A/N : Iya, iyaaa! Ini saya buat spin-off Godfather yang udah gak tau dari kapan saya janjiin. Oiya. Ini ada sedikit kejutan di akhir. Nyahahahah! XD
Disclaimer : Karakter masih kepunyaan Hidekazu Himaruya, kecuali Indonesia a.k.a. Rangga! Dia punya sayaaaaa! XD #peluk Beberapa ada juga yang kepunyaannya Stephanie Meyer, George Lucas, dan JK Rowling. Silakan tebak sendiri apa aja yang kepunyaan mereka, ya. Hohoho.
Warning : YAOI! YAOI! YAOI! Dengan pairing yang udah semua orang tau (apalagi yang twitteran sama saya, pasti tau) yaitu... NETHEREXSPAINXINDO dengan Indo sebagai UKE CENTRAL! Muahahha! Mari kita lihat gimana nasib uke madesu kita ini digarap sama dua orang seme yang notabennya adalah mantan penjajah dia. Hohoho. Sama... sumpah serapah? Agak-agak gak nyambung sama Godfather, meskipun pake dunianya Godfather. Jadi, nanti jangan heran kalo tiba-tiba ada Scaramuccia, Scapino, Il Capitano, dkk disebut-sebut, ya. Hehhee. Dan sedikit PWP.
Listening to : "Meet Me In The Red Room" by Amiel. Silakan dengarkan lagunya sambil baca fanfic ini. Dan judul fanfic diambil dari judul lagu ini. Gak tau kenapa berasa pas banget feel-nya. Ahahah! Oiya, lagu ini adalah soundtrack dari "Moulin Rouge".
Watching to : Moulin Rouge. ASTAGA EWAN MCGREGOR UKE BANGET! XD #salah Udahlah, Ewan. Dirimu gak di Star Wars, gak di Moulin Rouge, gak di Big Fish, gak dimanapun tetep aja uke. I LOVE YOU MORE AND MORE KALO GINI, BANG EWAN! XD
"Liburan lima hari ke pantai?"
Rangga Wicaksono, seorang rookie kepolisian baru saja sampai kantor dan langsung ditanyai pertanyaan paling aneh yang pernah ia dengar sepanjang ia bekerja di kepolisian. Dengan kedua alis mata dinaikkan, ia memberikan tatapan aneh kepada rekannya, Antonio Carriedo. Senyum lebar tersungging di wajah sang Spaniard. "... Maksudmu, kau mengajakku? Berdua saja?"
Tawa renyah meluncur keluar dari mulut Antonio. Sang detektif berambut cokelat lalu memukul-mukul pundak Rangga dengan cukup kencang, sampai-sampai pemuda Asia itu nyaris terjungkal. "Tentu saja tidak!" katanya. "Begini, aku memenangkan hadiah pertama suatu undian. Hadiahnya berupa liburan untuk lima orang ke pantai selama lima hari! Bagaimana? Kau mau ikut?" tanya Antonio dengan sangat antusias.
"Biar kutebak. Satu tiket untukmu, dua lainnya untuk Francis dan Gilbert. Lalu satu lagi?" tanya Rangga, bingung.
Tiba-tiba saja, entah darimana, sebuah tangan datang dan merangkul pundak mungil Rangga, menariknya mendekat ke dada bidang seorang pemuda berambut pirang jabrik. Willem sebagai si empunya tangan tersenyum dengan lebar dan berkata bangga, "Tentu saja aku! Kau pasti mau ikut kalau ada aku!"
Sudut bibir Rangga berkedut tak senang ketika si pria pirang jabrik yang mirip Edward Cullen ini main rangkul dan peluk. Dengan kasar, Rangga melepaskan tangan besar Willem dari sekitar pundaknya dan menjauh. Ekspresi jijik sekaligus tak senang tampak jelas di wajahnya.
"Kenapa kau menjauh, Rangga?" kata Willem sambil cemberut. Ia kecewa dengan Rangga yang selalu menjauhinya. "Jarang-jarang, kan, kita bisa mesra-mesraan begini."
Rangga merinding mendengar perkataan Willem. Ia kemudian mengangkat jari telunjuknya dan berkata, "Pertama, aku tak pernah menyukaimu. Kedua, mesra-mesraan di kantor itu menjijikan, apalagi kantor polisi. Meskipun itu akan lebih mudah kalau aku mau melaporkanmu masalah tindak asusila, tapi tetap saja itu memalukan dan menjijikan. Dan yang kedua—demi semua dewa-dewi yang dikenal oleh manusia sejak jaman pitecantropus erectus sampai homo sapiens—AKU TIDAK PERNAH MENYUKAIMU, DASAR VAMPIR MESUM! KAU KEJAR LAGI SAJA BELLA ATAU JACOB ATAU SIAPAPUN ITU NAMANYA, TAPI MENJAUH DARIKU!" Kalimatnya yang terakhir berhasil ia keluarkan dengan penuh amarah. Sebelum Willem sempat berkata apa-apa, Rangga segera pergi dari tempat kejadian, menjauh sejauh mungkin.
"Hei, Rangga. Tidak baik marah-marah seperti itu pada Willem." kata Antonio sambil tersenyum kecil. Dengan berlari-lari kecil, sang detektif berambut cokelat itu berhasil menjajarkan posisinya di samping Rangga. "Jadi, bagaimana? Mau ikut liburan ini? Aku sudah mendapat izin dari Roderich."
"Aku tak mau ikut kalau si brengsek yang suka pegang-pegang orang sembarangan itu ikut!" gerutu Rangga, masih terus berjalan dengan langkah lebar menuju kantornya.
"Maksudmu Francis?" tanya Antonio, belagak polos.
Rangga mengerang kesal begitu mendengar pertanyaan bodoh Antonio. "Willem, Antonio! Kalau si vampir jadi-jadian yang brengsek itu ikut, aku lebih baik tak usah liburan seumur hidup!"
"... Kau tahu kalau itu sedikit berlebihan, kan, Rangga?" gumam Antonio pelan.
"Terus kenapa?" balas Rangga ketus. "Pilih salah satu. Aku, atau Willem. Kalau Willem ikut, aku tidak ikut. Kalau aku ikut, si brengsek rambut tulip dengan badan bling-bling itu tidak boleh ada!"
"... Sebenarnya yang menang undian itu aku atau siapa, sih? Kok, rasanya aku seperti didesak begini..."
"Lho? Aku tidak mendesak! Aku hanya memberikan pilihan-pilihan. Kau tinggal pilih mana yang prioritas untukmu. Hidup itu penuh pilihan, Antonio."
"Tapi, masalahnya tiketnya ada lima. Terus, kalau salah satu darimu atau Willem tidak ikut, mau kuberi kemana tiket yang terakhir? Rumput tetangga yang bergoyang di sebelah?"
"Berikan pada Roderich."
"Uum... Terakhir aku liburan bersamanya berakhir super garing dan sangat membosankan. Percayalah, kau tidak akan mau memasukkan Roderich dalam daftar acara liburanmu, Rangga."
"... Elizaveta?"
"Dia dokter. Pasti sibuk."
"Memangnya kita tidak sibuk?"
"... Pokoknya aku sudah dapat surat izin libur."
"Oh. Kalau begitu—"
"Oh, ayolah, Rangga!" jerit Antonio frustrasi. Sang Spaniard kemudian meraih kedua tangan Rangga, mendekapnya. Mata hijaunya menatap penuh harap ke lautan abu-abu milik Rangga. "Untuk sekali ini saja, ya. Lagipula, ada aku, Gilbert, dan juga Francis. Biar kami bertiga yang menjagamu kalau seandainya Willem mau macam-macam. Yah, biarpun aku lebih khawatir kalau Francis yang akan macam-macam daripada Willem..."
"Tapi..."
"Apa? Takut adikmu khawatir? Kalau begitu, biar kukirim SMS yang bilang kalau kau sedang liburan di pantai, penuh dengan manusia-manusia setengah telanjang, menginap di satu kamar yang sama dengan manusia-manusia super awesome dan menggoda iman ini. Jadi, dia tidak perlu khawatir. Bagaimana?"
"... Rasanya dia malah semakin histeris dan langsung menyusulku..."
"Begini saja, lah!" Antonio kemudian menyeret Rangga menuju kantornya. Dia membuka-buka tas kerjanya dan mengeluarkan sebuah pamflet perjalanan dimana lima buah tiket tampak menyembul dari lipatan pamflet. Sang detektif menarik satu lembar tiket dan menyerahkannya pada Rangga. "Kapalnya berangkat besok pagi pukul delapan pagi dari dermaga. Kalau kau mau ikut, jangan terlambat, ya?" katanya sambil tersenyum cerah. Antonio kemudian berjalan keluar dari kantor sambil bersiul-siul riang, kembali bergosip bersama sahabat-sahabatnya.
Sementara itu di dalam kantor, Rangga masih memperhatikan tiket yang ada di tangannya. Sebuah tiket perjalanan menggunakan kapal pesiar untuk berlibur selama lima hari di sebuah pantai selatan. Agak aneh juga untuk liburan ke pantai di tengah-tengah musim gugur begini.
Ikut. Tidak. Ikut. Tidak.
"Lihat kondisi besok pagi, deh." desah Rangga sambil memasukkan tiket tersebut ke saku celananya.
Pantai. Salah satu daya tarik utama dan paling dijaga oleh semua kota yang memilikinya. Pasir putih, deburan ombak yang mengundang para surfer, dan hidangan laut yang membuat air liur menetes menjadi poin-poin utama yang menjadikan pantai primadona pariwisata di beberapa kota. Belum lagi pemandangan indah matahari terbenam yang dapat dinikmati di kala senja tiba. Tak peduli negara apapun, tak peduli musim apapun, sunset akan menjadi pilihan utama turis datang ke pantai.
Pasir, ombak, seafood, dan sunset. Empat besar yang menjadi atraksi utama yang diberikan pantai.
Oh, tunggu. Masih ada satu lagi yang paling dicari, terutama oleh para pemuda-pemudi kesepian, yaitu teman kencan.
Tak peduli kantongmu kempes alias bokek, selama para pria dan wanita kesepian ini mempunyai modal tampang serta badan yang menjual—atau bahasa lainnya seksi—dijamin akan ada lawan jenis—atau kalau apes bisa-bisa sesama jenis—mendekati. Goda sana, goda sini dengan jurus-jurus pamungkas yang dipelajari dari teman ataupun roman picisan yang baru ditonton di bioskop terdekat. Bila berhasil, kencan romantis di tepi pantai kala matahari tebenam akan menjadi jackpot.
"Pantaaaii!" seru Antonio gembira sambil berlari ke tengah deburan ombak. Ia tertawa-tawa riang ketika buih-buih ombak mengenai kedua kakinya, memaksanya mundur beberapa senti supaya tidak tergulung arus. Pemuda Spanyol ini kemudian menoleh ke belakang sambil tersenyum dan melambaikan tangannya, memanggil keempat rekannya.
Empat?
Ya. Empat. Pemuda Asia bernama Rangga itu akhirnya memutuskan untuk ikut dengan berbagai persyaratan, seperti :
"Aku mau kamar sendiri! Peduli setan kalau hadiah undiannya hanya untuk satu kamar! Eh? Dua kamar? Oke! Aku tak mau sekamar dengan Willem! APA? SEKAMAR FRANCIS? LEBIH BAIK AKU SEKAMAR DENGAN PEMBUNUH BAYARAN DARIPADA SEKAMAR DENGAN FRANCIS!"
"Aku tidak mau didekati oleh si makhluk penghisap darah emo dengan kulit bling-bling itu. Kalau sampai ia mendekat barang sepuluh meter saja, kutembak dia! Dan... ADDUUHH! GILBERT, MENJAUH DARIKU! FRANCIS, KAU JUGA! NGAPAIN PEGANG-PEGANG, HAH? PERATURAN BARUSAN JUGA BERLAKU BUAT KALIAN, TAHU!"
"Sekali saja aku mendengar kalimat penuh godaan dari Willem, aku akan pindah hotel. Itu berlaku juga buatmu, Francis. Khusus untukmu, kalau sampai kau berani menggodaku, akan kulubangi kepalamu dengan senjataku. Aku tidak main-main."
Dan masih banyak peraturan aneh yang dibuat oleh bocah satu itu.
Rangga berjalan ogah-ogahan ke tepi pantai. Kedua tangannya terlipat di depan dadanya dengan tujuan untuk menghalau angin dingin. Ia bahkan masih menggunakan kaus merah dan jaket putihnya serta celana training panjang. Jari-jari kakinya meringkuk kedinginan di atas sendal berwarna cokelat tua. "Kenapa kalian bisa buka baju di tengah cuaca dingin seperti ini?" tanyanya takjub kepada keempat temannya.
Gilbert menaikan kedua alis matanya, bingung dengan pertanyaan Rangga. "Eh? Ini terlalu dingin untukmu, ya? Kalau buat kita, sih, ini biasa-biasa saja. Malah cukup hangat." katanya, disambung ceria oleh kicauan burung kenari berwarna kuning yang hingga di kepalanya, Gilbird. Gilbert bersikeras untuk mengajak peliharaan kesayangannya itu pada liburan kali ini, bahkan sampai nyaris adu jotos dengan resepsionis hotel yang tidak mengizinkan binatang peliharaan masuk. Beruntung dengan bujuk rayu seorang Antonio (diiringi kedipan mata menjijikan dari Francis) sang resepsionis akhirnya mengalah dengan satu catatan. Burung kecil itu tidak boleh dibawa ke fasilitas lain hotel selain kamar.
"Kau hidup di negara tropis terlalu lama, Rangga!" ucap Francis ceria dari belakang sang pemuda Asia. Francis merapikan ikatan pada rambut pirang sebahunya sebelum melanjutkan perkataannya, "Rumah asalmu, kan, selalu hangat sepanjang tahun. Wajar saja kalau angin begini saja sudah membuatmu kedinginan."
Rangga menggeram pelan ketika mendengar ucapan Francis. Bukan salahnya kalau ia selama ini tumbuh besar di negara tropis yang selalu terkena sinar matahari. Bukan salahnya kalau tubuhnya ini masih belum terbiasa dengan angin dingin di negara beriklim sedang seperti ini. Masih untung dia hanya mengenakan dua lapis pakaian dan bukannya tiga seperti yang ia rencanakan saat di hotel.
"Hei!" panggil Antonio semangat dari bibir pantai. Tangan kanannya melambai-lambai penuh gairah, memanggil teman-temannya. "Kenapa kalian lama sekali? Ayo, cepat kesini!" Tawa ceria keluar dari mulut sang pemuda Spanyol ketika ombak mengenai pinggangnya, mendorong tubuhnya yang atletis ke depan.
Melihat tawa ceria Antonio membuat Gilbert dan yang lainnya semakin bersemangat untuk segera merasakan sejuknya air laut. Dengan senyum cerah, tiga orang tersebut mendekati Antonio dan ikut bermain air bersama sang detektif berambut cokelat.
Rangga sendiri hanya mendesah dan menghempaskan tubuhnya ke atas alas duduk yang telah digelar oleh Willem. Panasnya sengatan matahari berhasil ia halau dengan payung pantai besar yang mereka sewa bersama-sama sebelum memasuki pantai. Awalnya Rangga sempat terpikir untuk mengoleskan sun block ke sekujur tubuhnya, tapi mengingat pakaiannya yang serba tertutup rasanya sun block akan jadi percuma. Mata abu-abunya berkali-kali mengerling ke arah empat orang polisi yang seru bermain di tepi pantai, tak menggubrisnya sama sekali. Ia kembali mendengus kesal dan mengalihkan perhatiannya pada setumpuk majalah yang dibawa oleh Francis. Diambilnya majalah paling atas dan langsung ia lemparkan majalah itu kembali ke tumpukannya dengan kesal. "Bisa-bisa si brengsek itu bawa-bawa majalah porno ke ruang publik seperti ini." gerutunya.
Kembali mata abu-abu Rangga melirik ke para polisi yang tadi sedang bermain air bersama. Keningnya berkerenyit dalam ketika melihat keempat polisi itu mulai berpencar dan melaksanakan tujuan masing-masing. Untuk Gilbert, jelas sekali terlihat kalau si Jerman albino satu itu sibuk merayu Antonio yang tampaknya cuek-cuek saja. Willem masih sibuk menikmati deburan ombak. Francis...
Tunggu. Mana Fran... Ah, itu dia. Berdiri tak jauh dari area voli pantai, sibuk menggoda seorang gadis manis berambut cokelat tua yang dikuncir di kiri dan kanan. Kulit cokelat tua sang gadis tampak sangat kontras dengan bikini warna putih cerah yang ia pakai.
Sepertinya Francis akan menjalankan rayuan gombal entah-nomor-berapa pada gadis sasarannya itu.
Perempuan malang...
"Apa-apaan, sih, kau ini!" Suara sang gadis terdengar, bahkan hingga ke tempat Rangga duduk. Ia berjalan menghindari Francis yang masih ngotot mau mengajaknya kencan. Atau jangan-jangan ia langsung meminta sang gadis untuk berhubungan intim dengannya tanpa ba-bi-bu? Hanya Francis, Tuhan, gadis itu, serta pasir di pantai yang mengetahui pembicaraan mereka. "Kan sudah kubilang aku ini sudah punya pacar!"
"Ah, tapi tak ada siapa-siapa di dekatmu, kok." Seperti biasa, Francis terus mendesak lawan bicaranya untuk entah-melakukan-apa-dan-dimana.
"Jangan dekati aku!" jerit perempuan itu. Ia betul-betul ketakutan dengan sikap Francis yang secara tiba-tiba menggamit lengan sang gadis. "Kalau kau pegang-pegang aku sekali lagi, kutenggelamkan kau ke laut!"
Tapi, bukan Francis namanya kalau mundur begitu saja karena diancam perempuan cantik. Baginya, ancaman dari kaum hawa ini berarti ajakan ala tsundere baginya untuk terus melakukan pendekatan pada sang target. Ancaman bukan berarti target tidak mau, tapi justru kebalikannya. Target sangat ingin diajak kencan. Mari kita salahkan Antonio yang selalu bercerita mengenai suka dan dukanya sewaktu menjalin hubungan manis dengan seorang tsundere berdarah Italia, Lovino Vargas. Gara-gara cerita sang detektif Spanyol itu mengenai pacar tsunderenya—bahkan sampai membuat 'Kamus Lengkap Bahasa Tsundere', demi memahami bahasa-bahasa 'sayang' terselubung para tsundere akut macam Lovino—Francis jadi mempunyai pandangan aneh mengenai apa itu penolakan. Sekarang, bagi sang pemuda Prancis itu tak ada yang namanya penolakan cinta. Yang ada hanya tsundere cinta alias malu-malu kucing.
Bahkan Rangga sampai sekarang tak habis pikir bagaimana polisi mesum satu itu bisa mendapat teori begitu...
"Sey!" Kali ini suara seorang laki-laki baru ikut terdengar. Ia berlari mendekati perempuan manis berkulit gelap itu dengan penuh kekhawatiran. Rambut pirangnya tersisir agak berantakan ke belakang dan alisnya... Entah kenapa membuat Rangga jadi teringat akan alis seorang Il Capitano yang tebalnya amit-amit, menggoda bagi siapapun untuk mencabutinya satu demi satu...
"Aussy!" seru perempuan bernama Sey itu. Ia segera berlari menyambut pelukan dari sang pemuda berambut pirang dengan plester luka di hidungnya itu. Ia kemudian menunjuk lurus ke arah Francis, bibir sedikit dimanyunkan. "Aku digodai om-om mesum itu! Hajar dia dengan koalamu!"
Pemuda bernama Aussy itu menatap sangar ke arah Francis. Kedua tangannya masih memeluk erat kekasihnya yang ketakutan. Siapa, sih, yang tidak takut digodai oleh Francis? "Berani-beraninya kau menggoda pacarku! Rasakan ini! KOALA ATTACK!" Dan entah darimana asalnya, puluhan koala muncul dan mengejar-ngejar Francis keliling pantai...
Rangga hanya bisa melihat adegan bak lawak yang garing itu dengan malas. Melihat Francis dikejar koala atau Wookies atau bahkan Dementors hanya karena si pria Prancis itu kelewat batas menggoda perempuan sudah bukan hal asing lagi. Ia sampai bosan melihatnya. Meskipun cukup menyenangkan juga melihat koala-koala imut itu berubah ganas dan mencakari Francis yang berteriak kesakitan dalam nada suara tinggi layaknya kucing dijepit pintu.
Mata abu-abu Rangga teralihkan ketika seruan-seruan ala fangirls terdengar dari posisi dimana Antonio dan Gilbert tadi seru bermain pasir. Ah, rupanya sekarang giliran sang Spaniard yang didekati... entah berapa banyak perempuan. Terlalu banyak, sampai-sampai Rangga sendiri hampir tak bisa melihat Antonio. Hanya rambut cokelat ikalnya yang kadang menyembul keluar dari kerumunan itu.
Tunggu. Mana Gilbert, ya? Apa dia ada di tengah-tengah kerumunan itu?
Ah, itu dia. Terpisah cukup jauh dari kerumunan perempuan-perempuan kesepian yang sedang mencoba keberuntungan pada Antonio. Hei, sepertinya Gilbert terlihat super marah...
"ANTONIO ITU PUNYAKU! MENYINGKIR KALIAN SEMUA! RASAKAN INI! GILBIRD ATTACK!"
Berikutnya adalah adegan yang sama persis dengan adegan Francis dikejar koala. Bedanya, kali ini Gilbird, burung kenari obesitas peliharaan Gilbert yang mematuk-matuk kepala para gadis dengan sangarnya. Akibat tindakan brutal sang burung kecil imut-imut itu, para gadis yang semula mendekati Antonio bubar serentak sambil menjerit-jerit ketakutan.
Rupanya seme yang satu ini berhasil melindungi ukenya dari serangan binatang buas.
Rangga mulai bersemangat melihat-lihat situasi aneh yang terjadi di pantai itu. Sudah ada dua peristiwa yang luar biasa aneh, tapi nyata. Apakah akan ada lagi? Oh! Itu ada lagi kerumunan gadis-gadis! Sepertinya mereka mendekati...
Willem?
Sebentar, apa yang menarik dari vampir bling-bling menyebalkan nan mesum itu?
Rangga menyipitkan matanya ketika melihat Willem yang disibukkan oleh para gadis-gadis muda di sekitarnya. Ia mendesis tak senang ketika pemuda Belanda itu membiarkan beberapa gadis menyentuhnya. "Apa, sih, yang bagus dari Willem?" gumamnya. "Ia menyebalkan, sombong, angkuh, Edward Cullen wannabe tapi gagal, dan..."
Tampan.
Mempunyai badan yang sangat atletis dengan perut six pack.
Dan... entah kenapa dia terlihat berlipat-lipat lebih seksi dengan rambut turunnya.
Basah pula...
Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya keras, berusaha menghilangkan segala pikiran aneh mengenai Willem. Ia membencinya, ingat? Masa' tiba-tiba pandangannya dari benci berubah menjadi... kagum? Ya. Kagum. Belum sampai pada tahap suka, senang, apalagi cinta.
Amit-amit kalau sampai Rangga jatuh cinta dengan Willem. Lebih baik ia mencium Francis sepanjang hari selama setahun.
Suara-suara jeritan kesenangan kembali terdengar dari arah Willem. Entah apa yang mereka lakukan, Rangga sudah tidak peduli. Diliriknya dengan tatapan mata tajam menusuk kerumunan tersebut, tak tertarik. Diiringi dengusan tak senang, pemuda Asia itu beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menjauhi pantai, kembali ke kamar hotelnya yang hangat. Ia tak menyadari bahwa sepasang mata cokelat menatapnya dengan penuh kebingungan.
Setelah puas bermain-main di pantai, kelima polisi itu akhirnya kembali juga ke hotel untuk makan malam. Awalnya, mereka berencana untuk makan malam di restoran pinggir pantai sambil menikmati sunset (khusus untuk Francis, dia hanya ingin menikmati kemolekan tubuh perempuan-perempuan berbikini dalam siraman cahaya mentari senja), namun sebuah berita mengenai badai yang akan datang membuat kelimanya membatalkan reservasi mereka dan memilih untuk makan di restoran hotel saja.
"Beruntung kita memilih makan di restoran hotel." ucap Gilbert. Mata rubinya mengawasi hujan yang mulai turun dari jendela besar di dalam restoran. "Sudah hujan, berangin pula."
"Hujan itu memang penghilang mood. Aku jadi batal melihat tubuh indah para wanita itu di bawah sinar matahari senja, kan." keluh Francis sambil memotong ikan bakar yang ia pesan.
Antonio hanya tertawa melihat wajah kesal dan kecewa di wajah Francis. Ia menepuk-nepuk pundak sahabatnya itu lalu berkata, "Sudahlah, Francis. Toh, kita masih punya empat hari lagi sampai liburan ini selesai. Kesempatanmu masih banyak untuk menggoda para wanita di luar sana!"
"Tapi, ngomong-ngomong menggoda," kata Willem pelan. Sebuah cengiran jahil tersungging di bibirnya. "Di pantai tadi, aku melihatmu dikejar-kejar koala. Apakah itu tanda pencarianmu berhasil atau gagal, Francis?"
Francis merengut mendengar pertanyaan menghina dari sang pemuda Belanda. "Kau sendiri bagaimana, Will? Kulihat kau dikerubungi perempuan-perempuan cantik di pantai. Sudah dapat nomor telepon salah satunya? Atau justru kau sudah berhasil mengajak salah satu dari mereka kembali ke hotel dan bersenang-senang?" ucap Francis diiringi senyuman nakal.
Rangga menggebrak meja tak senang saat kejadian Willem yang didekati perempuan itu diungkit-ungkit. Mata abu-abunya melirik tajam ke arah Francis lalu ke Willem. "Aku sudah selesai." gumam Rangga pelan lalu beranjak dari tempat duduknya, meninggalkan rekan-rekannya yang masih terdiam.
Empat orang polisi yang masih duduk mengitari meja hanya bisa menatap kepergian Rangga dalam bisu. Keempat-empatnya terlalu shock melihat reaksi seorang Rangga yang mendadak marah seperti itu.
"... Dia kenapa, sih?" gumam Gilbert bingung sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Matanya kemudian melihat piring makanan Rangga. "Dan dia belum menghabiskan makanannya, padahal sisanya masih banyak begitu."
Willem sendiri masih menatap sosok Rangga yang semakin menjauh dengan penuh kebingungan. Dahinya berkerenyit dan ia terus bertanya-tanya dalam hati, apa gerangan yang membuat Rangga bisa marah sampai seperti itu? Apa ada dari pembicaraan mereka yang tidak ia sukai? Atau ada hal lainnya yang membuat Rangga merasa tak nyaman berada di dekat mereka berempat?
"Sepertinya ia cemburu, mon ami."
Willem mengalihkan pandangannya dari Rangga yang baru saja menghilang di belokan. "Apa maksudmu, Francis?" tanyanya pada pemuda Prancis itu, bingung.
"Kalian tidak sadar, ya? Dia kesal ketika aku mengungkit-ungkit lagi mengenai kau yang didekati para wanita itu, Will." sahut Francis sambil tersenyum nakal.
"Cemburu? Padaku?"
"Kalau begitu caranya," Kali ini giliran Antonio yang bicara. Mata hijaunya bersinar penuh kegembiraan. "Kau harus kejar Rangga dan minta maaf sudah membuatnya berpikir yang aneh-aneh. Kau juga harus bilang kalau kau hanya mencintainya seumur hidupmu dan akhiri pengakuan cintamu dengan sebuah ciuman manis di tepi pantai! Akhir yang bahagia untuk semuanya, kan?"
"Tapi, pantainya sedang dilanda badai, Antonio." kata Gilbert datar sambil menunjuk hujan deras diiringi angin dari jendela restoran.
"Dimanapun itu, Gilbert. Tidak harus pantai, kok."
"Dan setahuku, Rangga tidak menyukai Willem. Bisa-bisa, dia meninju Willem telak di wajah saat akan disosor."
"Dan wajah itu adalah aset utama seorang laki-laki untuk mendekati wanita! Perempuan mana yang mau dengan seorang laki-laki dengan luka di wajah? Bisa hancur hidupku kalau sampai itu terjadi!"
"Memangnya ada wanita yang mau denganmu, Francis? Dengan kemesuman tingkat dewa seperti itu, rasanya tak ada yang mau denganmu—wanita atau pria."
"... Kau kejam sekali, Gilbert sayang. Kau tidak cinta padaku, ya?"
"Lebih baik aku mencintai Antonio daripada mencintaimu."
"Heeehh? Kok, aku dibandingkan dengan Francis? Memangnya aku sehina itu, ya? Gilbert jahat!"
"Bu—bukan begitu, Antonio—"
"Tidak begitu, Antonio. Seharusnya dirimu bangga dibandingkan denganku yang paling tampan sejagat raya ini! Bahkan ketampanan Anakin Skywalker juga kalah! Ahahaha!"
"Daripada Anakin, aku lebih memilih Han Solo."
"Kenapa bukan Obi-Wan? Dia jelas-jelas lebih awesome dari yang lainnya!"
"Dan sampai sekarang aku masih berpendapat kalau lightsaber warna hijau itu bawa sial..."
"Ah, Yoda pakai lightsaber hijau tapi aman-aman saja, kok."
"Lightsaber paling keren itu yang warna merah!"
Willem perlahan-lahan beranjak dari tempat duduknya, meninggalkan teman-temannya yang mulai bicara panjang lebar tak jelas mengenai "Star Wars". Ia memutuskan untuk pergi mencari Rangga daripada diam saja tak berbuat apa-apa. Siapa tahu pemuda berambut hitam ikal itu ada masalah sehingga membuatnya mudah marah seperti itu.
"Kemana, ya, anak itu?" gumam Willem pada dirinya sendiri seraya melihat berkeliling. Ia tidak menemukan sosok Rangga di restoran ataupun bar di hotel. Di lobi juga tidak ada. Sekarang, pemuda Belanda itu sedang berdiri gelisah di dekat pintu masuk hotel, baru saja bertanya pada sang penjaga pintu mengenai keberadaan Rangga. "Apa dia masuk ke kamar, ya? Udara memang cukup dingin akibat badai begini."
Saat Willem memutuskan untuk mencari Rangga ke kamar, sepasang mata cokelatnya melihat sesosok pemuda berdiri di restoran outdoor yang terletak tak jauh dari lobi. Restorannya kosong untuk saat itu, mengingat hujan badai yang terjadi di luar membuat canopy restoran tak cukup untuk menghalau tampias dari air hujan tersebut. Akan sangat bermasalah jika makan di tengah-tengah cipratan air hujan, belum lagi desir angin yang luar biasa kencang.
Tak butuh pengecekan dua kali bagi Willem untuk segera mengenai sosok pemuda itu sebagai Rangga. Jaket putihnya, celana jins berwarna biru tua, sepatu kets warna hitam, dan rambut hitam ikal benar-benar mirip dengan pemuda yang ia cari. Tanpa ragu, Willem berjalan menuju restoran tersebut.
"Hei." panggil Willem sedikit berteriak. Wajar saja ia harus menaikan volume suaranya, mengingat suara deburan ombak dan angin begitu kencang. "Hei! Sedang apa kau disini, Rangga?"
Mendengar ada seseorang yang mengajaknya bicara, Rangga memutar tubuhnya. Ekspresi terkejut yang semula terlihat jelas di wajahnya dengan segera terganti oleh ekspresi kesal. Pemuda itu kembali membalikkan tubuhnya dan menyaksikan ganasnya badai dengan tampang bosan. "Oh, kau." gumamnya. "Mau apa kau kemari?"
Willem berjalan mendekati Rangga dengan susah payah mengingat posisi Rangga sendiri berada jauh dari pintu masuk restoran. Pemuda Asia itu menyandarkan tubuhnya ke pagar rendah dari kayu yang membatasi antara area makan restoran tersebut dengan tebing tinggi tempat hotel berdiri. Di bawah tebing, terhampar lautan yang begitu luas tak terbatas.
"Aku mencarimu." seru Willem setelah ia berhasil mendekati Rangga. "Kau mendadak pergi begitu saja saat makan malam. Ada apa?"
"Tidak ada apa-apa."
"Kau yakin? Kau terlihat sangat marah tadi."
"Aku tidak marah."
"Lalu, untuk apa kau menggebrak meja seperti itu?"
"Ada kecoa merayap, jadi aku membunuhnya sebelum hinggap di makananku."
"Rangga, tidak ada kecoa atau binatang apapun yang merayap ke meja makan kita. Kau kenapa?"
"Aku tidak apa-apa."
"Kau kesal, kan? Kesal karena apa?"
"Sudah kubilang, aku tidak kesal!" bentak Rangga sambil memutar tubuhnya menghadap Willem. "Kenapa aku harus kesal, hah? Kenapa? Tidak ada hal yang membuatku marah atau apapun, kok. Dan kau jangan ge-er kalau berpikiran aku kesal karena kau didekati perempuan-perempuan gatal di pantai tadi siang!"
Willem mengerjap-ngerjapkan matanya ketika mendengar perkataan Rangga. Jadi, benar kata Francis kalau Rangga kesal dengan kejadian tadi siang di pantai? Pemuda Asia yang ia sukai ini cemburu karena ia didekati begitu banyak wanita?
Tanpa terasa, sebuah senyum gembira terukir di wajah Willem. "Oh. Jadi kau ini mendadak marah-marah karena cemburu, ya?" goda Willem. Pemuda berambut pirang itu berjalan mendekati Rangga hingga tubuh mereka berdampingan dan pundak mereka saling bersentuhan. "Kau cemburu karena aku begitu menggoda sampai didekati begitu banyak perempuan, hm?"
Beruntung saat itu malam hari dan penerangan tidak seterang di dalam hotel. Kalau tidak, Willem bisa melihat jelas rona merah di wajah Rangga, hampir semerah kepiting rebus yang dipesan oleh Gilbert untuk makan malamnya. Atau semerah irisan tomat yang menjadi hidangan pendamping udang bakar pesanan Antonio tadi.
"Si... Siapa yang cemburu!" elak Rangga. Ia menggeser tubuhnya beberapa senti menjauhi Willem. Ia juga memalingkan wajahnya dan menatap langit hitam dengan kilatan petir menyambar-nyambar supaya Willem tidak menyadari bahwa wajahnya bersemu merah. "Untuk apa aku cemburu pada perempuan-perempuan itu? Rugi besar kalau aku cemburu!"
Willem hanya tersenyum kecil melihat Rangga. "Ya sudah. Kalau begitu, ayo kita masuk ke dalam. Tak baik kalau kita terus-terusan berada di tengah badai begini. Bisa-bisa kita kena pneumonia." ajaknya sambil mengulurkan tangan.
Rangga melirik uluran tangan Willem ragu-ragu. Sebenarnya ia ingin sekali kembali ke dalam hotel yang hangat, tapi ia masih segan untuk berduaan saja dengan Willem. Semenjak kejadian 'ciuman secara tak langsung' alias napas buatan yang diberikan Willem saat kebakaran beberapa hari yang lalu itu, ada sedikit perasaan aneh ketika ia berduaan saja dengan Willem. Mukanya mendadak panas, jantungnya mendadak berdetak lebih cepat dari biasanya, dan perutnya seolah-olah berputar. Jatuh cinta? Tidak mungkin. Rangga sudah punya Razak. Bisa dirajam ia oleh adik tersayangnya itu kalau sampai ketahuan menyukai orang lain.
"Ti... Tidak usah." tolak Rangga. Ia kembali memandangi badai yang semakin lama semakin ganas saja. "Aku masih mau menikmati suasananya."
"Maksudmu menikmati badai, begitu?" kata Willem dengan dahi berkerenyit bingung. "Rangga, kau sudah menggigil kedinginan di luar sini. Lebih baik kita masuk saja ke dalam dan akan kuantarkan kau ke kamar untuk menghangatkan diri. Kupesankan makanan juga kalau kau mau. Kau tadi tidak menghabiskan makan malammu, sih..."
"Sudah kubilang tidak usah!" Kembali Rangga menolak ajakan Willem. "Aku tidak kedinginan, kok."
"Bohong. Kau menggigil, Rangga."
"Si... Siapa yang menggigil? Aku tidak menggigil. Aku punya jaket."
Sebelum Willem sempat membalas omongan Rangga, terdengar suara deritan pintu yang dibuka dan sosok Antonio berjalan masuk ke dalam restoran. "Hei kalian berdua!" serunya. "Kalian tidak mau masuk? Di luar sini dingin sekali, lho. Bisa-bisa kalian sakit."
"Kau dengar sendiri perkataan Antonio, kan, Rangga? Ayo, kita masuk." Kembali Willem mengajak sang pemuda Asia itu untuk kembali ke dalam hotel. Mata cokelatnya menyiratkan kekhawatiran yang luar biasa. "Aku tak ingin kau sakit."
Rangga menggigiti bibir bawahnya, bimbang. Ditatapnya Willem yang berdiri tak jauh darinya dan juga Antonio yang berada di dekat pintu restoran. Mungkin ini saat yang tepat untuk kembali ke dalam hotel. Toh, sudah ada Antonio dan ia tidak perlu takut berduaan saja dengan Willem.
Tepat saat Rangga akan berbalik badan, pagar kayu yang menjadi sandarannya mendadak patah karena lembab terkena air hujan. Dengan bunyi yang mengerikan, batangan kayu itu patah dan jatuh ke bawah tebing.
Bersamaan dengan seorang pemuda berambut hitam yang semula bersandar padanya.
To Be Continued
A/N : Oke. Tadinya mau dibikin oneshot, tapi entah kenapa jadi kepanjangan banget. Belom tamat aja udah mau 10k. Itu mah, saya minta bunuh diri pelan-pelan, namanya. Jadi, karena saya kasian dengan mata kalian, wahai pembaca tercinta, jadinya spin-off abal ini saya bikin jadi TWOSHOT! Ohohoho. Kalo saya bilang ada kejutan di A/N atas, maksud kejutan ya, ini. Kejutan kalo ternyata ini bukan ONESHOT seperti janji saya, tapi TWOSHOT. Dan adegan threesome plus lemon plus syalala lainnya bakal ada di chapter berikutnya. Udah mau kelar, kok, cuma saya bingung endingnya gimana. Ohohoho.
Silakan kalo ada yang mau review. Ohohoho.
