Bleach © Tite Kubo

Warning : Typo,OOC, Sho-ai, OC, mengandung unsur MPREG, don't like don't

read.


THE LAST SAYONARA

Sesungguhnya ada banyak hal yang ingin disampaikan Ichigo pada orang dihadapannya ini. tentang hal yang terlampau sulit untuk ditanggungnya sendiri hingga mengharuskan dia untuk memanggil orang itu ke sini. Duduk berhadapan dan mencoba larut dalam suatu pembicaraan yang mungkin saja bisa sedikit mengangkat beban di hatinya.

Tapi setiap menit yang berlalu hanya diisi oleh sayup denting jam yang tergantung di dinding ruangan itu, menambah kesan kaku dan menyakitkan. Lambat, Ichigo memberanikan diri mengangkat kepalanya yang tertunduk untuk menatap wajah orang didepannya yang kini memasang tampang malas. Kedua tangan orang itu terlipat di depan dada, kelihatan sekali kalau dia sedang menahan diri untuk tidak menggebrak meja yang menjadi penghalang begi mereka berdua.

"Apa lagi yang ingin kau bicarakan. Sensei?"

Ichigo tersentak mendengar kalimat dengan nada dingin itu. Baru kali ini ia merasa begitu bersalah sekaligus sakit hati, seolah-olah hanya dirinyalah yang patut disalahkan atas semua ini.

Hazel Ichigo sekilas berkilat marah, namun segera berganti dengan sorot kesedihan yang amat kentara, "berhentilah bersikap kekanakan. Ini juga bukan mauku…Renji."

Susah payah Ichigo berusaha mengucapkan nama itu agar tidak menunjukkan getar dalam suaranya, kini ia hanya bisa memohon agar pembicaraan ini cepat berakhir.

Renji tersenyum sinis dan perlahan mengulurkan tangannya, bermaksud untuk menyentuh sisi wajah Ichigo, tinggal sedikit lagi, sebelum Ichigo menepis tangan Renji dengan kasar.

Kali ini sorot terluka itu ada di mata Renji.

"Aku tidak punya banyak waktu untuk meladeni pembicaraan konyol ini, Sensei. Lagipula bukankah sebentar lagi aku akan lulus dari sini? Jadi, setelah aku tidak ada, Sensei bebas bertindak semau Sensei dan…"

"CUKUP ABARAI!"

Sebuah tarikan keras di kerah seragam Renji ternyata cukup ampuh untuk membungkam semua kalimat yang ingin keluar dari bibirnya. Jika saja mereka tidak dalam suasana tegang macam begini, pasti Renji akan langsung 'menyerang' Ichigo mengingat posisi mereka yang begitu dekat.

"Kau membenciku?" satu pertanyaan itu terlontar dari Ichigo yang tetap mempertahankan cengkramannya pada seragam Renji.

Benci?

Renji tertawa dalam hati mendengar pertanyaan itu. Bagaimana mungkin dia bisa membenci satu-satunya orang yang berharga dalam hidupnya. Justru yang paling ia benci saat ini adalah keadaan. Keadaan yang memaksa mereka agar berdiri di jalan masing-masing meski sebenarnya kedua tangan mereka terlanjur saling berpegangan.

Dengan gerakan pelan, Renji melepaskan cengkraman Ichigo yang seolah menahannya agar tetap tinggal, "kau tahu sendiri jawabannya."

Ichigo hanya bisa diam tanpa tahu apa yang harus ia katakana untuk membalas semua kata-kata Renji. Bahkan kalaupun Renji membencinya, ia akan terima. Karena mungkin dia memang pantas untuk dibenci.

Renji kemudian membungkuk hormat di hadapan Ichigo yang mematung.

"Terima kasih atas semuanya, Sensei."

Setelah sosok Renji menghilang di balik pintu, yang ada hanya Ichigo yang menatap kosong ponggung Renji yang semakin menjauh.

"Maafkan aku." Bisiknya pada keheningan yang tersisa.

.

.

"Bagaimana?"

Hisagi bertanya sambil terus menjejeri langkah Renji yang semakin cepat menghentak di sepanjang koridor sekolah.

Renji menoleh sekilas pada teman sekelasnya itu tanpa ada tanda untuk menjawab. Apa lagi yang harus dijawab? Bukankah semuanya sudah jelas. Dia dan Sensei-nya itu sudah Selesai.

"Apa saja yang kalian bicarakan tadi?" rupanya Hisagi masih belum menyerah juga.

Renji seketika berhenti hingga nyaris membuat Hisagi nyaris menabrak punggungungnya. "Hisagi…"

"Ya?"

"Tolong jangan bertanya apapun lagi. Onegai."

Dan sejak saat itu, Hisagi tahu kalau sesuatu yang buruk telah terjadi. Hisagi juga mengerti kalau kali ini, Renji tidak bisa melakukan apapun untuk menentang semuanya.

Karena kekuasaan 'orang itu' mutlak.

.

.

.

I'm merely practicing saying goodbye to you

(Bleach vol 15: Beginning of the Death of Tomorrow)

Entah sudah berapa lama Ichigo berdiri di depan pintu coklat ini. beberapa kali tangannya terangkat untuk mengetuk pintu itu, namun seolah ada sesuatu yang menahannya. Ichigo ragu, harus memasang wajah yang bagaimana ketika berhadapan dengan 'orang itu.' Walaupun jauh sebelum datang kemari, ia telah belajar untuk memantapkan hatinya. Tapi tetap saja… ada sedikit ketakutan di batinnya.

Dengan satu tarikan napas panjang, Ichigo memantapkan dirinya untuk mengetuk pintu itu, sampai akhirnya sebuah suara berat dan terkesan berwibawa menyuruhnya masuk.

Perlahan Ichigo mulai memasuki ruangan yang didoninasi dengan warna coklat muda hingga memberikan kesan alami yang kental. Tapi Ichigo datang kesini bukan untuk mengagumi interior ruang kerja seorang Kuchiki Byakuya.

"Selamat siang, Kurosaki. Aku senang kau menepati janjimu."

Ichigo berjengit tidak suka. Jujur saja, dia muak sekarang. Muak berhadapan dengan orang yang terlalu berkuasa hingga seakan satu sentuhan jarinya saja dapat merubah apapun. Bahkan memisahkan dirinya dengan Renji. Ichigo memejamkan matanya kuat-kuat saat ingatannya kembali pada kejadian siang tadi.

Tiba-tiba suara Byakuya membuyarkan segala lamunan Ichigo, "sampai kapan kau mau berdiri di sana, Kurosaki?"

"Aku tidak ada waktu untuk bersantai, Byakuya-sama. Jadi langsung saja… aku sudah melakukan apa yang kau perintahkan. Apa kau puas sekarang?"

"Belum."

Ichigo terperangah mendengar jawaban Byakuya. Apa lagi yang dia inginkan?

Byakuya berdiri hingga ia bisa berhadapan dan lebih leluasa memandang mata coklat Ichigo yang berkilat marah, "aku belum puas sebelum kau benar-benar menghilang dari hidup Renji."

"Apa itu artinya aku harus mati, heh?"

Tawa miris kemudian terdengar dari bibir pucat Ichigo.

"Aku tidak sekejam itu, Kurosaki."

Byakuya lalu mengeluarkan selembar kertas dari laci mejanya. Sebuah cek.

"Ini lebih dari cukup untuk biaya hidup kalian sekeluarga di luar kota. Terserah kalian mau pindah kemana," Jeda sejenak sebelum Byakuya menambahkan kalimat menyakitkannya. "yang penting, jangan coba-coba menemui Renji lagi."

"Kenapa sampai sejauh ini, Byakuya?"

Ichigo menatap geram pada lembaran cek di atas meja. Dia merasa tidak berguna sekarang.

Byakuya kembali mendudukkan dirinya dan memandang Hazel Ichigo tajam.

"Aku tidak suka mengulangi kata-kataku, Kurosaki."

"…"

"Sebaiknya kau segera pulang."

Satu senyum getir terukir di wajah Ichigo, "Baiklah, Byakuya-sama."

Pemuda itu segara keluar dari ruangan itu tanpa menyentuh cek yang masih berada di atas meja kerja Byakuya.

Ichigo menutup pintu dengan pelan, kemudian ia mulai melangkah meninggalkan semuanya.

Semuanya.

Setidaknya dia masih punya sesuatu. Satu titipan berharga dari Renji yang akan dia jaga.


"Selamat datang, Onii-chan." Sapa Yuzu hangat ketika Ichigo baru selesai melepas sepatunya.

Diacaknya rambut adik perempuanya itu dengan sayang, "Tadaima."

"Makan malamnya sudah aku siapkan, loh. Apa mau makan sekarang? Karin dan Otou-san sudah duluan tadi. Mereka sudah kelaparan katanya."

Ichigo tersenyum simpul mendengar laporan panjang Yuzu. Kembali diusapnya rambut Yuzu. Kali ini dengan sedikit pelan, "tidak usah, tadi aku sudah makan di luar."

"Benarkah?"

"Iya. Tenang saja."

Yuzu menghela napas berat. Ia tahu kakaknya ini berbohong, tapi ia juga tidak bisa memaksa. Dia, Karin, dan ayahnya juga tahu apa yang terjadi dengan hidup kakaknya dan pemuda Abarai itu. Bahkan dia juga tahu apa yang dilakukan Byakuya pada kakak tertuanya itu. Jauh dalam hatinya, Yuzu menyesal karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk sedikit meringankan beban Ichigo.

"Baiklah kalau begitu. Onii-chan istirahat saja. Sekarang 'kan kau tidak boleh terlalu lelah."

"Iya..dasar cerewet." Dengus Ichigo pura-pura kesal.

Yuzu terus memandangi kepergian Ichigo dengan nanar sampai sosok itu menghilang dibalik pintu kamarnya. Sekali lagi Yuzu menghela napas, kali ini lebih keras.

"Kenapa menghela napas begitu, hm?"

"Tou-san! Sejak kapan ada di situ?"

"Cukup lama unutk melihatmu terus-terusan menghela napas seperti nenek-nenek."

Yuzu tertawa mendengar komentar ayahnya yang konyol seperti biasa. Entahlah, dia jadi sedikit kagum dengan sosol ayah yang dalam keadaan yang sulit seperti ini, tapi masih bisa membuat anak-anaknya tersenyum.

"Jangan lupa, Tou-san yang sebentar lagi akan menjadi seorang kakek." Ujar Yuzu jahil.

"Ck! Dia membuatku merasa tua. Hah… Misaki, aku rindu padamu!" ratap Isshin pada foto ukuran besar yang ada di ruangan itu.

.

.

.

"Tou-san!"

Renji membuka pintu mansion Kuchiki dengan kasar, tidak menghiraukan beberapa pelayan yan membungkuk hormat padanya.

Matanya mengitari seluruh sudut rumah itu untuk mencari sosok yang dipanggilnya 'Tou-san.'

"Ada apa, Renji?" suara itu begitu tenang, namun menyinpan satu kekuatan intimidasi yang besar. Renji sudah paham dan kebal akan hal itu. Tumbuh di lingkungan keluarga bangsawan Kuchiki, walaupun cuma sebagai anak angkat, membuatnya 'kenyang' ankan segala tetek bengek aturan di keluarga ini. terlebih lagi yang menjabat sebagai kepala keluarga sekarang adalah Kuchiki Byakuya, ayahnya.

"Apa yang Tou-san lakukan pada Ichigo dan keluarganya?" cecar Renji tidak sabar.

"Aku memberinya kehidupan yang lebih baik, apa itu salah?"

"Kehidupan yang lebih baik?" cibir pemuda itu. Ia sudah tidak perduli lagi dengan tata krama sekarang. "Kau membuatnya kehilangan pekerjaannya di sekolah! Membuat ayahnya nyaris dipecat dari Rumah Sakit! Bahkan kau juga tega menbuat kedua adiknya tersiksa di sekolah mereka! Dan sekarang… kau mengusirnya dari kota ini!"

Kedua tangan Renji kini mengepal hebat. Sungguh, ia mati-matian menahan agar tidak melayangkan tinjunya ke muka Byakuya. Karena masih ada sedikit rasa hormat di hatinya

"Dengarkan aku baik-baik, Renji," Byakuya mendekati Renji yang menatapnya jengah. "Lupakan kalau kau hanyalah anak angkat. Karena yang terpenting adalah… bagaimana kau bisa membuat keluarga ini bangga. Bukan malah mempermalukan dirimu sendiri dengan menjalin hubungan dengan gurumu sendiri yang berjenis kelamin sama sepertimu."

"Kalau begitu, aku keluar dari rumah ini. Anggap aku tidak pernah menjadi bagian dari keluarga Kuchiki!" balas Renji dengan geram. Kalau tahu akhirnya kan begini, lebih baik ia menolak ketika diadopsi dulu.

"Kau tidak akan bisa lepas begitu saja, Renji." Ujar Byakuya dengan nada santai kemudian berbalik meninggalkan Renji.

"SIALAN!" teriak Renji frustasi. Kenapa disaat seperti ini dirinya menjadi sangat lemah.

Dengan gemetar, bibirnya mulai mengucaokan satu nama, "Ichigo…"

.

.

.

Tujuh tahun kemudian

"Kaa-san! Lihat ini!"

Seorang anak laki-laki tampak berlari riang menuju seorang dengan rambut orange -nya yang mencolok. Bocah itu menunjukkan sebuah kertas yang berisikan gambar khas anak kecil, "Lihat! aku dapat nilai bagus!"

"Hebat!" sosok itu kemudian mengacak rambut anaknya gemas. "sebagai hadiah, hari ini Kaa-san akan mengajakmu beli es krim. Mau tidak?"

"Mau!" jawabnya semangat. "Tap iapa aku boleh mengajak Ken? Sepertinya dia terlambat dijemput."

"Tentu. Nanti biar Kaa-san yang menghubungi orangtuanya."

Bocah itu pun segera berlari kea rah gedung sekolahnya sambil mengucapkan 'Arigatou' berkali-kali.

"Dasar! Selalu bersemangat." Sosok itu tersenyum melihat kepergian anaknya. Namun tiba-tiba bayangan 'orang itu ' kembali bermain di benaknya. "Tsubaki… kau semakin mirip dengannya."

.

.

"Tadaima!"

"Okaeri, Tsubaki, Onii-chan."

Tsubaki segera berlari menuju kamarnya tanpa menghiraukan teriakan ibunya yang menyuruhnya untuk makan siang.

"Ck! Anak itu,!"

"Onii-chan?"

"Ada apa, Yuzu?"

Sesaat Yuzu nampak ingin mengatakan sesuatu, namun ia seperti masih ragu. Ini membuat Ichigo mengerutkan dahinya heran, "kau kenapa?"

"Ah, tidak apa-apa. apa Onii-chan tidak mengajar hari ini? kenapa pulang cepat?" tanya Yuzu mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Aku minta ijin untuk menemani Tsubaki. Sudah lama kami tidak jalan-jalan berdua."

Mau tidak mau Yuzu tersenyum simpul melihat ekspresi kakaknya yang selalu cerah ketika membicarakan Tsubaki, putra semata wayangnya.

Jika ada yang bertanya, kenapa Tsubaki memanggil Ichigo dengan sebutan Kaa-san? Padahal jelas-jelas Ichigo itu laki-laki. Itu karena Ichigo adalah ibu sekaligus ayah dari Tsubaki.

Ichigo memiliki satu kemampuan untuk mengandung meskipun dia seorang laki-laki. Satu keistimewaan yang langka. Karena itu, Ichigo bersyukur memiliki Tsubaki dalam hidupnya. Sebagai pengganti Renji.

"Onii-chan?"

Ichigo tersentak ketika merasakan tangan Yuzu menepuk pundaknya pelan.

"Cepat atau lambat, Onii-chan harus memberitahu 'dia'."

Ichigo tercenung. Ucapan Yuzu ada benarnya juga. Dia harus memberitahu Renji tentang Tsubaki, anak mereka.

Tbc

AN : pertama kali ikut BVF dan langsung buat MPREG! Maaf bagi yang tidak suka dengan MPREG ^^ dan mohon bimbingannya, mengingat saya masih author amatir di ffn.

RnR, minna?