tubuh Thailand yang bersimbah darah. Lehernya hampir putus. Tangannya hilang sebelah. Matanya melotot. Korea segera berlari keluar dan berteriak minta tolong.
"TOLONG! SESEORANG! TOLOONG!,"
Tiba-tiba America, England, France, dan Germany datang menghampirinya.
"Apa-apaan kau ini? Kayak orang gila saja teriak-teriak di siang bolong begini,"
"B-bu-bukan! Tha-Thailand-san! Di-dia mati! Mati!,"
"Ha-Hah..?,"
"Kalau tak percaya, coba saja masuk ke dalam!,"
Lalu mereka berlima masuk secara bergiliran.
"Dia ada di kamar man- HAH! MU-MUSTAHIL!,"
Mayat Thailand tak ada di kamar mandi. Yang ada hanya bercak-bercak darah. Mereka semua menatap bercak darah itu dengan tatapan heran sekaligus takut.
"...Kamar ini harus ditutup...,"
"Tadi benar ada di sini... aku.. aku tak mengerti sama sekali...,"
"Korea... sebaiknya kau pindah ke tempat kakakmu..,"
Setelah kejadian itu, Korea aman di rumahku. Dia bahkan tidak mau tidur sendiri. Kalau tidur, selalu saja menyembunyikan kepalanya di dekat dadaku. Kalau aku menyuruhnya untuk tidur sendiri, dia malah menangis. Entah apa yang ia lihat saat Thailand terbunuh.
"Aniki... kau sayang padaku kan..?,"
"Hah? Tentu saja aku sayang padamu...,"
"Apa bukti sayangmu padaku..?,"
"Kau bertanya pertanyaan yang konyol... aku tak sanggup membuktikannya padamu karena bukti sayangku padamu amat banyak,"
"Benarkah itu?,"
"Iya, aku tak akan berbohong...,"
Aku heran. Tak biasanya Korea melontarkan pertanyaan aneh seperti itu. Aku merasa, ada yang berubah dengannya.
"Aniki... bolehkah aku mati..?,"
"Mati? Semua manusia pasti mati... tapi mereka akan mati pada waktu yang tepat, kecuali kalau mereka bunuh diri,"
"... kalau begitu... aku boleh bunuh diri?,"
Bunuh diri! Ini sudah gila! Untuk apa dia bunuh diri? Spontan saja kutampar dia sekeras mungkin.
PLAKK(sfx: suara tamparan)
"Aniki...,"
"Korea! Sadarlah! Apa yang merasukimu nak! Sadarlah Yong Soo!,"
"Aniki... aku mau mati saja...,"
"TIDAK! HEY KAMU SIAPA PUN YANG ADA DI DALAM ADIKKU! KUMOHON KELUARLAH!,"
Tiba-tiba saja ada arwah seorang pria yang keluar dari tubuh Korea. Wajahnya tidak hancur. Malah terlihat bersih dan tampan. Aku hanya bisa mangap.
"Sudah lama sekali ya... Nii-san...,"
"Ja... pan...?,"
"Nii-san... biarlah Korea pergi bersama kita... aku mohon...,"
Aku tak bisa berkata-kata. Aku memandangi Korea yang telah terbengkalai di lantai. Aku pun menangis. Keluargaku satu-satunya yang tersisa... kini telah pergi. Aku mencium bibirnya lekat-lekat. Seakan tak mau berpisah dengannya. Tapi... mau bagaimana lagi.. ini sudah takdir. Dia menghilang ketika aku melepaskan bibirku.
"Selamat tinggal...,"
Kataku dengan suara yang terisak.
Beberapa hari setelah kematian Korea, aku mencoba untuk menjalani hidup yang baru. Mulai dari berpakaian yang tidak wajar sampai merokok. Banyak orang yang mencoba menghentikanku untuk terus merokok. Tapi usaha mereka sia-sia saja.
Kini, Aku terkenal sebagai teroris sekolah. Kerjaku hanya merokok, kabur dari kelas, dan bahkan berburu binatang-binatang liar. Semua orang menjauhiku. Tak ada satu pun orang yang mau berteman denganku. Hidupku hancur. Aku sudah tak punya apa-apa. Biarlah aku mati. Itu adalah jalan terbaik.
"Hey kamu yang di sana...,"
Aku memanggil seorang anak laki-laki kecil. Tubuhnya mungil dan badannya gemetar. Aku menatap tajam anak itu.
"Hey kamu... bisa belikan aku dinamit atau granat?,"
"U-U-Untuk apa...?,"
"Ya untuk meledakkan sungai di belakang sekolah, aku mau makan ikan hari ini... malas kalau beli, mending mengambilnya sendiri..,"
"Ka-Kalau begitu... le-lebih baik kau memancing saja, bagaimana..?,"
"Ooh, kau mau menantangku ya?,"
"Ti-Tidak! Tidak!,"
"Kalau begitu cepat belikan!,"
"Ba-Baik!,"
Aku kembali menghisap rokokku. Aku memerhatikan cara anak itu berlari. Lalu aku tersenyum. "Dia tak pandai berlari... kesempatan bagus..," pikirku.
Beberapa menit kemudian, anak itu kembali.
"Huh, lama sekali kau...,"
"Ma-Maaf... tokonya jauh- tunggu.. ngomong-ngomong... kemana semua orang..?,"
"Hihi... merak sudah tiada di dunia ini...,"
"A-A-Apa maksudmu...?,"
"Kau akan segera tau...,"
Aku mengayunkan pisau ke lehernya
"GYAAAAAAAAAA!,"
-bersambung-
OwO ngegantung sekali ya, just wait for the next chapter XD
