kuroko no basuke © fujimaki tadatoshi
.
.
Aomine Tetsuya, 15 tahun, merapikan gakuran-nya dengan seksama dan memastikan bahwa rambutnya tidak lagi mencuat dengan noraknya. Hari ini adalah hari pertamanya di SMA baru, dan tentu saja dia tidak ingin mengacaukannya dengan berpenampilan buruk. Biarpun kemungkinan besar orang-orang di sekolah barunya tidak akan menyadari keberadaannya... tapi ya sudahlah. Kalau mengikuti nasihat Shintarou-nii, dia harus melakukan apapun sebaik mungkin dan biarkan takdir yang menentukan—dan jangan lupa membawa lucky item versi Oha Asa untuk hari itu agar dewi fortuna tersenyum padanya.
Nasihat yang terakhir tidak penting, ya.
"Tetsu?" pintunya diketuk singkat. "Sudah bangun, kan? Sarapan sudah siap di bawah."
Tetsuya mengangguk, lalu menyadari bahwa kakak laki-lakinya tidak bisa melihatnya dan buru-buru mengucapkan iya. Tidak ada sahutan balik, hanya langkah kaki yang lambat laun menjauh dari kamarnya. Yah, setidaknya kakaknya mendengarkannya. Mungkin.
Pemuda bersurai biru pucat itu segera menghampiri ruang makan dengan anjing kecilnya, Nigou, mengekor di belakangnya. Kakak laki-lakinya, Aomine Daiki, sedang duduk sambil memindahkan channel TV—berita, kartun, talk show, berita, talk show, acara masak, berita—dengan malas. Tetsuya menyapa "Pagi" singkat sebelum melihat sarapannya—sarapan Barat yang sangat sederhana, ketahuan sekali kakaknya malas.
"Tumben nii-san membuatkan sarapan," komentarnya singkat sebelum mengambil roti panggang di hadapannya. Biasanya Tetsuya yang akan membuatkan sarapan untuk Daiki, dan jarang-jarang mereka makan berdua di meja seperti pagi ini. Biasanya Daiki baru bangun saat Tetsuya akan pergi ke sekolah, berhubung dia sering patroli malam—maklum lah, baru jadi polisi. Entah apa yang membuat kakaknya tahu-tahu bangun sepagi ini, membuatkan sarapan lagi. Tetsuya kira Daiki tidak bisa membuat makanan lain selain sereal dengan susu putih. Setidaknya roti yang dipakainya belum basi.
Daiki hanya tersenyum miring. "Ayolah, ini kan hari pertamamu sebagai murid SMA. Tidak ada salahnya dong, aku membuat sarapan?" acak-acak rambut adiknya itu sambil tertawa. "Tapi aku heran kenapa kau memilih Seirin... itu kan sekolah baru, masih belum terlalu elite. Touou lebih keren, almameterku lagi."
"Ryouta-nii juga bilang kalau Kaijou itu elite, Shintarou-nii bilang Shuutoku itu jauh lebih elite, Atsushi-nii bilang Yosen sekolah yang keren, Seijuurou-nii juga meyakinkanku kalau Rakuzan itu sekolah terbaik yang pernah ada," ujar Tetsuya datar sembari mengunyah rotinya. "Aku tidak tahu apa yang membuat kalian sangat bangga pada almameter sendiri, tapi aku merasa Seirin lebih cocok untukku."
Tetsuya sudah mengikuti nasihat keempat 'kakak'-nya itu untuk masuk SMP mereka, Teikou, dan baginya itu sudah cukup. Lagipula kalaupun dia masuk salah satu sekolah yang baru dia sebutkan, bukan tidak mungkin seseorang akan menjadi korban kecemburuan empat orang lain. Tetsuya heran kenapa empat orang yang mengaku 'kakak'-nya itu sangat menempel padanya.
Di lain pihak, Daiki masih menyerocos ria. "Aku tahu sekolah itu memang pilihanmu sendiri, tapi setidaknya pilihlah sekolah yang lebih keren lagi. Seirin kan masih baru, belum terdengar gaungnya. Padahal otakmu lumayan. Kalaupun kau tidak masuk almameterku atau yang lain... kenapa tidak coba Senshinkan? Seiho juga lumayan. Atau mungkin Kirisaki Daiichi—eh, jangan itu deng. Tapi yang pasti Touou itu jauh lebih baik dari semuanya. Dan jangan coba-coba menyelinap keluar, Tetsu."
Tetsuya langsung terdiam, tangannya hampir membuka gagang pintu. Ah, sial. Dari semua orang yang dia kenal, hanya Daiki yang bisa merasakan kehadirannya.
"Aku bisa terlambat, nii-san," ujar Tetsuya singkat dan berbalik ke Daiki. "Lebih baik nii-san tidur saja, aku tahu kemarin nii-san pulang saat dini hari."
Dan benar saja, Daiki mulai menguap lebar. "... ya sudah," dia menggaruk-garuk surai biru gelapnya. "Hati-hati di jalan. Dan ikut klub basket ya, kalau ada."
Tetsuya hanya memutar bola matanya dan berjalan keluar dari kediaman Aomine.
.
Seperti biasa, dia tidak terlihat.
Di tengah-tengah kerumunan seperti ini, Tetsuya seperti angin lalu. Ditambah dengan fakta bahwa dia tidak berusaha untuk membuat dirinya sendiri terlihat. Sejujurnya, Tetsuya tidak terlalu peduli. Toh biarpun awalnya dia merasa bersemangat, kehidupan SMA tidak akan berbeda dengan kehidupan SMP. Tapi Ryouta-nii bilang tiga tahun SMA itu adalah tiga tahun terbaik dalam hidup seseorang. Mungkin saja, sih.
Mata birunya melihat papan pengumuman sampai pandangannya terhenti pada kata 'Basket'. Tetsuya menyukai olahraga itu, mungkin pengaruh dari kakaknya. Tapi dia tidak pernah masuk ke dalam tim, bermain pun nyaris tidak pernah. Paling hanya bermain three-on-three dengan Daiki dan teman-temannya. Padahal Seijuurou-nii bilang dia mempunyai bakat hebat yang harus dikembangkan, apapun itu namanya.
Mungkin dia coba ikut saja kali, ya.
.
Tapi manager-nya tidak menyadarinya.
Padahal Tetsuya sudah duduk di depannya, berada nyaris tepat di depan sudut pandangnya. Tapi gadis itu tetap tidak menyadarinya, begitu juga dengan lelaki berkacamata di sampingnya. Hal seperti ini sebenarnya sudah biasa, toh kebanyakan orang baru menyadari kehadirannya kalau berada tepat di depan sudut pandang seseorang dan kalau dia mengeluarkan suara.
Dan sekarang sudut pandang mereka belum tepat di depan Tetsuya, dan pemuda itu juga tidak mengeluarkan suara apa-apa.
Karena itu diambilnya pulpen nganggur di dekatnya dan mulai mengisi formulir anggota baru sebelum beranjak dari tempatnya. Tidak ada yang memanggil, berarti mereka masih belum menyadari kehadiran dan kepergian Tetsuya. Kalau Ryouta-nii ada disini, dia pasti sudah misuh-misuh sambil berkata, "kenapa tidak ada yang menyadari anak selucu Tetsucchi?!"
"—oof."
Ditabrak orang juga sudah biasa. Tapi ditabrak badan tepat ke wajah itu bukan hal biasa.
Tetsuya mengusap dahinya, mendongak dan melihat seorang pemuda tinggi dengan surai kemerahan dengan mata terbelalak dan sepasang alis yang sesuatu sekali.
"Siapa tadi yang menabrakku?!"
"..."
"Hantu?! Di sekolah ini ada hantu?! Siang bolong begini?!"
"Permisi—"
"Siapa yang bicara?!"
"… aku ada di bawah sini."
Orang-dengan-alis-sesuatu itu menunduk, matanya berkedip sekali—dua kali—dan Tetsuya berani bertaruh kalau mulutnya akan terbuka dengan bodohnya dan berteriak kaget seakan melihat hantu. Dia mundur selangkah, kedua mata beriris merah terbelalak melihat Tetsuya seakan dia baru saja melihat setan naik dari neraka dan Tetsuya masih bertanya-tanya kenapa dia belum berteriak juga.
"Sejak kapan kau muncul disitu?!"
"Kau menabrakku tadi."
"Oh," kekagetan berubah jadi kesadaran dengan sedikit kebodohan, dan pemuda itu menggaruk kepalanya. "Oh. Maaf. Aku tidak melihatmu."
"Tidak apa," Tetsuya mengangkat bahu. Sudah biasa.
Pemuda tinggi itu masih menatapnya, dan Tetsuya hanya membalasnya dalam diam. Perlahan dia mengambil langkah mundur dan berjalan melewati si pemuda beralis sashimi (hei, kalau alisnya sedikit lebih tebal orang-orang pasti akan mengira itu sashimi berwarna hitam—serius). Memang sedikit tidak sopan, tapi siapa juga yang suka dipandang seperti tadi. Tetsuya sudah merasa cukup dengan segala perhatian yang diberikan 'kakak-kakak'nya, terima kasih.
Ah, pasti orang itu panik dalam hitungan 5, 4—
"—EH, DIA HILANG?!"
... oh.
Cepat juga sadarnya.
.
"Aku pulang."
"TETSUCCHI!"
Tetsuya langsung menempelkan diri pada rak sepatu di sampingnya dan membiarkan seorang pemuda pirang bodoh terjatuh dengan wajah tepat mengenai pintu. "Selamat sore, Ryouta-nii," ujarnya singkat sembari menaruh sepatunya di rak, mengacuhkan seorang Kise Ryouta yang berlutut di lantai sambil mengusap hidungnya.
"Selamat datang, Tetsu," Daiki melambaikan tangannya, sebuah handuk kecil tergantung di lehernya dan peluh menetes dari wajahnya. Tetsuya mengangguk pada kakaknya dan berbalik sejenak, hanya untuk membiarkan Ryouta memeluknya erat dengan kedua lengan panjangnya. "Selamat datang, Tetsucchi! Bagaimana hari pertamamu di Seirin? Bertemu teman-teman baru? Apa sudah ada gadis yang menyukaimu? Ada klub basket tidak? Kau ikut?"
Dengan bijak, Daiki menyingkirkan Ryouta dari Tetsuya dan membiarkan adik tersayangnya itu untuk kabur ke kamarnya sementara Daiki menghadapi Ryouta yang mulai rewel karena 'aku berhak tahu apa yang dilakukan Tetsucchi di sekolah, kan?!' dan argumen-argumen bernada sama lainnya.
Nigou menyambutnya di dekat tangga, mengacuhkan sebuah bola basket yang menggelinding entah kemana. Berarti tadi Daiki-nii dan Ryouta-nii baru saja bermain basket. Kemungkinannya tidak besar, tapi bisa saja—
"Tetsu-chin sudah pulang?"
Seseorang turun dari tangga—seorang pria bertubuh tinggi menjulang dengan berbagai macam snack di tangannya dan, jangan lupa, rambut ungu panjang yang sangat ngejreng. Tetsuya mengangguk singkat, rutinitas seperti ini sudah biasa untuknya. "Selamat sore, Atsushi-nii."
Murasakibara Atsushi, nama sang pemuda setinggi umat, mengusap kepala Tetsuya. "Bagaimana SMA?"
"Biasa saja, kok."
Atsushi ber-"hmm" singkat sebelum memberikannya sebungkus Hi-Chew ke tangannya dan beranjak ke arah dapur, menjarah makanan-makanan lain yang ada di dalam lemari makanan keluarga Aomine. Selang beberapa saat, dua orang ikut turun dari tangga—pemuda berambut hijau dan merah yang tidak kalah ngejrengnya dibanding Atsushi, Ryouta, Daiki, bahkan Tetsuya sendiri.
"Selamat datang, Tetsuya," sang pemuda berambut merah—Akashi Seijuurou-nii—menyapanya dengan senyum yang tidak mencapai matanya, dan yang berambut hijau—Midorima Shintarou-nii—hanya mengangguk pada Tetsuya. Sang pemuda bersurai biru pucat hanya mengangguk singkat pada mereka berdua sebelum akhirnya beranjak ke kamarnya di lantai dua.
Mereka berlima bukanlah kakak kandungnya, bahkan Daiki 'hanyalah' kakak angkatnya. Dulu, dia bernama Kuroko Tetsuya. Dia diangkat sebagai anak oleh keluarga Aomine karena kedua orang tuanya meninggal saat dia masih berumur tujuh tahun. Berhubung orang tua kandungnya dan kedua pasangan Aomine cukup dekat, bukanlah hal aneh untuk mengadopsi Tetsuya sebagai anak kedua. Biarpun perbedaan umur antara Tetsuya dan Daiki cukup jauh—delapan tahun—tapi tidak ada masalah berarti di antara mereka. Malah mereka berdua nampak sangat dekat layaknya saudara kandung biasa.
Kembali pada keempat orang yang lain—mereka adalah teman-teman Daiki di tim basket SMP Teikou. Tetsuya tidak terlalu ingat, tapi mereka berlima disebut sebagai legenda bahkan hingga SMA. Mereka pula yang mengajari Tetsuya bagaimana cara bermain basket dan Akashi yang melatihnya tentang 'keahliannya yang tersembunyi'.
Intinya, entah bagaimana, keempat orang itu merasa kalau mereka juga dihitung sebagai kakak Tetsuya dan berhak menempel padanya dimana pun dia berada.
Dan itu juga memberi mereka perasaan bahwa mereka berhak ikut campur dalam kehidupan Tetsuya.
"Bagaimana sekolah tadi?" Daiki bertanya begitu Tetsuya beranjak turun dan bergabung bersama mereka berlima di ruang TV. Ryouta dan Shintarou sibuk bermain racing game (tunggu—Shintarou-nii bisa main console game?), Seijuurou sibuk dengan ponselnya (dan tidak ada yang mau tahu apa yang sedang dia lakukan dan siapa yang sedang dia hubungi, terima kasih), Atsushi sepertinya masih menjarah makanan di lemari (inilah satu-satunya alasan kenapa Daiki dan Tetsuya selalu membeli makanan lebih) dan Daiki duduk di samping Akashi di atas sofa, menunggu Shintarou atau Ryouta kalah agar gilirannya segera tiba.
Tetsuya menghimpit dirinya di antara Seijuurou dan Daiki. "Biasa saja." Karena, ayolah, apa kesan yang bisa didapat dari hari pertama di sekolah?
"Kau mengikuti klub basket, Tetsuya?" tanya Seijuurou, dua mata dichromia-nya masih tertancap pada layar ponsel di tangannya.
"Ada orang yang menyadarimu?" tanya Shintarou sambil menaruh controller-nya, mengacuhkan Ryouta yang misuh-misuh karena dikalahkan seorang Midorima, di sebuah console game—racing pula. Harga dirinya tertohok.
Tetsuya terdiam sebentar selagi keempat 'kakak'nya mulai mengalihkan pandangan ke arahnya, bahkan Atsushi sudah berada di belakang Tetsuya, dengan santai melingkarkan lengannya di sekeliling leher Tetsuya. "Ya, aku ikut klub basket," pemuda itu tidak bisa tidak melihat rona bahagia di ekspresi keempat orang di depannya, dan radiasi atas rasa puas dari raksasa yang setengah menggelayut di belakangnya—entah puas karena Tetsuya ikut klub basket atau puas menjarah makanan. "Dan ya, ada yang menyadariku—atau semacam itu."
Kenapa dia terkesan seperti seorang intelijen dengan jubah tak terlihat, coba?
Rona bahagia berganti menjadi penasaran dan sedikit kecemburuan—ya, Daiki-nii, matamu berkata seperti itu—dan pandangan mereka semakin melekat pada Tetsuya. "Bagaimana dia bisa menyadarimu? Atau mereka?" tanya Ryouta, mulai beringsut mendekat ke arah Tetsuya.
Pemuda bersurai biru pucat itu terdiam sebentar. "Aku ditabrak. Atau aku yang menabrak—tidak tahu. Dia tinggi, kira-kira setinggi Daiki-nii. Ujung-ujungnya dia tidak menyadariku, tapi dia sadar kalau aku hilang sebelum aku selesai berhitung dari satu sampai lima."
Tidak ada yang berbicara selama beberapa saat sampai Atsushi angkat suara. "Ya bagus kan," ujarnya cuek, masih menempel pada Tetsuya. "Siapa tahu dia bisa menjadi temanmu, Tetsu-chin."
"Asal kau jangan sampai melupakan kami saja," Ryouta menimpali dengan seringai kuda dan kalau jarak mereka cukup dekat, Tetsuya bisa saja menghajar wajah model pirang itu untuk kedua kalinya menggunakan lututnya. Tenang saja, Ryouta tidak pernah memarahinya ini kok.
Mereka kembali ke rutinitas sebelumnya, dengan Daiki yang menjadi penantang kedua Shintarou dan Ryouta yang menonton mereka, bersandar pada kaki Seijuurou yang masih sibuk dengan ponselnya. Atsushi mengambil tempat kosong di samping Tetsuya dan berkutat dengan snack-nya. "Tetsu-chin," Tetsuya berbalik dari layar TV ke Murasakibara. "Orang yang tadi kau bicarakan itu setinggi Mine-chin?"
Tetsuya mengangkat alisnya sejenak, lalu mengangguk. "Hmm," Atsushi menggumam, mengunyah coklat rumput laut di tangannya. "Ngomong-ngomong temanku punya adik, katanya dia di Seirin juga. Mungkin nanti kalian bisa bertemu."
Tetsuya hanya mengangguk sekali lagi sebelum kembali menonton kakaknya dan Shintarou.
Oh ya, besok hari pertama latihan ya?
.
.
Iyaaaaap segini dulu deh. Prolog geje, I know. Saya ga bakat gitu nulis multichapter apalagi pake genre yang mengindikasin emosi positif (?) ehehehe /terusngapainlonulis dan btw, line Aomine di summary cuma canda kok, bukan cuplikan disini :| just in case you didn't know that. Tapi bisa sih ya dimasukin. /no
Welp anyway, see ya on the next chappie ' '/
