Halo cemuaah~ #alay #slapped
Sebelum saya memulai cerita ini, saya cuma mau ngasih tau kalau ini adalah hasil rombakan dari Panggil Aku Mama. Jalan cerita beda, setting tempat masih sama (Namimori), karakternya memakai OC saya! Saya tau ada beberapa—atau mungkin banyak? Wkwk—yang tak menyukai OC di dalam FF tapi… ya mau bagaimana lagi? Option terakhir yang enak dipilih itu ya nampilin OC. Lagipula, pakai OC tidak melanggar guidelines kan? ;) so, don't like, don't read~ :*
Oke, selamat berbuka puasa and enjoy this story! *ketahuan banget yang nulis pas lagi buka puasa*
Note:
"Authornya cantik." Berbicara bahasa Indonesia/asing.
"Authornya cantik." Berbicara bahasa Jepang.
.
.
prof. creau
presents
No! Don't Call Me Mother, You Bi—Bocah!
#1st Child: Asari Takeshi — Doa Malaikat Kecil
Katekyo Hitman Reborn! © Amano Akira-sensei
.
.
Rambutnya hitam legam dengan panjang hingga pinggang dan berponi depan. Irisnya hitam namun, bila diperhatikan lebih dekat sebenarnya berwarna coklat tua. Kulitnya kuning langsat, seperti orang Asia pada umumnya. Tapi sayang, matanya tidak sipit seperti orang-orang sekitarnya karena pada dasarnya ia memang bukan asli orang sini, Jepang.
Darahnya telah bercampur-aduk antara darah orang Jepang dengan Indonesia. Blasteran memang. Bilingual sudah pasti karena sang ayah dan ibu selalu berbicara dua bahasa yang berbeda setiap hari. Banyak karakter fisik yang ayahnya turunkan padanya, terutama matanya—ayahnya asli Indonesia. Namun, bukan berarti tak ada yang diturunkan dari kubu sang ibu. Kepiawaiannya bermain biola telah ibunya turunkan.
Namanya Rahma Suci Kusuma. Sudah enam bulan ia tinggal di Namimori, Jepang. Di sini tempat kelahiran ibunya juga tempat ayah dan ibunya pertama kali bertemu. Sekarang ia tinggal berdua dengan neneknya. Hari pertamanya bersekolah di Namimori High School terasa berat karena lingkungan sekolah Indonesia dengan di sini itu jauh berbeda.
Bagi Rahma, kesan pertama saat bergaul dengan teman-teman di sekolah barunya itu hanya satu; orang Jepang itu sotoy. Setelah memperkenalkan dirinya di kelas, ada seorang siswa yang bertanya apa nama belakangnya karena namanya begitu absurd serta terdiri dari tiga kalimat. Kemudian, Rahma menjawab 'Kusuma'. Nah, mulai dari situ ia sering dipanggil 'Kusuma-san! Kusuma-san!'. Iyalah, dia mengerti orang Jepang itu menggunakan last name (yang diartikan sebagai nama keluarga) untuk panggilan. Pantai, please… Kusuma itu bukan nama keluarganya dan dia tidak punya nama keluarga sama sekali. Maka dari itu ia mengganggap orang Jepang itu sotoy.
Rahma duduk di tingkat tiga sekarang. Popularitasnya melejit ketika warga sekolah tahu ia blasteran. Saat ini, ia sedang merapikan buku-bukunya. Bel pulang sudah berdering dari tadi. Rencananya, ia akan mampir di café yang baru dibuka itu sambil memakai wifi sepuasnya.
Ketika ia berjalan keluar dari sekolah, tak sengaja ia mendengar keributan di kantin. Ia urungkan niatnya untuk pergi ke café dan mendatangi kantin. Terlihatlah pemandangan yang sudah biasa di sekolah terjadi.
Nampak seorang anak lelaki berkacamata tebal dengan rambut merah klimis sedang terduduk di lantai kantin yang dingin. Dari balik kacamata tebal itu, terlihat ketakutan yang memancar pada matanya. Kemejanya kotor oleh merahnya jus buah yang sengaja ditumpahkan oleh siswa di hadapannya. Siswa yang menumpahkan jus itu menyeringai. Murid-murid lain hanya tertawa terbahak-bahak. Tak ada yang menghentikan penindasan itu. Hanya gema tawa yang menemani si kacamata tebal.
Oh, Rahma tak bisa membiarkan hal ini terjadi begitu saja. 'Apa-apaan itu? Memang apa lucunya jus buah yang disiram kepadanya?' kata hati nuraninya. Benar juga kata Rahma, apa lucunya hal seperti itu? kalau benar memang lucu, sudah dari dulu Kageyoki—orang yang sengaja menyiram jus buah itu—jadi pelawak. Rasa kemanusiaannya mulai tergoyah.
Rahma berjalan memasuki tempat kejadian. Sebelum teman sekelasnya—Kageyoki—menyiram jus buah lagi, Rahma menahan tangan si anak jangkung itu. Teman-temannya kaget tatkala Rahma melempar jus buah itu ke sembarang, menyebabkan pekikan dari beberapa siswi. Suasana menjadi sunyi dan tegang di saat bersamaan.
Si kacamata tebal tertegun melihat aksinya. Akhirnya, ada yang menolong dirinya kata hatinya. Akhirnya, ada yang peduli padanya. Akhirnya, ada yang mau melirik orang culun seperti dirinya. Akhirnya, akhirnya, akhirnya dan beberapa akhirnya berputar di otaknya. Senyum tipis mengembang di sudut bibirnya. Secercah harapan bersinar di hati kecilnya. Akhirnya…
Saat Rahma sedang menahan tangan Kageyoki, ia berkata dengan gagah dan berani bagai pahlawan di film-film action yang sering ia tonton, "Kalau pakai jus buah tidak seru. Coba ambil air comberan sana."
Akhirnya harapannya dihancurkan oleh penyelamatnya sendiri.
Suasana yang awalnya sunyi itu kembali ricuh. Gema tawa kembali membahana. Sang penyiram jus buah memerintahkan antek-anteknya untuk mengambil air comberan bekas pel tadi pagi. Saat air itu datang, Rahma menggeser dirinya supaya tidak terkena cipratan.
Byur!
"HAHAHAHA!"
Diantara gema tawa itu, Rahma juga ikut tertawa. Sarannya dipakai juga rupanya. Lihat, sekarang teman-temannya semakin terbahak karena sarannya.
Heh, jangan harap 'Rahma' ini memiliki karakter baik hati nan bijaksana. Mentang-mentang tampilannya bagus dengan rambut hitam panjang dan berponi serta memiliki mata yang indah, bukan berarti dalamnya juga ikut bagus.
Ponsel hitamnya bergetar, menandakan panggilan masuk. Ia melihat caller IDnya. Rupanya neneknya menelpon!
"Halo. Ada apa, Nek?"
"Sudah minum obat belum?" tanya sang nenek di seberang sambungan.
"…Belum."
"Lihat, sudah jam berapa ini! Cepat minum obatmu!"
"Iya, Nek." Setelah itu, neneknya memutuskan hubungan. Gadis blasteran itu beranjak dari sana. Ia mengambil sebuah kapsul yang terdapat di dalam sebuah botol kecil sambil berjalan. Ia telan kapsul itu bulat-bulat. Tidak tersedak. Sudah biasa kok.
Oh, niatnya untuk wifi-an gratis belum hilang. Dasar, anak gratisan. Sesampainya di café itu, ia segera memesan cappuccino dan mengeluarkan ponselnya. Ia mengeluh karena sekarang hujan. Rintik-rintiknya ia lihat dari kaca. Jalanan yang tak begitu macet ditambah kubangan air di beberapa tempat. Pejalan kaki dibuat hati-hati oleh kubangan itu, khawatir terkena cipratan saat kendaraan lewat. Payung-payung berwarna-warni mengisi jalanan. Tak sedikit juga yang memakai jas hujan.
Rahma tarik kembali tentang keluhannya. Hujan tidak buruk juga—kecuali tanpa adanya seorang anak kecil yang berlari-lari entah tujuannnya kemana dengan ekspresi sangat girang. "Ya ampun, anak kecil itu merusak pemandangan saja." Ucapnya sambil sweatdrop.
"Permisi, silahkan pesanannya." Seorang pramusaji datang membawa secangkir cappuccino.
.
.
Pukul lima petang Rahma pulang. Sayangnya, cuaca tidak memihaknya. Hujan sudah mengguyur Namimori dua jam lamanya. Oh, untung ia membawa payung. Payung biru tua yang telah neneknya sediakan untuknya sebelum berangkat sekolah.
Ia melewati sebuah jalan lebar yang sepi dengan sungai di samping jalan sebagai pemanisnya. Indra pendengarannya menangkap suara tawa anak kecil. Anak bodoh mana yang masih hujan-hujanan hingga sore begini?
"Hahaha…"
Pandangannya mendapati seorang anak kecil yang berlari berputar-putar di tengah hujan deras ini. Rasa penasaran menggerogotinya saat melihat betapa senangnya anak itu bermain sendirian.
Di lain pihak, anak bersurai hitam itu tidak berhenti bermain di bawah guyuran air hujan. Ia masih menikmati basuhan air hujan pada kulit tannya. Oh, jangan ditanya bagaimana keadaan seragam sailornya. Basah kuyup sudah pasti. 'Tuhan… hari ini dua tahunnya mama. Biarkan aku bertemu mama untuk yang terakhir kalinya walau hanya dalam mimpi.' Begitulah doanya yang tak terucap namun, Tuhan sudah pasti mendengar doa malaikat kecil itu.
Sudah dua tahun lamanya ia ditinggal pergi sang ibu. Pergi ke surga maksudnya, bukan ke tempat kerja atau liburan ke luar negeri. Hari demi hari ia lewatkan bersama ayahnya. Rumahnya yang besar dengan arsitektur Jepang menjadi lebih sepi tanpa kehadiran seorang wanita yang selalu bersamanya di kala ia berlatih pedang atau pun baseball.
Sudah tak ada lagi yang selalu mengelus sayang kepalanya saat ia kesulitan tidur. Sentuhan hangat yang memanja pipi dan keningnya telah hilang, menyisakan udara dingin yang selalu menyelimutinya. Masih terbayang dalam benaknya wajah seorang wanita cantik dengan kimono biru muda yang menggandeng tangannya. Festival kembang api adalah kenangan terakhirnya bersama sang ibu.
Waktu itu ia ingat, ia berjalan diantara ayah dan ibunya menuju tempat favorite mereka untuk melihat kembang api. Ia tak bisa berhenti melompat-lompat kecil saat melihat bermacam-macam kembang api yang bermekaran di langit hitam itu. Kemudian, ayahnya menggendongnya sementara, ibunya menyuapininya okonomiyaki. Walaupun disuapin, tetap saja bibirnya belepotan. Dasar anak kecil. Ibunya hanya menggelengkan kepala dan membersihkan bibirnya yang belepotan.
"Hahaha…" ia tertawa mengenang kembali tentang ibunya tersayang.
Kecelakaan mobil dua tahun silam menyengat benaknya, membuatnya tertawa hambar. Kristal bening tertahan di pelupuk matanya. Ia coba untuk kuat. Laki-laki tidak boleh menangis, begitu kata mamanya. Namun, sekuat apapun ia menahan tangisnya, tetap saja kristal-kristal bening itu turun melalui pipinya. Tapi tak apa. Toh sekarang hujan. Tak ada yang bisa membedakan yang mana air hujan dan yang mana air matanya. Sama-sama air. Sama-sama bening.
'Kalau Engkau tak mengizinkannya… maka, berilah aku mama lagi!'
Ia tutup matanya, menengadahkan kepalanya pada langit kelabu. Berharap salah satu doanya terkabul.
Tiba-tiba ia tidak merasakan air hujan yang menyentuh kulitnya. Oh, berarti hujan sudah reda—tapi ia masih bisa mendengar suara hujan. Merasa ada hal yang janggal, ia buka kelopak matanya.
"Bocah, pulang sana. Hujan-hujanan sendirian kayak orang gila."
Asari Takeshi, nama anak lelaki yang dipayungi oleh Rahma itu melebarkan matanya. Ia tak menyangka doanya akan terkabul secepat ini. Ia berteriak, "MAMA!" dan memeluk gadis di hadapannya dengan erat.
"APA?! Lepasin, bocah! Pergi dari hadapanku! PERGEEE!" duh, Rahma ini alay beud deh. Kata pergi aja jadi perge—tunggu, itu bukan karena Rahma yang alay tapi emang dasarnya typo dan penulisnya malas membetulkannya.
"Gak mauuu! Hahaha…" Takeshi malah tertawa-tawa. Sudah melupakan kenangan pahit tragedi kecelakaan itu.
Rahma berusaha sekuat tenaga untuk melepas pelukan anak bersurai hitam itu. Oh, aksinya membuahkan hasil. Takeshi dan Rahma saling berpandangan. Ini bagai pertarungan antarkoboi. Tapi bedanya, koboi menyiapkan senjata api untuk ditembakan kepada lawan sedangkan, si bocah dan remaja labil itu bersiap untuk lari; Takeshi bersiap lari menerjang mama barunya sedangkan, Rahma bersiap lari untuk kabur dari bocah itu.
Bersedia…
Takeshi melangkahkan salah satu kakinya ke depan. Pandagan matanya menyalang dengan kesungguhan hatinya. Rahma memegang erat payung birunya. Pandangannya juga tak kalah serius dari Takeshi.
Siap…
Dua langkah ke belakang Rahma lakukan sedangkan, Takeshi melangkah ke depan. Hujan jadi saksi biksu duel (?) yang mereka lakukan.
Ya!
Rahma berlari. Ia lepaskan payungnya karena akan mempersulit dirinya kabur dari anak itu. Takseshi mengikutinya dari belakang. Beruntung dia ditakdirkan memiliki energi seperti seorang atlet. Lari jarak jauh begini bukan hal yang rumit. Lain halnya untuk Rahma. Dia sudah kehabisan napas duluan. Tapi tak apa, rumahnya sudah berada di depan mata. Ia menengok ke belakang kemudian menyeringai. Anak itu sudah tak mengikutinya lagi.
Ia membuka kenop pintu.
"Mama lama! Aku sudah sampai duluan! Hahaha…"
Rahma yang kaget terjatuh ke belakang ketika melihat anak itu sudah berada di dalam rumahnya. Ia mengelus bokongnya. "Aduh… berhenti memanggilku 'Mama' kau—menyebalkan!"
"Eh…? Aku juga sayang mama!" katanya dan melompati Rahma untuk memeluknya.
"AKU TIDAK MENGATAKAN AKU SAYANG PADAMU!"
"Apa ini permainan teriak-teriakan?"
"TIDAK!"
"KALAU BEGITU INI PERMAINAN APA?"
"AKU TIDAK MENGATAKAN KALAU INI PERMAINAN!"
"BENARKAH? HAHAHA…"
"BERHENTI TERTAWA! TIDAK ADA YANG LUCU!"
Seorang wanita tua datang dengan celemek dan sendok sayur di tangan. "Rahma, ada apa ini? Apa kau lupa minum obatmu?" tanya wanita tua itu dengan gurat wajah khawatir. Ia mengernyit, membuat keriputnya tampak lebih nyata. Rasanya, cucunya ini tidak punya kenalan anak kecil. Ia bahkan tidak pernah membawa teman ke rumahnya. Wanita tua itu pun berkata, "Tumben kamu bawa teman ke rumah…"
Ditutupnya pintu kayu itu. Bahaya, nanti air hujan bisa masuk. Bisa-bisa ia disuruh mengepel lagi. "Aku tidak kenal siapa bocah aneh ini, Nek. Tiba-tiba saja ia mengikutiku."
Nenek menyuruh mereka untuk segera mandi dan berganti pakaian. Entah mengapa di rumah ini ada kimono dengan ukuran yang pas untuk Takeshi. Tadinya, Takeshi minta untuk mandi bareng tapi, sudah ditolak mentah-mentah oleh Rahma. Takeshi yang menggerutu pun memasuki kamar mandi. Rahma menggunakan kamar mandi di kamarnya sendiri. Mandinya kilat, tidak seperti gadis lain yang selalu menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk sampoan.
Rahma menemani neneknya memasak di dapur. Kare untuk makan malam. Porsinya ditambah sedikit lebih banyak karena ada tamu yang tak diundang. "Rahma, kamu ngegodain duda di kompleks sebelah, ya?" tanya sang nenek yang memecah keheningan. Bahasa Indonesia yang digunakan wanita tua itu bergitu fasih. Memang, jika hanya ada mereka berdua maka, bahasa Indonesia yang akan mereka pakai walaupun neneknya bukanlah orang Indonesia.
Rahma bergidik. Mana sudi ia menggoda seorang duda! Ia menatap neneknya dengan pandangan horror. "Nenek gila, ya? Aku gak suka terong-terongan, Nek!"
"Tapi tadi nenek dengar Takeshi-kun manggil kamu 'Mama'… berarti kamu calon 'mama'nya Takeshi-kun dong."
"Aku juga gak ngerti lah, Nek. Waktu aku ketemu dia, tiba-tiba aja dia manggil aku begitu—tunggu, apa hubungannya sama 'ngegodain duda' itu?"
Sang nenek tertawa kecil akan pengetahuan cucunya yang payah pada lingkungannya sendiri. "Dia kan anaknya Asari-kun, duda kompleks sebelah. Pas kamu dipanggil 'Mama' sama dia, nenek kira emang beneran kamu calonnya Asari-kun."
"DAFUQLAH, NEEEK!"
Takeshi kecil yang telah berpakaian duduk di atas meja makan. Iya, meja makan bukan, kursi makan. Penulisnya tidak salah ketik. Rahma yang melihat hal ini segera mengambil sendok sayur dan memukulkannya ke kepala Takeshi. "Duduk di kursi, bocah!"
Takeshi merentangkan tangannya dan berkata tanpa ragu, "Gendong aku ke kursi."
Duk!
"Nenek, mama mukul kepala aku lagi…" katanya dengan nada merajuk. Terlihat imut di mata orang kecuali remaja labil di hadapan anak ini. Aksi ini membuat hati nenek luluh. Ia menghampiri anak itu dan mengelus kepalanya dengan lembut. "Oh, sayang, sayang, jangan nangis ya. Mau dibuatin susu gak?"
Takeshi mengangguk antusias. Susu adalah minuman kesukaannya. Dengan manja ia memeluk nenek dan nenek menggendognya ke kursi. Rahma yang melihat itu hanya memutar matanya. Bocah tengik itu mencuri perhatian neneknya. Oh, ia tidak iri pada anak yang baru ditemuinya itu. Hell no!
"Nenek, punya nomer teleponnya Asari-san gak?" tanya Rahma yang berniat untuk segera mengembalikan anak itu kepada pemiliknya. Oh, ayolah, ia begitu tak menyukai anak itu.
"Duh, belum ketemu orangnya aja kamu udah tanya nomernya. Cucuku memang agresif."
Rahma pun headbang.
"Mama pengen ketemuan ya sama papa? Nanti kalau kalian menikah, aku ingin ikut foto bareng kalian!"
Rahma pun headbang versi kedua.
.
.
Ting nong!
Seorang pria bertandang ke sebuah rumah yang letaknya tak jauh dari rumahnya sendiri. Wajahnya terlihat khawatir. Sejak sore ia mencari anak semata wayangnya. Terakhir kali ia melihatnya, anaknya sedang main hujan-hujanan. Padahal, ia sudah menyuruhnya untuk berhenti tapi, anaknya malah ngeyel dan kabur dari rumah. Bagaimana kalau anaknya sakit setelah hujan-hujanan? Bagaimana kalau anaknya terjatuh saat berlari? Bagaimana kalau sekarang perutnya keroncongan? Demi Tuhan, ini sudah jam delapan malam dan ia masih khawatir dengan keadaannya anaknya—
Cklek. Pintu terbuka, menampilkan seorang gadis dengan pakaian tidurnya. Uh… sudah berapa lama dirinya tidak melihat seorang wanita dalam balutan busana tidur? Hormonnya sedang mendominasi tubuhnya saat ini.
"Asari-san, ya? Ayo, silahkan masuk." Begitu katanya dengan nada lembut, mengantarkan stimulant kepada pria tinggi itu. Padahal suara Rahma tidak lembut-lembut amat. Emang dasarnya ia lagi ngantuk dan berkata dengan ogah-ogahan. Oh ya ampun, Asari-san, seleramu payah sekali.
Asari Ugetsu, pria yang sedang kebingungan mencari anaknya itu pun masuk. Syukur-syukur ia mendapat panggilan bahwa anaknya sedang berada di rumah ini. Menurut yang ia tahu, rumah ini ditempati oleh dua orang saja; seorang nenek dengan cucunya. Suami dari nenek itu telah lama tiada dan ia tidak terlalu tahu mengenai cucunya yang baru pindah ke sini.
Rahma mengantar Asari menuju kamar tamu. Di sana Takeshi sudah terlelap sambil memeluk boneka susan. Iya, boneka susan. Boneka yang bisa kedip-kedip mata kalau ditidurkan kemudian diberdirikan. Boneka Rahma waktu kecil memang menyeramkan.
Asari menggendong anaknya. Ia melepaskan boneka itu dari pelukan Takeshi. "Terima kasih sudah menjaga anakku, err…"
"Rahma. Panggil aku Rahma. No 'Kusuma-san, Kusuma-san'!" ucapnya sedikit kesal karena membayangkan tetangganya akan memanggilnya dengan nama itu.
"Hahaha… iya, terima kasih banyak, Rahma-san." Kata Asari yang sebenarnya tidak begitu mengerti apa yang dikatakan gadis itu. Setelah itu, ia berpamitan kepada Rahma dan juga neneknya.
.
.
Esok harinya di kediaman Asari. Rumah yang luasnya minta dibunuh itu terlihat ramai. Banyak pelayan bolak-balik merapikan ruangan dan membawa hidangan. Takeshi yang masih tertidur di kamarnya merasa terganggu. Ia mengucek matanya dan menguap. Ia memakai baju tidur biru tua dengan motif anak anjing.
"Guk! Guk!" seekor anjing menerjangnya dan menjilatinya. Anjing itu senang karena pemiliknya telah bangun. Yang sedang dijilati malah tertawa-tawa karena geli. Jiro memang anjing yang lucu.
Takeshi mengelus kepala Jirou. "Jirou, kau tahu mengapa hari ini sibuk sekali?" tanya Takeshi pada anjingnya. Duh, dasar anak-anak. Anjing mana mengerti bahasa manusia, terlebih lagi tidak bisa berbicara. Tentu saja Takeshi hanya mendapat gonggongan dari anjing itu. "Apa? Kau tidak tahu?" please deh, Takeshi… mengapa kamu mengartikan gonggongan itu dengan 'tidak tahu'?
Jirou menggonggong lagi kemudian, Takeshi mengangguk-angguk mengerti sambil menaruh tangannya di dagu. Pose berpikir ala detektif. Ia berkata, "Kau benar! Ayo, tanya papa!"
Takeshi langsung memakai sandal tidur berkepala sapinya. Ia pergi ke kamar ayahnya. Dari belakang Jirou mengikutinya dengan antusias. Sayang, ia tak menemukan ayahnya di sana. Pilihan kedua jatuh pada ruang kerja ayahnya.
"Takeshi?! Kau sudah bangun rupanya…" ujar seorang pria yang duduk seraya mengangkat telepon. Takeshi berlari ke arah ayahnya dan memeluknya. Ayahnya segera menutup sambungan telepon dan memeluk balik buah hati kecilnya. Anak manis itu bertanya tentang keadaan rumah yang sibuk, seperti akan diadakan sebuah acara penting.
Terakhir rumahnya sibuk seperti ini adalah saat jenazah ibunya dipulangkan ke rumahnya. Banyak orang yang datang, mengapresiasikan duka. Simpati di sana-sini ia dapatkan. Mengingat hal itu membuatnya bersedih. Kemarin kan dua tahunan ibunya. Apa sekarang akan diperingati sebagai hari dimana ibunya meninggal? Apa setiap tahun akan diadakan acara seperti ini?
"Takeshi, kenapa sekarang kamu jadi bersedih? Padahal papa sudah pesankan biskuit susu kesukaanmu lho."
"Ini bukan acara mengingat kepergian mama, kan?" raut wajahnya menunjukan kesedihan. Tidak enak rasanya membuat acara khusus untuk memperingati kematian ibunya. Sungguh, ia tidak menyukai hal itu. Untuk apa dibuat acara seperti itu jika akan menguak kembali ingatannya tentang ibunya? Hal ini hanya membuatnya semakin sedih.
Ugetsu memangku anaknya. "Tidak, sayang." Ia kecup kening buah hatinya. Ia coba untuk menenangkan anak satu-satunya. "Justru sebaliknya, mungkin kamu akan dapat mama baru."
"Eh? Mama baru?" matanya berbinar penuh harap. Emosi anak-anak memang cepat berubah. "Jadi, beneran Mama Rahma bakal jadi mamaku?"
Untung Ugetsu tidak sedang meminum sesuatu. Kalau iya, pasti ia sudah tersedak. "Rahma-san… yang kemarin itu?" tanya Ugetsu dan dibalas anggukan semangat dari Takeshi. "Bukan, sayang." Takeshi merasa agak kecewa atas jawaban ayahnya. "Tapi tenang saja. Mama yang ini papa jamin pasti sayang sama Takeshi!"
.
.
Acara yang digelar oleh keluarga Asari adalah sebuah acara pertunangan. Keluarga Asari adalah keluarga terpandang dan sangat dihormati. Siapapun pasti akan tercengang begitu mendengar nama 'Asari'. Saat ini, kepala keluarganya adalah Asari Ugetsu yang tak lain ayah dari Takeshi. Peristiwa kecelakaan dua tahun yang lalu mengubah status Asari Ugetsu menjadi duda beranak satu.
Ibu dari Ugetsu tak bisa membiarkan sang kepala keluarga membesarkan anaknya seorang diri. Maka dari itu, ia memutuskan untuk menjodohkan Ugetsu dengan seorang wanita pilihannya, wanita dari keluarga yang juga terpandang, Kiriname Tsuyuko. Status dan latar belakanglah yang dilihat dari wanita berumur enam pulu tiga tahun ini. Gadis desa tanpa latar belakang yang jelas? Menyerah saja. Kalian tidak akan bisa bersanding dengan keluarga Asari.
Saat makan malam tiba, Takeshi diperkenalkan secara langsung dengan calon ibu tirinya. Oh, dia benar-benar seorang lady. Tata bicaranya begitu lembut dan sopan, karismanya terpancar, dan ia terlihat menyukai Takeshi. Mereka berdua sedang asik berbincang tentang Kojirou, burung peliharaannya Takeshi. Kojirou inilah, Kojirou itulah. Tawa manis keluar dari bibir wanita elegan itu tatkala Takeshi mengikuti gaya terbang Kojirou.
Sementara itu, neneknya Takeshi terlihat mendiskusikan sesuatu bersama anaknya. "Bagaimana, Ugetsu? Takeshi juga menyukainya, kan?"
Ugetsu tersenyum tipis melihat anaknya yang tertawa bersama tunangannya. "Menurutku dia wanita yang pantas menjadi mamanya Takeshi."
Takeshi senang dengan calon mama barunya. Ia adalah wanita yang baik hati juga penyayang. Tak lama kemudian, ayahnya, neneknya dan keluarga Kiriname mengundurkan diri dari ruangan itu. Sepertinya mereka akan membahas acara pernikahan yang akan digelar dalam waktu dekat. Sekarang di ruangan itu hanya tinggal Takeshi dan anak perempuan dari keluarga Kiriname.
"Bibi Tsuyu! Ayo, ke halaman belakang! Di sana ada Kojirou dan Jirou! Oh, aku belum bercerita tentang Jirou, ya? Haha—" tawanya terhenti saat sebuah telapak tangan mencekik lehernya. Takeshi kesulitan bernapas. Dengan susah payah ia mengambil oksigen. Setidaknya, sedikit oksigen yang terhirup bisa memberinya umur yang lebih panjang.
"Hentikan tawamu, anak manja," Nada suara pemilik telapak tangan yang kini mencekik Takeshi itu terkesan tidak suka. Kuku-kuku panjangnya membuat luka gores pada leher mulus Takeshi. "dan jangan panggil aku 'Bibi Tsuyu'."
Kiriname Tsuyuko, wanita elegan yang penyayang itu berubah dalam sekejap mata. Pada sorot matanya hanya ada kebencian yang mendalam. Bibir yang tadinya selalu memancarkan senyuman menawan itu sekarang menampakan seringainya. Tangan yang sebelumnya mengelus surai hitam Takeshi kini mencekik lehernya tanpa henti.
Bukan kah kemarin ia sudah berdoa untuk diberikan seorang mama?
Oh, Tuhan kejam sekali memberinya mama yang jahat.
Padahal, ia ingin mama yang mencintainya sepenuh hati bukan mama yang membencinya sepenuh hati.
.
.
.
Atau… mungkin sebenarnya, Tuhan telah memberinya mama sejak awal.
Mama yang memayunginya ketika hujan mengguyur tubuhnya. Mama yang kabur saat dirinya ingin memeluknya. Mama yang larinya lambat. Mama yang menolak untuk mandi bersamanya. Mama yang memasakan kare untuknya. Mama yang memukul kepalanya dengan sendok sayur. Mama yang menidurinya.
'Hiks… Papa, Mama Rahma, tolong aku…'
To be continued.
Terima kasih telah membaca! :3
No. 666: hellu, sayang~ /jdak ficnya udah diapus wkwk ini udah muncuuul~ terima kasih atas dukungannya ;* /ituemotlowoy /jdor semoga suka versi rombakannya :***
Kirena Kyou: ini udah dibuat, sayaaang~ muup banget ea baru bisa publish sekarang #OTL semoga suka sama versi ini ya tapi kagak maksa juga sih wkwk
